Sebenarnya, rencana Rafandra mengajak Aruna dan Rakabumi makan malam bersama sudah ia rencanakan sejak pulang dari Puncak bersama Kayana minggu lalu. Aruna yang saat itu telah mengetahui siapa Muklis, setiap harinya selalu saja menagih janji Rafandra untuk menjodohkan dirinya dengan Rakabumi. Ancamannya adalah membuka kedok Muklis pada Kayana secepat mungkin. Rafandra sadar betul niat terselubung ini. Walaupun nantinya cepat atau lambat pasti Kayana mengetahuinya, tetap saja semua ini butuh proses yang panjang. “Jadinya bagaimana? Mau ketemuan di kafe atau di rumah pribadi aku?” tanya Rafandra yang sekilas terlihat kesal karena Aruna mencegatnya di parkiran bawah kantor. Aruna tersenyum, pilihan kedua terasa lebih intim. Bisa ditebak dari tingkahnya, pasti Aruna akan memilih piliha yang kedua. “Di rumah mas Rafa sepertinya seru.” Rafandra mendecih. “Sudah kuduga.” “Kapan bisa kesana?” tanya Aruna yang tak sabar ingin pergi ke rumah Rafandra. Jalannya sedikit dipercepat karena Raf
Rafandra benar-benar nekat menemui Kayana di rumahnya. Setelah adegan tampar tadi malam, ia masih belum puas untuk menjahilinya dan berakhir dengan meluapnya kata-kata ketus dari bibir Kayana. Tak mengapa, yang terpenting Kayana tidak berubah. Tepat pukul delapan pagi, Rafandra berdiri di depan pintu rumah Kayana. Pagar depan terbuka lebar, jadi ia bisa masuk ke dalam tanpa harus memanggil. Rumah Kayana masih sepi tapi dari luar terdengar suara piring dan sendok beradu. Rafandra memastikan, pasti keluarga kecil itu sedang makan pagi. Tokk tokk Rafandra mengetuk pintu perlahan. Ditunggunya lima menit, belum juga ada pergerakan. Lalu ia ketuk lagi untuk kedua kalinya. "Siapa?" teriak Kayana yang suaranya terdengar dari luar. "Si—" Kayana terkejut begitu membuka pintu depan. Rafandra melebarkan senyumnya menyambut Kayana yang sinis. "Udah siap?" tanya Rafandra tanpa basa-basi. "Gue lagi sarapan. Kenapa lu datang pagi?" tanya Kayana sedikit ketus. "Biar enggak kepanasan di jalan."
Rafandra memutar kemudi hingga akhirnya mobil yang ia kendarai berhasil terparkir dengan rapi di basement sebuah mall besar di Jakarta. Suasana di basement itu sepi, hanya ada beberapa mobil yang berjarak cukup jauh dari tempat Rafandra saat ini. Situasi ini rupanya dimanfaatkan dengan baik oleh seorang Rafandra yang ingin bicara serius dengan Kayana yang masih sibuk bermain game di ponselnya. Geram, Rafandra menarik ponsel itu dan menyembunyikannya di balik punggung. “Rafa!” teriak Kayana yang tak terima ponselnya diambil. Tangannya dengan cekatan menarik lengan kemeja Rafandra tapi tetap saja tak berhasil mengambil kembali ponsel di tangannya. “Kembalikan!” teriaknya lagi. “Nanti selesai makan, nonton dan obrolan kita tentang masa depan berhasil mencapai kesepakatan.” Rafandra benar-benar menyebalkan. Ponsel Kayana disembunyikan di balik kantung kemeja dan dengan santai ia membuka pintu mobil meninggalkannya di dalam. Kayana keluar mengikuti langkah Rafandra masuk ke dalam mall
Genggaman tangan Rafandra belum berakhir hingga mereka tiba di rumah menjelang malam hari. Kayana yang sudah lelah, tertidur pulas di dalam mobil sepanjang perjalanan. Sambil mengemudi, Rafandra berhasil mengamankan tangan Kayana agar tetap berada di genggamannya. Sangat hangat dan menenangkan. Tiba di depan pagar rumah Kayana, Rafandra berhenti dan mematikan mesin mobil. Diliriknya lagi Kayana yang masih tertidur. Kalau untuk ukuran orang biasa tanpa ada perasaan terlibat, pose Kayana mungkin akan terlihat aneh tapi tidak dengan Rafandra. Pose bibir terbuka dan garuk-garuk kepala adalah pose terindah yang pernah ia lihat dari sosok seorang Kayana. Lima menit terdiam, akhirnya Kayana sadar juga. Ia terbangun dengan mata yang memerah dan wajah polos anak kecil. Sedangkan Rafandra terkekeh melihat reaksi Kayana. Menurutnya, itu menggemaskan. “Apa lu ketawa-ketawa? Pasti mau ngatain gue?” ketus Kayana yang perlahan bangun dan menyesuaikan letak duduknya. Ia memeriksa juga rambut dan p
Kayana berdiri hampir lima belas menit di halte bus tepat di depan gedung kantornya. Sudah pukul setengah enam sore tapi orang yang ia tunggu belum juga datang. Tubuhnya sudah lelah dan ingin secepatnya merebahkan diri di atas kasurnya yang empuk. Dua kali ia melirik arloji, dua kali pula ia mendengus kesal karena belum bertemu dengan Muklis, orang yang ia tunggu. Kekasihnya itu sejak tadi pagi terus menghubunginya. Mengatakan ingin bertemu dengan Kayana dan membicarakan sesuatu dengannya.Namun, hingga waktu yang ditentukan sosok Muklis belum terlihat sama sekali. Kayana mendongakkan wajahnya menatap langit yang kian mendung. Sebentar lagi tetes hujan akan turun membasahi bumi. Ia putuskan untuk pulang, mengabaikan janjinya dengan Muklis. Ia pun melangkah pelan keluar dari halte karena niatnya ingin naik taksi saja. Tetttt!!! Klakson berbunyi keras hingga membuat Kayana terperanjat kaget. Sebuah mobil sedan berhenti tepat di sampingnya. Kayana berhenti sejenak dan menoleh ke arah
Rakabumi menarik paksa Rafandra dari rumahnya pagi buta. Dipaksanya pria tampan itu mandi dan berdandan rapi. Tak lupa ia juga membawakan pakaian yang harus dikenakannya hari itu. Bukan, ini bukan tentang pesta mewah. Ini tentang acara ekslusif Rakabumi yang akan ditayangkan bulan depan. Bukankah Rafandra sudah berjanji akan ikut jadi salah satu bintang tamunya? "Masih jam setengah lima pagi. Lu mau gue pingsan di jalan?" protes Rafandra dengan segala racauannya. Baru saja membuka mata, ia sudah disuguhkan dengan aneka macam pakaian yang sudah ditumpuk di atas sofa kamarnya. Entah dari mana Rakabumi bisa masuk ke dalam kamar pribadinya ini. "Sebentar lagi kru syuting mau datang. Kita mau take pas jam enam pagi dan lu harus sudah dandan rapi," ujar Rakabumi yang jadi cerewet seperti ibunya. Rafandra terpaksa masuk ke dalam kamar mandi dengan hawa kantuk yang masih berbayang di matanya. Rasanya, ia ingin kembali merebahkan tubuh lelahnya di ranjang hingga siang hari. Tak sampai lima
"Kemana saja kamu?" teriak Alyssa yang menunggu kedatangan Rafandra ke rumah utama. Sejak satu minggu lalu, Rafandra meninggalkan rumah demi keinginannya bertemu Kayana lebih lama, kini ia kembali lagi ke rumah orangtuanya. "Anak baru pulang langsung diomelin," protes Rafandra. Alyssa berkacak pinggang di hadapan Rafandra dan tentu saja ditambah dengan sorotan mata yang tajam bagai elang. Rafandra sebenarnya ciut, hanya saja ia berusaha tetap menjaga imejnya agar tidak hilang di depan ibunya. "Kemarin, kamu kemana?" Alyssa kembali bertanya. "Mama sama Sonia cari kamu ke kantor, tapi kamu enggak ada." "Pergi ke rumah teman. Lagian, mau apa ke kantor? Kemarin kan hari libur?" tanya Rafandra kembali. "Karena mama enggak tahu alamat rumah kamu, mama jadinya kesana. Siapa tahu kamu lagi lembur," jawab Alyssa yang tak mau kalah. "Kenapa enggak telpon?" "Karena kamu susah ditelpon. Kemana saja sih?" Rafandra memutar otak mencari alasan yang tepat mengapa ia tak bisa dihubungi kemarin
Lima hari tanpa informasi dari Muklis, tiba-tiba saja pria berperawakan tinggi itu datang mengunjungi Kayana di rumahnya. Entah terkena angin apa, tapi kali ini penampilannya sedikit membuat Kayana heran. Biasanya, Muklis datang dengan rambut ikal dan berkacamata tebal ditambah tahi lalat di ujung bibir serta pakaian sederhana, tapi tidak kali ini. Muklis berpenampilan mirip dengan Rafandra. Sangat mirip. Kayana bahkan sampai mengusap matanya memastikan bahwa yang sekarang dilihatnya adalah benar Muklis bukan Rafandra. "Muklis?" Kayana menunjuk wajah Muklis dengan sedikit ragu. "Kok penampilan kamu berubah?" "Aku mau ajak kamu jalan-jalan. Ehm, sekaligus mau klarifikasi tentang pertemuan kemarin yang tidak jadi." Keduanya terdiam. Kayana masih menyusun banyak kata di kepalanya, Muklis pun sama. Tak ada saling bicara antara mereka, hingga suara panggilan telpon membuyarkan suasana hening itu. Rafandra yang menyamar sebagai Muklis mungkin lupa jika dengan status ia sekarang. Secara