Genggaman tangan Rafandra belum berakhir hingga mereka tiba di rumah menjelang malam hari. Kayana yang sudah lelah, tertidur pulas di dalam mobil sepanjang perjalanan. Sambil mengemudi, Rafandra berhasil mengamankan tangan Kayana agar tetap berada di genggamannya. Sangat hangat dan menenangkan. Tiba di depan pagar rumah Kayana, Rafandra berhenti dan mematikan mesin mobil. Diliriknya lagi Kayana yang masih tertidur. Kalau untuk ukuran orang biasa tanpa ada perasaan terlibat, pose Kayana mungkin akan terlihat aneh tapi tidak dengan Rafandra. Pose bibir terbuka dan garuk-garuk kepala adalah pose terindah yang pernah ia lihat dari sosok seorang Kayana. Lima menit terdiam, akhirnya Kayana sadar juga. Ia terbangun dengan mata yang memerah dan wajah polos anak kecil. Sedangkan Rafandra terkekeh melihat reaksi Kayana. Menurutnya, itu menggemaskan. “Apa lu ketawa-ketawa? Pasti mau ngatain gue?” ketus Kayana yang perlahan bangun dan menyesuaikan letak duduknya. Ia memeriksa juga rambut dan p
Kayana berdiri hampir lima belas menit di halte bus tepat di depan gedung kantornya. Sudah pukul setengah enam sore tapi orang yang ia tunggu belum juga datang. Tubuhnya sudah lelah dan ingin secepatnya merebahkan diri di atas kasurnya yang empuk. Dua kali ia melirik arloji, dua kali pula ia mendengus kesal karena belum bertemu dengan Muklis, orang yang ia tunggu. Kekasihnya itu sejak tadi pagi terus menghubunginya. Mengatakan ingin bertemu dengan Kayana dan membicarakan sesuatu dengannya.Namun, hingga waktu yang ditentukan sosok Muklis belum terlihat sama sekali. Kayana mendongakkan wajahnya menatap langit yang kian mendung. Sebentar lagi tetes hujan akan turun membasahi bumi. Ia putuskan untuk pulang, mengabaikan janjinya dengan Muklis. Ia pun melangkah pelan keluar dari halte karena niatnya ingin naik taksi saja. Tetttt!!! Klakson berbunyi keras hingga membuat Kayana terperanjat kaget. Sebuah mobil sedan berhenti tepat di sampingnya. Kayana berhenti sejenak dan menoleh ke arah
Rakabumi menarik paksa Rafandra dari rumahnya pagi buta. Dipaksanya pria tampan itu mandi dan berdandan rapi. Tak lupa ia juga membawakan pakaian yang harus dikenakannya hari itu. Bukan, ini bukan tentang pesta mewah. Ini tentang acara ekslusif Rakabumi yang akan ditayangkan bulan depan. Bukankah Rafandra sudah berjanji akan ikut jadi salah satu bintang tamunya? "Masih jam setengah lima pagi. Lu mau gue pingsan di jalan?" protes Rafandra dengan segala racauannya. Baru saja membuka mata, ia sudah disuguhkan dengan aneka macam pakaian yang sudah ditumpuk di atas sofa kamarnya. Entah dari mana Rakabumi bisa masuk ke dalam kamar pribadinya ini. "Sebentar lagi kru syuting mau datang. Kita mau take pas jam enam pagi dan lu harus sudah dandan rapi," ujar Rakabumi yang jadi cerewet seperti ibunya. Rafandra terpaksa masuk ke dalam kamar mandi dengan hawa kantuk yang masih berbayang di matanya. Rasanya, ia ingin kembali merebahkan tubuh lelahnya di ranjang hingga siang hari. Tak sampai lima
"Kemana saja kamu?" teriak Alyssa yang menunggu kedatangan Rafandra ke rumah utama. Sejak satu minggu lalu, Rafandra meninggalkan rumah demi keinginannya bertemu Kayana lebih lama, kini ia kembali lagi ke rumah orangtuanya. "Anak baru pulang langsung diomelin," protes Rafandra. Alyssa berkacak pinggang di hadapan Rafandra dan tentu saja ditambah dengan sorotan mata yang tajam bagai elang. Rafandra sebenarnya ciut, hanya saja ia berusaha tetap menjaga imejnya agar tidak hilang di depan ibunya. "Kemarin, kamu kemana?" Alyssa kembali bertanya. "Mama sama Sonia cari kamu ke kantor, tapi kamu enggak ada." "Pergi ke rumah teman. Lagian, mau apa ke kantor? Kemarin kan hari libur?" tanya Rafandra kembali. "Karena mama enggak tahu alamat rumah kamu, mama jadinya kesana. Siapa tahu kamu lagi lembur," jawab Alyssa yang tak mau kalah. "Kenapa enggak telpon?" "Karena kamu susah ditelpon. Kemana saja sih?" Rafandra memutar otak mencari alasan yang tepat mengapa ia tak bisa dihubungi kemarin
Lima hari tanpa informasi dari Muklis, tiba-tiba saja pria berperawakan tinggi itu datang mengunjungi Kayana di rumahnya. Entah terkena angin apa, tapi kali ini penampilannya sedikit membuat Kayana heran. Biasanya, Muklis datang dengan rambut ikal dan berkacamata tebal ditambah tahi lalat di ujung bibir serta pakaian sederhana, tapi tidak kali ini. Muklis berpenampilan mirip dengan Rafandra. Sangat mirip. Kayana bahkan sampai mengusap matanya memastikan bahwa yang sekarang dilihatnya adalah benar Muklis bukan Rafandra. "Muklis?" Kayana menunjuk wajah Muklis dengan sedikit ragu. "Kok penampilan kamu berubah?" "Aku mau ajak kamu jalan-jalan. Ehm, sekaligus mau klarifikasi tentang pertemuan kemarin yang tidak jadi." Keduanya terdiam. Kayana masih menyusun banyak kata di kepalanya, Muklis pun sama. Tak ada saling bicara antara mereka, hingga suara panggilan telpon membuyarkan suasana hening itu. Rafandra yang menyamar sebagai Muklis mungkin lupa jika dengan status ia sekarang. Secara
"Kamu kenapa sih, minta jemput segala? Memangnya enggak ada taksi?" omel Rafandra begitu selesai menjemput Sonia di pusat perbelanjaan tadi. Sonia yang masih syok terpaksa diam. Bibirnya menahan tangis yang keluar dan butir air itu pun menetes turun di pipinya. Rafandra menoleh. Tak sampai hati memarahinya lagi, ia pun meminta maaf dengan suara lembut. "Kamu kenapa sih?" Sonia menoleh. Matanya merah dan sembab karena isakan tadi. Rafandra semakin tidak tega melihatnya. "Kamu ikhlas enggak bantuin aku? Tahu enggak, aku tuh hampir dilecehkan sama orang." Citttt Ban mobil Rafandra berdecit. Pria itu menepikan kendaraannya ke pinggir jalan lalu mematikan mesinnya. Tatapan tak percaya dan khawatir jadi satu di dalam pikirannya. "Kenapa enggak ngomong? Kan bisa aku hajar orangnya." "Enggak perlu. Aku tadi bisa kabur dan yang kepikiran buat jemput aku tuh cuma kamu. Aku—" "Aku minta maaf. Harusnya kamu cerita dari awal." Rafandra menarik lengan Sonia dan menyandarkan kepalanya di dad
Setelah hari itu, hubungan antara Kayana dan Rafandra pun perlahan merenggang. Tak ada lagi canda tawa, tak ada lagi keluh kesah yang bisa Rafandra utarakan pada si gadis ketus itu. Hidup Rafandra pun yang semula ceria dan humoris, tiba-tiba menjadi suram. Jangankan tertawa, tersenyum pun tidak. Setiap harinya, Rafandra selalu bekerja dan bekerja tanpa mengenal lelah. Ia tak pernah sedikit pun menyisakan waktu untuk dirinya sendiri. Hingga akhirnya sang ayah, Wirautama harus turun tangan langsung untuk menghentikan kegilaannya. "Kamu belum pulang, nak?" sapa Wirautama di sela kedatangannya ke kantor miliknya. Rafandra menggeleng tanpa menoleh. Tangannya sibuk mengetik dan tatapan matanya masih tertuju pada layar komputer di depannya. "Kita makan malam berdua di luar. Kamu mau?" tanya ayahnya lagi. Rafandra menghentikan pekerjaannya lalu menoleh pada ayahnya. "Papa tahu kamu sedang bingung. Nanti papa yang akan jelaskan pada mama." "Papa tahu dari mana?" Rafandra kembali melanjutka
"Makan yang banyak, Kayana. Saya lihat kamu tadi siang kurang makan." Kayana mengangguk. Makanan yang dihidangkan untuknya langsung dilahap habis tak bersisa. Angga sang manajer mengajaknya makan malam di sebuah kafe terkenal di Jakarta. Suasananya sangat romantis, tak seperti kafe biasa lainnya. Pilihan yang tepat untuk Kayana yang sedang patah hati. "Terima kasih." Angga tersenyum bahagia melihat sikap Kayana yang mulai luluh hari ini. Saat ia melihat adanya peluang, ia segera memanfaatkannya segera. Tangan Kayana yang terjulur ke atas meja digenggamnya tiba-tiba lalu diarahkan ke dadanya. "Kay, izinkan saya lebih dekat dengan kamu mulai hari ini. Saya janji, saya akan jadi pria terbaik yang akan selalu kamu banggakan." Kayana menghentikan acara makannya. Angga terlihat tulus mengungkapkan perasaannya malam ini. Kayana sudah lama mengabaikan perasaan manajer yang terus mengejarnya dari pertama kali ia masuk ke kantor itu. Anggapan Kayana sama, semua pria hanya memanfaatkan keku