"Kamu kenapa sih, minta jemput segala? Memangnya enggak ada taksi?" omel Rafandra begitu selesai menjemput Sonia di pusat perbelanjaan tadi. Sonia yang masih syok terpaksa diam. Bibirnya menahan tangis yang keluar dan butir air itu pun menetes turun di pipinya. Rafandra menoleh. Tak sampai hati memarahinya lagi, ia pun meminta maaf dengan suara lembut. "Kamu kenapa sih?" Sonia menoleh. Matanya merah dan sembab karena isakan tadi. Rafandra semakin tidak tega melihatnya. "Kamu ikhlas enggak bantuin aku? Tahu enggak, aku tuh hampir dilecehkan sama orang." Citttt Ban mobil Rafandra berdecit. Pria itu menepikan kendaraannya ke pinggir jalan lalu mematikan mesinnya. Tatapan tak percaya dan khawatir jadi satu di dalam pikirannya. "Kenapa enggak ngomong? Kan bisa aku hajar orangnya." "Enggak perlu. Aku tadi bisa kabur dan yang kepikiran buat jemput aku tuh cuma kamu. Aku—" "Aku minta maaf. Harusnya kamu cerita dari awal." Rafandra menarik lengan Sonia dan menyandarkan kepalanya di dad
Setelah hari itu, hubungan antara Kayana dan Rafandra pun perlahan merenggang. Tak ada lagi canda tawa, tak ada lagi keluh kesah yang bisa Rafandra utarakan pada si gadis ketus itu. Hidup Rafandra pun yang semula ceria dan humoris, tiba-tiba menjadi suram. Jangankan tertawa, tersenyum pun tidak. Setiap harinya, Rafandra selalu bekerja dan bekerja tanpa mengenal lelah. Ia tak pernah sedikit pun menyisakan waktu untuk dirinya sendiri. Hingga akhirnya sang ayah, Wirautama harus turun tangan langsung untuk menghentikan kegilaannya. "Kamu belum pulang, nak?" sapa Wirautama di sela kedatangannya ke kantor miliknya. Rafandra menggeleng tanpa menoleh. Tangannya sibuk mengetik dan tatapan matanya masih tertuju pada layar komputer di depannya. "Kita makan malam berdua di luar. Kamu mau?" tanya ayahnya lagi. Rafandra menghentikan pekerjaannya lalu menoleh pada ayahnya. "Papa tahu kamu sedang bingung. Nanti papa yang akan jelaskan pada mama." "Papa tahu dari mana?" Rafandra kembali melanjutka
"Makan yang banyak, Kayana. Saya lihat kamu tadi siang kurang makan." Kayana mengangguk. Makanan yang dihidangkan untuknya langsung dilahap habis tak bersisa. Angga sang manajer mengajaknya makan malam di sebuah kafe terkenal di Jakarta. Suasananya sangat romantis, tak seperti kafe biasa lainnya. Pilihan yang tepat untuk Kayana yang sedang patah hati. "Terima kasih." Angga tersenyum bahagia melihat sikap Kayana yang mulai luluh hari ini. Saat ia melihat adanya peluang, ia segera memanfaatkannya segera. Tangan Kayana yang terjulur ke atas meja digenggamnya tiba-tiba lalu diarahkan ke dadanya. "Kay, izinkan saya lebih dekat dengan kamu mulai hari ini. Saya janji, saya akan jadi pria terbaik yang akan selalu kamu banggakan." Kayana menghentikan acara makannya. Angga terlihat tulus mengungkapkan perasaannya malam ini. Kayana sudah lama mengabaikan perasaan manajer yang terus mengejarnya dari pertama kali ia masuk ke kantor itu. Anggapan Kayana sama, semua pria hanya memanfaatkan keku
Menatap hampa keluar jendela membuat Kayana tak sadar jika dirinya telah tiba di depan rumah. Lamunannya terbuyarkan suara manis dari Abil yang bersenandung merdu di sampingnya. Kayana menoleh. Sedikit senyuman terbuka lebar dari bibirnya yang mungil. Abil ikut tersenyum sambil terus berdendang. "Inget lagu ini enggak?" Kayana menggelengkan kepalanya. "Ini lagu yang pernah aku dengar waktu kamu lagi sedih." Kayana mengerutkan dahinya. "Kapan?" "Waktu kamu bilang, kamu enggak sanggup jalanin masa training di kantor karena sering dibully. Kamu sering denger lagu ini sama aku." Kayana terdiam. Ia merenung sesaat. Sungguh, ia lupa apa saja yang telah ia lakukan saat baru pertama kali menjadi staf baru di perusahaan itu. "Abil, kalau aku memilih keluar dari kantor. Bagaimana tanggapan kamu?" tanya Kayana yang terlihat serius. Abil menghentikan senandungnya. Sungguh ia pun bingung, karena Kayana terlalu cepat bertanya. Abil berpura tak mendengar. Napasnya berembus sangat berat. Ia se
Keputusan Kayana ingin mengundurkan diri dari perusahaan, membuat emosi Angga naik turun. Pria yang kemarin hampir melecehkan dirinya, kini hanya diam sambil meremat tangannya. Di hadapannya, ada Kayana yang terus menunduk sembari memainkan jari tangannya. Angga tak mau gegabah dalam mengambil keputusan. Kayana adalah karyawan teladan dan sudah banyak yang mengincarnya termasuk Rafandra. Maka, ia sedikit berhati-hati saat ingin bertanya pada gadis itu agar tak menyinggung perasaannya. "Kenapa mau resign?" tanya Angga berbasa-basi. "Bapak bisa lihat di surat itu," tunjuk Kayana. "Saya mau dengar dari mulut kamu sendiri." Kayana menarik napas lalu mengembuskannya perlahan. Ia mempersiapkan kalimat sebagus mungkin agar Angga mau membubuhkan tanda tangan di atas surat pengunduran dirinya. "Saya akan pindah keluar kota," jawab Kayana. Bohong. Kayana akan cari pekerjaan yang layak dan tidak ada penguntit di dalamnya. "Saya tidak akan mengizinkan kamu keluar dari perusahaan ini." Ang
"Kamu dikasih cuti berapa hari?" tanya Abil yang ikut menemani Kayana memesan tiket kereta sore ini. Kayana memajukan bibirnya mencari harga tiket yang sesuai dengan keuangannya. "Satu minggu," jawabnya singkat. "Ha? Satu minggu?" Kayana mengangguk pelan. "Kamu serius?" "Serius. Besok aku pulang cepat. Mau beres-beres pakaian." "Aku temani?" usul Abil yang dibalas gelengan kepala oleh Kayana. Ia menolaknya. "Kenapa?" "Kamu kan banyak pekerjaan. Nanti—" "Enggak. Aku bisa tinggalkan sementara. Atau aku temani kamu sabtu minggu?" Kayana tak enak hati melarang Abil. Tampaknya, pria itu dengan tulus hati ingin membantu dirinya. Setelah berpikir beberapa saat, ia pun mengangguk. "Boleh. Asal tidak menggangu." Abil tersenyum. Ia bahagia karena kali ini Kayana tak menolak sama sekali permintaannya. Keinginan Abil hanya satu, Kayana mau menerima dirinya seperti dahulu sebelum segalanya berubah. Kayana kembali mengerjakan pekerjaannya. Setengah pikirannya masih tertuju pada kata-kata
Kayana membuka tali sabuk pengaman dengan kasar hingga tangannya hampir menyentuh pipi Rafandra. Dirinya masih kesal karena merasa dijebak oleh pria berkelakuan aneh itu. Bukan dijebak lebih tepatnya, tapi diancam secara halus. Rafandra masih bersikap sabar, terutama saat Kayana yang tanpa basa-basi mengacungkan jari tengahnya. Ia tahu gadis itu masih kesal karena kejadian di basement apartemen tadi. Pasalnya, Rafandra tak sengaja mencium bibir Kayana yang terlihat merayunya. “Buka pintunya!” teriak Kayana. Rafandra masih diam di posisinya. Sementara Samsul mulai mengintip dari balik spion mobil, takut kalau Rafandra kembali berulah seperti tadi. “Nanti dulu. Besok, gue jemput ya. Terus kita jalan-jalan ke tempat biasa. Bagaimana?” “Enggak!” tolak Kayana tanpa basa-basi. Rafandra kembali mengeluh dalam hati. “Kenapa susah sekali sih ajak lu pergi? Gue janji enggak macam-macam.” Rafandra mengacungkan dua jari sebagai tanda perjanjian. Tentu saja Kayana menolak. Ia tahu akal bulus
Kayana kabur? Hanya dua kata yang terlintas di kepala Rafandra saat ini. Malam hari setelah mendengar kabar dari Rakabumi, ia langsung pergi mendatangi rumah kediaman orangtua Kayana untuk membuktikan kata-kata Rakabumi. Ternyata, apa yang dibicarakan sahabatnya itu adalah benar adanya. Kayana pergi bersama temannya entah kemana. "Ibu tahu kemana dia pergi?" tanya Rafandra dengan wajah khawatir. Sudah kedua kalinya ia menanyakan hal yang sama pada ibu Kayana. "Ibu hanya tahu dia mau pergi sama temannya. Kalau bukan Aruna, pasti Abil. Biasanya sih, jalan-jalan ke Bandung. Tapi ibu tidak tahu kali ini dia main kemana," ujar Naura menjawab kegelisahan Rafandra. "Tapi kok ponselnya tidak bisa dihubungi?" keluh Rafandra. "Oh, itu. Dia sengaja pakai ponsel yang baru." "Boleh saya tahu nomor ponselnya?" Naura terdiam. Dirinya tadi diberi pesan oleh Kayana untuk jangan memberitahu nomornya yang baru pada siapa pun termasuk Rafandra. "Maaf, Kayana bilang kalau—" "Saya punya tiket mas