"Kamu dikasih cuti berapa hari?" tanya Abil yang ikut menemani Kayana memesan tiket kereta sore ini. Kayana memajukan bibirnya mencari harga tiket yang sesuai dengan keuangannya. "Satu minggu," jawabnya singkat. "Ha? Satu minggu?" Kayana mengangguk pelan. "Kamu serius?" "Serius. Besok aku pulang cepat. Mau beres-beres pakaian." "Aku temani?" usul Abil yang dibalas gelengan kepala oleh Kayana. Ia menolaknya. "Kenapa?" "Kamu kan banyak pekerjaan. Nanti—" "Enggak. Aku bisa tinggalkan sementara. Atau aku temani kamu sabtu minggu?" Kayana tak enak hati melarang Abil. Tampaknya, pria itu dengan tulus hati ingin membantu dirinya. Setelah berpikir beberapa saat, ia pun mengangguk. "Boleh. Asal tidak menggangu." Abil tersenyum. Ia bahagia karena kali ini Kayana tak menolak sama sekali permintaannya. Keinginan Abil hanya satu, Kayana mau menerima dirinya seperti dahulu sebelum segalanya berubah. Kayana kembali mengerjakan pekerjaannya. Setengah pikirannya masih tertuju pada kata-kata
Kayana membuka tali sabuk pengaman dengan kasar hingga tangannya hampir menyentuh pipi Rafandra. Dirinya masih kesal karena merasa dijebak oleh pria berkelakuan aneh itu. Bukan dijebak lebih tepatnya, tapi diancam secara halus. Rafandra masih bersikap sabar, terutama saat Kayana yang tanpa basa-basi mengacungkan jari tengahnya. Ia tahu gadis itu masih kesal karena kejadian di basement apartemen tadi. Pasalnya, Rafandra tak sengaja mencium bibir Kayana yang terlihat merayunya. “Buka pintunya!” teriak Kayana. Rafandra masih diam di posisinya. Sementara Samsul mulai mengintip dari balik spion mobil, takut kalau Rafandra kembali berulah seperti tadi. “Nanti dulu. Besok, gue jemput ya. Terus kita jalan-jalan ke tempat biasa. Bagaimana?” “Enggak!” tolak Kayana tanpa basa-basi. Rafandra kembali mengeluh dalam hati. “Kenapa susah sekali sih ajak lu pergi? Gue janji enggak macam-macam.” Rafandra mengacungkan dua jari sebagai tanda perjanjian. Tentu saja Kayana menolak. Ia tahu akal bulus
Kayana kabur? Hanya dua kata yang terlintas di kepala Rafandra saat ini. Malam hari setelah mendengar kabar dari Rakabumi, ia langsung pergi mendatangi rumah kediaman orangtua Kayana untuk membuktikan kata-kata Rakabumi. Ternyata, apa yang dibicarakan sahabatnya itu adalah benar adanya. Kayana pergi bersama temannya entah kemana. "Ibu tahu kemana dia pergi?" tanya Rafandra dengan wajah khawatir. Sudah kedua kalinya ia menanyakan hal yang sama pada ibu Kayana. "Ibu hanya tahu dia mau pergi sama temannya. Kalau bukan Aruna, pasti Abil. Biasanya sih, jalan-jalan ke Bandung. Tapi ibu tidak tahu kali ini dia main kemana," ujar Naura menjawab kegelisahan Rafandra. "Tapi kok ponselnya tidak bisa dihubungi?" keluh Rafandra. "Oh, itu. Dia sengaja pakai ponsel yang baru." "Boleh saya tahu nomor ponselnya?" Naura terdiam. Dirinya tadi diberi pesan oleh Kayana untuk jangan memberitahu nomornya yang baru pada siapa pun termasuk Rafandra. "Maaf, Kayana bilang kalau—" "Saya punya tiket mas
Setelah selesai acara di Surabaya, Rafandra pindah ke Bandung. Ia lelah. Baru beristirahat sepuluh jam, ia kini sudah harus terbang ke tempat lain. Padahal bisa saja kan, acaranya ditunda hingga dua hari. Sepanjang perjalanan menuju tempat acara, Rafandra terus mengutak-atik ponselnya. Ia berusaha mencari kabar tentang Kayana dari akun sosial medianya. Nihil. Tak ada kabar satu pun. "Samsul, berapa lama lagi sampai di hotel?" tanya Rafandra dengan nada malas. "Setengah jam lagi. Bos lelah?" Rafandra memukul lengan Samsul cukup keras. "Kamu pikir saya robot? Sejak dari hotel tadi saya sudah bilang lelah. Kenapa diajak ke Bandung?" "Penerbangan yang tersisa hanya di pagi hari. Kita kan ada acara malamnya, Bos." Rafandra menghembuskan napas lelahnya. Kesal karena tak bisa menuntaskan kantuknya segera. "Suruh supirnya cepat. Saya sudah ngantuk." Samsul pun berbisik-bisik pada supir yang membawa mereka ke hotel untuk segera melajukan mobilnya secepatnya ke hotel. Rafandra jika sed
"Lu gila ya?" teriak Kayana hingga membuat sekitarnya menoleh ke arahnya. Bagaimana tidak, kini kedua insan itu tengah jadi sorotan para penonton yang hadir di sekitar lapangan tempat acara berlangsung. "Gue enggak gila. Gue serius." Kayana melempar botol minum yang masih ia pegang dan tepat mengenai kepala Rafandra. Ia langsung berlari sekuat tenaga menghindari kejaran pria yang menurutnya aneh itu. Rafandra terus mengejarnya dari belakang dan tiba-tiba saja ada sebuah mobil sedan melintas di sampingnya. Sedan itu berhenti lalu dari dalam seseorang memanggil Rafandra. "Bos, ayo kita susul neng Kayana." rupanya yang berteriak itu adalah Samsul, asistennya. Merasa mendapat bantuan, Rafandra pun segera masuk ke dalam mobil berniat mengikuti Kayana yang sudah menghilang dengan cepat. Berhasil. Rafandra berhasil mendapatkan tempat tinggal Kayana. "Itu rumahnya? Kok rumahnya kayak rumah hantu?" tunjuk Rafandra mengarah ke rumah uwa Kayana. "Sembarangan. Itu namanya rumah kuno, Bos.
Berita mengenai kaburnya Rafandra saat pembukaan acara, ternyata sampai juga ke telinga sang ayah. Berita itu ia peroleh dari salah satu panitia yang mengatakan bahwa Rafandra kabur setelah melihat seorang wanita. Mereka sempat berdebat bahkan Rafandra sempat melamarnya di depan umum. Sayangnya, wanita itu berlari menghindari Rafandra. Wirautama ingin marah saat mendengar kabar itu tapi di satu sisi ia bangga padanya. Sikapnya itu membuktikan, jika dirinya adalah seorang pejuang cinta yang pantang menyerah. Keesokan siangnya, Rafandra pulang bersama Samsul. Mereka naik pesawat pagi dan satu jam kemudian sudah sampai di kediamannya. Wirautama sempat kaget melihat wajah kelelahan Rafandra tapi tak tega untuk menyapanya. "Samsul, apa yang terjadi?" Wirautama akhirnya bertanya pada anak buah Rafandra yang masih berada di ruang tamu. Samsul sedikit kaget, ia berdehem tiga kali lalu akhirnya menceritakan semua kejadian yang mereka alami. "Bos Rafa lagi bingung bos besar. Kenapa neng Kay
Rakabumi kesal. Sudah dua hari dirinya tak bisa menghubungi Kayana sama sekali. Nomor ponselnya tidak aktif dan ibunya berkata kalau sahabatnya itu sedang liburan dengan teman kantornya. Rakabumi menebak, pasti pria yang sering mengantar jemput Kayana tempo hari. Namun, kekesalannya lagi-lagi memuncak. Di hari ketiga kedatangannya ternyata Kayana pun belum kembali ke rumahnya. Apa mungkin Kayana menghilang? Satu-satunya orang yang harus bertanggung jawab adalah Rafandra. Karena dia adalah alasan Kayana pergi menghindar. "Rafa!" teriak Rakabumi saat menginjakkan kakinya di rumah pribadi sahabatnya. Rafandra yang sedang duduk manis di sofa terlonjak kaget. Tanpa banyak bicara, tiba-tiba Rakabumi menarik kerah kemeja Rafandra hingga mencuat keatas. Rafandra membalasnya dengan dorongan yang cukup keras hingga Rakabumi hampir jatuh tersungkur. Rafandra menatap Rakabumi dengan tatapan menantang. "Apa mau lu? Datang ke kantor gue terus teriak-teriak?" tantang Rafandra. "Kayana hilang.
"Itu bos rumah kostnya." Mata Rafandra menyipit. Rumah besar di hadapannya terlihat tidak asing. Beberapa saat ia terdiam, ia pun tersadar. "Ini kan rumah kostnya Aruna." "Berarti kostnya di tempat Aruna, Bos." Samsul mematikan mesin mobil lalu membantu Rafandra menurunkan kaca mobilnya. Rafandra mengintip sedikit dari balik kaca mobil yang gelap itu. Rumah besar yang ditunjukkan oleh Samsul itu sangatlah sepi, tidak ada keramaian sedikit pun. "Kok sepi?" tanya Rafandra penasaran. Rumah tingkat dua dengan pagar sedikit rendah itu tidak menunjukkan tanda-tanda ada penghuninya. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Seharusnya, banyak penghuni yang sudah pulang ke rumah. "Belum pulang mungkin," celetuk Samsul. "Kamu yakin ini rumahnya?" Samsul menoleh ke belakang. Ia mengangguk pasti karena sudah tiga hari ini dirinya membuntuti Kayana sejak dari kantornya hingga pulang ke rumah kost tersebut. Ia bahkan bertanya pada orang sekitar kost tentang penghuni baru bernama Kayana. Mere