"Rafandra..." Sonia berlari cepat dari luar gedung sambil membawa kotak makanan menuju ke arah Rafandra yang berbalik menatapnya. Tak ada yang salah, tapi Rafandra memandang aneh padanya entah karena apa. "Rafa, aku bawa bekal buat kamu." Sonia berseru senang menunjukkan kotak makanan pada Rafandra. Lirikan tak minat Rafandra membuat Sonia sedikit sakit hati tapi ia berusaha memakluminya. Di samping Rafandra ada Samsul yang pagi ini mendampinginya sejak keluar dari kendaraan. "Memangnya aku suruh kamu bawa makan siang untuk aku?" tanya Rafandra dengan wajah sinis. Sonia menggelengkan kepalanya. "Terus, atas dasar apa kamu bawa makanan untuk aku?" "Kalau kamu enggak suka, ya sudah jangan dimakan," bentak Sonia. Rafandra menarik kotak makanan yang dipegang Sonia lalu memberikannya pada Samsul. "Taruh di piring. Nanti letakkan di meja tengah." Sonia menarik lagi kotak makanan itu lalu memeluknya erat. "Kalau kamu tidak suka, jangan dikasih ke orang lain." "Memang aku ada bicara k
Brakk!!"Semua cowok sama saja!"Kayana mengumpat cukup keras. Kertas dan alat tulis berterbangan hingga ada sebagian yang terjatuh ke lantai. Abil yang kebetulan ada di tempat hanya bisa menggelengkan kepalanya, heran dengan Kayana."Udah punya pacar, masih saja deketin. Udah gitu ngerayu pula," umpatnya lagi.Abil merasa tersindir tapi ia tahu sindiran itu bukan untuknya karena sejak kemarin ia belum bertegur sapa dengan Kayana."Kamu kenapa, Kay? Pulang meeting kok marah-marah?" tegur Abil. Kayana menoleh, menampilkan wajah marah dengan mata sembabnya."Abil kenapa di sini?" Kayana balik bertanya."Aku lihat kamu marah-marah, aku kira kenapa."Kayana memundurkan kursinya lalu berbalik ke samping tepat berhadapan dengan Abil yang masih berdiri di sana. Abil sedikit salah tingkah saat Kayana menatapnya. Seperti tatapan ingin menangkap dan mengumpatinya."Abil, aku punya kenalan. Pria mapan, ganteng, baik tapi sedikit aneh. Dia deketin aku, terus menyatakan perasaannya dan dia bilang
Rafandra memundurkan mobilnya begitu tiba di rumah pribadinya yang terletak tak jauh dari kantornya. Bukan perumahan yang waktu itu disinggahi Kayana. Saat memasuki kawasan perumahan, tersebarlah aura orang-orang berkelas yang tinggal di sana. Kayana bisa merasakan hal itu. Terlebih saat masuk ke dalam gerbang, suasana makin sepi. Kayana takut. "Lu mau bawa gue kemana?" ketus Kayana. Rafandra tak menjawab. Ia tetap diam hingga mesin mobil dimatikan. "Ini rumah lu?" "Iya, ini rumah gue. Makan malam dulu di sini. Nanti gue anterin pulang," pinta Rafandra yang langsung turun tanpa memberi aba-aba. Kayana pun ikut turun dan mengekorinya dari belakang. "Rumah pribadi maksud lu? Tapi kan—" "Di dalam ada Raka sama temen lu. Tadi gue suruh mereka berdua ke sini." "Raka? Dia ikut ke sini?" tanya Kayana memastikan. Rafandra mengangguk. "Lu enggak lagi bikin skenario bikin gue—" "Gue enggak sejahat itu Kayana. Gue masih waras. Kalau gue mau berbuat kayak gitu, udah dari dulu," potong Rafa
Sebenarnya, rencana Rafandra mengajak Aruna dan Rakabumi makan malam bersama sudah ia rencanakan sejak pulang dari Puncak bersama Kayana minggu lalu. Aruna yang saat itu telah mengetahui siapa Muklis, setiap harinya selalu saja menagih janji Rafandra untuk menjodohkan dirinya dengan Rakabumi. Ancamannya adalah membuka kedok Muklis pada Kayana secepat mungkin. Rafandra sadar betul niat terselubung ini. Walaupun nantinya cepat atau lambat pasti Kayana mengetahuinya, tetap saja semua ini butuh proses yang panjang. “Jadinya bagaimana? Mau ketemuan di kafe atau di rumah pribadi aku?” tanya Rafandra yang sekilas terlihat kesal karena Aruna mencegatnya di parkiran bawah kantor. Aruna tersenyum, pilihan kedua terasa lebih intim. Bisa ditebak dari tingkahnya, pasti Aruna akan memilih piliha yang kedua. “Di rumah mas Rafa sepertinya seru.” Rafandra mendecih. “Sudah kuduga.” “Kapan bisa kesana?” tanya Aruna yang tak sabar ingin pergi ke rumah Rafandra. Jalannya sedikit dipercepat karena Raf
Rafandra benar-benar nekat menemui Kayana di rumahnya. Setelah adegan tampar tadi malam, ia masih belum puas untuk menjahilinya dan berakhir dengan meluapnya kata-kata ketus dari bibir Kayana. Tak mengapa, yang terpenting Kayana tidak berubah. Tepat pukul delapan pagi, Rafandra berdiri di depan pintu rumah Kayana. Pagar depan terbuka lebar, jadi ia bisa masuk ke dalam tanpa harus memanggil. Rumah Kayana masih sepi tapi dari luar terdengar suara piring dan sendok beradu. Rafandra memastikan, pasti keluarga kecil itu sedang makan pagi. Tokk tokk Rafandra mengetuk pintu perlahan. Ditunggunya lima menit, belum juga ada pergerakan. Lalu ia ketuk lagi untuk kedua kalinya. "Siapa?" teriak Kayana yang suaranya terdengar dari luar. "Si—" Kayana terkejut begitu membuka pintu depan. Rafandra melebarkan senyumnya menyambut Kayana yang sinis. "Udah siap?" tanya Rafandra tanpa basa-basi. "Gue lagi sarapan. Kenapa lu datang pagi?" tanya Kayana sedikit ketus. "Biar enggak kepanasan di jalan."
Rafandra memutar kemudi hingga akhirnya mobil yang ia kendarai berhasil terparkir dengan rapi di basement sebuah mall besar di Jakarta. Suasana di basement itu sepi, hanya ada beberapa mobil yang berjarak cukup jauh dari tempat Rafandra saat ini. Situasi ini rupanya dimanfaatkan dengan baik oleh seorang Rafandra yang ingin bicara serius dengan Kayana yang masih sibuk bermain game di ponselnya. Geram, Rafandra menarik ponsel itu dan menyembunyikannya di balik punggung. “Rafa!” teriak Kayana yang tak terima ponselnya diambil. Tangannya dengan cekatan menarik lengan kemeja Rafandra tapi tetap saja tak berhasil mengambil kembali ponsel di tangannya. “Kembalikan!” teriaknya lagi. “Nanti selesai makan, nonton dan obrolan kita tentang masa depan berhasil mencapai kesepakatan.” Rafandra benar-benar menyebalkan. Ponsel Kayana disembunyikan di balik kantung kemeja dan dengan santai ia membuka pintu mobil meninggalkannya di dalam. Kayana keluar mengikuti langkah Rafandra masuk ke dalam mall
Genggaman tangan Rafandra belum berakhir hingga mereka tiba di rumah menjelang malam hari. Kayana yang sudah lelah, tertidur pulas di dalam mobil sepanjang perjalanan. Sambil mengemudi, Rafandra berhasil mengamankan tangan Kayana agar tetap berada di genggamannya. Sangat hangat dan menenangkan. Tiba di depan pagar rumah Kayana, Rafandra berhenti dan mematikan mesin mobil. Diliriknya lagi Kayana yang masih tertidur. Kalau untuk ukuran orang biasa tanpa ada perasaan terlibat, pose Kayana mungkin akan terlihat aneh tapi tidak dengan Rafandra. Pose bibir terbuka dan garuk-garuk kepala adalah pose terindah yang pernah ia lihat dari sosok seorang Kayana. Lima menit terdiam, akhirnya Kayana sadar juga. Ia terbangun dengan mata yang memerah dan wajah polos anak kecil. Sedangkan Rafandra terkekeh melihat reaksi Kayana. Menurutnya, itu menggemaskan. “Apa lu ketawa-ketawa? Pasti mau ngatain gue?” ketus Kayana yang perlahan bangun dan menyesuaikan letak duduknya. Ia memeriksa juga rambut dan p
Kayana berdiri hampir lima belas menit di halte bus tepat di depan gedung kantornya. Sudah pukul setengah enam sore tapi orang yang ia tunggu belum juga datang. Tubuhnya sudah lelah dan ingin secepatnya merebahkan diri di atas kasurnya yang empuk. Dua kali ia melirik arloji, dua kali pula ia mendengus kesal karena belum bertemu dengan Muklis, orang yang ia tunggu. Kekasihnya itu sejak tadi pagi terus menghubunginya. Mengatakan ingin bertemu dengan Kayana dan membicarakan sesuatu dengannya.Namun, hingga waktu yang ditentukan sosok Muklis belum terlihat sama sekali. Kayana mendongakkan wajahnya menatap langit yang kian mendung. Sebentar lagi tetes hujan akan turun membasahi bumi. Ia putuskan untuk pulang, mengabaikan janjinya dengan Muklis. Ia pun melangkah pelan keluar dari halte karena niatnya ingin naik taksi saja. Tetttt!!! Klakson berbunyi keras hingga membuat Kayana terperanjat kaget. Sebuah mobil sedan berhenti tepat di sampingnya. Kayana berhenti sejenak dan menoleh ke arah
Lima tahun kemudian Tak terasa usia pernikahan Rafandra dan Kayana telah memasuki tahun ke lima. Ada yang bertambah di tahun tersebut, satu anak dari Kayana di tahun ke tiga saat si kembar sudah mulai aktif berjalan. Rafandra sempat kewalahan menghadapi ke tiga anaknya yang mulai tumbuh besar. Si kembar juga mulai cerewet seperti ibunya. "Papa, mau itu." Rafisha menunjuk pohon mangga yang berbuat lebat belakang rumah orangtua Kayana. Cukup tinggi, Rafandra sampai mengernyitkan dahinya. "Ambilin." "Papa enggak bisa. Suruh om Samsul saja ya." Rafandra merinding membayangkan betapa tingginya pohon mangga itu. Ia lebih baik menunggu di bawah sambil mengawasi kedua anak kembarnya. "Papa payah." Rafisha merengut. Tak lama kemudian ia berhasil menarik kakeknya untuk mengambilkan mangga yang dimaksud olehnya tadi. Dengan senang hati sang kakek mengambilkannya. Diambilnya sebuah kayu tinggi dekat pohon dan dalam sekali tarikan, dua mangga berhasil diambilnya. "Hore, buah mangga." Rahisya
Empat bulan kemudian "Rafa! Rafa!" Suara teriakan terdengar dari dalam kamar mandi. Rafandra yang masih terbuai mimpi sayup-sayup mendengar suara itu. Tak terdengar lagi, ia pun melanjutkan mimpinya. "Rafa!" Mata Rafandra langsung terbelalak. Terkejut dengan suara keras yang memanggil namanya dari dalam sana. "Iya!" Rafandra berlari ke tempat asal suara dan mendapatkan sesuatu yang mengejutkannya. "Astaga! Kayana." Tanpa banyak tanya lagi ia segera menggendong tubuh Kayana yang lemas. Ada aliran darah di sekitar kakinya bercampur dengan cairan bening. Tas kecil di atas meja rias ia sambar beserta kunci mobil dan ponselnya. Berjalan cepat menuruni anak tangga, Rafandra berteriak nyaring membangunkan seisi rumah. "Woy, bangun. Tolongin. Kayana mau melahirkan!" teriaknya. Samsul yang kebetulan sedang menginap di rumah Rafandra pun ikut terbangun mendengar teriakan keras dari bosnya itu. Segera ia berlari menyusul Rafandra yang sudah berada di luar rumah. "Bos. Bu Kayana mau me
Mau tidak mau, kabar kelahiran anak kedua Wirautama membawa dampak besar bagi perusahaan. Terlebih lagi, istri keduanya adalah seorang selebritis yang sering mendapat perhatian publik atas apa yang dilakukannya. Bukan tidak mungkin, hal seperti ini akan jadi momok yang menakutkan bagi Wirautama dan keluarganya. Belum sampai satu hari berita itu dimuat, sudah muncul lagi satu isu yang membuat Rafandra tercekat. Isu tentang keretakan rumah tangga ibu dan ayahnya yang entah dari mana kabar itu berhembus. Ini yang paling dibenci oleh Rafandra. Ia tak bisa tidur nyenyak setelah berita itu keluar. "Ada-ada saja berita aneh. Ini papa harus klarifikasi." Rafandra membuang ponselnya ke atas sofa di ruang tengah. "Rafa capek, Ma." "Nanti mama bantu klarifikasi. Kamu pikirkan perusahaan saja dan Kayana." Alyssa yang berdiri tangga bawah melirik Kayana dan Rafandra yang sedang duduk berdua di ruang tengah. "Anak papamu akan dibawa kesini. Mereka akan tinggal bersama kita." "Benarkah?" Kayana
Tentang berita kelahiran anak Rani, pertama kali diketahui oleh Alyssa saat tak sengaja menguping pembicaraan salah satu temannya yang berprofesi sebagai dokter. Ia mengatakan ada pasien masuk ke ruang bersalin dengan status mengkhawatirkan. Informasi itu didapatkan dari seorang suster yang menerima pasien itu di ruang gawat darurat. Teman Alyssa bercerita, dia seperti pernah melihat wanita itu tapi lupa tepatnya di mana. Ia pun bertanya pada Alyssa, walau tak yakin dengan jawabannya. "Tadi, kalau tidak salah namanya adalah Rani iswandari. Nama suaminya Wirautama. Alyssa, nama Wirautama di Jakarta tidak hanya nama suamimu kan?" Alyssa terdiam saat itu. Nama Rani dan Wirautama memang banyak, tapi yang terlibat cinta di belakang layar hanya mereka berdua. Tidak salah lagi, pasti itu Rani istri kedua suaminya. "Dia melahirkan? Siapa yang mengantarnya?" tanya Alyssa yang mulai khawatir. Ia takut terjadi sesuatu dengan wanita itu dan dirinya akan terus merasa bersalah hingga akhir hidup
"Istrimu melahirkan!" Alyssa menaruh ponselnya segera setelah berteriak. Wirautama yang berada di kamar terkejut dengan suara teriakan itu. Ia segera berlari keluar kamar menemui Alyssa. "Ada apa?" balasnya. "Aku dapat info, istrimu melahirkan. Kamu tidak menjenguknya?" tanya Alyssa memastikan. Terdiam sambil berpikir sejenak, Wirautama belum bisa memutuskan akan datang atau tidak. Ia bimbang memutuskan hal tersebut. Lalu Alyssa kembali bertanya, "Kamu jenguk tidak? Kalau tidak, biar aku yang jenguk." "Kalau berdua dengan kamu, aku ikut." "Ok. Aku ganti pakaian dulu." Alyssa segera masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian sementara Wirautama menunggu di luar. Rafandra yang baru saja dari luar rumah, baru selesai mencuci mobilnya melihat keheranan wajah ayahnya yang diam memucat seperti terkena sihir. "Kenapa, Pa?" tegur Rafandra. Wirautama terlonjak kaget lalu menggelengkan kepalanya. "Kok diam saja?" "Kamu enggak kerja?" Wirautama malah balik bertanya pada Rafandra. "Izi
Karena kondisi tubuh Wirautama telah membaik, ia sudah diizinkan untuk kembali beraktivitas walau hanya sekedar duduk tanpa turun langsung ke lapangan. Rafandra sebagai anak yang sangat sayang pada ayahnya, rela menggantikan tugas sementara ayahnya sebelum rapat pimpinan direksi yang akan dilaksanakan bulan depan. Menunggu ayahnya selesai membaca dokumen yang ia bawa, Rafandra lebih mementingkan pesan yang dikirimkan oleh istrinya. Pesan ringan, hanya seputar keinginan istrinya yang aneh. "Kayana lagi rewel?" tanya Wirautama mengintip dari balik kacamatanya. Rafandra mengangguk. "Biasa, itu. Minta apa dia sekarang?" "Minta belikan croffle, cromboloni. Makanan aneh, Pa. Pasti ujung-ujungnya Rafa yang makan," keluh Rafandra. "Ya enggak apa-apa. Yang penting istri kamu senang, anak kamu juga." Rafandra hanya mengangguk-angguk sambil memainkan ponselnya. "Papa enggak pulang? Udah jam makan siang. Mama bilang jangan terlalu banyak kerja." Rafandra berdiri dari duduknya, mengambil doku
Pagi sekali sepasang suami istri itu bangun. Baru saja menapakkan kaki mereka di dapur, keduanya sudah disambut suara pekikan Alyssa yang sedang mengkomandoi asisten rumah tangga yang akan memasak sarapan pagi itu. "Jangan kebanyakan gula. Kalau bisa, tomatnya ditambah." asisten rumah tangga itu hanya diam saja sambil mengangguk pelan. "Kayana tidak suka manis. Nanti bikin tehnya dibuat lebih kental sedikit." "Iya Bu." Saatnya Alyssa kembali ke ruang makan. Sudah ada Kayana dan Rafandra yang duduk manis berbincang satu sama lain. Kayana terlihat segar dengan rambut basahnya. Begitu pula Rafandra yang sejak tadi mengusak-usak rambut sang istri. Keduanya tampak akur tak seperti biasanya. "Tumben keramas pagi-pagi," sindir Alyssa. Sedikit berdehem, ia bertanya lagi pada keduanya. "Tadi malam habis berbuat yang enak-enak ya?" Alyssa terkekeh hingga membuat wajah Kayana memerah. Ia menoleh ke sebelahnya, Rafandra juga ikut terkekeh karena membayangkan kejadian tadi malam. Kayana yang
"Aku mau pulang ke rumah ibu. Mau liburan di sana." Kayana merajuk. Sejak pulang dari rumah sakit dan berjalan-jalan sebentar di sekitar area mall, rupanya tak membuat mood kesayangan Rafandra itu membaik. Apalagi, saat di resto tadi dirinya bertemu dengan Sonia secara tak sengaja dengan sikap sok centilnya. Seketika hancurlah semua niat dirinya yang ingin bermanja-manja dengan sang suami. "Besok ya. Aku antar ke rumah ibu." Rafandra mencoba bersikap sabar menghadapi ibu hamil yang sering meraung-raung tak jelas seperti Kayana. Persediaan sabarnya harus lebih dari hari biasa. "Terus, kamu nginep di sana enggak?" Rafandra menggelengkan kepalanya. "Kenapa? Kamu tega ninggalin aku sendirian kalau malam?" Rafandra menepuk dahinya. Memang serba salah menjawab pertanyaan dari Kayana saat ini. "Aku kan kerja—" "Kalau kamu kerja, memangnya ada larangan tinggal di rumah aku? Kamu jahat, Rafa. Kamu enggak sayang lagi sama aku." Kayana mulai merengek. Air matanya menetes melalui pipinya ya
Rafandra menyempatkan diri datang ke rumah sakit bertemu dengan ayahnya yang masih dirawat di sana. Dirinya datang tidak hanya sendiri, bersama dengan Kayana tentunya. Baru saja ia masuk, mata ayahnya telah memindainya dari jarak jauh seolah dirinya adalah seorang penjahat. Memang seperti itulah Wirautama jika sedang mengintai seseorang. "Pa, biasa aja lihatin Rafa." risih, Rafandra menegur ayahnya. Kayana yang mengekor di belakang mengucapkan salam lalu mencium tangan ayah mertuanya. "Papa udah sembuh belum sih?" "Dasar anak durhaka. Tuh istri kamu saja cium tangan, kamu malah melengos." Wirautama memukul lengan Rafandra pelan, namun anaknya itu berlagak kesakitan. "Bagaimana dengan Sonia? Berhasil dipindahkannya?" Rafandra menggedikkan bahunya. "Papa kenapa bikin peraturan seperti itu sih? Kenapa Sonia dimasukkan ke dalam tim pengembangan juga?" "Dia bagus, idenya selalu menarik dan public speakingnya selalu didengar oleh investor. Apa salahnya kalau kita masukkan dia ke dalam t