Satu bulan berjalan, Rafandra sudah jarang bertemu dengan Kayana. Dirinya kini tengah sibuk dengan berbagai proyek yang harus dikerjakan dalam waktu singkat. Rafandra bahkan hampir lupa dengan misinya mendekati Kayana. Di lain pihak, Kayana merasa ada yang aneh dengan hidupnya. Ada rasa kosong yang ia rasakan, tak ada ketenangan lagi. Entahlah, ini semua karena siapa. Kayana terdiam di depan jendela kantornya yang menghadap ke jalan raya. Hari masih sore, tapi isi kepalanya menyuruhnya untuk pulang cepat. Ia lelah, ingin istirahat secepatnya. Lima belas menit ia termenung, ia pun tersadar dari lamunannya. "Udah jam lima, katanya mau pulang cepat?" Abil memanggil Kayana dari balik meja kerjanya. Kayana menoleh. "Pulang sama siapa?" "Pesan taksi online," jawab Kayana malas. "Pulang sama aku saja," ajak Abil. Kayana menggelengkan kepalanya menolak ajakan Abil. "Nanti pacar kamu marah." Abil ingin bertanya sekali lagi, tapi Kayana sudah meluncur pergi dari ruangan. Sepertinya suli
Rafandra baru saja tiba di kantornya dengan selamat. Setelah kejadian semalam yang membuatnya kebingungan, kini ia juga dihadapkan pada pesan dari Kayana perihal penawarannya tadi malam. Entah dapat ilham dari mana, Kayana mengajukan penawaran yang cukup mencengangkan untuk Rafandra. Ini sungguh di luar dugaannya. "Bagaimana ini?" gumam Rafandra. "Ah, panggil Samsul. Dia kan yang punya ide ini." Menyiapkan tenaga sekuat mungkin, Rafandra pun berteriak lepas, "Samsul, sini!" Samsul yang tengah merapikan meja bergegas lari masuk ke dalam ruangan Rafandra dengan napas terengah-engah. Ia langsung berdiri menghadap atasannya itu dengan ekspresi terkejut. "Siap, Bos. Ada apa?" "Tadi malam Kayana mengajak saya untuk jadi supir pribadinya tiap pulang kerja. Menurut kamu bagaimana?" Samsul mengerutkan dahinya. Lalu matanya berkedip. "Maksudnya?" "Astaga, maksud saya tuh Kayana minta saya jemput dia tiap pulang kerja. Menurut kamu bagaimana?" Samsul menutup mulutnya dengan tangan. Mata
Tokk tokk Pintu ruangan Rafandra diketuk cukup lama dari luar. Rafandra melirik dari ujung kacamata bacanya. Biasanya, kalau tidak terlalu penting pasti asistennya akan langsung masuk ke dalam. Namun sepertinya kali ini berbeda. Samsul berulang kali mengetuk pintu sebelum akhirnya Rafandra berteriak mempersilakannya masuk. "Bos, ada—" "Rafa..." teriak Sonia yang entah sejak kapan ada di depan pintu ruangannya. Rafandra mendecih sinis. Tatapannya tertuju pada Samsul yang hanya diam menunduk. "Mau ngapain?" ketus Rafandra. "Aku kesini mau temenin kamu makan siang. Kata Tante Alyssa, kamu sering telat makan siang." Rafandra tak menyahut. Ia sibuk dengan pekerjaannya. Sedangkan Samsul masih setia berdiri di dekat Rafandra. "Samsul, nanti makan siang dimana?" tanya Rafandra. Samsul menunjuk dirinya. "Saya nanya kamu." "Saya makan di bawah seperti biasa." "Nanti saja juga kesana." Sonia mendelik. Tangannya menggebrak meja hingga pena yang tergeletak di pinggiran hampir melompat da
Kayana lupa memberitahu Muklis sore ini. Tidak masalah, karena Rafandra si pria yang sedang menyamar itu sedang menunggu sosok Kayana di lantai bawah. Sesuai petuah dari Samsul, kali ini dirinya harus menjelaskan semua yang terjadi di kantin tadi siang. Semuanya. "Jam berapa sih pulangnya?" Rafandra berdecak kesal. Ia berkali-kali melirik ke arah pintu keluar yang makin lama makin ramai pegawai berlalu-lalang. Tak sampai dua menit Rafandra melirik, dari dalam gedung keluarlah sosok Kayana yang sedang sibuk menghubungi seseorang. Rafandra dengan cepat mencari ponsel khusus nomor Muklis dan berharap jika yang dihubungi Kayana adalah dirinya. Sayangnya, bukan dia. Kayana tadi menghubungi Abil yang katanya masih ada di area parkir lantai dasar. Kata Abil, ada sedikit masalah dan dia harus menyelesaikan sesuatu di sana. Ini kesempatan Rafandra untuk menjelaskan. Ia pun turun dari dalam mobil menuju tempat Kayana berdiri. Kayana terkejut akan kedatangan sosok Rafandra yang tiba-tiba. H
Rafandra lesu. Sepulang dari kantor, ia sempat mampir terlebih dahulu ke rumah Kayana. Niatnya hanya memastikan tapi yang ia lihat malah menyakitkan hatinya. Tidak, Rafandra tidak akan menyerah. Ia hanya sedang mengatur rencana selanjutnya agar tepat sasaran. Alyssa yang mengetahui anaknya baru saja pulang, segera berlari kecil menghampirinya. Tanpa banyak tanya, ia menembak berbagai pertanyaan hingga membuat Rafandra kembali lesu tak bersemangat. "Kenapa kamu meninggalkan Sonia?" Rafandra mengangkat sebelah alisnya. Ia baru saja pulang, tapi yang ditanyakan oleh ibunya adalah orang lain. "Ish, jawab dong." Alyssa mendesaknya. "Dianterin sama supir kok. Tadi Rafandra sudah sampaikan sama Samsul." Rafandra duduk di sofa merebahkan tubuhnya, melepas lelah. Alyssa ikut duduk di sampingnya. "Kenapa bukan kamu?" "Banyak pekerjaan, Ma." Alyssa tak bertanya lagi. Matanya bergerak kiri kanan mencari kalimat yang pas untuk menanyakan sesuatu hal yang penting. "Besok minggu Sonia ulang
Dua menit saling bertatapan membuat keduanya terdiam. Rafandra alias Muklis tak dapat menahan perasaannya lagi. Jika saja bukan di tempat umum, Kayana mungkin sudah diajaknya berbuat yang tidak-tidak. Untungnya, Rafandra bukan pria yang menggunakan kesempatan dalam kesempitan.Tersadar dari lamunan, Kayana segera menegakkan tubuhnya dan berpura tak terjadi apa-apa. Senyum yang ia berikan pun terasa aneh dan canggung. Sebisa mungkin ia menepis pikiran aneh dalam kepalanya.“Uhm, kita jalan-jalan lagi yuk.” Kayana mengalihkan suasana canggung itu dengan mengajak Rafandra berjalan mengitari taman.“Tapi kepala kamu ada yang sakit?” Kayana menggelengkan kepalanya. “Syukurlah. Aku lega.”Rafandra menggandeng kembali tangan Kayana dan menggenggamnya erat. Jantung Kayana kembali berdegup kencang. Kali ini bukan karena tatapan, tapi karena genggaman tangan Rafandra yang mengisyaratkan sebuah kenyamanan.Saat ia melangkah, lirikan demi lirikan ia tebarkan hanya untuk Rafandra. Pesona pria yang
"Kayana!" Kayana yang sedang duduk manis di teras terperanjat mendengar suara Rafandra alias Muklis yang berdiri di depan pagar rumahnya. Termasuk Aruna yang juga ikut menoleh. Kayana berlari, tak lupa menggandeng tangan Aruna menghampiri Muklis yang kini membukakan pintu depan. "Mas Muklis, hari ini aku ajak Aruna ya. Dia teman aku, tempat kerjanya enggak jauh kok." Rafandra membelalakkan matanya. Sedetik ia terkejut tapi akhirnya mengangguk. "Boleh. Ayo masuk ke dalam." Kayana memilih duduk di sebelah Muklis, sedangkan Aruna di belakang. Sesekali Muklis melirik ke belakang, memastikan kalau Aruna tidak mengetahui siapa dia sebenarnya. Apalagi, dia lupa menyingkirkan kemeja dan jas yang terpajang di kursi belakang. "Mas Muklis, ini punya mas?" tunjuk Aruna. Muklis alias Rafandra itu menoleh. Hal yang ia takutkan terjadi juga. "I-itu punya bos." Rafandra menjawab sekenanya. Kayana mengerutkan dahinya dan ikut menoleh ke belakang untuk memastikan. "Sejak kapan, Mas Muklis?" ta
Rafandra mengetuk berkali-kali meja di ruangan rapat sambil memainkan bibirnya maju mundur. Tatapannya tertuju pada jam dinding yang sebentar lagi jarum panjangnya menunjuk ke angka dua belas. Tepat lima menit lagi, pukul lima. Dirinya sudah tak sabar untuk menjemput Kayana di gedung sebelahnya."Rapatnya masih lama?" bisik Rafandra pada sekretarisnya. "Sebentar lagi pak Rafa." Rafandra berdecak kesal. Sekali lagi ia menatap jam dinding dengan gelisah. Tak sadar dirinya menggigit pena yang ia pegang sejak tadi. Berharap dalam hati agar rapat cepat selesai. "Untuk rapat hari ini cukup sekian dan terima kasih. Mungkin ada tambahan dari pak Rafa?" Semua mata memandang ke arah Rafandra. Pria muda itu menggelengkan kepalanya. Secepat kilat ia meluncur ke luar ruangan setengah berlari, entah kemana. Samsul yang melihatnya hanya bisa menggelengkan kepala. Tak habis pikir dengan kelakuan bosnya. Di dalam ruangan, Rafandra membuka jas dan kemejanya lalu menggantinya dengan pakaian sederha