Ikosagon menyadari akan kebodohannya. Seharusnya ia langsung melepaskan Theona, alih-alih terpana akan kecantikan wajah tanpa perona itu.
"Terima kasih," kata Theona sambil mengulas senyuman. "Lain kali hati-hati. Kalau kau sampai jatuh ke bawah bagaimana," balas Ikosagon sambil mengedip-ngedipkan mata berusaha mengalihkan kecanggungan. Pria itu melangkah menuruni anak tangga lebih dulu. Ia tidak ingin terus berada di dalam kecanggungan menuruti detak jantungnya yang bodoh. "Iya. Lain kali aku akan lebih berhati-hati." Theona tersenyum dengan hati yang berbunga-bunga. Tentu saja karena ia mendapat perhatian dari Ikosagon. Kemudian, ia melangkah cepat untuk mensejajarkan langkahnya dengan pria itu. Namun lagi-lagi, kakinya menginjak anak tangga tidak benar dan hampir terjatuh. "Aww!" pekik Theona kesakitan. Beruntung tangannya bereaksi cepat dengan memegang gagang besi penjagaan. Kalau tidak mungkin ia akan jatuh di punggung Ikosagon. "Belum ada satu menit kau sudah mau jatuh lagi. Dasar ceroboh!" ujar Ikosagon sambil menggelengkan kepalanya pelan. "Kalau aku jatuh 'kan masih ada kau yang akan menolongku," balas Theona enteng. Entah mengapa, Theona merasa nyaman berbicara santai dengan Ikosagon. Mungkinkah karena sikap sang suami tidak sedingin sebelumnya? "Jangan menjadi wanita yang mudah bergantung pada laki-laki. Aku paling tidak suka wanita lemah," ujar Ikosagon seolah memberi petunjuk pada Theona. "Benarkah kau tidak suka wanita yang mudah bergantung pada laki-laki?" Theona memiringkan kepalanya menata Ikosagon meminta jawaban, "Bukankah setiap laki-laki menginginkan wanitanya bergantung padanya?" imbuh Theona karena tak mendapat jawaban. Dulu ketika ia belajar mandiri, sang kekasih melarangnya keras. Pria itu ingin Theona bergantung padanya. Ingin agar Theona selalu mengatakan apa pun padanya hal sekecil apa pun yang Theona butuhkan. "Ya, aku pun begitu," balas Ikosagon menghentikan langkahnya dan menatap Theona sekilas. Kemudian, ia kembali melanjutkan langkahnya menuju dapur. "Sebenarnya kau suka wanita mandiri atau tidak?" tanya Theona dengan nada mengeluh. "Aku suka wanita mendiri, tetapi aku tidak suka jika wanita itu wanitaku. Aku ingin wanitaku selalu bergantung padaku. Berhubung kau bukan wanitaku, jadi aku ingin kau menjadi wanita mandiri," jelas Ikosagon serius. Ia pikir, apa gunanya memiliki seorang wanita jika ia tidak dibutuhkan. Segala sesuatunya dilakukan sendiri dan ia tidak bisa melakukan apa pun untuknya. Theona menghela nafas berat dan menunjukkan wajah murung. Bahkan Ikosagon bisa melihat dengan jelas raut kekecewaan di wajah wanita itu. "Tidak bisakah wanita itu aku? Aku akan menjadi istri yang baik untukmu," pinta Theona dalam hati. Ingin sekali ia mengatakan hal itu. Namun, hanya sampai di tenggorokannya saja dan lidahnya langsung terasa kelu. "Kenapa? Apa kau keberatan?" tanya Ikosagon sambil menarik kursi meja makan. "Tidak," sahut Theona lesu. Wanita itu lekas mencari sesuatu di lemari pendingin. Ia hanya melihat beberapa botol air mineral dan beberapa butir telur di dalamnya, lalu beralih mencari di setiap lemari penyimpanan. Ia berharap ada mie instan di dalamnya. "Ini dia," ujar Theona berbinar. Mendengar suara Theona yang cukup mengejutkannya membuat Ikosagon menoleh. Ia melihat wanita itu kesulitan meraih mie instan. Kemudian, ia meletakkan ponselnya di meja. Ia lekas beranjak berdiri dan melangkah mendekat. "Astaga! Kenapa sulit sekali diambil?" gumam Theona. Tiba-tiba, ia melihat tangan kekar melintas dan meraih mie instan. Ia menoleh ke belakang dan menatap Ikosagon lekat. Tingginya yang sebatas bahu sehingga wajahnya menempel pada dada bidang pria itu. "Dasar pendek! Ambil barang setinggi ini saja tidak bisa," kata Ikosagon sambil menepuk lembut puncak kepala Theona. "Bukan aku yang pendek, tapi kau yang terlalu tinggi," sanggah Theona tidak terima. Tinggi badan Theona sekitar seratus enam puluh sentimeter, sedangkan Ikosagon sekitar seratus delapan puluh lima sentimeter. Jadi, tinggi badan Theona sebatas bahu hingga leher Ikosagon. "Ngeles saja bisanya." Ikosagon mengulurkan tangannya menyodorkan dua bungkus mie instan. "Dasar bawel!" umpat Theona. "Berani?" Wajah Ikosagon memerah sambil menggertakkan giginya. "Tidak. Sudah sana duduk," sahut Theona sambil mendorong tubuh Ikosagon ke arah meja makan. Ikosagon pun kembali duduk dan memainkan ponselnya. Ia sama sekali tidak sadar ada yang sibuk memperhatikannya. Tentu saja karena pria itu sibuk menggulir pesan masuk di emailnya. Banyak sekali pekerjaan yang sekretarisnya kirim. Jadi, ia tidak tahu ada yang memperhatikan dan hanya fokus memeriksa laporan dan menandatanginya. "Mie instan ala Theo sudah jadi," kata wanita itu sambil meletakkan dua mangkuk di meja. Aroma mie instan dipadukan dengan telur menyeruak di indera penciuman Ikosagon. Entah sudah berapa lama ia berkecimpung dengan pekerjaannya sampai-sampai tidak sadar bahwa Theona sudah selesai memasak. "Kenapa hanya dilihat? Kenapa tidak langsung dimakan?" tanya Theona heran. Ikosagon menelan salivanya melihat Theona menyeruput mie panjang. Sontak, ia lekas menarik mangkuk mie instan miliknya dan langsung menikmatinya. "Sayang sekali tidak ada sawi dan cabai. Pasti rasanya akan sangat enak," gumam Theona mengeluh. "Apa kau tidak menyukainya?" tanya Ikosagon dengan raut yang tidak bisa dijelaskan. Belum sempat menjawab, Ikosagon sudah merebut mangkuk mie Theona. "Hei! Itu milikku dan aku baru memakannya beberapa suap saja," protes Theona. "Aku sangat lapar dan kau bisa membuatnya lagi," sanggah Ikosagon memakan mie instan milik Theona dengan lahap. "Tapi aku sudah memakannya." Theona menatap mangkuk kosong milik Ikosagon. Ia tidak berpikir Ikosagon akan memakan makanan yang sudah ia makan. Terlebih pria itu menggunakan sendok yang sudah ia gunakan. Padahal yang ia tahu, orang kaya selalu lebih higienis, dan tidak pernah memakan makanan sisa orang lain. "Tidak apa-apa. Bukankah kita sudah berciuman? Jadi, untuk apa aku merasa jijik?" sanggah Ikosagon membuat Theona membeku. Mengingat adegan ciuman panas sebelumnya membuat pipi Theona memanas. Apalagi pemikiran pria itu yang tidak keberatan memakan makanan miliknya dan menggunakan sendok yang telah ia gunakan. Namun, kebahagiaannya seketika hancur mengingat sang suami tidak mencintainya melainkan mencintai wanita lain. "Kenapa? Apa kau marah aku memakan mie instan milikmu?" tanya Ikosagon dengan mulut penuh makanan. "Ah, tidak. Kau boleh menghabiskannya dan aku akan membuat lagi," balas Theona terkejut dari lamunannya. "Baiklah." Ikosagon melanjutkan aktivitasnya dan Theona beranjak berdiri. Wanita itu mengedarkan pandangan terlihat sedang mencari sesuatu. "Apa yang kau cari?" tanya Ikosagon penasaran. "Tidak ada," sahut Theona. Wanita itu meraih bangku dan meletakkannya tepat di bawah lemari penyimpanan mie instan. "Apa yang kau lakukan, Theo?" tanya Ikosagon lagi, tetapi tak mendapat balasan. Ia hanya melihat Theona mulai naik bangku itu dan sudah bisa menebak apa yang akan istrinya lakukan. Ia menuang air minum dan meneguknya perlahan, lalu mendekat ke arah sang istri. "Kenapa kau tidak meminta bantuanku saja?" tanya Ikosagon heran. "Astaga!" Theona cukup terkejut dan menoleh ke belakang. Pijakan kaki Theona tidak benar dan terjatuh. Beruntung Ikosagon langsung menangkapnya. Namun, manik mata mereka berdua kembali bertemu seperti kecelakaan sebelumnya. Debaran-debaran aneh pun kembali menyergap keduanya. "Sial! Sebenarnya ada apa denganku?" batin Ikosagon mengumpat. Pria itu kembali dilanda kebingungan. Bertanya-tanya pada dirinya sendiri tentang apa yang membuat jantungnya begitu tidak terkendali setiap kali di dekat Theona.Theona terlihat gelagapan. Sebenarnya ia merasa senang berada dalam posisi itu. Namun, ia tidak boleh memanfaatkan situasi dan membuat Ikosagon semakin membencinya."Te-terimakasih," kata Theona terbata."Lain kali kau boleh memanggilku jika mengalami kesulitan. Apalagi tinggi badanmu yang ..." Ikosagon menghentikan kata-katanya dan tersenyum."Ternyata kau bisa tersenyum juga. Menurutku, kau lebih tampan jika tersenyum," kata Theona begitu terpana melihat senyum menawan Ikosagon.Sejak awal, ia tidak pernah melihat Ikosagon tersenyum. Ekspresi wajah pria itu selalu dingin dan terkadang cenderung menakutkan. Apalagi ketika sedang marah dan mengejeknya."Aku tersenyum? Jangan mengarang cerita kau, Theo," sangkal Ikosagon."Ya, sepertinya aku memang mengarang," kata Theona menahan senyumnya."Apa kau tersenyum, Theo?" tanya Ikosagon dingin."Ah, tidak-tidak. Aku sangat lapar dan aku mau masak mie instan lagi." Theona beranjak pindah melihat kemarahan di manik mata bulat pria itu.Ikosag
Tatapan mata dan raut wajah Ikosagon semakin menakutkan. Senyumannya membuat Theona merinding dan hampir jatuh terjengkang ke belakang karena ketakutan. Beruntung Ikosagon langsung bergerak cepat dan menarik tangannya kuat-kuat. Namun, posisi mereka justru menjadi canggung. Posisi di mana Theona berada di dekapan Ikosagon dan mendengar suara debaran jantung pria itu yang tidak kalah menggebu dari debaran jantungnya. "I-ini? Aroma tubuh ini?" Theona menghirup dalam-dalam aroma tubuh Ikosagon. Ia merasa pernah merasakan aroma itu, tetapi ia tidak tahu di mana. "Ah iya, aku ingat. Sebelumnya 'kan kita pernah tidur bersama di pagi pertama. Jadi aku menjadi hafal aroma ini," batin Theona bersemangat. Ia sama sekali tidak sadar bahwa aroma itu adalah aroma pria yang pernah menodainya. Pria yang pernah merenggut kesuciannya dengan cara paksa. Theona mengangkat kepalanya bertepatan dengan Ikosagon yang menundukkan kepalanya. Kini, dua pasang mata itu saling bertatapan. Entah sudah be
"Harusnya aku yang tanya, apa yang kau katakan pada Bi Sudan? Apa kau mengadu kalau aku memintamu meminum obat peluruh janin?" Theona terbelalak tidak percaya. Bagaimana mungkin Ikosagon menuduhnya mengadu yang tidak-tidak pada Bi Sudan? Memangnya ia pikir Theona anak kecil yang masih mengadukan keluh kesahnya pada orang yang lebih tua."Kenapa kau diam saja? Apa benar yang aku katakan, huh?" Ikosagon melangkah maju dan mencengkeram dagu Theona kuat-kuat."Tidak. Aku tidak mengatakan apa pun pada Bi Sudan," sanggah Theona tegas. Ia menatap manik mata hitam nan bulat milik Ikosagon yang terlihat sangat menakutkan itu."Tidak kau bilang? Hahaha ... Lalu, kenapa kau menangis di depan Bi Sudan? Kau pikir aku bodoh, huh? Kau pikir aku anak kecil yang bisa dibodoh-bodohi? Tidak, Theo!" Pria itu tertawa seperti seorang iblis yang sedang mempermainkan musuhnya.Ia menghempaskan tangannya kuat-kuat dan tubuh Theona terdorong ke belakang. Dengan tatapan tajam dan wajah yang memerah, dada Theon
Theona berusaha mengendap-endap masuk ketika resepsionis sedang tidak fokus. Ia berencana masuk ke dalam dan mencari ruangan Ikosagon sendiri. Namun sayangnya, ia ketahuan resepsionis dan diancam akan memanggil petugas keamanan. Daripada ia diseret keluar dan tidak ada yang bisa membantunya, lebih baik ia pergi saja.Akhirnya, ia berencana untuk pulang dan akan menerima apa pun yang akan Ikosagon lakukan padanya."Theona? Kau benar-benar Theona istri Osa, 'kan?" tanya seorang pria."I-iya, aku Theo. Maaf kau siapa?" Theona mengerutkan keningnya merasa tidak mengenali pria itu. Namun, ia merasa pernah melihat dan wajahnya terasa tidak asing."Aku Sky, sepupu Osa. Kau kenapa di sini dan tidak masuk? Apa ada masalah?" Skywara melihat Theona yang mondar-mandir di lobby. Ia pikir, wanita itu sedang mengalami masalah.Sebelumnya, Theona memang pernah melihat Keluarga Candramawa lainnya termasuk Skywara. Namun, ia tidak terlalu memperhatikan karena waktu yang cukup singkat."Sebenarnya aku m
"Kau?" geram Ikosagon sambil menggertakkan giginya. Bagaimana bisa ia ketahuan tersenyum di depan orang lain? Ya, meskipun orang itu adalah Skywara, sepupunya sendiri. Namun, tetap saja hal itu akan menjadi bahan olokan. Apalagi Skywara tipe pria yang suka sekali membuatnya kesal dengan tingkah konyolnya.Skywara melangkah masuk ke dalam. Pria itu menatap Ikosagon dengan ekspresi yang sangat menyebalkan. "Kenapa? Apa kau takut kalau aku akan mengumbar tentang kejadian langka ini?" tanya pria itu sambil menunjukkan seringaian tipisnya. Pria itu duduk di sofa sambil melipat kakinya."Ada urusan apa kau datang kemari? Kalau tidak ada urusan apa-apa, lebih baik kau pergi karena aku dan Theo mau makan siang," tanya Ikosagon berusaha mengalihkan perhatian.Ia benar-benar malas meladeni sepupunya itu. Meskipun ia yakin ada tujuan tertentu, tetapi ia tidak ingin berlama-lama dalam situasi yang hanya akan mempermalukannya saja."Tentu saja ada. Aku ingin membahas masalah pekerjaan. Jadi, bisa
Theona membeku dengan manik mata terbelalak. Ia tidak menyangka Ikosagon akan bertanya sekaligus berbuat. Ia mengedip-ngedipkan matanya dan tersadar. Lalu, ia mendorong pria itu menjauh darinya."Apa yang kau lakukan, Osa?!" sentak Theona.Entah mengapa, ia seperti mainan yang bisa dimainkan sesuka hati. Mainan yang bisa dimainkan di kala bosan dan akan dibuang di saat pria itu teringat akan mainan kesukaannya."Memangnya apa yang aku lakukan? Bukankah aku sedang bertanya padamu?" Bukan sebuah jawaban yang Ikosagon lontarkan, tetapi balas melempar pertanyaan."Cukup, Osa! Jangan menyentuhku lagi!" seru Theona dengan manik mata yang membola. Sumpah demi apa pun, Theona tidak bisa percaya dengan sikap Ikosagon yang seperti ini. Kalau pria itu mencintai wanita lain dan tidak bisa menerimanya sebagai istri, lalu kenapa selalu berbuat seenaknya seperti ini?"Kenapa jangan?" tanya Ikosagon malas. Pria itu menghempaskan tubuhnya di sofa dan menyandarkan tubuhnya."Kau masih tanya kenapa? As
Theona mendorong tubuh Ikosagon kuat-kuat hingga pria itu hampir terjengkang ke belakang. "Sudah kubilang jangan sentuh aku lagi!" seru Theona kesal.Belum lama ia mengatakannya pada Ikosagon. Mungkin baru ada lima sampai sepuluh menit dan pria itu sudah mengulanginya lagi. Sepertinya telinga dan wajah pria itu sangat tebal sampai-sampai bersikap seolah tidak tahu."Astaga, Theo! Kau yang menggodaku dan kau juga yang menolakku," kata Ikosagon tersenyum kecut.Berkali-kali ia mengingatkan agar Theona menutup mulutnya, tetapi wanita itu terus mengabaikan seruannya. Sekarang giliran disuruh tanggung jawab malah marah."Siapa juga yang menggodamu?" tanya Theona malas. Sejak kapan ia mulai menjadi wanita penggoda. Apalagi di depan suami menjengkelkan seperti Ikosagon. Yang ada bukannya senang, ia justru dirugikan baik secara fisik maupun hatinya."Sejak tadi kau menggodaku, Theo bodoh," balas Ikosagon kesal."Sejak tadi kapan? Sudah jelas-jelas aku tidak menggodamu," tanya Theona memeloto
"Astaga, Theo! Apa kata orang kalau mereka sampai tahu istri seorang Osa bekerja di luaran sana," ujar Ikosagon frustasi.Bagaimana mungkin ia membiarkan istrinya bekerja? Bukankah hal itu bisa membuat reputasinya dan keluarganya hancur? Ia tidak boleh mencoreng namanya hanya demi menuruti keinginan konyol Theona. "Biarkan saja orang mau berkata apa yang penting aku nyaman. Lagi pula, kau bisa menjelaskan pada mereka kalau aku yang menginginkannya. Bila perlu, kau katakan pada mereka kalau aku yang memaksa," sanggah Theona menggebu.Apa peduli mereka. Yang penting ia bisa bekerja dengan nyaman. Yang penting ia tidak akan merasa bosan karena setiap hari harus berada di rumah tanpa melakukan aktivitas apa pun.Mendengar ucapan Theona membuat Ikosagon kesal. Pria itu membanting sendok ke tempat makan dengan keras. Ia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. "Memangnya kalau aku izinkan, kau mau bekerja di mana?" tanyanya berusaha sabar sambil mengeratkan giginya."Phoeni