Theona menatap Ikosagon sendu. Mengingat kisah yang ibu mertuanya ceritakan membuatnya sedikit tidak percaya. Bagaimana bisa pria seperti Ikosagon bisa menjadi hancur hanya karena kehilangannya?"Kenapa? Apa kau tidak mau memberiku kesempatan?" Ikosagon mengangkat kepalanya menatap Theona serius."Tidak. Aku akan memberimu satu kesempatan lagi untuk memperbaiki segalanya. Jadi, seandainya sikapmu masih seperti yang dulu. Maaf, aku tidak bisa terus-menerus berada di sampingmu dan terpaksa harus pergi seperti sebelumnya," balas Theona menggebu."Apa kau serius?" tanya Ikosagon tidak percaya."Ya, sangat-sangat serius," sahut Theona mantap.Mendengar jawaban yang Theona lontarkan membuat Ikosagon berlari dan mendekap tubuh istrinya erat. Ia merasa, kebahagiaannya kali ini terasa lebih lengkap."Terimakasih banyak, Sayang, terimakasih. Aku janji tidak akan pernah menyakitimu lagi. Aku janji akan selalu membahagiakanmu," ujar Ikosagon tersenyum bahagia sekaligus lega."Hentikan, Osa! Aku b
"Sayang, bangun. Ayo kita pindah ke kamar!" Ikosagon merengek sambil mengecupi telinga istrinya. Berkali-kali ia berusaha membangunkan, tetapi sang istri tak kunjung bangun dan justru terlihat sangat pulas."Yang? Sayang?" rengek Ikosagon.Sambil menguap dan merentangkan kedua tangannya, perlahan Theona membuka mata. "Alpha sudah tidur?" tanyanya pada sang suami."Sudah. Ayo kita ke kamar!" balas Ikosagon bersemangat."Alpha bagaimana?" tanya Theona tidak tega meninggalkan putranya sendirian."Nanti kalau sudah selesai, kita balik lagi ke sini," sahut Ikosagon bersemangat.Theona mengangguk berencana untuk bangun dan turun. Akan tetapi, Ikosagon tidak membiarkannya begitu saja. Pria itu langsung bergerak cepat dengan mengangkat tubuh rampingnya ala pengantin. Kemudian, ia lekas membawa Theona keluar dan menuju kamarnya."Apa kau sudah benar-benar sembuh?" tanya Theona khawatir. Pasalnya, ia merasakan suhu tubuh suaminya yang masih lumayan panas."Iya. Aku hanya butuh waktu berdua deng
"Lepas! Lepaskan aku! Lepaskan aku!" Theona berontak ketika pengawal ibu tirinya menyeretnya masuk ke rumah.Rasanya percuma saja meski sudah berusaha keras kabur. Lagi-lagi, Marry mampu menemukannya padahal dia sudah merasa bersembunyi di tempat yang paling aman."Bawa dia ke kamar. Kalau sampai kalian kelolosan lagi ... nyawa kalian yang akan jadi taruhannya." Marry mengancam anak buahnya dengan manik mata membola."Baik, Nyonya," balas bodyguard tegas."Tidak, aku tidak mau! Aku tidak mau dinikahkan dengan pria tua!" teriak Theona masih berusaha melepaskan diri.Theona dibawa ke lantai dua di mana kamarnya berada. Wanita itu dilempar hingga tersungkur di lantai, lalu bergegas meringkuk di dekat tempat tidur. Meskipun tubuhnya sangat basah dan kotor, ia sama sekali tidak berniat untuk membersihkan diri. Lagi pula, hidupnya sudah berakhir.***Keesokan harinya, Theona dibawa ke rumah mewah bergaya Eropa dengan pilar-pilar besar di beberapa pintu. Ia dibawa masuk ke sebuah kamar dan d
"Kalau aku tidak mau bagaimana?" tanya Theona tersenyum miring."Apa kau bilang?" Ikosagon menggertakkan gigi dengan manik mata membola, "Kalau kau tidak mau mendengarkan perintahku, akan ku buat kau menyesal," lanjutnya balas tersenyum menyeringai."Baiklah-baiklah, aku mengerti. Tapi aku akan membersihkan riasanku lebih dulu." Mau tidak mau, Theona menuruti untuk suaminya.Selesai membersihkan wajah, Theona langsung pergi ke ruang ganti. Tidak lama kemudian, ia kembali dan langsung membaringkan tubuhnya di samping Ikosagon."Astaga, Theo! Apa yang kau lakukan di sini?!" tanya Ikosagon frustasi."Aku mau tidur, Osa. Memangnya apa yang akan orang lakukan di atas tempat tidur semalam ini kalau bukan tidur?" sahut Theona heran."Aku tahu kau mau tidur, tapi tempat tidurmu bukan di sini melainkan di sana," kata Ikosagon sambil menunjuk ke arah sofa.Bagaimana bisa pria itu meminta istrinya tidur di sofa? Bukankah ia sangat keterlaluan memperlakukan wanita yang baru saja dinikahi itu? Har
Melihat sikap Ikosagon yang sudah mau menyentuhnya, membuat Theona memutuskan untuk mendedikasikan hidupnya pada sang suami. Namun sayangnya, setelah pergelutan panas untuk yang pertama kali, Ikosagon justru mendapati fakta bahwa Theona sudah tidak perawan lagi."Bagaimana bisa kau tidak pernah tidur dengan laki-laki lain, sedangkan selaput daramu sudah robek?" tanya Ikosagon dengan nada mengejek."Sungguh, aku ... aku tidak seperti yang kau bayangkan, Osa." Theona terlihat ragu-ragu ingin mengatakan apa yang sebenarnya terjadi padanya."Berhenti mengelak, Theo! Sepertinya keputusanku untuk memiliki anak darimu terpaksa harus dibatalkan dan sampai kapan pun, jangan pernah berharap kalau kau akan mengandung anak dariku." Raut wajah Ikosagon berubah memerah. Bola matanya nyaris melompat keluar hingga menggelinding ke lantai.Theona hanya bisa menangis. Salahnya tidak mau berkata jujur. Mungkin karena ia takut apa pun yang ia katakan tidak akan membuat suaminya percaya. Jadi, ia lebih me
Theona terpaku beberapa saat. Ia memicingkan mata melihat wajah Ikosagon yang kian mendekat. Apalagi dengan manik mata yang terpejam sempurna. Namun entah mengapa, ia ikut memejamkan mata. Perlahan ia merasakan sesuatu yang lembut dan lembab mendarat di bibirnya."Apa kau sedang berpura-pura tidak pernah berciuman?" tanya Ikosagon mengejek. Ciuman yang terasa kaku itu membuatnya kesal.Mendengar pertanyaan itu, jantung Theona seolah ingin meledak. Ia pikir, Ikosagon mau menyentuhnya karena sudah mau menerimanya. Namun nyataannya, pria itu hanya ingin menuduh dan merendahkannya saja."Kenapa kau selalu berpikir negatif tentangku, Osa? Sumpah aku belum pernah berciuman seperti itu. Aku hanya pernah berciuman sekedar menempelkan bibir saja." Dengan kecewa, Theona berusaha menjelaskan."Cih! Mana mungkin wanita yang sering bermain-main di luar dengan pria, tapi belum pernah berciuman. Kalau mau membual masuk akal sedikit. Kau pikir aku anak kecil yang bisa dibodoh-bodohi?" sanggah Ikosago
Ikosagon menyadari akan kebodohannya. Seharusnya ia langsung melepaskan Theona, alih-alih terpana akan kecantikan wajah tanpa perona itu."Terima kasih," kata Theona sambil mengulas senyuman."Lain kali hati-hati. Kalau kau sampai jatuh ke bawah bagaimana," balas Ikosagon sambil mengedip-ngedipkan mata berusaha mengalihkan kecanggungan.Pria itu melangkah menuruni anak tangga lebih dulu. Ia tidak ingin terus berada di dalam kecanggungan menuruti detak jantungnya yang bodoh."Iya. Lain kali aku akan lebih berhati-hati." Theona tersenyum dengan hati yang berbunga-bunga. Tentu saja karena ia mendapat perhatian dari Ikosagon. Kemudian, ia melangkah cepat untuk mensejajarkan langkahnya dengan pria itu. Namun lagi-lagi, kakinya menginjak anak tangga tidak benar dan hampir terjatuh."Aww!" pekik Theona kesakitan. Beruntung tangannya bereaksi cepat dengan memegang gagang besi penjagaan. Kalau tidak mungkin ia akan jatuh di punggung Ikosagon."Belum ada satu menit kau sudah mau jatuh lagi. Da
Theona terlihat gelagapan. Sebenarnya ia merasa senang berada dalam posisi itu. Namun, ia tidak boleh memanfaatkan situasi dan membuat Ikosagon semakin membencinya."Te-terimakasih," kata Theona terbata."Lain kali kau boleh memanggilku jika mengalami kesulitan. Apalagi tinggi badanmu yang ..." Ikosagon menghentikan kata-katanya dan tersenyum."Ternyata kau bisa tersenyum juga. Menurutku, kau lebih tampan jika tersenyum," kata Theona begitu terpana melihat senyum menawan Ikosagon.Sejak awal, ia tidak pernah melihat Ikosagon tersenyum. Ekspresi wajah pria itu selalu dingin dan terkadang cenderung menakutkan. Apalagi ketika sedang marah dan mengejeknya."Aku tersenyum? Jangan mengarang cerita kau, Theo," sangkal Ikosagon."Ya, sepertinya aku memang mengarang," kata Theona menahan senyumnya."Apa kau tersenyum, Theo?" tanya Ikosagon dingin."Ah, tidak-tidak. Aku sangat lapar dan aku mau masak mie instan lagi." Theona beranjak pindah melihat kemarahan di manik mata bulat pria itu.Ikosag