Share

7. Malam Pertama

Tatapan mata dan raut wajah Ikosagon semakin menakutkan. Senyumannya membuat Theona merinding dan hampir jatuh terjengkang ke belakang karena ketakutan. Beruntung Ikosagon langsung bergerak cepat dan menarik tangannya kuat-kuat. Namun, posisi mereka justru menjadi canggung. Posisi di mana Theona berada di dekapan Ikosagon dan mendengar suara debaran jantung pria itu yang tidak kalah menggebu dari debaran jantungnya.

"I-ini? Aroma tubuh ini?"

Theona menghirup dalam-dalam aroma tubuh Ikosagon. Ia merasa pernah merasakan aroma itu, tetapi ia tidak tahu di mana.

"Ah iya, aku ingat. Sebelumnya 'kan kita pernah tidur bersama di pagi pertama. Jadi aku menjadi hafal aroma ini," batin Theona bersemangat.

Ia sama sekali tidak sadar bahwa aroma itu adalah aroma pria yang pernah menodainya. Pria yang pernah merenggut kesuciannya dengan cara paksa.

Theona mengangkat kepalanya bertepatan dengan Ikosagon yang menundukkan kepalanya. Kini, dua pasang mata itu saling bertatapan. Entah sudah berapa lama dan apa yang ada di pikiran mereka masing-masing. Namun, Ikosagon mulai menatap lapar bibir Theona. Beberapa detik kemudian, ia mengecup bibir wanita itu singkat. Merasa tidak mendapat penolakan, sontak Ikosagon memejamkan matanya rapat-rapat dan melanjutkan kecupan singkat hingga memperdalamnya.

Tidak hanya memperdalam kecupan, kini Ikosagon pun mulai melepas satu per satu kain yang melekat di tubuh Theona. Merasa sudah menjadi kewajiban sebagai seorang istri, Theona sama sekali tidak menolak. Apalagi ia juga sama menginginkannya. Jadi, malam pertama setelah mereka menikah akhirnya terlaksana. Ya, meskipun pagi pertama sudah mengawali malam pertama mereka.

Keesokan harinya, Theona merasa tubuhnya remuk redam. Entah berapa kali Ikosagon memintanya lagi dan lagi. Mungkin sekitar pukul empat pagi wanita baru bisa tidur dengan nyenyak.

Saat ini, Theona membuka matanya perlahan sambil menutupinya menggunakan telapak tangannya. Cahaya matahari yang mengintip dari celah gorden cukup mengganggu. Tangannya terulur untuk mengambil ponsel di nakas. Kemudian, ia menatap layar ponselnya yang menunjukkan pukul delapan.

"Astaga, aku kesiangan!" terkejut Theona beranjak duduk.

Wanita itu reflek menutupi tubuhnya menggunakan selimut. Menundukkan kepalanya dan melihat tubuh polosnya yang terdapat beberapa jejak kepemilikan. Ia tersenyum malu membayangkan kejadian semalam.

"Apa Osa sudah mau menerimaku? Astaga, aku malu sekali." Theona menyembunyikan wajahnya yang memerah di balik selimut.

"Tiga, empat. Ya ampun! Bagaimana bisa semalam kami melakukannya sampai empat kali? Osa benar-benar luar biasa strong." Wanita itu terdiam sesaat dan memukul kepalanya sendiri, "Astaga, iya Osa. Bagaimana bisa aku bangun sesiang ini? Pasti dia sudah berangkat bekerja. Lebih baik aku siap-siap untuk berbelanja agar nanti malam bisa menyiapkan makanan untuk makan malam."

Theona lekas beranjak bangun dan dengan terburu-buru pergi ke kamar mandi. Tidak peduli betapa remuk badannya, ia tetap harus bersiap. Setelah selesai, ia pergi ke ruang ganti dan mencari pakaiannya. Ia pikir, semua isi lemarinya hanya ada lingerie. Namun ternyata masih banyak pakaian lain seperti, gaun, setelan, dan pakaian santai.

Wanita itu tersenyum dan meraih salah satu gaun lengan pendek dengan panjang di bawah lutut. Gaunnya berwarna putih susu dan terlihat sangat cocok dipadukan dengan kulit tubuh Theona yang seputih kapas.

"Kau memang selalu terlihat cantik dengan pakaian apapun, Theo," puji Theona sambil menatap pantulan dirinya di depan cermin.

Wanita itu berjalan sambil bersenandung. Kemudian, tatapan matanya berbinar melihat deretan sepatu hak tinggi dengan berbagai ukuran. Cantik sekali. Namun sayangnya, Theona meraih sepatu kets berwarna putih alih-alih sepatu hak tinggi.

"Terima kasih, Mami. Jauh setelah Mama meninggal, baru pertama kali Theo diperlakukan seperti seorang anak," batin Theona sambil menatap seluruh isi ruang ganti. Ia memilih tas kecil dan keluar dari ruang ganti.

Setelah ibunya meninggal dan ayahnya menikah lagi. Theona selalu diperlakukan tidak adil. Apa pun yang ia inginkan selalu didapatkan atas kerja kerasnya sendiri. Sedangkan saudara tirinya selalu mendapatkan apa pun yang ia inginkan. Hanya perlu menyebutnya saja sudah langsung dituruti.

"Ah iya, handphone."

Teringat akan ponselnya, Theona berbalik ke arah tempat tidur dan meraih ponselnya. Melihat tempat tidur yang berantakan membuatnya merapikannya terlebih dahulu.

"Apa ini?" Tangannya terulur meraih selembar kertas dan satu butir obat di nakas.

"Jangan lupa minum obatnya." Itulah isi surat yang Ikosagon tinggalkan.

Wanita itu tahu betul obat apa yang Ikosagon maksud. Meskipun semalam pria itu sudah mau tidur dengannya, tapi ternyata masih belum bisa menerimanya. Pria itu masih belum mau memiliki anak dengannya. Sambil menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang, Theona menghela nafas berat. Ia meremas obat dan surat itu kuat-kuat.

"Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah meminum obat ini," ujar Theona penuh tekad. Ia melemparkan obat dan surat itu ke dalam tempat sampah.

Tidak peduli seberapa keras Ikosagon menolak memiliki anak dengannya. Theona bersikeras untuk memiliki anak. Sama seperti sebelumnya, ia membuang obat itu tanpa sepengetahuan Ikosagon. Sebelumnya ia memang memasukkannya ke dalam mulut, tetapi setelah Ikosagon masuk ke dalam kamar mandi, ia lekas membuangnya ke dalam tempat sampah.

"Oke, Theo. Lupakan masalah pagi ini dan kau harus pergi ke supermarket untuk membeli bahan makanan," ujar Theona beranjak berdiri dan melangkah keluar.

"Pagi, Non," sapa Bi Sudan.

"Bibi?" terkejut Theona.

Baru saja keluar kamar dan menutup pintu, ia sudah dikejutkan dengan keberadaan Bi Sudan di sana.

"Iya, Non, ini bibi," jawab Bi Sudan.

"Bagaimana bisa?" tanya Theona tidak percaya.

"Nyonya Hexa dan Tuan Lake yang mengantar Bibi ke sini," jelas Bi Sudan.

"Mami sama Papi?" Theona benar-benar terkejut dengan manik mata yang membola.

"Iya, Non. Tadi pagi Bibi di panggil Tuan dan Nyonya disuruh bersiap. Setelah itu, bibi diantar ke rumah Nyonya Hexa dan Tuan Lake. Terus bibi diantar ke sini untuk membantu Non Theo," jelas Bi Sudan.

"Jadi, Mami sama Papi yang minta Bibi buat bantu Theo di sini?" tanya Theona memastikan.

"Betul, Non," jawab Bi Sudan mengangguk mantap.

Manik mata Theona berkaca-kaca. Ia benar-benar terharu dengan semua kebaikan ayah dan ibu mertuanya. Tidak hanya memperlakukannya seperti anak sendiri, membelikan pakaian, tas, dan sepatu. Mereka juga mengirim Bi Sudan untuk membantunya mengurus rumah.

"Non Theo, kenapa menangis?" tanya Bi Sudan khawatir.

Theona hanya menggeleng tanpa menjawab. Kemudian, ia dikejutkan dengan suara pria yang baru-baru ini memenuhi hatinya.

"Bibi boleh turun dulu. Ada yang mau saya bicarakan dengan Theo," kata Ikosagon

Bi Sudan menoleh ke belakang dan menundukkan kepalanya. "Baik, Tuan." Wanita itu menatap Theona sekilas, "Bibi pamit ke bawah dulu ya, Non," imbuhnya.

"Iya, Bi," sahut Theona.

Ikosagon terus menatap punggung Bi Sudan sampai tidak terlihat. Kemudian, ia menyentuh tangan Theona dan menariknya ke dalam kamar. Raut wajahnya yang memerah terlihat sedang menahan amarah. Entah kesalahan apa yang telah Theona perbuat.

"Aww! Sakit, Osa, lepasin!" pekik Theona sambil berusaha melepaskan tangan Ikosagon.

Pria itu tidak menghiraukan dan justru semakin keras mencengkeram kuat tangan Theona. Setelah itu, ia menghempaskan tangannya hingga Theona jatuh tersungkur di atas tempat tidur.

"Apa yang kau lakukan, Osa?" tanya Theona heran. Ia mengusap pergelangan tangannya yang terasa sakit.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status