Tatapan mata dan raut wajah Ikosagon semakin menakutkan. Senyumannya membuat Theona merinding dan hampir jatuh terjengkang ke belakang karena ketakutan. Beruntung Ikosagon langsung bergerak cepat dan menarik tangannya kuat-kuat. Namun, posisi mereka justru menjadi canggung. Posisi di mana Theona berada di dekapan Ikosagon dan mendengar suara debaran jantung pria itu yang tidak kalah menggebu dari debaran jantungnya.
"I-ini? Aroma tubuh ini?" Theona menghirup dalam-dalam aroma tubuh Ikosagon. Ia merasa pernah merasakan aroma itu, tetapi ia tidak tahu di mana. "Ah iya, aku ingat. Sebelumnya 'kan kita pernah tidur bersama di pagi pertama. Jadi aku menjadi hafal aroma ini," batin Theona bersemangat. Ia sama sekali tidak sadar bahwa aroma itu adalah aroma pria yang pernah menodainya. Pria yang pernah merenggut kesuciannya dengan cara paksa. Theona mengangkat kepalanya bertepatan dengan Ikosagon yang menundukkan kepalanya. Kini, dua pasang mata itu saling bertatapan. Entah sudah berapa lama dan apa yang ada di pikiran mereka masing-masing. Namun, Ikosagon mulai menatap lapar bibir Theona. Beberapa detik kemudian, ia mengecup bibir wanita itu singkat. Merasa tidak mendapat penolakan, sontak Ikosagon memejamkan matanya rapat-rapat dan melanjutkan kecupan singkat hingga memperdalamnya. Tidak hanya memperdalam kecupan, kini Ikosagon pun mulai melepas satu per satu kain yang melekat di tubuh Theona. Merasa sudah menjadi kewajiban sebagai seorang istri, Theona sama sekali tidak menolak. Apalagi ia juga sama menginginkannya. Jadi, malam pertama setelah mereka menikah akhirnya terlaksana. Ya, meskipun pagi pertama sudah mengawali malam pertama mereka. Keesokan harinya, Theona merasa tubuhnya remuk redam. Entah berapa kali Ikosagon memintanya lagi dan lagi. Mungkin sekitar pukul empat pagi wanita baru bisa tidur dengan nyenyak. Saat ini, Theona membuka matanya perlahan sambil menutupinya menggunakan telapak tangannya. Cahaya matahari yang mengintip dari celah gorden cukup mengganggu. Tangannya terulur untuk mengambil ponsel di nakas. Kemudian, ia menatap layar ponselnya yang menunjukkan pukul delapan. "Astaga, aku kesiangan!" terkejut Theona beranjak duduk. Wanita itu reflek menutupi tubuhnya menggunakan selimut. Menundukkan kepalanya dan melihat tubuh polosnya yang terdapat beberapa jejak kepemilikan. Ia tersenyum malu membayangkan kejadian semalam. "Apa Osa sudah mau menerimaku? Astaga, aku malu sekali." Theona menyembunyikan wajahnya yang memerah di balik selimut. "Tiga, empat. Ya ampun! Bagaimana bisa semalam kami melakukannya sampai empat kali? Osa benar-benar luar biasa strong." Wanita itu terdiam sesaat dan memukul kepalanya sendiri, "Astaga, iya Osa. Bagaimana bisa aku bangun sesiang ini? Pasti dia sudah berangkat bekerja. Lebih baik aku siap-siap untuk berbelanja agar nanti malam bisa menyiapkan makanan untuk makan malam." Theona lekas beranjak bangun dan dengan terburu-buru pergi ke kamar mandi. Tidak peduli betapa remuk badannya, ia tetap harus bersiap. Setelah selesai, ia pergi ke ruang ganti dan mencari pakaiannya. Ia pikir, semua isi lemarinya hanya ada lingerie. Namun ternyata masih banyak pakaian lain seperti, gaun, setelan, dan pakaian santai. Wanita itu tersenyum dan meraih salah satu gaun lengan pendek dengan panjang di bawah lutut. Gaunnya berwarna putih susu dan terlihat sangat cocok dipadukan dengan kulit tubuh Theona yang seputih kapas. "Kau memang selalu terlihat cantik dengan pakaian apapun, Theo," puji Theona sambil menatap pantulan dirinya di depan cermin. Wanita itu berjalan sambil bersenandung. Kemudian, tatapan matanya berbinar melihat deretan sepatu hak tinggi dengan berbagai ukuran. Cantik sekali. Namun sayangnya, Theona meraih sepatu kets berwarna putih alih-alih sepatu hak tinggi. "Terima kasih, Mami. Jauh setelah Mama meninggal, baru pertama kali Theo diperlakukan seperti seorang anak," batin Theona sambil menatap seluruh isi ruang ganti. Ia memilih tas kecil dan keluar dari ruang ganti. Setelah ibunya meninggal dan ayahnya menikah lagi. Theona selalu diperlakukan tidak adil. Apa pun yang ia inginkan selalu didapatkan atas kerja kerasnya sendiri. Sedangkan saudara tirinya selalu mendapatkan apa pun yang ia inginkan. Hanya perlu menyebutnya saja sudah langsung dituruti. "Ah iya, handphone." Teringat akan ponselnya, Theona berbalik ke arah tempat tidur dan meraih ponselnya. Melihat tempat tidur yang berantakan membuatnya merapikannya terlebih dahulu. "Apa ini?" Tangannya terulur meraih selembar kertas dan satu butir obat di nakas. "Jangan lupa minum obatnya." Itulah isi surat yang Ikosagon tinggalkan. Wanita itu tahu betul obat apa yang Ikosagon maksud. Meskipun semalam pria itu sudah mau tidur dengannya, tapi ternyata masih belum bisa menerimanya. Pria itu masih belum mau memiliki anak dengannya. Sambil menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang, Theona menghela nafas berat. Ia meremas obat dan surat itu kuat-kuat. "Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah meminum obat ini," ujar Theona penuh tekad. Ia melemparkan obat dan surat itu ke dalam tempat sampah. Tidak peduli seberapa keras Ikosagon menolak memiliki anak dengannya. Theona bersikeras untuk memiliki anak. Sama seperti sebelumnya, ia membuang obat itu tanpa sepengetahuan Ikosagon. Sebelumnya ia memang memasukkannya ke dalam mulut, tetapi setelah Ikosagon masuk ke dalam kamar mandi, ia lekas membuangnya ke dalam tempat sampah. "Oke, Theo. Lupakan masalah pagi ini dan kau harus pergi ke supermarket untuk membeli bahan makanan," ujar Theona beranjak berdiri dan melangkah keluar. "Pagi, Non," sapa Bi Sudan. "Bibi?" terkejut Theona. Baru saja keluar kamar dan menutup pintu, ia sudah dikejutkan dengan keberadaan Bi Sudan di sana. "Iya, Non, ini bibi," jawab Bi Sudan. "Bagaimana bisa?" tanya Theona tidak percaya. "Nyonya Hexa dan Tuan Lake yang mengantar Bibi ke sini," jelas Bi Sudan. "Mami sama Papi?" Theona benar-benar terkejut dengan manik mata yang membola. "Iya, Non. Tadi pagi Bibi di panggil Tuan dan Nyonya disuruh bersiap. Setelah itu, bibi diantar ke rumah Nyonya Hexa dan Tuan Lake. Terus bibi diantar ke sini untuk membantu Non Theo," jelas Bi Sudan. "Jadi, Mami sama Papi yang minta Bibi buat bantu Theo di sini?" tanya Theona memastikan. "Betul, Non," jawab Bi Sudan mengangguk mantap. Manik mata Theona berkaca-kaca. Ia benar-benar terharu dengan semua kebaikan ayah dan ibu mertuanya. Tidak hanya memperlakukannya seperti anak sendiri, membelikan pakaian, tas, dan sepatu. Mereka juga mengirim Bi Sudan untuk membantunya mengurus rumah. "Non Theo, kenapa menangis?" tanya Bi Sudan khawatir. Theona hanya menggeleng tanpa menjawab. Kemudian, ia dikejutkan dengan suara pria yang baru-baru ini memenuhi hatinya. "Bibi boleh turun dulu. Ada yang mau saya bicarakan dengan Theo," kata Ikosagon Bi Sudan menoleh ke belakang dan menundukkan kepalanya. "Baik, Tuan." Wanita itu menatap Theona sekilas, "Bibi pamit ke bawah dulu ya, Non," imbuhnya. "Iya, Bi," sahut Theona. Ikosagon terus menatap punggung Bi Sudan sampai tidak terlihat. Kemudian, ia menyentuh tangan Theona dan menariknya ke dalam kamar. Raut wajahnya yang memerah terlihat sedang menahan amarah. Entah kesalahan apa yang telah Theona perbuat. "Aww! Sakit, Osa, lepasin!" pekik Theona sambil berusaha melepaskan tangan Ikosagon. Pria itu tidak menghiraukan dan justru semakin keras mencengkeram kuat tangan Theona. Setelah itu, ia menghempaskan tangannya hingga Theona jatuh tersungkur di atas tempat tidur. "Apa yang kau lakukan, Osa?" tanya Theona heran. Ia mengusap pergelangan tangannya yang terasa sakit."Harusnya aku yang tanya, apa yang kau katakan pada Bi Sudan? Apa kau mengadu kalau aku memintamu meminum obat peluruh janin?" Theona terbelalak tidak percaya. Bagaimana mungkin Ikosagon menuduhnya mengadu yang tidak-tidak pada Bi Sudan? Memangnya ia pikir Theona anak kecil yang masih mengadukan keluh kesahnya pada orang yang lebih tua."Kenapa kau diam saja? Apa benar yang aku katakan, huh?" Ikosagon melangkah maju dan mencengkeram dagu Theona kuat-kuat."Tidak. Aku tidak mengatakan apa pun pada Bi Sudan," sanggah Theona tegas. Ia menatap manik mata hitam nan bulat milik Ikosagon yang terlihat sangat menakutkan itu."Tidak kau bilang? Hahaha ... Lalu, kenapa kau menangis di depan Bi Sudan? Kau pikir aku bodoh, huh? Kau pikir aku anak kecil yang bisa dibodoh-bodohi? Tidak, Theo!" Pria itu tertawa seperti seorang iblis yang sedang mempermainkan musuhnya.Ia menghempaskan tangannya kuat-kuat dan tubuh Theona terdorong ke belakang. Dengan tatapan tajam dan wajah yang memerah, dada Theon
Theona berusaha mengendap-endap masuk ketika resepsionis sedang tidak fokus. Ia berencana masuk ke dalam dan mencari ruangan Ikosagon sendiri. Namun sayangnya, ia ketahuan resepsionis dan diancam akan memanggil petugas keamanan. Daripada ia diseret keluar dan tidak ada yang bisa membantunya, lebih baik ia pergi saja.Akhirnya, ia berencana untuk pulang dan akan menerima apa pun yang akan Ikosagon lakukan padanya."Theona? Kau benar-benar Theona istri Osa, 'kan?" tanya seorang pria."I-iya, aku Theo. Maaf kau siapa?" Theona mengerutkan keningnya merasa tidak mengenali pria itu. Namun, ia merasa pernah melihat dan wajahnya terasa tidak asing."Aku Sky, sepupu Osa. Kau kenapa di sini dan tidak masuk? Apa ada masalah?" Skywara melihat Theona yang mondar-mandir di lobby. Ia pikir, wanita itu sedang mengalami masalah.Sebelumnya, Theona memang pernah melihat Keluarga Candramawa lainnya termasuk Skywara. Namun, ia tidak terlalu memperhatikan karena waktu yang cukup singkat."Sebenarnya aku m
"Kau?" geram Ikosagon sambil menggertakkan giginya. Bagaimana bisa ia ketahuan tersenyum di depan orang lain? Ya, meskipun orang itu adalah Skywara, sepupunya sendiri. Namun, tetap saja hal itu akan menjadi bahan olokan. Apalagi Skywara tipe pria yang suka sekali membuatnya kesal dengan tingkah konyolnya.Skywara melangkah masuk ke dalam. Pria itu menatap Ikosagon dengan ekspresi yang sangat menyebalkan. "Kenapa? Apa kau takut kalau aku akan mengumbar tentang kejadian langka ini?" tanya pria itu sambil menunjukkan seringaian tipisnya. Pria itu duduk di sofa sambil melipat kakinya."Ada urusan apa kau datang kemari? Kalau tidak ada urusan apa-apa, lebih baik kau pergi karena aku dan Theo mau makan siang," tanya Ikosagon berusaha mengalihkan perhatian.Ia benar-benar malas meladeni sepupunya itu. Meskipun ia yakin ada tujuan tertentu, tetapi ia tidak ingin berlama-lama dalam situasi yang hanya akan mempermalukannya saja."Tentu saja ada. Aku ingin membahas masalah pekerjaan. Jadi, bisa
Theona membeku dengan manik mata terbelalak. Ia tidak menyangka Ikosagon akan bertanya sekaligus berbuat. Ia mengedip-ngedipkan matanya dan tersadar. Lalu, ia mendorong pria itu menjauh darinya."Apa yang kau lakukan, Osa?!" sentak Theona.Entah mengapa, ia seperti mainan yang bisa dimainkan sesuka hati. Mainan yang bisa dimainkan di kala bosan dan akan dibuang di saat pria itu teringat akan mainan kesukaannya."Memangnya apa yang aku lakukan? Bukankah aku sedang bertanya padamu?" Bukan sebuah jawaban yang Ikosagon lontarkan, tetapi balas melempar pertanyaan."Cukup, Osa! Jangan menyentuhku lagi!" seru Theona dengan manik mata yang membola. Sumpah demi apa pun, Theona tidak bisa percaya dengan sikap Ikosagon yang seperti ini. Kalau pria itu mencintai wanita lain dan tidak bisa menerimanya sebagai istri, lalu kenapa selalu berbuat seenaknya seperti ini?"Kenapa jangan?" tanya Ikosagon malas. Pria itu menghempaskan tubuhnya di sofa dan menyandarkan tubuhnya."Kau masih tanya kenapa? As
Theona mendorong tubuh Ikosagon kuat-kuat hingga pria itu hampir terjengkang ke belakang. "Sudah kubilang jangan sentuh aku lagi!" seru Theona kesal.Belum lama ia mengatakannya pada Ikosagon. Mungkin baru ada lima sampai sepuluh menit dan pria itu sudah mengulanginya lagi. Sepertinya telinga dan wajah pria itu sangat tebal sampai-sampai bersikap seolah tidak tahu."Astaga, Theo! Kau yang menggodaku dan kau juga yang menolakku," kata Ikosagon tersenyum kecut.Berkali-kali ia mengingatkan agar Theona menutup mulutnya, tetapi wanita itu terus mengabaikan seruannya. Sekarang giliran disuruh tanggung jawab malah marah."Siapa juga yang menggodamu?" tanya Theona malas. Sejak kapan ia mulai menjadi wanita penggoda. Apalagi di depan suami menjengkelkan seperti Ikosagon. Yang ada bukannya senang, ia justru dirugikan baik secara fisik maupun hatinya."Sejak tadi kau menggodaku, Theo bodoh," balas Ikosagon kesal."Sejak tadi kapan? Sudah jelas-jelas aku tidak menggodamu," tanya Theona memeloto
"Astaga, Theo! Apa kata orang kalau mereka sampai tahu istri seorang Osa bekerja di luaran sana," ujar Ikosagon frustasi.Bagaimana mungkin ia membiarkan istrinya bekerja? Bukankah hal itu bisa membuat reputasinya dan keluarganya hancur? Ia tidak boleh mencoreng namanya hanya demi menuruti keinginan konyol Theona. "Biarkan saja orang mau berkata apa yang penting aku nyaman. Lagi pula, kau bisa menjelaskan pada mereka kalau aku yang menginginkannya. Bila perlu, kau katakan pada mereka kalau aku yang memaksa," sanggah Theona menggebu.Apa peduli mereka. Yang penting ia bisa bekerja dengan nyaman. Yang penting ia tidak akan merasa bosan karena setiap hari harus berada di rumah tanpa melakukan aktivitas apa pun.Mendengar ucapan Theona membuat Ikosagon kesal. Pria itu membanting sendok ke tempat makan dengan keras. Ia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. "Memangnya kalau aku izinkan, kau mau bekerja di mana?" tanyanya berusaha sabar sambil mengeratkan giginya."Phoeni
"Apa perlu, aku menjawab pertanyaanmu?" tanya Ikosagon sambil meremas dadanya."Terserah kau saja mau mengatakannya atau tidak. Aku sama sekali tidak keberatan kalau kau tidak mau mengatakannya," balas Theona malas.Jujur, ia penasaran dengan luka di tubuh Ikosagon tepat di mana jantung pria itu berada. Namun, rasa keingintahuannya tidak boleh membuat pria itu marah. Ia akan sangat bersyukur jika sang suami mau menceritakannya dan ia juga tidak akan kecewa jika sang suami tidak ingin membicarakannya dengannya."Aku tidak ingin mengatakannya," kata Ikosagon datar.Meskipun Theona sudah sah menjadi istrinya. Namun, ia tidak perlu mengatakan perihal penyakitnya di masa lalu. Apalagi, ia memutuskan untuk tidak memberikan hatinya pada wanita itu. Lagi pula selain anggota keluarganya, tidak ada satu orang pun yang tahu perihal penyakitnya. Dan yang paling penting sekarang, ia sudah sembuh berkat donor jantung beberapa bulan yang lalu."Baiklah, kalau begitu aku mau pulang. Jangan lupa makan
Cassiopeia begitu terkejut mendengar pengakuan sahabatnya. Bagaimana bisa ayah dan ibu tiri Theona menemukan keberadaan Theona? Padahal, ia sudah berusaha keras membantu Theona bersembunyi. Di mulai dari mengosongkan kamar hotel sehingga nama Theona tidak ada di daftar pengunjung. Mematikan semua kamera pengawas di hotel dan sekitarnya. Akan tetapi, usahanya sia-sia saja karena Theona tetap menikah dengan orang yang orang tuanya pilihkan. Padahal, ia ingin sahabatnya menikah dengan adiknya, Wolf."Ceritanya panjang dan aku tidak tahu harus memulainya dari mana, Cassie," sahut Theona menunduk lesu. "Astaga, Theo!" Cassiopeia terlihat frustasi menghadapi sikap Theona. Sejak kapan sahabatnya itu menjadi berbelit-belit seperti itu? Membuatnya semakin penasaran saja."Maaf," lirih Theona dengan raut sedih. Kepalanya senantiasa menunduk seolah di tengkuknya ada beban yang cukup berat."Baiklah-baiklah. Kau bisa menceritakannya pada kakak di mulai dari kau menginap di hotel." Cassiopeia me