Tatapan Modi semakin menjadi, bagai ingin memakan wanita itu. Berani sekali wanita itu menamparnya, di saat semua wanita lain mengantri ingin menjadi kekasihnya. Ingin sekali membalas menampar atau sekadar memberikan pelajaran, tetapi ia urungkan mengingat ia adalah lelaki yang harus melindungi wanita bukan melukai wanita dengan kekerasan.
"Kau telah membangunkan singa tidur, berarti Kau, harus siap menerima akibatnya!" Ancaman yang lolos begitu saja dari mulut Modi. Kemudian ia pergi begitu saja, meninggalkan wanita itu.
Alisa kembali ke ruangan tempat ia bekerja. Alisa sangat paham, jika siapa pun yang berurusan dengan Modi akan siap untuk dipecat. Alisa segera membenahi barang untuk pergi.
Modi semakin kesal, dengan wanita yang biasa disebut Ica itu. Modi segera memanggil Pak Yanto, bagian HRD keruangannya. Senyum menyeringai keluar dari bibir Modi.
Tok tok tok
Pintu ruangan Modi diketuk.
"Masuk!"
Dengan rasa takut, Pak Yanto memasuki ruangan Modi. Pak Yanto juga telah mempersiapkan surat pemecatan Ica.
Ah, padahal Ica adalah termasuk karyawan yang rajin.
"Permisi, Pak! Ini sudah saya buatkan surat pemecatan untuk Ica!" Dengan rasa takut, juga tangan yang sedikit bergetar, Pak Yanto memberikan surat itu pada Modi.
Modi mengerutkan dahinya. Perasaan sejak tadi, ia tak menyuruh lelaki itu membuat surat pemecatan. Tapi kenapa dia malah membawa surat pemecatan itu.
"Siapa yang menyuruhmu membuat surat pemecatan?" Suara bass itu menggelegar hampir memecahkan telinga di ruangan itu. Menginterogasi yang menjadi karyawannya, yang dengan lancang membuat surat pemecatan, tanpa perintah terlebih dahulu.
"Maaf, Pak Modi! Biasanya jika ada yang bermasalah dengan Anda, pasti surat pemecatan itu yang diminta," tutur Pak Yanto polos. Wajah Pak Yanto menunduk, takut dengan keadaan Modi yang sedang marah. Pak Yanto memberanikan mendongakan kepalanya, menatap Modi. Sungguh sangat menakutkan, wajah tampan Modi dengan sejuta pesona, yang menyimpan rencana yang tidak baik. Pak Yanto paham akan tatapan itu.
"Saya ingin yang berbeda, khusus untuk Ica. Saya ingin kamu buatkan, surat pemindahan bagian untuk dia!" Modi menekankan kata dia. "Pindahkan dia, untuk menjadi sekretaris pribadi saya! Dia perlu diberikan pelajaran yang lebih, dibandingkan kita memecatnya." Tatapan tajam, senyum menyeringai menghiasi wajah Modi yang menarik perhatian siapa pun yang melihat.
Pak Yanto terkesiap dengan ucapan Modi. Terdengar janggal, namun Pak Yanto tak berani ikut campur. Menuruti permintaan sang atasan, itu yang dia lakukan, daripada dia sendiri yang nantinya terkena masalah.
'Ah, apa mungkin sang atasan mulai jatuh hati pada Ica?' Tapi Pak Yanto menepis itu semua.
'Apa Ica juga akan dijadikan mainan seperti wanita-wanita sebelumnya?'Tapi ya sudah, Pak Yanto memilih melupakan itu dan segera mengurus permintaan Modi.
Modi yang tengah duduk sendiri dalam ruang kerjanya tersenyum lebar, bak mendapat mainan baru. Senyum-senyum sendiri, memikirkan wanita itu.
'Ah, kenapa seperti ini? Wanita itu seperti memiliki daya tarik bagai magnet saja.' Modi harus bisa menaklukan wanita itu. Hanya dia wanita sombong yang berani menolaknya. Memberikan pelajaran, itu yang harus dilakukan Modi. Tekad hati Modi semakin kuat. Wanita itu harus tunduk pada Modi, yang statusnya sebagai pria tampan, kaya raya dan juga memiliki sejuta pesona keindahan pada wajah juga tubuhnya.
Mencoba tersadar, dalam angan yang sejak tadi menguasai hati. Modi terus membayang wajah Ica. Dia ingin memiliki Ica sepenuhnya. Namun, tangan tiba-tiba saja mengepal, mengingat beberapa wanita yang ingin mencoba memerasnya. Dia tak boleh terbuai dalam bayang semu memiliki Ica. Karena baginya semua wanita sama. Hanya mengincar harta miliknya. Bisa saja ini adalah tipu daya wajah wanita itu, atau jangan-jangan wanita itu memiliki pelet.
'Tidak ada wanita yang setulus Alisa, yang selama ini aku temui. Hati mereka, tak semulus wajah dan tubuhnya. Ica, wanita itu juga pasti sama, hanya ingin hartaku, hanya saja berpura menjual mahal,' ucap Modi bermonolog di hati.
Pak Yanto segera memanggil Ica, keruangannya. Semua berkas yang harus ditanda tangani Ica telah selesai disiapkan. Entah, apa tanggapan Ica nanti. Di sisi lain Pak Yanto senang, karena Ica tak jadi dipecat, tapi di satu sisi lainnya sangat khawatir. Karena Ica, harus berhadapan dengan Modi yang terkenal licik menjebak wanita. Pak Yanto sangat menghargai Ica, karena tau, jika Ica itu berbeda dengan wanita lain.
Ica datang menghadap Pak Yanto.
"Permisi, Pak!" Ica segera melangkahkan kaki memasuki ruangan Pak Yanto. Ica sudah mempersiapkan diri, untuk segala sesuatu yang akan dihadapi. Mencoba tegar dan tak sedih menghadapi itu.
"Silakan duduk, Ca!"
Raut wajah Pak Yanto tersenyum, sulit ditebak oleh Ica. Ada apakah gerangan?
Ica mendudukan diri pada kursi, di depan meja sang atasan.
"Kamu sudah tahukan, penyebab kamu dipanggil keruangan ini?"
"Ya, saya tau, kok!" Dengan sangat tenang Ica menjawab.
"Kamu, kenapa harus berurusan dengan Pak Modi? Kamu taukan konsekuensinya apa?"
"Iya, saya tahu. Saya juga sudah membenahi seluruh barang-barang saya, Pak. Mana surat yang harus saya tanda tangani, sebelum saya pergi, Pak?" Ica meminta surat pemecatan yang akan ia terima tanpa basa-basi.
Sedih, tentu saja Ica merasakan itu. Seluruh pegawai yang menjadi teman kerjanya sudah seperti keluarga. Ica harus kuat menjalani itu, daripada harga dirinya terinjak oleh seorang Modi.
"Eh … pergi untuk apa, Ca? Ini surat yang harus kamu tandatangani!" Pak Yanto memberikan berkas berisi lembaran putih bertinta hitam itu untuk ditanda tangani. "Beruntungnya kamu, tidak dipecat Pak Modi."
"Hah!" Mulut Ica menganga mendengar kata tidak dipecat.
'Ada apakah gerangan?'
"Entah, kesambet apa Pak Modi? Biasanya, yang berani melawannya langsung dikeluarkan." Pak Yanto mencoba melanjutkan ucapannya, setelah melihat reaksi kaget Ica. "Nasib baik masih menyertaimu. kamu hanya dipindahkan bagian juga divisi," ucap Pak Yanto panjang lebar. Terdengar halus dengan tersenyum, walau dalam hatinya ada rasa khawatir. Sebisa mungkin Pak Yanto terlihat biasa saja agar tak dicurigai Ica.
Ica membuka surat pemindahan tersebut, membaca setiap kata juga paragraf. Mata Ica terbelalak, ketika melihat ia dipindahkan menjadi sekretaris pribadi Modi.
Punya rencana apa dia, hingga menyuruh Ica menjadi sekretaris pribadinya?
Ica tidak langsung menandatangani surat itu. Ia harus bertemu Modi, terlebih dahulu meminta kejelasan maksud dari surat itu.
Ica pamit, kemudian beranjak keruangan Modi sambil membawa berkas pemindahan itu. Geram tentu saja ia rasakan. Ica sangat paham, akan sifat Modi yang pendendam.
Tok tok tok
"Masuk!"
Ica melangkahkan kaki ke dalam ruangan Modi.
Saat Modi mengangkat kepalanya, pandangan mereka pun beradu. Senyum menyeringai di wajah Modi. Target masuk jebakan.
"Oh, kamu ada apa kemari?" Modi masih menunjukan wajah ketus pada Ica.
"Maaf, Pak sebelumnya! Maksud dari surat pemindahan ini apa ya?" Ica sudah tidak bisa menahan diri atau sedikit berbasa-basi. "Saya sangat mengenal sifat anda. Siapa pun yang telah berurusan dengan Anda, pasti dipecat. Kenapa saya malah dipindahkan menjadi sekretaris pribadi Anda? Saya yakin anda memiliki rencana terselubung!" Ica menegaskan cara bicaranya dan langsung menanyakan unek-unek yang ada di hatinya. Karena Ica, sungguh sangat bingung dengan sikap Modi yang terkesan aneh.
"Sepertinya dia memang bukan wanita biasa atau mungkin wanita jadi-jadian. Mana ada wanita yang menolak pesonaku. Sangat menarik, jika aku bisa bermain-main atau bersenang-senang dengannya di ranjang," gumam Modi dalam hati. Pikiran kotor mulai memasuki otak Modi. Senyum Modi semakin mengembang saat memperhatikan Ica dari atas kepala sampai kaki.
Ica bergidik ngeri, melihat bosnya seperti itu. Memangnya ada yang aneh dari penampilan Ica? Apa yang sedang dipikirkan oleh lelaki yang kini menjadi bosnya itu?
"Harusnya, Kau bersyukur bukan protes!" Sentak Modi.
'Apa yang direncanakan dia?' Bertanya dalam hati. Hanya itu yang dilakukan Ica. Ya Ica diam tanpa menjawab apapun ucapan lelaki itu saat ini. Tapi jika hanya diam ia tak akan mengetahui maksud keinginan pria tampan dihadapannya.
"Sebutkan sebenarnya apa maumu!"
"Pilihanmu hanya dua. Yang pertama, kalau kamu mau posisimu yang sekarang, ya kamu harus tidur denganku atau yang kedua, tandatangani saja surat pemindahan tugasmu tanpa banyak protes. Silakan kamu pilih yang mana?" Dengan sangat santai dan tanpa beban, Modi menjawab ucapan Ica dengan sebuah pilihan yang harus dipilih Ica.
"Apa?" Saking kagetnya Ica, hampir saja matanya lepas dari tempatnya akibat melotot .
Modi semakin merasa di atas awan. Ia pun melihat raut wajah Alisa yang semakin masam. Ingin rasanya tertawa terbahak melihat itu, namun ia masih menjaga image. Itu adalah sebuah hiburan tersendiri bagi Modi.
"Cepat Kamu putuskan apa pilihanmu?!" perintah Modi. "Apa Kamu sangat menginginkan untuk merasakan tidur denganku?" Modi sengaja semakin menggoda Ica, yang masih diam menatapnya. Dan tentu saja wajah itu sangat menarik untuk Modi.
Menggoda Ica dan membuat wanita itu cemberut, bahkan marah-marah itu sangat membuatnya bahagia. Hal itu, dapat membuatnya melupakan masalahnya sejenak, bahkan tentang Alisa yang belum jua ditemukan.
"Jaga ucapan Anda, bapak Modi yang terhormat!" peringat Ica. "Saya memang miskin dan tidak memiliki kekayaan seperti Anda, tapi saya masih memiliki harga diri. Saya hanya akan menyerahkan tubuh saya untuk suami saya kelak. Baik saya akan terima pemindahan tugas ini." Ica segera membubuhkan tanda tangan miliknya dalam selembar kertas.
"Bagus target masuk perangkap," gumam Modi sangat pelan, namun sayang sekali hal itu masih didengar Ica.
"Apa …?"
Bersambung…
Wira akhirnya menemukan kabar tentang Alisa. Sedikit info itu, membawa Wira pada titik terang dimana Alisa berada. Mata Wira dengan teliti, membaca e-mail yang dikirimkan oleh anak buahnya. Wira masih berkutat dalam laptop, hanya sekadar membaca info tentang Alisa. "Jadi Alisa, sebenarnya ada di Kota ini. Tapi kenapa, aku dan Modi sangat sulit melacaknya, ya?" ucap Wira bermonolog. Bertanya pada diri sendiri yang tentu saja kebingungan. Tak ingin berlarut dalam kebingungan, Wira meminta foto terbaru milik Alisa. Mungkin saja, jika Alisa merubah dandanannya. Wira memperhatikan foto itu. Sepertinya, ia mengenali siapa Alisa, yang berada dalam foto itu. Netra Wira semakin terbelalak, saat
Alisa sengaja meminta maaf terlebih dahulu, karena tak ingin mendapat masalah lagi dengan Modi. Sudah cukup lelah hari ini ia menghadapi berkas-berkas yang Modi berikan. Alisa segera berlalu setelah tubuhnya berdiri tegak.Modi mengernyit kemudian tersenyum smirk. 'Ternyata cepat juga dia akan takluk padaku. Sungguh aku sangat penasaran bagaimana jika wanita galak itu bergelut di atas ranjang,' batin Modi. Pikiran Modi jika sedang kacau pasti mengarah pada selangkangan wanita.Alisa mulai mengotak-atik ponselnya untuk memesan ojek online. Baru saja ingin memesan malah ponsel itu habis batery. Sungguh sial hari ini yang dialami Ica. Sudah lembur sampai hampir tengah malam, belum makan, dan lagi harus mengalami batery ponsel habis saat urgent.Han
Wira langsung tancap gas setelah mengantar Modi pulang. Wira pun menuruti segala titah Modi. Di tengah perjalanan Wira berpikir bahwa saat ini adalah saat yang tepat untuk bertanya pada Alisa."Kebohongan apa yang sedang Anda sembunyikan dari Modi? Apa sebenarnya niat terselubung Anda?" tanya Wira sangat serius.Alisa menatap Wira dengan tatapan yang tak dapat diartikan. Alisa sungguh sangat bingung apa maksud dari ucapan asisten kepercayaan Modi itu."Sungguh saya tidak mengerti maksud ucapan Pak Wira itu apa?"Wira masih tetap fokus menyetir, walaupun Wira masih mencoba mencecar Alisa untuk mendapat jawaban itu. "Jangan berpura-pura tak meng
Ica menghela nafasnya dengan berat. 'Ish, si Bos Gendeng sensi terus apa, ya? Sepertinya tidak bisa kalau melihat aku tenang?' gumam Ica dalam hati. Walaupun hati menggerutu, namun ia tetap melakukan apa yang diminta bosnya itu.Ica segera menaruh berkas-berkas itu di meja kerja Modi. Untung saja Modi sedang tidak ada di ruangannya. Ica sedikit bernafas lega. Setidaknya dia tidak harus bertemu Bos Gendeng itu. Saat Ica mulai melangkahkan kaki, dan tangannya menarik pintu, pintu tersebut didorong hingga tertutup kembali. Pintu itu didorong seorang pria yang berada di belakang tubuh Ica."Mau kemana terburu-buru?" tutur Modi tersenyum menyeringai sambil mendorong pintu.Modi sengaja bersembunyi di balik pintu kamar pribadinya, yang juga tak
Ica keluar ruangan Modi dalam keadaan menggerutu. Hal itu tentu saja membuat jiwa kepo Siska meronta. "Kamu ngapain aja di ruangan, Pak Bos? Keluarnya menggerutu seperti itu? Hayoo! Jangan-jangan abis," Siska sengaja menggoda Ica, agar Ica mau menjawab pertanyaannya. "Kalau punya otak jangan dibuat mesum pikirannya tuh. Masalah ngapain saya di dalam bukan urusan kamu! Urusin aja urusan pekerjaanmu itu!" Ica menjawab dengan nada yang galak. Terlihat jelas, jika Ica saat ini tengah marah. Siska pun bergedik ngeri, kemudian menjauh dari tempat Ica berada. 'Ternyata dia ganas juga ya. Namun, aku tidak rela, jika dia berdekatan dengan Modi trus,' batin Siska. Siska trus memperhatikan Ica. Sepertinya wanita itu sangat serius dengan berkas yang saat ini ia kerjakan. Kemudian, Siska melanjutkan pekerjaannya. "Hai, Ica!" Wira datang dengan senyum yang mengembang membuat Siska sem
Modi langsung menutup hidungnya, karena bau tidak sedap yang ada di ruangan itu.Alisa langsung memegangi perutnya yang terasa sangat sakit hari itu. “Boleh ya, Pak Bos, jika saya tidak ikut?” Alisa benar-benar memohon kepada Modi saat itu, karena perutnya sakit.“Saya tidak mau meeting bersama dengan Siska. Tolong kamu batalkan saja meeting itu!”Alisa sangat terkejut dengan keputusan Modi saat ini. Entah, kenapa pria itu malah lebih memilih membatalkan meeting saja.“Pak Bos ini meeting penting, kita tidak bisa membatalkan meeting itu.” Alisa benar-benar memberikan alasan agar modi lekas pergi bersama Siska.Alisa sendiri ingin periksa ke dokter tentunya, karena masalah diare yang sedang dirasakan saat ini.“Kamu tidak pintar berbohong terhadap saya.”Mau tidak mau Alisa terpaksa ikut dalam meeting tersebut walau menahan rasa sakit perutnya itu.‘Dasar Bos Gendeng nggak punya perasaan!’ gerutu Alisa dalam hati.Wira yang tahu Alisa sedang tidak sehat pun menghentikan langkah Modi.“
Tubuh tegap, tinggi, juga tampan penuh semangat menghiasi wajah tampan sang CEO. Di depan lobi, semangat itu musnah begitu saja. Pemandangan yang tak mengenakan itu terpampang jelas di depan mata. Betapa hancur dan malu yang ia rasakan. Reputasinya bisa hancur karena dua orang wanita tengah beradu mulut, di dalam ruang tunggu lobi. 'Belum juga aku memasuki kantor, sudah harus melihat pertunjukan dua wanita itu. Sungguh memalukan sekali. Dasar wanita murahan,' batin Modi "Modi milikku dan kekasihku!" Sasha menunjuk jari ke tubuh dengan keangkuhan. Merasa sebagai wanita yang memiliki hubungan spesial dengan CEO itu, juga merasa paling cantik. Tatapan tajam diperlihatkan, bagai elang yang ingin menerkam mangsa. Tatapan mata wanita di depannya pun
Perasaan bersalah hinggap di hati Alisa, harusnya ia tidak pernah mengajari Modi agar bisa mandiri dahulu. Jika hal itu malah membuat Modi menjadi lupa diri."Iyalah tidak sengaja, kalau memang disengaja berarti Kau cari mati!" Modi semakin berteriak.Hanya tatapan kebencian yang dilayangkan Modi pada Alisa. Menatap tajam bagai memiliki dendam kesumat. "Siapa namamu dan kamu itu bagian apa? Nanti biar pihak HRD memotong gajimu." Perkataan Modi terlihat jelas sangat tak mementingkan kata maaf."Panggil saja saya Ica, Pak!" tutur Alisa karena semenjak ia kuliah mengganti nama panggilannya. Alisa sengaja tidak memberitahu identitas aslinya pada Modi. Alisa ingin jika ia bekerja di perusahaan milik Modi karena pre
Modi langsung menutup hidungnya, karena bau tidak sedap yang ada di ruangan itu.Alisa langsung memegangi perutnya yang terasa sangat sakit hari itu. “Boleh ya, Pak Bos, jika saya tidak ikut?” Alisa benar-benar memohon kepada Modi saat itu, karena perutnya sakit.“Saya tidak mau meeting bersama dengan Siska. Tolong kamu batalkan saja meeting itu!”Alisa sangat terkejut dengan keputusan Modi saat ini. Entah, kenapa pria itu malah lebih memilih membatalkan meeting saja.“Pak Bos ini meeting penting, kita tidak bisa membatalkan meeting itu.” Alisa benar-benar memberikan alasan agar modi lekas pergi bersama Siska.Alisa sendiri ingin periksa ke dokter tentunya, karena masalah diare yang sedang dirasakan saat ini.“Kamu tidak pintar berbohong terhadap saya.”Mau tidak mau Alisa terpaksa ikut dalam meeting tersebut walau menahan rasa sakit perutnya itu.‘Dasar Bos Gendeng nggak punya perasaan!’ gerutu Alisa dalam hati.Wira yang tahu Alisa sedang tidak sehat pun menghentikan langkah Modi.“
Ica keluar ruangan Modi dalam keadaan menggerutu. Hal itu tentu saja membuat jiwa kepo Siska meronta. "Kamu ngapain aja di ruangan, Pak Bos? Keluarnya menggerutu seperti itu? Hayoo! Jangan-jangan abis," Siska sengaja menggoda Ica, agar Ica mau menjawab pertanyaannya. "Kalau punya otak jangan dibuat mesum pikirannya tuh. Masalah ngapain saya di dalam bukan urusan kamu! Urusin aja urusan pekerjaanmu itu!" Ica menjawab dengan nada yang galak. Terlihat jelas, jika Ica saat ini tengah marah. Siska pun bergedik ngeri, kemudian menjauh dari tempat Ica berada. 'Ternyata dia ganas juga ya. Namun, aku tidak rela, jika dia berdekatan dengan Modi trus,' batin Siska. Siska trus memperhatikan Ica. Sepertinya wanita itu sangat serius dengan berkas yang saat ini ia kerjakan. Kemudian, Siska melanjutkan pekerjaannya. "Hai, Ica!" Wira datang dengan senyum yang mengembang membuat Siska sem
Ica menghela nafasnya dengan berat. 'Ish, si Bos Gendeng sensi terus apa, ya? Sepertinya tidak bisa kalau melihat aku tenang?' gumam Ica dalam hati. Walaupun hati menggerutu, namun ia tetap melakukan apa yang diminta bosnya itu.Ica segera menaruh berkas-berkas itu di meja kerja Modi. Untung saja Modi sedang tidak ada di ruangannya. Ica sedikit bernafas lega. Setidaknya dia tidak harus bertemu Bos Gendeng itu. Saat Ica mulai melangkahkan kaki, dan tangannya menarik pintu, pintu tersebut didorong hingga tertutup kembali. Pintu itu didorong seorang pria yang berada di belakang tubuh Ica."Mau kemana terburu-buru?" tutur Modi tersenyum menyeringai sambil mendorong pintu.Modi sengaja bersembunyi di balik pintu kamar pribadinya, yang juga tak
Wira langsung tancap gas setelah mengantar Modi pulang. Wira pun menuruti segala titah Modi. Di tengah perjalanan Wira berpikir bahwa saat ini adalah saat yang tepat untuk bertanya pada Alisa."Kebohongan apa yang sedang Anda sembunyikan dari Modi? Apa sebenarnya niat terselubung Anda?" tanya Wira sangat serius.Alisa menatap Wira dengan tatapan yang tak dapat diartikan. Alisa sungguh sangat bingung apa maksud dari ucapan asisten kepercayaan Modi itu."Sungguh saya tidak mengerti maksud ucapan Pak Wira itu apa?"Wira masih tetap fokus menyetir, walaupun Wira masih mencoba mencecar Alisa untuk mendapat jawaban itu. "Jangan berpura-pura tak meng
Alisa sengaja meminta maaf terlebih dahulu, karena tak ingin mendapat masalah lagi dengan Modi. Sudah cukup lelah hari ini ia menghadapi berkas-berkas yang Modi berikan. Alisa segera berlalu setelah tubuhnya berdiri tegak.Modi mengernyit kemudian tersenyum smirk. 'Ternyata cepat juga dia akan takluk padaku. Sungguh aku sangat penasaran bagaimana jika wanita galak itu bergelut di atas ranjang,' batin Modi. Pikiran Modi jika sedang kacau pasti mengarah pada selangkangan wanita.Alisa mulai mengotak-atik ponselnya untuk memesan ojek online. Baru saja ingin memesan malah ponsel itu habis batery. Sungguh sial hari ini yang dialami Ica. Sudah lembur sampai hampir tengah malam, belum makan, dan lagi harus mengalami batery ponsel habis saat urgent.Han
Wira akhirnya menemukan kabar tentang Alisa. Sedikit info itu, membawa Wira pada titik terang dimana Alisa berada. Mata Wira dengan teliti, membaca e-mail yang dikirimkan oleh anak buahnya. Wira masih berkutat dalam laptop, hanya sekadar membaca info tentang Alisa. "Jadi Alisa, sebenarnya ada di Kota ini. Tapi kenapa, aku dan Modi sangat sulit melacaknya, ya?" ucap Wira bermonolog. Bertanya pada diri sendiri yang tentu saja kebingungan. Tak ingin berlarut dalam kebingungan, Wira meminta foto terbaru milik Alisa. Mungkin saja, jika Alisa merubah dandanannya. Wira memperhatikan foto itu. Sepertinya, ia mengenali siapa Alisa, yang berada dalam foto itu. Netra Wira semakin terbelalak, saat
Tatapan Modi semakin menjadi, bagai ingin memakan wanita itu. Berani sekali wanita itu menamparnya, di saat semua wanita lain mengantri ingin menjadi kekasihnya. Ingin sekali membalas menampar atau sekadar memberikan pelajaran, tetapi ia urungkan mengingat ia adalah lelaki yang harus melindungi wanita bukan melukai wanita dengan kekerasan."Kau telah membangunkan singa tidur, berarti Kau, harus siap menerima akibatnya!" Ancaman yang lolos begitu saja dari mulut Modi. Kemudian ia pergi begitu saja, meninggalkan wanita itu.Alisa kembali ke ruangan tempat ia bekerja. Alisa sangat paham, jika siapa pun yang berurusan dengan Modi akan siap untuk dipecat. Alisa segera membenahi barang untuk pergi.Modi semakin kesal, dengan wanita yang biasa disebut Ica itu. Modi segera memanggil Pak Yan
Perasaan bersalah hinggap di hati Alisa, harusnya ia tidak pernah mengajari Modi agar bisa mandiri dahulu. Jika hal itu malah membuat Modi menjadi lupa diri."Iyalah tidak sengaja, kalau memang disengaja berarti Kau cari mati!" Modi semakin berteriak.Hanya tatapan kebencian yang dilayangkan Modi pada Alisa. Menatap tajam bagai memiliki dendam kesumat. "Siapa namamu dan kamu itu bagian apa? Nanti biar pihak HRD memotong gajimu." Perkataan Modi terlihat jelas sangat tak mementingkan kata maaf."Panggil saja saya Ica, Pak!" tutur Alisa karena semenjak ia kuliah mengganti nama panggilannya. Alisa sengaja tidak memberitahu identitas aslinya pada Modi. Alisa ingin jika ia bekerja di perusahaan milik Modi karena pre
Tubuh tegap, tinggi, juga tampan penuh semangat menghiasi wajah tampan sang CEO. Di depan lobi, semangat itu musnah begitu saja. Pemandangan yang tak mengenakan itu terpampang jelas di depan mata. Betapa hancur dan malu yang ia rasakan. Reputasinya bisa hancur karena dua orang wanita tengah beradu mulut, di dalam ruang tunggu lobi. 'Belum juga aku memasuki kantor, sudah harus melihat pertunjukan dua wanita itu. Sungguh memalukan sekali. Dasar wanita murahan,' batin Modi "Modi milikku dan kekasihku!" Sasha menunjuk jari ke tubuh dengan keangkuhan. Merasa sebagai wanita yang memiliki hubungan spesial dengan CEO itu, juga merasa paling cantik. Tatapan tajam diperlihatkan, bagai elang yang ingin menerkam mangsa. Tatapan mata wanita di depannya pun