Alisa sengaja meminta maaf terlebih dahulu, karena tak ingin mendapat masalah lagi dengan Modi. Sudah cukup lelah hari ini ia menghadapi berkas-berkas yang Modi berikan. Alisa segera berlalu setelah tubuhnya berdiri tegak.
Modi mengernyit kemudian tersenyum smirk. 'Ternyata cepat juga dia akan takluk padaku. Sungguh aku sangat penasaran bagaimana jika wanita galak itu bergelut di atas ranjang,' batin Modi. Pikiran Modi jika sedang kacau pasti mengarah pada selangkangan wanita.
Alisa mulai mengotak-atik ponselnya untuk memesan ojek online. Baru saja ingin memesan malah ponsel itu habis batery. Sungguh sial hari ini yang dialami Ica. Sudah lembur sampai hampir tengah malam, belum makan, dan lagi harus mengalami batery ponsel habis saat urgent.
Hanya decakan kesal yang terucap dari mulut Ica.
"Sedang apa kamu berdiri di situ?" Suara bass itu mengagetkan Ica yang sedang dalam kebingungan.
Ica berjingkat mendengar suara Bos Gendengnya itu.
"Astaghfirullahaladzim." Bukannya berniat menjawab pertanyaan Modi Ica memilih beristighfar sambil tangannya mengusap dadanya. Kaget bukan main mendengar suara Modi yang cukup menggelegar.
Modi mengernyit mendengar istighfar yang dilakukan Ica. "Sedang apa kamu berdiri di situ?" Modi mengulangi pertanyaannya, walaupun mendengar Ica beristighfar jauh di lubuk hatinya ada sesuatu yang membuatnya bergetar. Namun, apa hal itu Modi pun tak mengerti.
"Mau pesen ojol, Pak Bos. Tapi ponsel saya mati. Maaf, Pak Bos! Saya mau ke pos satpam dulu, mau minta tolong agar dipesankan ojol."
"Siapa yang nyuruh kamu pergi?" Suara bass itu menggelegar seperti menahan sebuah kemarahan. Sorot mata yang tajam bagai Elang yang siap memangsa. Membuat aura malam itu semakin dingin dan mencekam.
"Kirain ngomongnya sudah selesai, Pak Bos. Saya pergi karena saya mau pulang, Pak Bos. Masa iya saya nginep di gedung kantor ini. Ponsel saya mati jadi ya mau minta tolong sama security untuk memesankan saya ojol," jawab Ica dengan sangat tenang walaupun sedikit merepet.
"Masuk!"
"Masuk kemana Pak?" jawab Ica yang bingung tak mengerti maksud ucapan sang Bos Gendeng.
'Dia ini otaknya beneran lemot atau pura-pura sih. Tapi sepertinya dia pura-pura deh. Mengerjakan laporan yang menumpuk dari aku aja dia cepat menyelesaikannya,' gumam Modi dalam hati.
"Icaaa … katanya Kamu mau pulang? Cepat masuk mobil!" teriak Modi yang tak tahan melihat Ica bergeming yang menurutnya pura-pura tidak mengerti.
'Huh'
Hanya helaan nafas Ica.
Ica berjalan menuju mobil sambil menggerutu, "Dasar bos gendeng! Ngajak pulang bawahan ga bisa apa ngomong baik-baik. Macam kasih perintah kerjaan mulu."
"Ica gak usah ngedumel terus. Saya mendengar seluruh ucapanmu," ucap Modi yang sudah ada tepat di belakang tubuh Ica.
Ica kembali berjengit kaget. 'Ya ampun, ini bosku macam setan di film horor aja yang senengnya ngagetin orang,' gumam Alisa dalam hati.
Modi yang melihat Ica bergeming pun memutuskan masuk terlebih dahulu ke dalam mobil terlebih. Ica pun akhirnya masuk di jok depan mobil yang membuat Modi protes kembali.
"Kenapa kamu duduk di depan, Ica?" Pertanyaan Modi lolos begitu saja, saat melihat wanita itu lebih memilih duduk di samping Wira dibandingkan dirinya. Padahal selama ini jika Siska, sekretaris yang pertama pasti memilih duduk di sampingnya dan tidak mau duduk di samping Wira, dengan berbagai alasan.
"Mohon maaf, Pak Bos! Kalau saya duduk di samping anda, rasanya tidak sopan karena saya sadar menumpang," ucap Alisa dengan penuh penekanan. "Dan juga kasihan Pak Wira nyetirnya ga ada yang nemenin."
Mata Modi terbelalak mendengar ucapan Ica. Sungguh ia sangat tak mengerti jalan pikiran wanita itu. Jangan-jangan wanita itu menyukai Wira. "Terus kamu gak kasian sama saya, kalau saya hanya sendiri di jok belakang?" sindir Modi.
Wira yang melihat keduanya sedang berdebat kecil pun hanya menahan tawa juga senyumnya. 'Sepertinya memang benar Bos menyukai Ica. Walaupun Bos belum mengetahui jika Alisha itu adalah wanita yang berada di depannya saat ini,' batin Wira.
"Kalau Pak Bos mah enak. Kan ada ponsel kalau jenuh. Lah kalau Pak Wira jenuh trus ngantuk nyetirnya karena tidak ada yang mengajak ngobrol. Bisa-bisa nabrak gimana? Apa lagi ini sudah malam juga kan?" Penuturan Alisa membuat Modi mendelik sebal.
"Alasan. Ngeles terus, bilang saja Kau menyukai Wira." Modi pun kembali fokus pada ponselnya. Mencoba mengontrol emosi kembali. Entah apa penyebabnya kalau dia tak menyukai kedekatan Wira dengan Ica.
Alisa mengernyit bingung melihat pria itu, seolah tak menyukai apa yang ia katakan. "Kalau saya menyukai Pak Wira, memangnya kenapa? Anda keberatan atau cemburu? Toh, saya juga mengganggu orang lain karena perasaan saya."
Netra Modi terbelalak sempurna. Ternyata benar jika wanita itu lebih tertarik pada Wira dibanding terhadapnya. Sebenarnya apa kelebihan Wira jika dibandingkan Modi. Tampan lebih tampan Modi. Tajir pun juga lebih tajir Modi.
'Ciiiit'
Mobil berhenti mendadak sampai ponsel Modi jatuh ke bawah jok mobil. Bersamaan dengan pikiran Modi. Wira juga tak kalah sama terkejutnya sampai tak bisa fokus menyetir dengan benar.
"Wira, kamu bisa nyetir tidak sih?" tegur Modi yang sangat kesal terhadap dua orang yang berada satu mobil dengannya.
"Maaf Bos!" ucap Wira. Sesungguhnya dalam hati Wira merasa takut karena jika Modi marah bisa tamat riwayatnya. 'Aduh, kenapa nona Alisa berkata seperti itu, sih? Dari sorot mata si Bos juga ketahuan jika si Bos menyukaimu. Walaupun dia belum mengetahui siapa jati diri aslimu,' gumam Wira dalam hatinya.
"Ini semua gara-gara Kamu, Ica! Wira menyetir sampai tidak fokus. Sekarang pindah ke belakang! Tidak ada alasan itu ini dan tidak ada kata bantahan yang mau saya dengar!" Setelah berbicara demikian, Modi langsung mencari-cari ponselnya yang terjatuh.
Alisa dengan sangat malas, mengikuti permintaan bos yang dianggapnya gendeng. Walaupun mulutnya sedikit komat-kamit mengejek bosnya itu.
Modi yang melihat Ica menuruti keinginannya tersenyum tipis. 'Wanita ini manis juga kalau jadi penurut. Eh, tapi pertanyaan dia tadi kok berkeliling terus di kepalaku. Apa emang aku mulai menyukai dia ya? Tapi gak mungkin ah, jika aku menyukai wanita seperti dia,' batin Modi berkata.
Suasana semakin malam dan semakin hening. Wira sengaja mengantarkan Modi terlebih dahulu dibanding Ica. Wira ingin tahu, apa yang membuat Ica menutupi jati diri aslinya di depan Modi.
"Loh, inikan arah rumah saya? Kenapa Kamu mengantar saya terlebih dahulu, bukannya si sekretaris rese ini?"
"Rumah saya dan rumah Alisa searah, Bos. Jadi kalau nganter Alisa dulu yang ada saya harus bolak-balik dong, Bos. Besok saya harus cari Alisa lagi kan? Saya juga butuh istirahat Bos." Wira mencari alasan agar Modi tak ikut juga ke tempat Ica. Wira tak ingin jika nantinya Ica menyakiti Modi.
Modi mencari kebohongan dari tatapan Wira, tapi sia-sia karena Wira wajah Wira sulit di tebak.
"Ok, kamu antar Ica ke rumahnya. Tapi awas jangan sampai kalian pacaran dulu! Dan kamu Ica gak usah pindah tempat duduk di depan." Modi terpaksa mengatakan itu agar tak dicurigai tentang ketidaksukaannya dengan kedekatan Wira dan Ica.
"Hah!" Alisa terlonjak kaget dengan aturan Modi yang dia rasa suka mengada-ngada.
-----------------------
Assalamualaikum wr.wb.
Hai reader semoga suka dengan karyaku yang masih ecek-ecek. Mohon krisannya ya. Agar tulisanku jadi lebih baik.
Bersambung….
Wira langsung tancap gas setelah mengantar Modi pulang. Wira pun menuruti segala titah Modi. Di tengah perjalanan Wira berpikir bahwa saat ini adalah saat yang tepat untuk bertanya pada Alisa."Kebohongan apa yang sedang Anda sembunyikan dari Modi? Apa sebenarnya niat terselubung Anda?" tanya Wira sangat serius.Alisa menatap Wira dengan tatapan yang tak dapat diartikan. Alisa sungguh sangat bingung apa maksud dari ucapan asisten kepercayaan Modi itu."Sungguh saya tidak mengerti maksud ucapan Pak Wira itu apa?"Wira masih tetap fokus menyetir, walaupun Wira masih mencoba mencecar Alisa untuk mendapat jawaban itu. "Jangan berpura-pura tak meng
Ica menghela nafasnya dengan berat. 'Ish, si Bos Gendeng sensi terus apa, ya? Sepertinya tidak bisa kalau melihat aku tenang?' gumam Ica dalam hati. Walaupun hati menggerutu, namun ia tetap melakukan apa yang diminta bosnya itu.Ica segera menaruh berkas-berkas itu di meja kerja Modi. Untung saja Modi sedang tidak ada di ruangannya. Ica sedikit bernafas lega. Setidaknya dia tidak harus bertemu Bos Gendeng itu. Saat Ica mulai melangkahkan kaki, dan tangannya menarik pintu, pintu tersebut didorong hingga tertutup kembali. Pintu itu didorong seorang pria yang berada di belakang tubuh Ica."Mau kemana terburu-buru?" tutur Modi tersenyum menyeringai sambil mendorong pintu.Modi sengaja bersembunyi di balik pintu kamar pribadinya, yang juga tak
Ica keluar ruangan Modi dalam keadaan menggerutu. Hal itu tentu saja membuat jiwa kepo Siska meronta. "Kamu ngapain aja di ruangan, Pak Bos? Keluarnya menggerutu seperti itu? Hayoo! Jangan-jangan abis," Siska sengaja menggoda Ica, agar Ica mau menjawab pertanyaannya. "Kalau punya otak jangan dibuat mesum pikirannya tuh. Masalah ngapain saya di dalam bukan urusan kamu! Urusin aja urusan pekerjaanmu itu!" Ica menjawab dengan nada yang galak. Terlihat jelas, jika Ica saat ini tengah marah. Siska pun bergedik ngeri, kemudian menjauh dari tempat Ica berada. 'Ternyata dia ganas juga ya. Namun, aku tidak rela, jika dia berdekatan dengan Modi trus,' batin Siska. Siska trus memperhatikan Ica. Sepertinya wanita itu sangat serius dengan berkas yang saat ini ia kerjakan. Kemudian, Siska melanjutkan pekerjaannya. "Hai, Ica!" Wira datang dengan senyum yang mengembang membuat Siska sem
Modi langsung menutup hidungnya, karena bau tidak sedap yang ada di ruangan itu.Alisa langsung memegangi perutnya yang terasa sangat sakit hari itu. “Boleh ya, Pak Bos, jika saya tidak ikut?” Alisa benar-benar memohon kepada Modi saat itu, karena perutnya sakit.“Saya tidak mau meeting bersama dengan Siska. Tolong kamu batalkan saja meeting itu!”Alisa sangat terkejut dengan keputusan Modi saat ini. Entah, kenapa pria itu malah lebih memilih membatalkan meeting saja.“Pak Bos ini meeting penting, kita tidak bisa membatalkan meeting itu.” Alisa benar-benar memberikan alasan agar modi lekas pergi bersama Siska.Alisa sendiri ingin periksa ke dokter tentunya, karena masalah diare yang sedang dirasakan saat ini.“Kamu tidak pintar berbohong terhadap saya.”Mau tidak mau Alisa terpaksa ikut dalam meeting tersebut walau menahan rasa sakit perutnya itu.‘Dasar Bos Gendeng nggak punya perasaan!’ gerutu Alisa dalam hati.Wira yang tahu Alisa sedang tidak sehat pun menghentikan langkah Modi.“
Tubuh tegap, tinggi, juga tampan penuh semangat menghiasi wajah tampan sang CEO. Di depan lobi, semangat itu musnah begitu saja. Pemandangan yang tak mengenakan itu terpampang jelas di depan mata. Betapa hancur dan malu yang ia rasakan. Reputasinya bisa hancur karena dua orang wanita tengah beradu mulut, di dalam ruang tunggu lobi. 'Belum juga aku memasuki kantor, sudah harus melihat pertunjukan dua wanita itu. Sungguh memalukan sekali. Dasar wanita murahan,' batin Modi "Modi milikku dan kekasihku!" Sasha menunjuk jari ke tubuh dengan keangkuhan. Merasa sebagai wanita yang memiliki hubungan spesial dengan CEO itu, juga merasa paling cantik. Tatapan tajam diperlihatkan, bagai elang yang ingin menerkam mangsa. Tatapan mata wanita di depannya pun
Perasaan bersalah hinggap di hati Alisa, harusnya ia tidak pernah mengajari Modi agar bisa mandiri dahulu. Jika hal itu malah membuat Modi menjadi lupa diri."Iyalah tidak sengaja, kalau memang disengaja berarti Kau cari mati!" Modi semakin berteriak.Hanya tatapan kebencian yang dilayangkan Modi pada Alisa. Menatap tajam bagai memiliki dendam kesumat. "Siapa namamu dan kamu itu bagian apa? Nanti biar pihak HRD memotong gajimu." Perkataan Modi terlihat jelas sangat tak mementingkan kata maaf."Panggil saja saya Ica, Pak!" tutur Alisa karena semenjak ia kuliah mengganti nama panggilannya. Alisa sengaja tidak memberitahu identitas aslinya pada Modi. Alisa ingin jika ia bekerja di perusahaan milik Modi karena pre
Tatapan Modi semakin menjadi, bagai ingin memakan wanita itu. Berani sekali wanita itu menamparnya, di saat semua wanita lain mengantri ingin menjadi kekasihnya. Ingin sekali membalas menampar atau sekadar memberikan pelajaran, tetapi ia urungkan mengingat ia adalah lelaki yang harus melindungi wanita bukan melukai wanita dengan kekerasan."Kau telah membangunkan singa tidur, berarti Kau, harus siap menerima akibatnya!" Ancaman yang lolos begitu saja dari mulut Modi. Kemudian ia pergi begitu saja, meninggalkan wanita itu.Alisa kembali ke ruangan tempat ia bekerja. Alisa sangat paham, jika siapa pun yang berurusan dengan Modi akan siap untuk dipecat. Alisa segera membenahi barang untuk pergi.Modi semakin kesal, dengan wanita yang biasa disebut Ica itu. Modi segera memanggil Pak Yan
Wira akhirnya menemukan kabar tentang Alisa. Sedikit info itu, membawa Wira pada titik terang dimana Alisa berada. Mata Wira dengan teliti, membaca e-mail yang dikirimkan oleh anak buahnya. Wira masih berkutat dalam laptop, hanya sekadar membaca info tentang Alisa. "Jadi Alisa, sebenarnya ada di Kota ini. Tapi kenapa, aku dan Modi sangat sulit melacaknya, ya?" ucap Wira bermonolog. Bertanya pada diri sendiri yang tentu saja kebingungan. Tak ingin berlarut dalam kebingungan, Wira meminta foto terbaru milik Alisa. Mungkin saja, jika Alisa merubah dandanannya. Wira memperhatikan foto itu. Sepertinya, ia mengenali siapa Alisa, yang berada dalam foto itu. Netra Wira semakin terbelalak, saat
Modi langsung menutup hidungnya, karena bau tidak sedap yang ada di ruangan itu.Alisa langsung memegangi perutnya yang terasa sangat sakit hari itu. “Boleh ya, Pak Bos, jika saya tidak ikut?” Alisa benar-benar memohon kepada Modi saat itu, karena perutnya sakit.“Saya tidak mau meeting bersama dengan Siska. Tolong kamu batalkan saja meeting itu!”Alisa sangat terkejut dengan keputusan Modi saat ini. Entah, kenapa pria itu malah lebih memilih membatalkan meeting saja.“Pak Bos ini meeting penting, kita tidak bisa membatalkan meeting itu.” Alisa benar-benar memberikan alasan agar modi lekas pergi bersama Siska.Alisa sendiri ingin periksa ke dokter tentunya, karena masalah diare yang sedang dirasakan saat ini.“Kamu tidak pintar berbohong terhadap saya.”Mau tidak mau Alisa terpaksa ikut dalam meeting tersebut walau menahan rasa sakit perutnya itu.‘Dasar Bos Gendeng nggak punya perasaan!’ gerutu Alisa dalam hati.Wira yang tahu Alisa sedang tidak sehat pun menghentikan langkah Modi.“
Ica keluar ruangan Modi dalam keadaan menggerutu. Hal itu tentu saja membuat jiwa kepo Siska meronta. "Kamu ngapain aja di ruangan, Pak Bos? Keluarnya menggerutu seperti itu? Hayoo! Jangan-jangan abis," Siska sengaja menggoda Ica, agar Ica mau menjawab pertanyaannya. "Kalau punya otak jangan dibuat mesum pikirannya tuh. Masalah ngapain saya di dalam bukan urusan kamu! Urusin aja urusan pekerjaanmu itu!" Ica menjawab dengan nada yang galak. Terlihat jelas, jika Ica saat ini tengah marah. Siska pun bergedik ngeri, kemudian menjauh dari tempat Ica berada. 'Ternyata dia ganas juga ya. Namun, aku tidak rela, jika dia berdekatan dengan Modi trus,' batin Siska. Siska trus memperhatikan Ica. Sepertinya wanita itu sangat serius dengan berkas yang saat ini ia kerjakan. Kemudian, Siska melanjutkan pekerjaannya. "Hai, Ica!" Wira datang dengan senyum yang mengembang membuat Siska sem
Ica menghela nafasnya dengan berat. 'Ish, si Bos Gendeng sensi terus apa, ya? Sepertinya tidak bisa kalau melihat aku tenang?' gumam Ica dalam hati. Walaupun hati menggerutu, namun ia tetap melakukan apa yang diminta bosnya itu.Ica segera menaruh berkas-berkas itu di meja kerja Modi. Untung saja Modi sedang tidak ada di ruangannya. Ica sedikit bernafas lega. Setidaknya dia tidak harus bertemu Bos Gendeng itu. Saat Ica mulai melangkahkan kaki, dan tangannya menarik pintu, pintu tersebut didorong hingga tertutup kembali. Pintu itu didorong seorang pria yang berada di belakang tubuh Ica."Mau kemana terburu-buru?" tutur Modi tersenyum menyeringai sambil mendorong pintu.Modi sengaja bersembunyi di balik pintu kamar pribadinya, yang juga tak
Wira langsung tancap gas setelah mengantar Modi pulang. Wira pun menuruti segala titah Modi. Di tengah perjalanan Wira berpikir bahwa saat ini adalah saat yang tepat untuk bertanya pada Alisa."Kebohongan apa yang sedang Anda sembunyikan dari Modi? Apa sebenarnya niat terselubung Anda?" tanya Wira sangat serius.Alisa menatap Wira dengan tatapan yang tak dapat diartikan. Alisa sungguh sangat bingung apa maksud dari ucapan asisten kepercayaan Modi itu."Sungguh saya tidak mengerti maksud ucapan Pak Wira itu apa?"Wira masih tetap fokus menyetir, walaupun Wira masih mencoba mencecar Alisa untuk mendapat jawaban itu. "Jangan berpura-pura tak meng
Alisa sengaja meminta maaf terlebih dahulu, karena tak ingin mendapat masalah lagi dengan Modi. Sudah cukup lelah hari ini ia menghadapi berkas-berkas yang Modi berikan. Alisa segera berlalu setelah tubuhnya berdiri tegak.Modi mengernyit kemudian tersenyum smirk. 'Ternyata cepat juga dia akan takluk padaku. Sungguh aku sangat penasaran bagaimana jika wanita galak itu bergelut di atas ranjang,' batin Modi. Pikiran Modi jika sedang kacau pasti mengarah pada selangkangan wanita.Alisa mulai mengotak-atik ponselnya untuk memesan ojek online. Baru saja ingin memesan malah ponsel itu habis batery. Sungguh sial hari ini yang dialami Ica. Sudah lembur sampai hampir tengah malam, belum makan, dan lagi harus mengalami batery ponsel habis saat urgent.Han
Wira akhirnya menemukan kabar tentang Alisa. Sedikit info itu, membawa Wira pada titik terang dimana Alisa berada. Mata Wira dengan teliti, membaca e-mail yang dikirimkan oleh anak buahnya. Wira masih berkutat dalam laptop, hanya sekadar membaca info tentang Alisa. "Jadi Alisa, sebenarnya ada di Kota ini. Tapi kenapa, aku dan Modi sangat sulit melacaknya, ya?" ucap Wira bermonolog. Bertanya pada diri sendiri yang tentu saja kebingungan. Tak ingin berlarut dalam kebingungan, Wira meminta foto terbaru milik Alisa. Mungkin saja, jika Alisa merubah dandanannya. Wira memperhatikan foto itu. Sepertinya, ia mengenali siapa Alisa, yang berada dalam foto itu. Netra Wira semakin terbelalak, saat
Tatapan Modi semakin menjadi, bagai ingin memakan wanita itu. Berani sekali wanita itu menamparnya, di saat semua wanita lain mengantri ingin menjadi kekasihnya. Ingin sekali membalas menampar atau sekadar memberikan pelajaran, tetapi ia urungkan mengingat ia adalah lelaki yang harus melindungi wanita bukan melukai wanita dengan kekerasan."Kau telah membangunkan singa tidur, berarti Kau, harus siap menerima akibatnya!" Ancaman yang lolos begitu saja dari mulut Modi. Kemudian ia pergi begitu saja, meninggalkan wanita itu.Alisa kembali ke ruangan tempat ia bekerja. Alisa sangat paham, jika siapa pun yang berurusan dengan Modi akan siap untuk dipecat. Alisa segera membenahi barang untuk pergi.Modi semakin kesal, dengan wanita yang biasa disebut Ica itu. Modi segera memanggil Pak Yan
Perasaan bersalah hinggap di hati Alisa, harusnya ia tidak pernah mengajari Modi agar bisa mandiri dahulu. Jika hal itu malah membuat Modi menjadi lupa diri."Iyalah tidak sengaja, kalau memang disengaja berarti Kau cari mati!" Modi semakin berteriak.Hanya tatapan kebencian yang dilayangkan Modi pada Alisa. Menatap tajam bagai memiliki dendam kesumat. "Siapa namamu dan kamu itu bagian apa? Nanti biar pihak HRD memotong gajimu." Perkataan Modi terlihat jelas sangat tak mementingkan kata maaf."Panggil saja saya Ica, Pak!" tutur Alisa karena semenjak ia kuliah mengganti nama panggilannya. Alisa sengaja tidak memberitahu identitas aslinya pada Modi. Alisa ingin jika ia bekerja di perusahaan milik Modi karena pre
Tubuh tegap, tinggi, juga tampan penuh semangat menghiasi wajah tampan sang CEO. Di depan lobi, semangat itu musnah begitu saja. Pemandangan yang tak mengenakan itu terpampang jelas di depan mata. Betapa hancur dan malu yang ia rasakan. Reputasinya bisa hancur karena dua orang wanita tengah beradu mulut, di dalam ruang tunggu lobi. 'Belum juga aku memasuki kantor, sudah harus melihat pertunjukan dua wanita itu. Sungguh memalukan sekali. Dasar wanita murahan,' batin Modi "Modi milikku dan kekasihku!" Sasha menunjuk jari ke tubuh dengan keangkuhan. Merasa sebagai wanita yang memiliki hubungan spesial dengan CEO itu, juga merasa paling cantik. Tatapan tajam diperlihatkan, bagai elang yang ingin menerkam mangsa. Tatapan mata wanita di depannya pun