Perasaan bersalah hinggap di hati Alisa, harusnya ia tidak pernah mengajari Modi agar bisa mandiri dahulu. Jika hal itu malah membuat Modi menjadi lupa diri.
"Iyalah tidak sengaja, kalau memang disengaja berarti Kau cari mati!" Modi semakin berteriak.
Hanya tatapan kebencian yang dilayangkan Modi pada Alisa. Menatap tajam bagai memiliki dendam kesumat. "Siapa namamu dan kamu itu bagian apa? Nanti biar pihak HRD memotong gajimu." Perkataan Modi terlihat jelas sangat tak mementingkan kata maaf.
"Panggil saja saya Ica, Pak!" tutur Alisa karena semenjak ia kuliah mengganti nama panggilannya. Alisa sengaja tidak memberitahu identitas aslinya pada Modi. Alisa ingin jika ia bekerja di perusahaan milik Modi karena prestasi dan memang kelayakan ia bekerja. Bukan karena mencari muka atau campur tangan Modi.
Alisa hanya diam menunduk pasrah. Toh, yang penting dia masih bisa bekerja. Alisa tidak ingin berurusan terus dengan bosnya yang menyebalkan itu. Tatapan Alisa pun sangat tajam, menyiratkan sesuatu hal yang tak bisa ditebak semua yang ada di sana.
"Aku peringatkan kepadamu, agar jangan pernah cari muka lagi terhadapku! Karena itu hanya akan membuatmu rugi. Camkan itu! Aku tau jika aku tampan dan kaya. Tapi wanita sepertimu bukan tipeku!" Tubuh Modi melenggang pergi begitu saja meninggalkan Alisa, yang terdiam akan perkataannya.
'Degh'
Ucapan itu cukup melukai hati Alisa. Tidakkah Modi melihat, jika Alisa itu sahabatnya. Apa hati Modi telah mati hingga tak mengenali sahabatnya lagi?
Alisa bergeming, keadaan sekitarnya sangat riuh. Ada beberapa kawan Alisa yang mendatanginya hanya untuk mengucapkan 'sabar ya!' Alisa tak memperdulikan itu. Rasa sakit teramat yang ia rasakan.
'Kau telah berubah Modi. Kau bukanlah sahabatku yang dulu. Yang sangat baik, ramah dan juga perhatian pada semua orang. Aku tak menyangka jika Kau berubah begitu drastis. Ada baiknya jika Kau tak mengenalku sebagai sahabatmu lagi,' gumam Ica dalam hati.
***
Sore harinya saat Alisa pulang ke rumah, Alisa begitu kaget melihat banyak lelaki berpakaian hitam.
'Siapa mereka? Mau ngapain di rumahku? Apa mereka masih ada hubungannya dengan hutang paman?" gumam Alisa dalam hati.
Alisa perlahan mendatangi para pria tersebut. Alisa tidak takut apapun yang terjadi, sangat tenang menghadapi mereka. Seluruh pria itu langsung tatapannya menuju Alisa.
"Maaf! Ada apa, ya ramai-ramai seperti ini, di rumah saya?" Dalam keadaan bingung.
"Saya mencari Nona Alisa, pemilik rumah ini yang dulu. Katanya sudah dijual kepada Anda. Apa Anda tau, dimana tempat tinggal pemilik rumah ini sebelumnya?" tanya salah satu pria berpakaian hitam itu.
"Maaf saya tidak tahu, Pak! Rumah ini pemberian almarhum sahabat saya, dan kebetulan sahabat saya membeli rumah ini di pelelangan rumah," jawab Alisa dengan tenang. "Memangnya Alisa punya masalah apa, sehingga sampai dicari banyak orang seperti ini?" tanya balik Alisa yang ingin tahu keperluan mereka.
"Tidak ada apa-apa kok, Mba! Bos kami menyuruh untuk mencari nona Alisa itu. Kami juga tidak tahu, secara detail masalah mereka. Maaf ya, Mba jika kami mengganggu kenyamanannya!" ucap pria yang bertubuh tinggi dan juga tegap itu.
Pria-pria berpakaian hitam itu pun akhirnya pergi berlalu, dari rumah yang ditempati Alisa. Ia memandangi mereka semua satu persatu. Pikiran Alisa mulai melayang berkelana, mencari tahu dan mengingat satu persatu wajah mereka.
'Mereka itu sebenarnya siapa? Ada perlu apa mereka mencariku? Seingatku seluruh hutang paman sudah dilunasi oleh Dion?' Sejenak Ica terlarut dalam pikirannya, sebelum akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam rumahnya.
Alisa dalam keadaan diam, menatap foto dirinya dan juga Dion. Sahabat terbaik yang dia punya. Alisa mengingat saat-saat ia bersama dengan Dion. Cairan bening langsung lolos begitu saja.
"Maafkan aku, Dion! Andai saja saat itu Kau tak mengantarku, pasti kecelakaan itu tak akan terjadi." Tangis Alisa pecah, saat melihat foto mereka berdua saat kuliah. Alisa menguatkan dirinya sendiri. Alisa yakin jika Dion tak menginginkannya bersedih.
***
Wira yang mendapat kabar dari para anak buahnya, pun harus kecewa kembali. Wira akhirnya memutuskan, untuk menelpon Modi untuk mencari tahu dimana dulu Alisa mendapatkan beasiswa kuliah. Wira akan mencoba mengusutnya perlahan dari kampus tempat Alisa belajar.
"Pak Bos, maafkan, Saya! Saya gagal mencari tahu tentang nona Alisa. Apa boleh saya tahu, dahulu di mana nona Alisa mendapatkan beasiswa?" tanya Wira.
"Alisa mendapatkan beasiswa di kota sebelah. Coba Kau suruh anak buahmu cari kesana!"
"Baik, Pak Bos!" Wira segera menutup telponnya lalu segera menjalankan tugas yang diberikan Modi.
Modi termenung sendiri di dalam kamarnya. Wajah tampannya menunjukan tatapan sendu. Memandangi foto Alisa tanpa dia tahu berapa lama bertindak demikian. Meratapi nasibnya, yang sudah tak bisa dibenahi lagi jalan cerita masa lalu. Hingga Modi tersadar, ketika ada dering ponsel menandakan pesan.
Ada beberapa pesan masuk di sana. Mencoba mengambil ponsel itu. Melihat nama-nama wanita yang tertera di layar ponselnya. Hal itu tak membuat Modi tertarik sedikitpun. Malah membuat Modi semakin kesal.
"Wanita-wanita gila ini selalu saja menggangguku," gerutu Modi. Kesal bukan kepalang itu yang Modi rasakan. Tanpa berniat membaca, pesan mereka pun sudah langsung dihapus.
Modi terus saja terjaga sampai pukul tiga pagi, matanya tetap saja tak dapat memejamkan diri. Pikirannya hanya dipenuhi Alisa. Rasa kalut dan takut menyergap. Bagaimana jika Alisa tak mau bertemu dengannya lagi? Bagaimana jika Alisa telah memiliki pasangan? Pemikiran itu terus berkecamuk dalam benaknya.
Lama kelamaan semakin lelah, dan berputar seluruh pertanyaan itu. Hingga tanpa sadar, Modi tertidur di meja kerjanya.
Pagi harinya, Modi terlambat bangun hingga pukul sembilan pagi. "Astaghfirullah, gara-gara semalam gak bisa tidur, aku sampai kesiangan." Bagai dikejar setan Modi segera mandi, lalu bergegas bersiap ke kantor. Walaupun seorang atasan, namun tetap saja Modi harus disiplin memberi contoh yang baik untuk kariyawannya.
***
Alisa yang baru saja selesai membuat teh di pantry kantor, untuk menemaninya mengerjakan tugasnya. Alisa segera melangkahkan kaki, kembali menuju meja kerjanya. Namun sebelum tiba pada ruangan, ada seorang pria yang berjalan setengah berlari menabrak di tengah jalan.
'Bugh'
Teh yang dibawa Alisa tumpah ke pakaian pria tersebut. Wajah sang pria memerah dan memelototkan matanya pada Alisa. Tatapan mereka beradu pandang. Gurat kemarahan terpampang nyata di wajah pria itu tanpa mengurangi pesonanya sedikitpun.
"Icaaa!!!" Teriak pria itu mengeluarkan seluruh suaranya.
Riuh, ramai, dan segera berdatangan para karyawan Modi. Melihat apa yang menjadi penyebab sang atasan dengan sejuta pesona itu marah sejadi-jadinya.
Ica memelototkan mata dan menutup telinga, mendengar suara yang hampir saja memecahkan telinga.
"Kamu bisa gak sih kalau jalan pakai mata!" seru Modi.
Alisa tersentak kaget dengan ucapan sarkas Modi. 'Bukannya minta maaf, malah dia yang marah-- mentang-mentang bos. Siapa yang nabrak siapa yang di marahin,' gerutu Alisa dalam hati.
Alisa hanya diam tak menanggapi apapun yang dikatakan Modi. Alisa sangat malas jika beradu mulut dengan bosnya itu.
"Kamu tuh sengaja ya balas dendam ke saya, akibat saya potong gaji kamu? Bener-bener ya kamu tuh, gak pantas kerja di sini!" ucap Modi yang sangat tidak suka melihat wajah Ica.
Ica sangat geram menatap mantan sahabatnya itu. Akhirnya memutuskan untuk menjawab semua ucapan Modi.
"Maaf, Bapak Modi yang terhormat! Saya tidak pernah sedikitpun, memikirkan balas dendam. Tadi juga sebenarnya Bapak yang menabrak saya. Sekarang, Bapak dengan seenaknya berbicara seperti itu," ucap Alisa yang sudah sangat geram, karena sikap Modi yang semena-mena.
Wajah Modi semakin menampakan kekesalannya. Telapak tangan Modi terkepal. 'Sial! Dia wanita yang pantang nyerah juga. Aku harus gunakan kesempatan ini untuk membalasnya. Sungguh aku tak suka, jika di kantor ini ada yang menentangku,' gumam Modi dalam hatinya, dengan segala keangkuhan yang ada.
"Hey … kamu sadar gak sih jika kamu itu hanya seorang bawahan? Dan satu hal yang harus kamu tanamkan, karena Bos itu selalu benar biarpun kamu salah. Saya bener-bener tidak tahan melihat gayamu yang busuk itu, untuk menggaet pria kaya di sini---" ucapan Modi terhenti ketika sebuah telapak tangan melesat tepat ke wajah Modi
'Plakk'
Bunyi tamparan yang sangat keras.
Karyawan lain menatap seolah tak percaya akan keberanian Ica. 'Alamat dipecat sama si Bos ini mah. Aduh Ica, kenapa harus diladeni. Bos sejuta pesona itu kan memang gak pernah menyaring ucapannya,' batin Pak Gatot.
Modi semakin terbelalak melihat karyawannya yang sangat berani menantangnya. Wajah Modi semakin murka.
"Kurang ajar, Kau--"
Bersambung...
Tatapan Modi semakin menjadi, bagai ingin memakan wanita itu. Berani sekali wanita itu menamparnya, di saat semua wanita lain mengantri ingin menjadi kekasihnya. Ingin sekali membalas menampar atau sekadar memberikan pelajaran, tetapi ia urungkan mengingat ia adalah lelaki yang harus melindungi wanita bukan melukai wanita dengan kekerasan."Kau telah membangunkan singa tidur, berarti Kau, harus siap menerima akibatnya!" Ancaman yang lolos begitu saja dari mulut Modi. Kemudian ia pergi begitu saja, meninggalkan wanita itu.Alisa kembali ke ruangan tempat ia bekerja. Alisa sangat paham, jika siapa pun yang berurusan dengan Modi akan siap untuk dipecat. Alisa segera membenahi barang untuk pergi.Modi semakin kesal, dengan wanita yang biasa disebut Ica itu. Modi segera memanggil Pak Yan
Wira akhirnya menemukan kabar tentang Alisa. Sedikit info itu, membawa Wira pada titik terang dimana Alisa berada. Mata Wira dengan teliti, membaca e-mail yang dikirimkan oleh anak buahnya. Wira masih berkutat dalam laptop, hanya sekadar membaca info tentang Alisa. "Jadi Alisa, sebenarnya ada di Kota ini. Tapi kenapa, aku dan Modi sangat sulit melacaknya, ya?" ucap Wira bermonolog. Bertanya pada diri sendiri yang tentu saja kebingungan. Tak ingin berlarut dalam kebingungan, Wira meminta foto terbaru milik Alisa. Mungkin saja, jika Alisa merubah dandanannya. Wira memperhatikan foto itu. Sepertinya, ia mengenali siapa Alisa, yang berada dalam foto itu. Netra Wira semakin terbelalak, saat
Alisa sengaja meminta maaf terlebih dahulu, karena tak ingin mendapat masalah lagi dengan Modi. Sudah cukup lelah hari ini ia menghadapi berkas-berkas yang Modi berikan. Alisa segera berlalu setelah tubuhnya berdiri tegak.Modi mengernyit kemudian tersenyum smirk. 'Ternyata cepat juga dia akan takluk padaku. Sungguh aku sangat penasaran bagaimana jika wanita galak itu bergelut di atas ranjang,' batin Modi. Pikiran Modi jika sedang kacau pasti mengarah pada selangkangan wanita.Alisa mulai mengotak-atik ponselnya untuk memesan ojek online. Baru saja ingin memesan malah ponsel itu habis batery. Sungguh sial hari ini yang dialami Ica. Sudah lembur sampai hampir tengah malam, belum makan, dan lagi harus mengalami batery ponsel habis saat urgent.Han
Wira langsung tancap gas setelah mengantar Modi pulang. Wira pun menuruti segala titah Modi. Di tengah perjalanan Wira berpikir bahwa saat ini adalah saat yang tepat untuk bertanya pada Alisa."Kebohongan apa yang sedang Anda sembunyikan dari Modi? Apa sebenarnya niat terselubung Anda?" tanya Wira sangat serius.Alisa menatap Wira dengan tatapan yang tak dapat diartikan. Alisa sungguh sangat bingung apa maksud dari ucapan asisten kepercayaan Modi itu."Sungguh saya tidak mengerti maksud ucapan Pak Wira itu apa?"Wira masih tetap fokus menyetir, walaupun Wira masih mencoba mencecar Alisa untuk mendapat jawaban itu. "Jangan berpura-pura tak meng
Ica menghela nafasnya dengan berat. 'Ish, si Bos Gendeng sensi terus apa, ya? Sepertinya tidak bisa kalau melihat aku tenang?' gumam Ica dalam hati. Walaupun hati menggerutu, namun ia tetap melakukan apa yang diminta bosnya itu.Ica segera menaruh berkas-berkas itu di meja kerja Modi. Untung saja Modi sedang tidak ada di ruangannya. Ica sedikit bernafas lega. Setidaknya dia tidak harus bertemu Bos Gendeng itu. Saat Ica mulai melangkahkan kaki, dan tangannya menarik pintu, pintu tersebut didorong hingga tertutup kembali. Pintu itu didorong seorang pria yang berada di belakang tubuh Ica."Mau kemana terburu-buru?" tutur Modi tersenyum menyeringai sambil mendorong pintu.Modi sengaja bersembunyi di balik pintu kamar pribadinya, yang juga tak
Ica keluar ruangan Modi dalam keadaan menggerutu. Hal itu tentu saja membuat jiwa kepo Siska meronta. "Kamu ngapain aja di ruangan, Pak Bos? Keluarnya menggerutu seperti itu? Hayoo! Jangan-jangan abis," Siska sengaja menggoda Ica, agar Ica mau menjawab pertanyaannya. "Kalau punya otak jangan dibuat mesum pikirannya tuh. Masalah ngapain saya di dalam bukan urusan kamu! Urusin aja urusan pekerjaanmu itu!" Ica menjawab dengan nada yang galak. Terlihat jelas, jika Ica saat ini tengah marah. Siska pun bergedik ngeri, kemudian menjauh dari tempat Ica berada. 'Ternyata dia ganas juga ya. Namun, aku tidak rela, jika dia berdekatan dengan Modi trus,' batin Siska. Siska trus memperhatikan Ica. Sepertinya wanita itu sangat serius dengan berkas yang saat ini ia kerjakan. Kemudian, Siska melanjutkan pekerjaannya. "Hai, Ica!" Wira datang dengan senyum yang mengembang membuat Siska sem
Modi langsung menutup hidungnya, karena bau tidak sedap yang ada di ruangan itu.Alisa langsung memegangi perutnya yang terasa sangat sakit hari itu. “Boleh ya, Pak Bos, jika saya tidak ikut?” Alisa benar-benar memohon kepada Modi saat itu, karena perutnya sakit.“Saya tidak mau meeting bersama dengan Siska. Tolong kamu batalkan saja meeting itu!”Alisa sangat terkejut dengan keputusan Modi saat ini. Entah, kenapa pria itu malah lebih memilih membatalkan meeting saja.“Pak Bos ini meeting penting, kita tidak bisa membatalkan meeting itu.” Alisa benar-benar memberikan alasan agar modi lekas pergi bersama Siska.Alisa sendiri ingin periksa ke dokter tentunya, karena masalah diare yang sedang dirasakan saat ini.“Kamu tidak pintar berbohong terhadap saya.”Mau tidak mau Alisa terpaksa ikut dalam meeting tersebut walau menahan rasa sakit perutnya itu.‘Dasar Bos Gendeng nggak punya perasaan!’ gerutu Alisa dalam hati.Wira yang tahu Alisa sedang tidak sehat pun menghentikan langkah Modi.“
Tubuh tegap, tinggi, juga tampan penuh semangat menghiasi wajah tampan sang CEO. Di depan lobi, semangat itu musnah begitu saja. Pemandangan yang tak mengenakan itu terpampang jelas di depan mata. Betapa hancur dan malu yang ia rasakan. Reputasinya bisa hancur karena dua orang wanita tengah beradu mulut, di dalam ruang tunggu lobi. 'Belum juga aku memasuki kantor, sudah harus melihat pertunjukan dua wanita itu. Sungguh memalukan sekali. Dasar wanita murahan,' batin Modi "Modi milikku dan kekasihku!" Sasha menunjuk jari ke tubuh dengan keangkuhan. Merasa sebagai wanita yang memiliki hubungan spesial dengan CEO itu, juga merasa paling cantik. Tatapan tajam diperlihatkan, bagai elang yang ingin menerkam mangsa. Tatapan mata wanita di depannya pun
Modi langsung menutup hidungnya, karena bau tidak sedap yang ada di ruangan itu.Alisa langsung memegangi perutnya yang terasa sangat sakit hari itu. “Boleh ya, Pak Bos, jika saya tidak ikut?” Alisa benar-benar memohon kepada Modi saat itu, karena perutnya sakit.“Saya tidak mau meeting bersama dengan Siska. Tolong kamu batalkan saja meeting itu!”Alisa sangat terkejut dengan keputusan Modi saat ini. Entah, kenapa pria itu malah lebih memilih membatalkan meeting saja.“Pak Bos ini meeting penting, kita tidak bisa membatalkan meeting itu.” Alisa benar-benar memberikan alasan agar modi lekas pergi bersama Siska.Alisa sendiri ingin periksa ke dokter tentunya, karena masalah diare yang sedang dirasakan saat ini.“Kamu tidak pintar berbohong terhadap saya.”Mau tidak mau Alisa terpaksa ikut dalam meeting tersebut walau menahan rasa sakit perutnya itu.‘Dasar Bos Gendeng nggak punya perasaan!’ gerutu Alisa dalam hati.Wira yang tahu Alisa sedang tidak sehat pun menghentikan langkah Modi.“
Ica keluar ruangan Modi dalam keadaan menggerutu. Hal itu tentu saja membuat jiwa kepo Siska meronta. "Kamu ngapain aja di ruangan, Pak Bos? Keluarnya menggerutu seperti itu? Hayoo! Jangan-jangan abis," Siska sengaja menggoda Ica, agar Ica mau menjawab pertanyaannya. "Kalau punya otak jangan dibuat mesum pikirannya tuh. Masalah ngapain saya di dalam bukan urusan kamu! Urusin aja urusan pekerjaanmu itu!" Ica menjawab dengan nada yang galak. Terlihat jelas, jika Ica saat ini tengah marah. Siska pun bergedik ngeri, kemudian menjauh dari tempat Ica berada. 'Ternyata dia ganas juga ya. Namun, aku tidak rela, jika dia berdekatan dengan Modi trus,' batin Siska. Siska trus memperhatikan Ica. Sepertinya wanita itu sangat serius dengan berkas yang saat ini ia kerjakan. Kemudian, Siska melanjutkan pekerjaannya. "Hai, Ica!" Wira datang dengan senyum yang mengembang membuat Siska sem
Ica menghela nafasnya dengan berat. 'Ish, si Bos Gendeng sensi terus apa, ya? Sepertinya tidak bisa kalau melihat aku tenang?' gumam Ica dalam hati. Walaupun hati menggerutu, namun ia tetap melakukan apa yang diminta bosnya itu.Ica segera menaruh berkas-berkas itu di meja kerja Modi. Untung saja Modi sedang tidak ada di ruangannya. Ica sedikit bernafas lega. Setidaknya dia tidak harus bertemu Bos Gendeng itu. Saat Ica mulai melangkahkan kaki, dan tangannya menarik pintu, pintu tersebut didorong hingga tertutup kembali. Pintu itu didorong seorang pria yang berada di belakang tubuh Ica."Mau kemana terburu-buru?" tutur Modi tersenyum menyeringai sambil mendorong pintu.Modi sengaja bersembunyi di balik pintu kamar pribadinya, yang juga tak
Wira langsung tancap gas setelah mengantar Modi pulang. Wira pun menuruti segala titah Modi. Di tengah perjalanan Wira berpikir bahwa saat ini adalah saat yang tepat untuk bertanya pada Alisa."Kebohongan apa yang sedang Anda sembunyikan dari Modi? Apa sebenarnya niat terselubung Anda?" tanya Wira sangat serius.Alisa menatap Wira dengan tatapan yang tak dapat diartikan. Alisa sungguh sangat bingung apa maksud dari ucapan asisten kepercayaan Modi itu."Sungguh saya tidak mengerti maksud ucapan Pak Wira itu apa?"Wira masih tetap fokus menyetir, walaupun Wira masih mencoba mencecar Alisa untuk mendapat jawaban itu. "Jangan berpura-pura tak meng
Alisa sengaja meminta maaf terlebih dahulu, karena tak ingin mendapat masalah lagi dengan Modi. Sudah cukup lelah hari ini ia menghadapi berkas-berkas yang Modi berikan. Alisa segera berlalu setelah tubuhnya berdiri tegak.Modi mengernyit kemudian tersenyum smirk. 'Ternyata cepat juga dia akan takluk padaku. Sungguh aku sangat penasaran bagaimana jika wanita galak itu bergelut di atas ranjang,' batin Modi. Pikiran Modi jika sedang kacau pasti mengarah pada selangkangan wanita.Alisa mulai mengotak-atik ponselnya untuk memesan ojek online. Baru saja ingin memesan malah ponsel itu habis batery. Sungguh sial hari ini yang dialami Ica. Sudah lembur sampai hampir tengah malam, belum makan, dan lagi harus mengalami batery ponsel habis saat urgent.Han
Wira akhirnya menemukan kabar tentang Alisa. Sedikit info itu, membawa Wira pada titik terang dimana Alisa berada. Mata Wira dengan teliti, membaca e-mail yang dikirimkan oleh anak buahnya. Wira masih berkutat dalam laptop, hanya sekadar membaca info tentang Alisa. "Jadi Alisa, sebenarnya ada di Kota ini. Tapi kenapa, aku dan Modi sangat sulit melacaknya, ya?" ucap Wira bermonolog. Bertanya pada diri sendiri yang tentu saja kebingungan. Tak ingin berlarut dalam kebingungan, Wira meminta foto terbaru milik Alisa. Mungkin saja, jika Alisa merubah dandanannya. Wira memperhatikan foto itu. Sepertinya, ia mengenali siapa Alisa, yang berada dalam foto itu. Netra Wira semakin terbelalak, saat
Tatapan Modi semakin menjadi, bagai ingin memakan wanita itu. Berani sekali wanita itu menamparnya, di saat semua wanita lain mengantri ingin menjadi kekasihnya. Ingin sekali membalas menampar atau sekadar memberikan pelajaran, tetapi ia urungkan mengingat ia adalah lelaki yang harus melindungi wanita bukan melukai wanita dengan kekerasan."Kau telah membangunkan singa tidur, berarti Kau, harus siap menerima akibatnya!" Ancaman yang lolos begitu saja dari mulut Modi. Kemudian ia pergi begitu saja, meninggalkan wanita itu.Alisa kembali ke ruangan tempat ia bekerja. Alisa sangat paham, jika siapa pun yang berurusan dengan Modi akan siap untuk dipecat. Alisa segera membenahi barang untuk pergi.Modi semakin kesal, dengan wanita yang biasa disebut Ica itu. Modi segera memanggil Pak Yan
Perasaan bersalah hinggap di hati Alisa, harusnya ia tidak pernah mengajari Modi agar bisa mandiri dahulu. Jika hal itu malah membuat Modi menjadi lupa diri."Iyalah tidak sengaja, kalau memang disengaja berarti Kau cari mati!" Modi semakin berteriak.Hanya tatapan kebencian yang dilayangkan Modi pada Alisa. Menatap tajam bagai memiliki dendam kesumat. "Siapa namamu dan kamu itu bagian apa? Nanti biar pihak HRD memotong gajimu." Perkataan Modi terlihat jelas sangat tak mementingkan kata maaf."Panggil saja saya Ica, Pak!" tutur Alisa karena semenjak ia kuliah mengganti nama panggilannya. Alisa sengaja tidak memberitahu identitas aslinya pada Modi. Alisa ingin jika ia bekerja di perusahaan milik Modi karena pre
Tubuh tegap, tinggi, juga tampan penuh semangat menghiasi wajah tampan sang CEO. Di depan lobi, semangat itu musnah begitu saja. Pemandangan yang tak mengenakan itu terpampang jelas di depan mata. Betapa hancur dan malu yang ia rasakan. Reputasinya bisa hancur karena dua orang wanita tengah beradu mulut, di dalam ruang tunggu lobi. 'Belum juga aku memasuki kantor, sudah harus melihat pertunjukan dua wanita itu. Sungguh memalukan sekali. Dasar wanita murahan,' batin Modi "Modi milikku dan kekasihku!" Sasha menunjuk jari ke tubuh dengan keangkuhan. Merasa sebagai wanita yang memiliki hubungan spesial dengan CEO itu, juga merasa paling cantik. Tatapan tajam diperlihatkan, bagai elang yang ingin menerkam mangsa. Tatapan mata wanita di depannya pun