Sapaan dari sekretaris sementara Mahanta membuat Ziana tersenyum. Wanita cantik itu lalu membantu Mahanta membawa perlengkapan bayi Nanda ke dalam ruang kerja Mahanta. “Siapa namamu?”“Nama saya Mela, Bu Ziana. Saya sekretaris pengganti sementara Pak Lintang.”“Mela, apa meetingnya sudah dimulai?” tanya Mahanta yang sibuk di meja kerjanya. “Sudah, pak. Bapak bisa ke ruang meeting sekarang.”“Pesankan makan siang untuk Rania. Tanyakan saja dia mau makan apa,” titah Mahanta lalu mendekati Ziana yang sudah duduk di sofa. “Sayang, aku meeting dulu ya. Santai saja disini dulu.”“Iya, mas. Kamu tenang saja. Ada Mela disini.”Mahanta pun keluar dari ruang kerjanya dan langsung masuk ke ruang meeting. Sesuai perintah Mahanta, Mela segera memesan makanan untuk Rania. Saat makanannya datang, Nanda kembali menangis kencang lantaran haus lagi. Dengan telaten Ziana menyusui bayi itu sambil membayangkan Zaidan di mansion. “Oh, astaga,” ucapnya membuat Mela yang sedang membantu menyuapi Rania men
Suasana pagi itu memancarkan keheningan yang mencekam di dalam sebuah kamar hotel. Ziana membuka matanya perlahan mengikuti irama detak jantungnya yang terasa berdegup kencang. Sejenak Ziana mencoba mengenali keberadaannya saat ini. Namun, dalam sekejap, keterkejutan menyelinap masuk ke dalam relung hatinya yang gelap.“Aku dimana?! Bajuku?!”Tubuhnya terbungkus dalam selimut yang hangat, menghadap langit-langit kamar hotel yang asing baginya. Perlahan, ingatan bergelut memecahkan kebimbangan yang merayapi pikirannya. Di mana dia? Apa yang terjadi semalam? Pertanyaan itu berputar-putar di dalam benaknya, mencari jawaban yang sesak terkekang.Ziana memperhatikan setiap sudut kamar dengan tatapan waspada. Namun, tak ada yang menyambut, kecuali gemerisik halus suara air dari arah kamar mandi, menciptakan harmoni suara alam yang bersahaja. Detik demi detik berlalu, mengoyak kebingungan yang berputar di sekelilingnya. Suara air itu menjadi penanda keberadaan seseorang di ruangan itu.“Aku
Di lobby kantor R.D. Company, Ziana menghentikan langkahnya demi meraup oksigen memenuhi paru-parunya yang nyaris kosong. Gelisah dan tegang, dia memeriksa jam tangannya sekali lagi, menyadari waktunya bergerak sangat cepat."Semoga aku tidak terlambat," gumam Ziana pada dirinya sendiri, sambil mengatur nafasnya.Tiba-tiba pandangannya terperangkap oleh pemandangan yang mengejutkan. Semua orang berbaris di ruang lobby, seolah menunggu seseorang yang sangat penting. Ketegangan menggantung di udara, membuatnya merinding. Apa yang sedang terjadi?Sebuah spanduk yang terpasang di dinding lobby menjawab rasa penasaran Ziana. Mereka semua menunggu kedatangan CEO baru. Ziana segera bergabung dengan barisan yang sudah terbentuk, mencoba menekan rasa penasaran yang tumbuh di dalam dirinya.“Semuanya tenang! Pak CEO sudah datang!” seru salah satu sekuriti yang berjaga di depan lobby.Segera, sebuah mobil mewah berhenti di depan pintu masuk, menarik perhatian semua orang di dalam lobby. Mata Zia
“Apa kamu nggak keterlaluan? Dia perempuan. Tubuhnya akan kelelahan kalau terus bekerja sekeras itu,” ucap Lintang setelah menjelaskan pekerjaan yang sudah berhasil diselesaikan Ziana dalam waktu singkat.“Aku hanya ingin minta penjelasan. Apa susahnya?” Mahanta mendengus cuek.“Lalu setelah kamu dengar penjelasannya, mau apa? Kamu sadar nggak, sejak awal hubungan kalian__”“Kamu mau bilang apa? Mau ngingetin lagi soal taruhan itu? Iya?”“Maksudku, hubungan kalian itu banyak banget halangannya. Dan__” Lagi-lagi ucapan Lintang terhenti karena gangguan dari ponsel Mahanta yang tergeletak di atas meja. Nama Sherena terpampang sangat jelas disana. Lintang menunjuk ponsel Mahanta, “__ dia salah satu penghalang itu.”“Jangan banyak bicara.”Mahanta tidak lantas mengangkat telepon dari Sherena. Sekali panggilannya tidak dijawab, Sherena menelpon sekali lagi, membuat Mahanta terpaksa menjawabnya. Wanita itu sangat keras kepala dan Mahanta baru menyadari hal itu sekarang.“Ada apa?” tanya Maha
“Apa kau sudah gila?! Cepat selesaikan!”“Ya, maaf, bos. Aku lupa mengganti metode pembayarannya,” sahut Lintang gugup. Untung saja Ziana punya cukup uang untuk membayar semuanya atau mereka akan ketahuan menguntit wanita itu. “Sebentar, bos. Aku telpon dia dulu.”Ziana baru saja meletakkan bungkusan makanan itu diatas meja ketika ponselnya berdering nyaring. Melihat nama Lintang, Ziana segera masuk ke kamarnya dan menjawab telepon itu.[“Malam, Ziana. Maaf mengganggu. Apa kau sudah sampai di rumah?”] tanya Lintang berbasa-basi membuat Mahanta kembali menendang kursinya.“Selamat malam, Pak. Barusan saya sampai. Ada apa ya, Pak?”[“Sebelumnya aku minta maaf ya. Tadi aku memesan makanan untuk Bos Maha. Tapi aku salah memasukkan alamat. Apa makanannya sudah sampai di rumahmu?”]Ziana mengepalkan tangannya mengira kalau semua kiriman makanan itu sengaja dikirim Mahanta untuk mempermalukannya. “Sudah sampai semua, Pak. Mau saya kirim ke kantor atau ke rumah Pak Maha?”Lintang melirik Maha
Setelah sepuluh menit, Ziana terpaksa keluar dengan tubuh berbalut handuk saja. Ia terkejut melihat Mahanta berdiri di dekat jendela besar di dalam ruangan itu. Baru saja Ziana berbalik hendak masuk kembali ke dalam kamar mandi, Mahanta memanggilnya.“Ziana, apa kau ingin menggodaku?”Ziana memejamkan matanya menahan air matanya agar tidak jatuh, lalu berkata lirih, “Toh Bapak sudah lihat semuanya. Saya hanya meminjam handuk ini sampai pakaian saya kering. Kalau tidak boleh juga, ijinkan saya meminjam kamar mandi Bapak lima menit lagi.”“Sampai kapan kau akan terus bersikap seperti ini, Ziana?”Ziana berbalik menatap Mahanta dengan air mata membasahi pipinya. Dia benci menangis di depan Mahanta, memperlihatkan kelemahannya hingga memberi celah pada pria itu untuk menghinanya lagi. Ziana bahkan tidak tahu apa kesalahannya pada Mahanta hingga membuat pria itu tega mempermainkan perasaannya.“Apa maumu, Maha? Apa salahku sama kamu? Apa aku pernah membuatmu sakit hati? Apa aku pernah melu
Mahanta dan Lintang sedang menunggu Ziana keluar dari ruang pribadi Mahanta sambil melanjutkan pekerjaan mereka. Sesekali Mahanta melirik ke arah pintu yang masih tertutup. Baru lima belas menit berlalu, dan belum ada tanda-tanda Ziana akan keluar dari sana. “Apa kau yakin dengan pemecatan Ziana? Tidak ada kesempatan lagi?” tanya Lintang memecah keheningan diantara mereka. “Aku tidak mungkin menarik kata-kataku. Dia akan berpikir aku plin-plan.” “Dia sudah berusaha memperbaiki kesalahannya. Aku dengar dari sekuriti hotel kalau Ziana hampir kecelakaan karena ngebut waktu nganterin dokumen kontrak kerja itu. Untung cuma bajunya yang kotor, nggak sampai terluka. Kesalahannya hanya tidak sengaja ketiduran karena ulahmu juga, bos.” Mahanta terdiam mendengar penjelasan Lintang. Dia terlalu keras pada Ziana demi meminta penjelasan pada perempuan itu. Egonya hampir mencelakai Ziana. “Apa kau sudah mendengar penjelasannya? Apa katanya?” tanya Lintang lagi. “Banyak salah paham diantara ka
Keesokan harinya, Ziana tiba lebih pagi di kantor CEO. Ia menyiapkan semuanya dengan baik dan teliti sambil menunggu kedatangan Mahanta dan Lintang. Berkali-kali Ziana meyakinkan dirinya untuk bersikap profesional dan tidak mengingat apa yang terjadi kemarin. “Selamat pagi, Ziana. Kau datang lebih pagi dari biasanya,” sapa Lintang. Tampak Mahanta berjalan di belakang pria itu. Tatapannya tetap tidak berubah, dingin dan cuek. “Selamat pagi, Pak Maha, Pak Lintang. Saya sudah berjanji sebelumnya. Maafkan atas keteledoran saya kemarin.” Ziana sedikit membungkukkan tubuhnya demi meminta maaf dengan tulus. “Sudah. Kembali bekerja. Hari ini kita ada klien yang sangat penting,” ucap Mahanta sambil berjalan melewati Ziana. “Baik, Pak.” Ziana segera mempersiapkan bahan meeting dan ruangan meeting yang akan menjadi tempat pertemuan kali ini. Dari profil klien yang Ziana baca, klien mereka kali ini memang sedikit rewel dan banyak tuntutan. Sepuluh menit sebelum waktu meeting tiba, klien itu