Share

Bab 2 – CEO Baru

Penulis: Sanny Rama
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Di lobby kantor R.D. Company, Ziana menghentikan langkahnya demi meraup oksigen memenuhi paru-parunya yang nyaris kosong. Gelisah dan tegang, dia memeriksa jam tangannya sekali lagi, menyadari waktunya bergerak sangat cepat.

"Semoga aku tidak terlambat," gumam Ziana pada dirinya sendiri, sambil mengatur nafasnya.

Tiba-tiba pandangannya terperangkap oleh pemandangan yang mengejutkan. Semua orang berbaris di ruang lobby, seolah menunggu seseorang yang sangat penting. Ketegangan menggantung di udara, membuatnya merinding. Apa yang sedang terjadi?

Sebuah spanduk yang terpasang di dinding lobby menjawab rasa penasaran Ziana. Mereka semua menunggu kedatangan CEO baru. Ziana segera bergabung dengan barisan yang sudah terbentuk, mencoba menekan rasa penasaran yang tumbuh di dalam dirinya.

“Semuanya tenang! Pak CEO sudah datang!” seru salah satu sekuriti yang berjaga di depan lobby.

Segera, sebuah mobil mewah berhenti di depan pintu masuk, menarik perhatian semua orang di dalam lobby. Mata Ziana memperbesar, jantungnya berdegup lebih cepat lagi saat seorang pria tampan keluar dari mobil itu.

“Maha…” bisiknya pelan, hingga hanya dirinya yang bisa mendengar suaranya.

Mahanta berdiri tegak, berpakaian jas lengkap yang membuatnya terlihat gagah dan berwibawa. Wajahnya dingin, memancarkan aura kekuatan dan ketegasan. Ziana, seperti semua orang lain di ruangan itu, terpana oleh kehadiran Mahanta.

“Selamat datang, Pak CEO!” seru manajer personalia memimpin penyambutan untuk Mahanta.

Perasaan Ziana campur aduk. Bagaimana bisa Mahanta menjadi CEO di perusahaan itu. Ziana kecolongan saat mengecek pemilik perusahaan dan melupakan nama belakang Mahanta. Dia ingin sekali menghilang, bersembunyi di balik sudut ruangan, agar tidak terlihat oleh Mahanta. Tapi itu sudah terlambat, karena Mahanta semakin dekat ke arahnya lalu berhenti tepat di depannya.

Ziana berusaha menahan getaran dalam dirinya, berusaha tampak tenang meskipun pikirannya mulai kalut. Sulit menjaga sikap profesional saat gejolak emosi membombardir jantungnya. Saat Ziana memberanikan diri menatap Mahanta, pria itu balas menatapnya dingin.

“Selamat pagi, semuanya. Kembali bekerja,” ucap Mahanta dingin lalu berjalan mendekati lift dan masuk ke dalamnya.

Semua orang langsung bubar kembali ke posisi masing-masing, sambil sesekali bergosip tentang CEO mereka yang baru. Diantara mereka membicarakan sikap dingin Mahanta, tapi memuji ketampanan pria itu. Beberapa karyawan yang bekerja di lantai atas, menunggu lift dengan tertib. Saat Ziana menunggu bersama mereka, manajer personalia memanggilnya.

“Ziana, ikut saya.”

“Baik, Bu.”

Meskipun tidak mengerti kenapa dirinya dipanggil, Ziana bisa menebak kalau ini ada hubungannya dengan keterlambatannya tadi. Dibawah tatapan rekan-rekan kerjanya, Ziana mengikuti manajer personalia masuk ke dalam lift lebih dulu. Alih-alih berhenti di lantai tempat kantor manajer personalia, lift terus naik sampai ke lantai paling atas gedung itu.

Rasa hati ingin bertanya kemana tujuan mereka, tapi Ziana memilih diam dan ikut saja. Posisinya sebagai karyawan baru yang baru bekerja selama enam bulan sedang terancam. Ziana terus mengikuti manajer personalia itu sampai mereka berhenti di depan meja kerja yang kosong.

“Ziana, mulai hari ini kamu dipindahtugaskan sebagai sekretaris CEO yang baru. Ini meja kerjamu.”

“Apa?! Nggak salah, Bu?” Ziana melotot kaget dan cemas dengan kejutan yang diterimanya. “Tapi saya tidak memiliki kualifikasi sebagai sekretaris, Bu. Apa ini tidak terlalu... cepat?”

Ziana baru saja berharap tidak akan bertemu dengan Mahanta lagi. Tapi justru semesta mengirim pria itu menjadi CEO perusahaan tempatnya bekerja dan dia ditunjuk sebagai sekretarisnya. Ziana sempat berpikir untuk resign saja, tapi mengingat denda pinalti pelanggaran kontrak kerja membuatnya urung.

“Justru ini kesempatan yang bagus, Ziana. Tidak semua orang beruntung mendapatkan posisi ini. Tentu saja informasi tentang tunjangan dan juga kenaikan gaji akan segera saya kirimkan ke nomormu. Sekarang, silakan mulai bekerja. Saya akan perkenalkan kamu dengan CEO yang baru.”

Tanpa menunggu jawaban Ziana, manajer operasional itu mengetuk pintu ruang kerja CEO. Pintu itu terbuka beberapa saat kemudian, menampilkan pria yang sama dengan pria yang Ziana lihat di hotel.

“Selamat pagi, Pak Lintang. Saya mengantar Ziana, sekretaris Bapak CEO yang baru,” ucap manajer personalia itu sambil melirik ke arah Ziana.

“Terima kasih. Bu manajer bisa kembali,” ucap Lintang lalu membuka pintu lebih lebar. “Ziana, silakan masuk.”

Ziana menundukkan kepalanya sejenak, sebagai sikap sopan santun, lalu berjalan memasuki ruang kerja CEO. “Permisi, Pak.”

Untuk pertama kalinya Ziana menginjakkan kakinya di kantor CEO perusahaannya. Ruangan itu cukup lengang dengan minimnya dekorasi di dalamnya. Selain meja kerja CEO yang berada di dekat jendela, ada sofa besar yang melingkar di tengah ruangan dengan meja kaca di tengahnya.

Perhatian Ziana teralihkan saat pintu tiba-tiba tertutup. Lintang meninggalkannya begitu saja hanya sendirian di ruang kerja Mahanta. Pria itu bahkan belum terlihat batang hidungnya membuat Ziana merinding dan cemas. Tiba-tiba pintu di sebelah kanannya terbuka lebar membuat jantung Ziana nyaris lompat dari tempatnya.

“Sedang apa kamu disini?” tanya Mahanta membuat Ziana bingung menjawabnya.

“Saya dipindahtugaskan menjadi sekretaris Bapak. Apa informasinya salah? Kalau begitu, saya permisi dulu, Pak,” sahut Ziana cepat lalu berbalik hendak kabur.

“Tunggu!”

Langkah kaki Ziana terhenti sebelum berbalik cepat menatap Mahanta lagi. “Ada apa, Pak?”

“Kalau keputusannya seperti itu, kamu harus terima atau mengundurkan diri. Pilih salah satu.”

Ziana ingin sekali memukul Mahanta saat itu karena menyimpulkan apapun seenaknya sendiri. Tapi ucapan Mahanta selanjutnya membuat Ziana mengepalkan tangannya menahan emosi.

“Kalau mau mundur, siapkan saja denda pinaltinya. Manajer personalia bisa membantumu mempercepatnya.”

“Saya terima tugas ini, Pak. Saya belum mengatakan apa-apa, tapi kenapa Bapak memojokkan saya seperti ini ya?”

“Memojokkan? Semakin lama tuduhanmu semakin kelewatan ya.”

Ziana mengekori langkah Mahanta yang berjalan kembali ke meja kerjanya. “Itu fakta,” bisik Ziana membuat Mahanta menatapnya tajam.

“Karena kau sudah disini, aku masih menunggu penjelasanmu. Kenapa kau meninggalkanku tiga tahun yang lalu?”

Ziana menghela nafas panjang, sebelum berkata, “Sebagai seorang pemimpin sebuah perusahaan besar, seharusnya Bapak bisa memisahkan antara urusan pribadi dan pekerjaan. Saya menolak menjawab pertanyaan Bapak.”

Mahanta mengatupkan kedua tangannya di depan dagunya tanpa melepaskan pandangannya dari Ziana. “Jadi ini pilihanmu. Baik. Kita lihat sejauh apa kau bisa bertahan.”

Ziana melihat Mahanta menekan tombol di pesawat telepon diatas meja kerjanya. Tak lama, Lintang kembali masuk ke dalam ruang kerja Mahanta.

“Ya, bos? Ada apa?” tanya Lintang.

“Lintang, tunjukkan padanya tugas sekretaris yang sebenarnya. Detail. Aku tidak mau ada sedikitpun kesalahan atau dia dipecat,” titah Mahanta lalu mengusir Ziana dan Lintang dengan tangannya.

“Ikut aku,” pinta Lintang pada Ziana.

Mahanta benar-benar serius dengan ucapannya. Ziana harus mengerjakan banyak sekali pekerjaan dibawah pengawasan Lintang. Tidak jarang Ziana harus menerima omelan dari Lintang ketika membuat kesalahan. Tidak ada celah sedikitpun karena Mahanta ingin semua pekerjaan dilakukan dengan sempurna.

“Ziana, pekerjaanmu kali ini sudah benar.” Ziana sudah merasa senang karena akhirnya dia berhasil. Tapi Lintang belum selesai. “Sekarang kamu kerjakan semua dokumen itu.”

Ziana mengikuti arah yang ditunjuk Lintang dan ternganga melihat dokumen yang hampir setara dengan meja kerjanya.

Bab terkait

  • Mengandung Benih Bos Arogan   Bab 3 – Cemburu?

    “Apa kamu nggak keterlaluan? Dia perempuan. Tubuhnya akan kelelahan kalau terus bekerja sekeras itu,” ucap Lintang setelah menjelaskan pekerjaan yang sudah berhasil diselesaikan Ziana dalam waktu singkat.“Aku hanya ingin minta penjelasan. Apa susahnya?” Mahanta mendengus cuek.“Lalu setelah kamu dengar penjelasannya, mau apa? Kamu sadar nggak, sejak awal hubungan kalian__”“Kamu mau bilang apa? Mau ngingetin lagi soal taruhan itu? Iya?”“Maksudku, hubungan kalian itu banyak banget halangannya. Dan__” Lagi-lagi ucapan Lintang terhenti karena gangguan dari ponsel Mahanta yang tergeletak di atas meja. Nama Sherena terpampang sangat jelas disana. Lintang menunjuk ponsel Mahanta, “__ dia salah satu penghalang itu.”“Jangan banyak bicara.”Mahanta tidak lantas mengangkat telepon dari Sherena. Sekali panggilannya tidak dijawab, Sherena menelpon sekali lagi, membuat Mahanta terpaksa menjawabnya. Wanita itu sangat keras kepala dan Mahanta baru menyadari hal itu sekarang.“Ada apa?” tanya Maha

  • Mengandung Benih Bos Arogan   Bab 4 – Dipecat

    “Apa kau sudah gila?! Cepat selesaikan!”“Ya, maaf, bos. Aku lupa mengganti metode pembayarannya,” sahut Lintang gugup. Untung saja Ziana punya cukup uang untuk membayar semuanya atau mereka akan ketahuan menguntit wanita itu. “Sebentar, bos. Aku telpon dia dulu.”Ziana baru saja meletakkan bungkusan makanan itu diatas meja ketika ponselnya berdering nyaring. Melihat nama Lintang, Ziana segera masuk ke kamarnya dan menjawab telepon itu.[“Malam, Ziana. Maaf mengganggu. Apa kau sudah sampai di rumah?”] tanya Lintang berbasa-basi membuat Mahanta kembali menendang kursinya.“Selamat malam, Pak. Barusan saya sampai. Ada apa ya, Pak?”[“Sebelumnya aku minta maaf ya. Tadi aku memesan makanan untuk Bos Maha. Tapi aku salah memasukkan alamat. Apa makanannya sudah sampai di rumahmu?”]Ziana mengepalkan tangannya mengira kalau semua kiriman makanan itu sengaja dikirim Mahanta untuk mempermalukannya. “Sudah sampai semua, Pak. Mau saya kirim ke kantor atau ke rumah Pak Maha?”Lintang melirik Maha

  • Mengandung Benih Bos Arogan   Bab 5 – Sebuah Penjelasan

    Setelah sepuluh menit, Ziana terpaksa keluar dengan tubuh berbalut handuk saja. Ia terkejut melihat Mahanta berdiri di dekat jendela besar di dalam ruangan itu. Baru saja Ziana berbalik hendak masuk kembali ke dalam kamar mandi, Mahanta memanggilnya.“Ziana, apa kau ingin menggodaku?”Ziana memejamkan matanya menahan air matanya agar tidak jatuh, lalu berkata lirih, “Toh Bapak sudah lihat semuanya. Saya hanya meminjam handuk ini sampai pakaian saya kering. Kalau tidak boleh juga, ijinkan saya meminjam kamar mandi Bapak lima menit lagi.”“Sampai kapan kau akan terus bersikap seperti ini, Ziana?”Ziana berbalik menatap Mahanta dengan air mata membasahi pipinya. Dia benci menangis di depan Mahanta, memperlihatkan kelemahannya hingga memberi celah pada pria itu untuk menghinanya lagi. Ziana bahkan tidak tahu apa kesalahannya pada Mahanta hingga membuat pria itu tega mempermainkan perasaannya.“Apa maumu, Maha? Apa salahku sama kamu? Apa aku pernah membuatmu sakit hati? Apa aku pernah melu

  • Mengandung Benih Bos Arogan   Bab 6 – Rencana Jahat

    Mahanta dan Lintang sedang menunggu Ziana keluar dari ruang pribadi Mahanta sambil melanjutkan pekerjaan mereka. Sesekali Mahanta melirik ke arah pintu yang masih tertutup. Baru lima belas menit berlalu, dan belum ada tanda-tanda Ziana akan keluar dari sana. “Apa kau yakin dengan pemecatan Ziana? Tidak ada kesempatan lagi?” tanya Lintang memecah keheningan diantara mereka. “Aku tidak mungkin menarik kata-kataku. Dia akan berpikir aku plin-plan.” “Dia sudah berusaha memperbaiki kesalahannya. Aku dengar dari sekuriti hotel kalau Ziana hampir kecelakaan karena ngebut waktu nganterin dokumen kontrak kerja itu. Untung cuma bajunya yang kotor, nggak sampai terluka. Kesalahannya hanya tidak sengaja ketiduran karena ulahmu juga, bos.” Mahanta terdiam mendengar penjelasan Lintang. Dia terlalu keras pada Ziana demi meminta penjelasan pada perempuan itu. Egonya hampir mencelakai Ziana. “Apa kau sudah mendengar penjelasannya? Apa katanya?” tanya Lintang lagi. “Banyak salah paham diantara ka

  • Mengandung Benih Bos Arogan   Bab 7 – Sumber Luka

    Keesokan harinya, Ziana tiba lebih pagi di kantor CEO. Ia menyiapkan semuanya dengan baik dan teliti sambil menunggu kedatangan Mahanta dan Lintang. Berkali-kali Ziana meyakinkan dirinya untuk bersikap profesional dan tidak mengingat apa yang terjadi kemarin. “Selamat pagi, Ziana. Kau datang lebih pagi dari biasanya,” sapa Lintang. Tampak Mahanta berjalan di belakang pria itu. Tatapannya tetap tidak berubah, dingin dan cuek. “Selamat pagi, Pak Maha, Pak Lintang. Saya sudah berjanji sebelumnya. Maafkan atas keteledoran saya kemarin.” Ziana sedikit membungkukkan tubuhnya demi meminta maaf dengan tulus. “Sudah. Kembali bekerja. Hari ini kita ada klien yang sangat penting,” ucap Mahanta sambil berjalan melewati Ziana. “Baik, Pak.” Ziana segera mempersiapkan bahan meeting dan ruangan meeting yang akan menjadi tempat pertemuan kali ini. Dari profil klien yang Ziana baca, klien mereka kali ini memang sedikit rewel dan banyak tuntutan. Sepuluh menit sebelum waktu meeting tiba, klien itu

  • Mengandung Benih Bos Arogan   Bab 8 – Tuduhan Pelakor Lagi

    “Sampai kapan kau akan terus seperti itu, bos?” tegur Lintang setelah lagi-lagi memergoki Mahanta sedang melamun sambil menatap keluar jendela kantornya. “Apa dia serius dengan ucapannya, Tang?” “Ucapan apa? Siapa yang kamu maksud?” “Ziana.” Lintang menaikkan alisnya, mulai kepo lagi dengan urusan yang membuat Mahanta galau. “Memangnya Ziana bilang apa?” “Aku tidak bisa menjadi obat untuk lukanya.” “Aku setuju dengan Ziana,” sambar Lintang cepat, tapi pria itu menyadari tatapan Mahanta yang tidak bersahabat. “Maksudku, Ziana butuh waktu dan juga kejelasan tentang apa yang kau rasakan dulu padanya, bos. Perempuan itu ingin jaminan yang jelas untuk masa depan mereka.” “Apa maksudmu? Aku nggak ngerti.” Lintang menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sulit sekali menyampaikan sesuatu kalau berkaitan dengan perempuan. Ia juga tahu kemungkinan Mahanta akan jujur dengan perasaannya sendiri adalah nyaris nol persen. “Kalian hanya perlu bicara dari hati ke hati,” sambung Lintang akhirny

  • Mengandung Benih Bos Arogan   Bab 9 – Mual Lagi

    “Tapi nggak seharusnya dekat dengan pria beristri. Gimana kalau istrinya salah paham dan menuduhnya sebagai pelakor?” “Bukannya Sherena juga menyebut Ziana pelakor ya? Tapi kalian belum menikah tuh.” Mahanta terdiam mendengar ucapan Lintang. Pria itu tersadar dengan ucapannya pada Ziana tadi. Pantas saja Ziana mengatakan hal seperti itu. Sherena memang menuduh Ziana pelakor saat taruhan Mahanta dan teman-temannya akhirnya terbongkar. “Sudah sadar dengan kesalahanmu? Makanya kalau ngomong pakai otak,” sambung Lintang. “Kamu yang gila. Dimana-mana ngomong pakai bibir. Mikir pakai otak!” sambar Mahanta. Lintang memutar bola matanya malas. “Aku ingin tahu apa yang akan kau lakukan kalau tahu kebenarannya.” “Jangan berbelit-belit. Lagian kenapa kau ribut sekali membela Ziana? Jangan-jangan kamu juga suka sama dia? Iya?” “Wah! Beneran sudah kena ke otak.” Lintang menunjuk Mahanta dengan kesal. “Pak Renan itu suami kakaknya Ziana.” Mahanta langsung berdiri dari duduknya hingga kursi k

  • Mengandung Benih Bos Arogan   Bab 10 – Ziana Hamil

    “Kamu yakin nggak perlu ke rumah sakit?” tanya Mahanta saat mereka berada di dalam mobil. Setelah Ziana keluar dari toilet, ia meminta ijin pada Mahanta untuk pulang lebih dulu dengan alasan tidak enak badan. Alih-alih membiarkan Ziana pulang sendiri, Mahanta segera membayar makanan mereka dan menuntun Ziana menuju mobilnya. “Iya, Pak. Saya baik-baik saja. Boleh saya turunkan kaca mobilnya?” Mahanta tidak menjawab, tapi menurunkan kaca jendela mobilnya di samping Ziana hingga terbuka seluruhnya. Pria itu juga menurunkan kecepatan mobilnya hingga semilir angin malam berhembus pelan menerpa wajah Ziana. Sesekali Ziana menarik nafas panjang sambil mengelus perutnya yang sudah kosong. “Apa kau mau makan sesuatu? Es krim vanila dengan topping coklat?” Ziana hanya diam dengan kejutan lain dari Mahanta. Pria itu mengingat makanan dan dessert favoritnya. Kalau saja hubungan mereka dulu tidak seburuk itu, mungkin Ziana akan merasa hatinya hangat atas perhatian Mahanta. Tapi justru perasaa

Bab terbaru

  • Mengandung Benih Bos Arogan   Bab 118 – Menarik Simpati Ziana

    Sapaan dari sekretaris sementara Mahanta membuat Ziana tersenyum. Wanita cantik itu lalu membantu Mahanta membawa perlengkapan bayi Nanda ke dalam ruang kerja Mahanta. “Siapa namamu?” “Nama saya Mela, Bu Ziana. Saya sekretaris pengganti sementara Pak Lintang.” “Mela, apa meetingnya sudah dimulai?” tanya Mahanta yang sibuk di meja kerjanya. “Sudah, pak. Bapak bisa ke ruang meeting sekarang.” “Pesankan makan siang untuk Rania. Tanyakan saja dia mau makan apa,” titah Mahanta lalu mendekati Ziana yang sudah duduk di sofa. “Sayang, aku meeting dulu ya. Santai saja disini dulu.” “Iya, mas. Kamu tenang saja. Ada Mela disini.” Mahanta pun keluar dari ruang kerjanya dan langsung masuk ke ruang meeting. Sesuai perintah Mahanta, Mela segera memesan makanan untuk Rania. Saat makanannya datang, Nanda kembali menangis kencang lantaran haus lagi. Dengan telaten Ziana menyusui bayi itu sambil membayangkan Zaidan di mansion. “Oh, astaga,” ucapnya membuat Mela yang sedang membantu menyuapi Ra

  • Mengandung Benih Bos Arogan   Bab 117 – Permintaan Tolong

    “Siapa, sayang?” Mahanta menatap ke arah yang ditunjuk Ziana dengan kening mengerut. “Itu Pak Jay ‘kan? Dia sama Nanda.”Ziana tidak salah mengenali pria tampan yang sedang menggendong seorang bayi di tangannya. Jay tampak cemas memperhatikan mobilnya sambil sesekali menimang bayi Nanda. “Mas, ayo kita kesana. Sepertinya Pak Jay butuh bantuan.”Mahanta sebenarnya enggan membantu Jay setelah apa yang terjadi pada mereka. Tapi ia tidak bisa menahan Ziana yang sudah lebih dulu menggandeng tangan Rania mendekati pria itu. Mahanta mematikan mesin mobil lalu menyusul Ziana. “Pak Jay, kenapa mobilnya?”Jay menoleh lalu tersenyum menatap Ziana. “Ziana, kamu disini. Mobilku sepertinya mogok. Sopirku sedang mencari bantuan. Kamu ngapain disini?”“Saya baru menjemput Rania, Pak. Kebetulan dia bersekolah disini.” Jay tersenyum pada Rania yang bersembunyi di belakang punggung Ziana. “Kesayangan buna, ayo beri salam sama om Jay.”Rania menggeleng pelan, enggan mengulurkan tangannya pada Jay. Ket

  • Mengandung Benih Bos Arogan   Bab 116 – Jadi Atau Tidak?

    “Babe, besok kita ke mansion om Tomo ya. Baju-bajumu masih disana ‘kan?”Arjuna yang baru keluar kamar, menatap bingung pada Rianti yang menelungkupkan wajahnya diatas meja. Mie yang masih mengepulkan asap putih tampak utuh di depannya.“Babe? Kamu tidur?”Arjuna mengguncang bahu Rianti pelan, sambil berusaha melihat wajahnya yang tertutup rambut. Saat Rianti mengangkat wajahnya, Arjuna bisa mencium aroma minuman dari bibir wanita itu.“Babe, kamu minum minumanku?”“Apa? Nggak. Aku baik-baik saja. Pusing, tapi nggak apa-apa.”Arjuna menggaruk kepalanya yang tidak gatal lalu meraih gelas air minum. “Minum dulu ya. Habis itu kamu tidur.”“Nggak enak!” tolak Rianti saat air minum menyentuh bibirnya.“Minum saja. Siapa suruh nakal. Minumanku nggak bisa kamu minum sembarangan, babe.”Arjuna tetap memaksa Rianti meneguk minumannya sampai tersisa setengah. Ia lalu menggendong Rianti masuk ke kamar dan membaringkannya di atas tempat tidur. Usai menyelimuti tubuh Rianti, Arjuna mengecup kening

  • Mengandung Benih Bos Arogan   Bab 115 – Olahraga Malam

    “Pelan, mas. Sa-sakit,” lirih Hannah dengan suara serak menahan hasratnya.“Tahan, sayang. Aku coba lagi ya.”Lintang yang kepalang tanggung, mendorong tubuhnya hingga berhasil memasuki celah sempit milik Hannah. Pria itu mengerang keras saat miliknya terasa hangat dan terjepit ketat. Kenikmatan luar biasa yang dirasakan Lintang membuatnya menunduk mengecup pipi Hannah.Ditatapnya ekspresi wajah Hannah yang meringis menahan sakit. Dia tidak menyangka efek perawatan yang disarankan Ziana membuat miliknya seperti perawan lagi. Akibatnya Hannah merasakan sakit seperti malam pertamanya dengan Renan.“Sakit, mas,” lirih Hannah membuat Lintang mencium bibirnya lagi.Lintang terus menyentuh tubuh Hannah, membuat wanita itu melupakan rasa sakitnya hingga bisa menerima miliknya di dalam sana. Perlahan Lintang menggerakkan tubuhnya hingga miliknya terasa lebih licin. Suara desahan dan decapan mendominasi kamar yang berhawa sangat dingin itu. Tapi sedingin apapun suhu kamar itu tidak bisa mengur

  • Mengandung Benih Bos Arogan   Bab 114 – Baju Halal

    Pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka tanpa peringatan. Hannah yang kaget, nyaris terjatuh karena refleks mundur dari depan pintu. Lintang dengan sigap meraih pinggang Hannah lalu memeluknya.“Hati-hati, sayang. Sedang apa kamu disini?”“Aku... itu... anu...”Rasa gugup membuat Hannah tergagap. Matanya mencoba melirik ke dalam kamar mandi, tepatnya ke arah koper mereka yang terlihat terbuka lebar. Wajah Hannah semakin pias dengan kemungkinan Lintang sudah melihat baju itu.“Kamu kenapa, sayang? Makanannya sudah datang?”“Iya. Sudah. Kamu mau makan sekarang?”“Ayo,” ajak Lintang.Hannah tidak punya alasan untuk membuatnya kembali masuk ke kamar mandi, hingga memilih mengikuti Lintang. Mereka duduk berdampingan lalu mulai menikmati hidangan makan malam di depan mereka. Lezatnya rasa makanan itu membuat Hannah tidak berhenti mencicipinya.“Enak ya?” tanya Lintang yang diangguki Hannah.“Makanannya enak sekali. Pas di lidah. Aku pikir makanan seperti apa yang ada di hotel mewah seperti ini.

  • Mengandung Benih Bos Arogan   Bab 113 – Hadiah Dari Ziana

    Setelah pesta resepsi pernikahan itu selesai, kedua pasang pengantin baru itu pun berangkat dengan mobil masing-masing. Lintang dan Hannah menuju hotel, sedangkan Arjuna dan Rianti menuju apartemen Arjuna.“Wah, hotelnya besar sekali, mas,” puji Hannah kagum. Dia tidak pernah masuk ke hotel sebesar itu selama hidupnya.“Ini hadiah pernikahan dari om Tomo. Hotel ini juga punya om Tomo. Ayo, kita check in dulu.”Lintang menuntun Hannah mendekati resepsionis yang sudah siap menyambut kedatangan mereka. Seorang office boy mengambil alih koper yang dibawa Lintang, lalu mengantar keduanya menuju kamar hotel tempat mereka akan menginap selama tiga hari dua malam itu.“Silakan masuk, tuan, nyonya,” ucap office boy itu setelah pintu kamar terbuka lebar di hadapan mereka.“Terima kasih. Taruh saja kopernya di sini,” sahut Lintang lalu memberikan tip untuk office boy itu.Hannah memasuki kamar lebih dulu dan langsung mendekati jendela besar di dekat tempat tidur. Ia ingin melihat pemandangan dar

  • Mengandung Benih Bos Arogan   Bab 112 – Dua Pasang Pengantin

    “Daripada mereka live show disini? Gimana kalau Rania melihatnya?”Mahanta buru-buru mengeluarkan ponselnya lalu menelpon Arjuna. Dering telepon terdengar jelas dari kantong jas Arjuna, tapi justru diabaikan pria itu yang masih asyik mencumbu Rianti. Belum menyerah, Mahanta mengulangi terus panggilan itu, hingga Rianti menghentikan ciuman Arjuna.“Ada telepon, Ar,” ucap Rianti sambil mendorong pelan bahu Arjuna.“Biarkan saja.”“Tapi sepertinya penting. Kita bisa lanjutkan nanti.”Arjuna menatap wajah Rianti yang sudah memerah sampai ke telinganya. Bibir wanita itu terlihat pucat dan ada sedikit bekas gigitan karena ulahnya. Mau tidak mau Arjuna mengalihkan pandangannya ke arah jasnya yang tergeletak di lantai begitu saja.“Siapa sih, mengganggu saja.” Kening Arjuna mengerut melihat nama Mahanta muncul di layar ponselnya. Pria itu segera mengedarkan pandangannya dan melihat sahabatnya berdiri tidak jauh dari posisinya. “Kamu ngapain sih? Ganggu saja.”“Heh! Kalau nggak gitu, kamu mau

  • Mengandung Benih Bos Arogan   Bab 111 – Takut Khilaf

    Hari yang ditunggu-tunggu, hari pernikahan Hannah dan Lintang akhirnya tiba juga. Semua orang sudah berkumpul di halaman mansion Tomo untuk menyaksikan upacara sakral itu. Meskipun tidak banyak tamu undangan, tapi sudah cukup membahagiakan bagi Hannah dan Lintang. Acara akad akan segera berlangsung ketika Arjuna tiba di mansion itu. Tidak seperti biasanya, wajah pria itu terlihat muram dan lelah. Entah kemana perginya Arjuna yang selalu ceria dan bersemangat. Tanpa mempedulikan sekitarnya, Arjuna segera duduk di kursi khusus untuknya. Ia tersenyum tipis saat bertatapan dengan Mahanta yang duduk bersama Ziana.“Lihat itu Arjuna sudah datang,” bisik Mahanta pada Ziana. “Iya, aku sudah melihatnya. Lihat penampilannya kacau sekali.”“Aku dengar sejak kejadian malam itu, Arjuna hanya mengurung diri di apartemennya. Ia hanya makan kalau Lintang membawakannya makanan. Selebihnya hanya diam melamun. Apa Rianti tidak mengatakan apa-apa?”“Mereka sama-sama keras kepala. Sampai sekarang aku be

  • Mengandung Benih Bos Arogan   Bab 110 – Mari Kita Bicara

    Tengah malam, Rianti tersentak kaget lalu mengerjakan matanya perlahan. Ia mencoba mengingat keberadaannya saat ini yang masih berada di kamar Zaidan. Saat Rianti memeriksa boks bayi itu, matanya melotot karena Zaidan tidak ada di dalam boks itu. “Zaidan dimana?” Lekas Rianti berlari keluar kamar dan melihat sekitarnya sudah gelap. Sedikit ragu, Rianti menoleh ke arah kamar Ziana dan Mahanta. Besar kemungkinan Zaidan ada disana. Tapi alasan kenapa Ziana tidak membangunkan Rianti membuatnya bingung. “Apa kucoba ketuk saja ya?” Rianti berjalan mendekati pintu kamar dan bersiap mengetuknya. Tapi tangannya melayang di udara karena keraguan yang masih menggantung. Akhirnya Rianti memutuskan untuk mengirimkan chat pada Ziana. {“Malam, nona. Maaf saya ketiduran tadi. Apa sekarang bayi Zaidan bersama nona?”}Rianti mengirimkan chat itu dan menunggu. Ia berharap Ziana masih terbangun dan membalas chatnya. Tapi selang lima menit kemudian, belum juga ada balasan dari Ziana. Pesannya juga ti

DMCA.com Protection Status