“Apa kamu nggak keterlaluan? Dia perempuan. Tubuhnya akan kelelahan kalau terus bekerja sekeras itu,” ucap Lintang setelah menjelaskan pekerjaan yang sudah berhasil diselesaikan Ziana dalam waktu singkat.
“Aku hanya ingin minta penjelasan. Apa susahnya?” Mahanta mendengus cuek.
“Lalu setelah kamu dengar penjelasannya, mau apa? Kamu sadar nggak, sejak awal hubungan kalian__”
“Kamu mau bilang apa? Mau ngingetin lagi soal taruhan itu? Iya?”
“Maksudku, hubungan kalian itu banyak banget halangannya. Dan__” Lagi-lagi ucapan Lintang terhenti karena gangguan dari ponsel Mahanta yang tergeletak di atas meja. Nama Sherena terpampang sangat jelas disana. Lintang menunjuk ponsel Mahanta, “__ dia salah satu penghalang itu.”
“Jangan banyak bicara.”
Mahanta tidak lantas mengangkat telepon dari Sherena. Sekali panggilannya tidak dijawab, Sherena menelpon sekali lagi, membuat Mahanta terpaksa menjawabnya. Wanita itu sangat keras kepala dan Mahanta baru menyadari hal itu sekarang.
“Ada apa?” tanya Mahanta dingin.
[“Maha, apa kau sudah makan malam? Aku kangen makan masakanmu.”] Suara Sherena terdengar lembut dan menenangkan seperti kolam yang tenang. Tapi sesungguhnya ada buaya yang sedang menunggu untuk menggigit mangsanya.
“Aku bukan kokimu!”
[“IIh, Maha. Kamu yakin nggak mau ke apartemenku? Kita bisa masak sambil ngobrol kayak dulu. Kayaknya aku ngidam deh.”]
“Anak siapa lagi kali ini?” tanya Mahanta dingin.
[“Sayang, kamu kok gitu sih?”]
Saat Mahanta masih mendengarkan ocehan Sherena, Ziana mengetuk pintu ruangan itu. Lintang membukakan pintu lalu bicara dengan Ziana.
“Maaf, Pak. Apa saya sudah boleh pulang? Pekerjaan saya hari ini sudah selesai,” pinta Ziana dengan wajah pucat dan tubuh yang sudah gemetar kelelahan.
Lintang melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Mereka bahkan melewatkan makan malam karena ulah Mahanta. “Sebentar ya.”
Ziana tetap berdiri di tempatnya saat Lintang kembali mendekati meja kerja Mahanta. Kedua netranya sudah hampir terpejam lantaran sangat lelah dan lapar. Sebelum pulang, Ziana ingin sekali makan lalapan langganannya. Saat kesadarannya mulai menurun, Ziana terhuyung ke depan dan menabrak dada seseorang di depannya.
Sontak Ziana mendongak, terkejut menyadari dada itu milik Mahanta. Ia buru-buru menegakkan tubuhnya dan berpegangan pada pintu di belakangnya. “Ma-maaf, Pak. Saya tidak sengaja,” ucapnya formal.
“Kamu mau pulang?”
“Iya, Pak. Pekerjaan saya sudah selesai. Saya janji besok saya akan datang lebih pagi,” sahut Ziana menahan rasa kantuknya.
“Pergilah.”
Ziana mengangguk ke arah Mahanta dan Lintang lalu berjalan menuju lift. Ia menekan tombol lift yang langsung terbuka di depannya. Baru saja hendak menekan tombol untuk menutup pintu, Mahanta menahan pintu lift dan ikut masuk bersama Lintang. Pria itu tampak bicara dengan seseorang di telepon.
“Aku tahu, Sherena. Aku akan pulang sekarang. Sampai jumpa,” ucap Mahanta lalu menutup teleponnya.
Ziana yang mendengar nama Sherena disebut, seketika merasa sesak di dadanya. Sherena. Nama wanita itu tidak akan pernah Ziana lupakan seumur hidupnya. Sherena adalah kekasih Mahanta, saat pria itu merayunya dan memintanya menjadi pacar Mahanta. Ziana tidak mengetahui kebenaran itu dan terjerat pesona Mahanta begitu saja.
Ziana menghela nafas pelan, sambil bersandar pada dinding lift yang dingin. Seharusnya ia tidak bereaksi seperti ini. Tiga tahun sudah cukup baginya untuk melupakan masa lalu yang kelam. Tapi rupanya hati Ziana tidak benar-benar mengiklaskan kejadian itu.
“...na? Ziana?!”
Ziana tersentak saat Lintang mengguncang bahunya pelan. Dia menatap Lintang dan Mahanta bergantian lalu menegakkan tubuhnya kembali. “A-ada apa, Pak?”
“Aku tanya dari tadi. Kamu turun di lobby atau basement? Kamu kenapa? Sakit?”
Ziana menggeleng pelan sambil tersenyum tipis, “Di basement, Pak. Motor saya parkir disana,” sahutnya lalu mendongak melihat posisi lantai saat ini.
“Apa tidak sebaiknya kamu naik ojek? Kamu yakin berkendara disaat seperti ini?” Lintang melirik Mahanta yang sudah menatapnya dingin. Menggoda Mahanta akan menjadi hobi barunya sekarang.
“Nggak apa-apa, Pak. Saya akan hati-hati. Terima kasih.”
Lift itu terus meluncur sampai ke basement gedung. Mahanta keluar lebih dulu disusul Lintang dan Ziana. Mereka berpisah jalan karena arah parkiran motor dan parkiran mobil CEO berbeda arah. Situasi di basement itu cukup sepi, tapi tingkat keamanannya yang tinggi membuat semua karyawan yang bekerja lembur, bisa merasa tenang saat sendirian.
Setelah memakai atribut untuk berkendara, Ziana pun menjalankan motornya menuju pintu keluar. Ia menekan kartu pegawainya ke sensor yang ada di palang pintu hingga terbuka. Setelah motor Ziana melewati palang pintu itu, mobil Mahanta juga menyusul di belakangnya.
“Ikuti dia. Jangan sampai ketahuan,” titah Mahanta.
“Kenapa nggak nawarin nganterin kalau khawatir?”
Mahanta tidak menjawab karena fokus melihat bagian belakang motor Ziana yang berbaur dengan beberapa pengendara di jalan. Tak lama, Ziana berhenti di depan warung lalapan dan masuk kesana.
“Sepertinya dia lapar. Ngomong-ngomong, kita tadi belum makan malam, bos,” ucap Lintang.
“Kenapa kamu nggak ngomong?!” omel Mahanta sambil memukul pundak Lintang.
“Sudah, bos. Tapi dalam hati.” Lintang kembali menoleh ke depan mobil. “Loh, kok dia keluar lagi nggak bawa apa-apa.”
Atensi keduanya kembali fokus pada Ziana yang terpekur kecewa sambil mengusap perutnya yang lapar. Lalapan yang diinginkan Ziana sudah habis. Sambil menahan rasa lapar, Ziana kembali menjalankan motornya sampai di depan pintu gerbang rumahnya.
“Ini rumah Ziana?” tanya Mahanta sambil memperhatikan ukuran rumah yang tidak lebih besar dari kamarnya.
“Sepertinya iya. Buktinya dia masuk kesana.”
“Cepat pesan makanan. Antarkan kesini.” Pandangannya tidak lepas dari Ziana yang sudah masuk ke dalam rumahnya.
“Untuk kita, bos?” tanya Lintang yang mendapat lirikan tajam ke arahnya.
Lintang segera memesan makanan lewat aplikasi, dan tak lama kemudian, pintu gerbang rumah itu diketuk seseorang. Ziana mengintip keluar dan melihat beberapa ojol memakai jaket berwarna hijau berdiri di depan pintu gerbang rumahnya.
“Siapa yang pesan makanan?” gumamnya lalu keluar dari rumah. “Ada apa, Pak?”
“Atas nama Ziana? Pesanannya sudah sampai, kak.” Salah satu ojol menyodorkan tas plastik yang dibawanya.
“Tapi saya nggak pesan apa-apa, Pak. Salah alamat ya?” Ziana kebingungan dengan situasi yang sedang dihadapinya.
“Alamatnya benar disini kok. Nama kakak juga Ziana ‘kan? Jadi gimana, kak?”
Mendengar salah satu rekan sesama ojol sedikit berdebat dengan Ziana, membuat ojol lainnya juga melakukan hal yang sama. Mereka tidak mau dirugikan karena orderan fiktif. Desakan mereka membuat Ziana menerima salah satu bungkusan makanan itu.
Setelah semua pesanan makanan itu berpindah tangan ke Ziana, ia mengucapkan terima kasih dan berbalik menuju pintu kamarnya. Saat itu, salah satu ojol itu memanggilnya.
“Kak, pesanannya belum dibayar.”
“Apa?!”
Ziana berbalik cepat dengan wajah pucat dan mata melotot. Dia sangat kesal pada orang yang tidak bertanggung jawab memesan makanan dengan mengatasnamanya dirinya. Puncaknya setelah selesai membayar semuanya, Ziana terpekur sedih melihat saldo di rekeningnya yang nyaris kosong.
“Kenapa hari ini aku sial sekali?!” seru Ziana yang bisa didengar Mahanta dan Lintang dari dalam mobil. Mahanta menatap punggung Ziana yang melangkah masuk kembali ke dalam rumahnya. Setelah pintu tertutup, pria itu menendang kursi Lintang dengan keras.
“Apa kau sudah gila?! Cepat selesaikan!”“Ya, maaf, bos. Aku lupa mengganti metode pembayarannya,” sahut Lintang gugup. Untung saja Ziana punya cukup uang untuk membayar semuanya atau mereka akan ketahuan menguntit wanita itu. “Sebentar, bos. Aku telpon dia dulu.”Ziana baru saja meletakkan bungkusan makanan itu diatas meja ketika ponselnya berdering nyaring. Melihat nama Lintang, Ziana segera masuk ke kamarnya dan menjawab telepon itu.[“Malam, Ziana. Maaf mengganggu. Apa kau sudah sampai di rumah?”] tanya Lintang berbasa-basi membuat Mahanta kembali menendang kursinya.“Selamat malam, Pak. Barusan saya sampai. Ada apa ya, Pak?”[“Sebelumnya aku minta maaf ya. Tadi aku memesan makanan untuk Bos Maha. Tapi aku salah memasukkan alamat. Apa makanannya sudah sampai di rumahmu?”]Ziana mengepalkan tangannya mengira kalau semua kiriman makanan itu sengaja dikirim Mahanta untuk mempermalukannya. “Sudah sampai semua, Pak. Mau saya kirim ke kantor atau ke rumah Pak Maha?”Lintang melirik Maha
Setelah sepuluh menit, Ziana terpaksa keluar dengan tubuh berbalut handuk saja. Ia terkejut melihat Mahanta berdiri di dekat jendela besar di dalam ruangan itu. Baru saja Ziana berbalik hendak masuk kembali ke dalam kamar mandi, Mahanta memanggilnya.“Ziana, apa kau ingin menggodaku?”Ziana memejamkan matanya menahan air matanya agar tidak jatuh, lalu berkata lirih, “Toh Bapak sudah lihat semuanya. Saya hanya meminjam handuk ini sampai pakaian saya kering. Kalau tidak boleh juga, ijinkan saya meminjam kamar mandi Bapak lima menit lagi.”“Sampai kapan kau akan terus bersikap seperti ini, Ziana?”Ziana berbalik menatap Mahanta dengan air mata membasahi pipinya. Dia benci menangis di depan Mahanta, memperlihatkan kelemahannya hingga memberi celah pada pria itu untuk menghinanya lagi. Ziana bahkan tidak tahu apa kesalahannya pada Mahanta hingga membuat pria itu tega mempermainkan perasaannya.“Apa maumu, Maha? Apa salahku sama kamu? Apa aku pernah membuatmu sakit hati? Apa aku pernah melu
Mahanta dan Lintang sedang menunggu Ziana keluar dari ruang pribadi Mahanta sambil melanjutkan pekerjaan mereka. Sesekali Mahanta melirik ke arah pintu yang masih tertutup. Baru lima belas menit berlalu, dan belum ada tanda-tanda Ziana akan keluar dari sana. “Apa kau yakin dengan pemecatan Ziana? Tidak ada kesempatan lagi?” tanya Lintang memecah keheningan diantara mereka. “Aku tidak mungkin menarik kata-kataku. Dia akan berpikir aku plin-plan.” “Dia sudah berusaha memperbaiki kesalahannya. Aku dengar dari sekuriti hotel kalau Ziana hampir kecelakaan karena ngebut waktu nganterin dokumen kontrak kerja itu. Untung cuma bajunya yang kotor, nggak sampai terluka. Kesalahannya hanya tidak sengaja ketiduran karena ulahmu juga, bos.” Mahanta terdiam mendengar penjelasan Lintang. Dia terlalu keras pada Ziana demi meminta penjelasan pada perempuan itu. Egonya hampir mencelakai Ziana. “Apa kau sudah mendengar penjelasannya? Apa katanya?” tanya Lintang lagi. “Banyak salah paham diantara ka
Keesokan harinya, Ziana tiba lebih pagi di kantor CEO. Ia menyiapkan semuanya dengan baik dan teliti sambil menunggu kedatangan Mahanta dan Lintang. Berkali-kali Ziana meyakinkan dirinya untuk bersikap profesional dan tidak mengingat apa yang terjadi kemarin. “Selamat pagi, Ziana. Kau datang lebih pagi dari biasanya,” sapa Lintang. Tampak Mahanta berjalan di belakang pria itu. Tatapannya tetap tidak berubah, dingin dan cuek. “Selamat pagi, Pak Maha, Pak Lintang. Saya sudah berjanji sebelumnya. Maafkan atas keteledoran saya kemarin.” Ziana sedikit membungkukkan tubuhnya demi meminta maaf dengan tulus. “Sudah. Kembali bekerja. Hari ini kita ada klien yang sangat penting,” ucap Mahanta sambil berjalan melewati Ziana. “Baik, Pak.” Ziana segera mempersiapkan bahan meeting dan ruangan meeting yang akan menjadi tempat pertemuan kali ini. Dari profil klien yang Ziana baca, klien mereka kali ini memang sedikit rewel dan banyak tuntutan. Sepuluh menit sebelum waktu meeting tiba, klien itu
“Sampai kapan kau akan terus seperti itu, bos?” tegur Lintang setelah lagi-lagi memergoki Mahanta sedang melamun sambil menatap keluar jendela kantornya. “Apa dia serius dengan ucapannya, Tang?” “Ucapan apa? Siapa yang kamu maksud?” “Ziana.” Lintang menaikkan alisnya, mulai kepo lagi dengan urusan yang membuat Mahanta galau. “Memangnya Ziana bilang apa?” “Aku tidak bisa menjadi obat untuk lukanya.” “Aku setuju dengan Ziana,” sambar Lintang cepat, tapi pria itu menyadari tatapan Mahanta yang tidak bersahabat. “Maksudku, Ziana butuh waktu dan juga kejelasan tentang apa yang kau rasakan dulu padanya, bos. Perempuan itu ingin jaminan yang jelas untuk masa depan mereka.” “Apa maksudmu? Aku nggak ngerti.” Lintang menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sulit sekali menyampaikan sesuatu kalau berkaitan dengan perempuan. Ia juga tahu kemungkinan Mahanta akan jujur dengan perasaannya sendiri adalah nyaris nol persen. “Kalian hanya perlu bicara dari hati ke hati,” sambung Lintang akhirny
“Tapi nggak seharusnya dekat dengan pria beristri. Gimana kalau istrinya salah paham dan menuduhnya sebagai pelakor?” “Bukannya Sherena juga menyebut Ziana pelakor ya? Tapi kalian belum menikah tuh.” Mahanta terdiam mendengar ucapan Lintang. Pria itu tersadar dengan ucapannya pada Ziana tadi. Pantas saja Ziana mengatakan hal seperti itu. Sherena memang menuduh Ziana pelakor saat taruhan Mahanta dan teman-temannya akhirnya terbongkar. “Sudah sadar dengan kesalahanmu? Makanya kalau ngomong pakai otak,” sambung Lintang. “Kamu yang gila. Dimana-mana ngomong pakai bibir. Mikir pakai otak!” sambar Mahanta. Lintang memutar bola matanya malas. “Aku ingin tahu apa yang akan kau lakukan kalau tahu kebenarannya.” “Jangan berbelit-belit. Lagian kenapa kau ribut sekali membela Ziana? Jangan-jangan kamu juga suka sama dia? Iya?” “Wah! Beneran sudah kena ke otak.” Lintang menunjuk Mahanta dengan kesal. “Pak Renan itu suami kakaknya Ziana.” Mahanta langsung berdiri dari duduknya hingga kursi k
“Kamu yakin nggak perlu ke rumah sakit?” tanya Mahanta saat mereka berada di dalam mobil. Setelah Ziana keluar dari toilet, ia meminta ijin pada Mahanta untuk pulang lebih dulu dengan alasan tidak enak badan. Alih-alih membiarkan Ziana pulang sendiri, Mahanta segera membayar makanan mereka dan menuntun Ziana menuju mobilnya. “Iya, Pak. Saya baik-baik saja. Boleh saya turunkan kaca mobilnya?” Mahanta tidak menjawab, tapi menurunkan kaca jendela mobilnya di samping Ziana hingga terbuka seluruhnya. Pria itu juga menurunkan kecepatan mobilnya hingga semilir angin malam berhembus pelan menerpa wajah Ziana. Sesekali Ziana menarik nafas panjang sambil mengelus perutnya yang sudah kosong. “Apa kau mau makan sesuatu? Es krim vanila dengan topping coklat?” Ziana hanya diam dengan kejutan lain dari Mahanta. Pria itu mengingat makanan dan dessert favoritnya. Kalau saja hubungan mereka dulu tidak seburuk itu, mungkin Ziana akan merasa hatinya hangat atas perhatian Mahanta. Tapi justru perasaa
Mahanta meremas keras kedua tangannya, merasakan sakit yang amat sangat di hatinya. Pria itu tidak menyangka akan mendengar hal mengerikan seperti itu dari Ziana. Mengingat dengan mudahnya Ziana mengatakannya, Mahanta jadi berpikir tentang kejadian tiga tahun yang lalu.“Apa kamu sudah pernah melakukannya tiga tahun yang lalu?”“Melakukan ap__ iya.” Ziana segera mengiyakan pertanyaan Mahanta. Perempuan itu ingin membuat Mahanta membencinya agar mereka tidak terlibat lagi dalam hubungan personal.“Jangan bohong, Ziana. Tiga tahun lalu aku memakai pengaman. Setidaknya periksa dulu faktanya sebelum memilih membohongi dirimu sendiri.”Ziana menghela nafas panjang. Ia sudah sangat lelah dengan semua kejadian yang menimpanya hari ini. Mendapatkan gadis perawan tapi dengan cara yang aman, hanya Mahanta yang bisa memikirkan hal sedetail itu. “Tolonglah, Maha. Hubungan kita sudah berakhir tiga tahun lalu. Aku juga sudah menjelaskan alasan kepergianku. Apalagi yang kau inginkan?”“Tapi semua ya
Sapaan dari sekretaris sementara Mahanta membuat Ziana tersenyum. Wanita cantik itu lalu membantu Mahanta membawa perlengkapan bayi Nanda ke dalam ruang kerja Mahanta. “Siapa namamu?” “Nama saya Mela, Bu Ziana. Saya sekretaris pengganti sementara Pak Lintang.” “Mela, apa meetingnya sudah dimulai?” tanya Mahanta yang sibuk di meja kerjanya. “Sudah, pak. Bapak bisa ke ruang meeting sekarang.” “Pesankan makan siang untuk Rania. Tanyakan saja dia mau makan apa,” titah Mahanta lalu mendekati Ziana yang sudah duduk di sofa. “Sayang, aku meeting dulu ya. Santai saja disini dulu.” “Iya, mas. Kamu tenang saja. Ada Mela disini.” Mahanta pun keluar dari ruang kerjanya dan langsung masuk ke ruang meeting. Sesuai perintah Mahanta, Mela segera memesan makanan untuk Rania. Saat makanannya datang, Nanda kembali menangis kencang lantaran haus lagi. Dengan telaten Ziana menyusui bayi itu sambil membayangkan Zaidan di mansion. “Oh, astaga,” ucapnya membuat Mela yang sedang membantu menyuapi Ra
“Siapa, sayang?” Mahanta menatap ke arah yang ditunjuk Ziana dengan kening mengerut. “Itu Pak Jay ‘kan? Dia sama Nanda.”Ziana tidak salah mengenali pria tampan yang sedang menggendong seorang bayi di tangannya. Jay tampak cemas memperhatikan mobilnya sambil sesekali menimang bayi Nanda. “Mas, ayo kita kesana. Sepertinya Pak Jay butuh bantuan.”Mahanta sebenarnya enggan membantu Jay setelah apa yang terjadi pada mereka. Tapi ia tidak bisa menahan Ziana yang sudah lebih dulu menggandeng tangan Rania mendekati pria itu. Mahanta mematikan mesin mobil lalu menyusul Ziana. “Pak Jay, kenapa mobilnya?”Jay menoleh lalu tersenyum menatap Ziana. “Ziana, kamu disini. Mobilku sepertinya mogok. Sopirku sedang mencari bantuan. Kamu ngapain disini?”“Saya baru menjemput Rania, Pak. Kebetulan dia bersekolah disini.” Jay tersenyum pada Rania yang bersembunyi di belakang punggung Ziana. “Kesayangan buna, ayo beri salam sama om Jay.”Rania menggeleng pelan, enggan mengulurkan tangannya pada Jay. Ket
“Babe, besok kita ke mansion om Tomo ya. Baju-bajumu masih disana ‘kan?”Arjuna yang baru keluar kamar, menatap bingung pada Rianti yang menelungkupkan wajahnya diatas meja. Mie yang masih mengepulkan asap putih tampak utuh di depannya.“Babe? Kamu tidur?”Arjuna mengguncang bahu Rianti pelan, sambil berusaha melihat wajahnya yang tertutup rambut. Saat Rianti mengangkat wajahnya, Arjuna bisa mencium aroma minuman dari bibir wanita itu.“Babe, kamu minum minumanku?”“Apa? Nggak. Aku baik-baik saja. Pusing, tapi nggak apa-apa.”Arjuna menggaruk kepalanya yang tidak gatal lalu meraih gelas air minum. “Minum dulu ya. Habis itu kamu tidur.”“Nggak enak!” tolak Rianti saat air minum menyentuh bibirnya.“Minum saja. Siapa suruh nakal. Minumanku nggak bisa kamu minum sembarangan, babe.”Arjuna tetap memaksa Rianti meneguk minumannya sampai tersisa setengah. Ia lalu menggendong Rianti masuk ke kamar dan membaringkannya di atas tempat tidur. Usai menyelimuti tubuh Rianti, Arjuna mengecup kening
“Pelan, mas. Sa-sakit,” lirih Hannah dengan suara serak menahan hasratnya.“Tahan, sayang. Aku coba lagi ya.”Lintang yang kepalang tanggung, mendorong tubuhnya hingga berhasil memasuki celah sempit milik Hannah. Pria itu mengerang keras saat miliknya terasa hangat dan terjepit ketat. Kenikmatan luar biasa yang dirasakan Lintang membuatnya menunduk mengecup pipi Hannah.Ditatapnya ekspresi wajah Hannah yang meringis menahan sakit. Dia tidak menyangka efek perawatan yang disarankan Ziana membuat miliknya seperti perawan lagi. Akibatnya Hannah merasakan sakit seperti malam pertamanya dengan Renan.“Sakit, mas,” lirih Hannah membuat Lintang mencium bibirnya lagi.Lintang terus menyentuh tubuh Hannah, membuat wanita itu melupakan rasa sakitnya hingga bisa menerima miliknya di dalam sana. Perlahan Lintang menggerakkan tubuhnya hingga miliknya terasa lebih licin. Suara desahan dan decapan mendominasi kamar yang berhawa sangat dingin itu. Tapi sedingin apapun suhu kamar itu tidak bisa mengur
Pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka tanpa peringatan. Hannah yang kaget, nyaris terjatuh karena refleks mundur dari depan pintu. Lintang dengan sigap meraih pinggang Hannah lalu memeluknya.“Hati-hati, sayang. Sedang apa kamu disini?”“Aku... itu... anu...”Rasa gugup membuat Hannah tergagap. Matanya mencoba melirik ke dalam kamar mandi, tepatnya ke arah koper mereka yang terlihat terbuka lebar. Wajah Hannah semakin pias dengan kemungkinan Lintang sudah melihat baju itu.“Kamu kenapa, sayang? Makanannya sudah datang?”“Iya. Sudah. Kamu mau makan sekarang?”“Ayo,” ajak Lintang.Hannah tidak punya alasan untuk membuatnya kembali masuk ke kamar mandi, hingga memilih mengikuti Lintang. Mereka duduk berdampingan lalu mulai menikmati hidangan makan malam di depan mereka. Lezatnya rasa makanan itu membuat Hannah tidak berhenti mencicipinya.“Enak ya?” tanya Lintang yang diangguki Hannah.“Makanannya enak sekali. Pas di lidah. Aku pikir makanan seperti apa yang ada di hotel mewah seperti ini.
Setelah pesta resepsi pernikahan itu selesai, kedua pasang pengantin baru itu pun berangkat dengan mobil masing-masing. Lintang dan Hannah menuju hotel, sedangkan Arjuna dan Rianti menuju apartemen Arjuna.“Wah, hotelnya besar sekali, mas,” puji Hannah kagum. Dia tidak pernah masuk ke hotel sebesar itu selama hidupnya.“Ini hadiah pernikahan dari om Tomo. Hotel ini juga punya om Tomo. Ayo, kita check in dulu.”Lintang menuntun Hannah mendekati resepsionis yang sudah siap menyambut kedatangan mereka. Seorang office boy mengambil alih koper yang dibawa Lintang, lalu mengantar keduanya menuju kamar hotel tempat mereka akan menginap selama tiga hari dua malam itu.“Silakan masuk, tuan, nyonya,” ucap office boy itu setelah pintu kamar terbuka lebar di hadapan mereka.“Terima kasih. Taruh saja kopernya di sini,” sahut Lintang lalu memberikan tip untuk office boy itu.Hannah memasuki kamar lebih dulu dan langsung mendekati jendela besar di dekat tempat tidur. Ia ingin melihat pemandangan dar
“Daripada mereka live show disini? Gimana kalau Rania melihatnya?”Mahanta buru-buru mengeluarkan ponselnya lalu menelpon Arjuna. Dering telepon terdengar jelas dari kantong jas Arjuna, tapi justru diabaikan pria itu yang masih asyik mencumbu Rianti. Belum menyerah, Mahanta mengulangi terus panggilan itu, hingga Rianti menghentikan ciuman Arjuna.“Ada telepon, Ar,” ucap Rianti sambil mendorong pelan bahu Arjuna.“Biarkan saja.”“Tapi sepertinya penting. Kita bisa lanjutkan nanti.”Arjuna menatap wajah Rianti yang sudah memerah sampai ke telinganya. Bibir wanita itu terlihat pucat dan ada sedikit bekas gigitan karena ulahnya. Mau tidak mau Arjuna mengalihkan pandangannya ke arah jasnya yang tergeletak di lantai begitu saja.“Siapa sih, mengganggu saja.” Kening Arjuna mengerut melihat nama Mahanta muncul di layar ponselnya. Pria itu segera mengedarkan pandangannya dan melihat sahabatnya berdiri tidak jauh dari posisinya. “Kamu ngapain sih? Ganggu saja.”“Heh! Kalau nggak gitu, kamu mau
Hari yang ditunggu-tunggu, hari pernikahan Hannah dan Lintang akhirnya tiba juga. Semua orang sudah berkumpul di halaman mansion Tomo untuk menyaksikan upacara sakral itu. Meskipun tidak banyak tamu undangan, tapi sudah cukup membahagiakan bagi Hannah dan Lintang. Acara akad akan segera berlangsung ketika Arjuna tiba di mansion itu. Tidak seperti biasanya, wajah pria itu terlihat muram dan lelah. Entah kemana perginya Arjuna yang selalu ceria dan bersemangat. Tanpa mempedulikan sekitarnya, Arjuna segera duduk di kursi khusus untuknya. Ia tersenyum tipis saat bertatapan dengan Mahanta yang duduk bersama Ziana.“Lihat itu Arjuna sudah datang,” bisik Mahanta pada Ziana. “Iya, aku sudah melihatnya. Lihat penampilannya kacau sekali.”“Aku dengar sejak kejadian malam itu, Arjuna hanya mengurung diri di apartemennya. Ia hanya makan kalau Lintang membawakannya makanan. Selebihnya hanya diam melamun. Apa Rianti tidak mengatakan apa-apa?”“Mereka sama-sama keras kepala. Sampai sekarang aku be
Tengah malam, Rianti tersentak kaget lalu mengerjakan matanya perlahan. Ia mencoba mengingat keberadaannya saat ini yang masih berada di kamar Zaidan. Saat Rianti memeriksa boks bayi itu, matanya melotot karena Zaidan tidak ada di dalam boks itu. “Zaidan dimana?” Lekas Rianti berlari keluar kamar dan melihat sekitarnya sudah gelap. Sedikit ragu, Rianti menoleh ke arah kamar Ziana dan Mahanta. Besar kemungkinan Zaidan ada disana. Tapi alasan kenapa Ziana tidak membangunkan Rianti membuatnya bingung. “Apa kucoba ketuk saja ya?” Rianti berjalan mendekati pintu kamar dan bersiap mengetuknya. Tapi tangannya melayang di udara karena keraguan yang masih menggantung. Akhirnya Rianti memutuskan untuk mengirimkan chat pada Ziana. {“Malam, nona. Maaf saya ketiduran tadi. Apa sekarang bayi Zaidan bersama nona?”}Rianti mengirimkan chat itu dan menunggu. Ia berharap Ziana masih terbangun dan membalas chatnya. Tapi selang lima menit kemudian, belum juga ada balasan dari Ziana. Pesannya juga ti