Mahanta dan Lintang sedang menunggu Ziana keluar dari ruang pribadi Mahanta sambil melanjutkan pekerjaan mereka. Sesekali Mahanta melirik ke arah pintu yang masih tertutup. Baru lima belas menit berlalu, dan belum ada tanda-tanda Ziana akan keluar dari sana.
“Apa kau yakin dengan pemecatan Ziana? Tidak ada kesempatan lagi?” tanya Lintang memecah keheningan diantara mereka.
“Aku tidak mungkin menarik kata-kataku. Dia akan berpikir aku plin-plan.”
“Dia sudah berusaha memperbaiki kesalahannya. Aku dengar dari sekuriti hotel kalau Ziana hampir kecelakaan karena ngebut waktu nganterin dokumen kontrak kerja itu. Untung cuma bajunya yang kotor, nggak sampai terluka. Kesalahannya hanya tidak sengaja ketiduran karena ulahmu juga, bos.”
Mahanta terdiam mendengar penjelasan Lintang. Dia terlalu keras pada Ziana demi meminta penjelasan pada perempuan itu. Egonya hampir mencelakai Ziana.
“Apa kau sudah mendengar penjelasannya? Apa katanya?” tanya Lintang lagi.
“Banyak salah paham diantara kami. Tapi aku bingung bagaimana cara menjelaskan padanya kalau semua itu hanya salah paham. Ziana sudah terlalu kecewa padaku, Lin. Menurutmu, aku harus apa?”
Baru saja Lintang ingin menjawab pertanyaan Mahanta, pintu ruang pribadi Mahanta sedikit terbuka. Ziana ragu-ragu ingin keluar, tapi dia merasa sudah terlalu lama berada disana. Dengan statusnya yang sudah bukan siapa-siapa di perusahaan itu, Ziana ingin pergi secepatnya dari sana.
“Loh, beneran nggak ada siapa-siapa,” gumam Ziana ketika melihat ruang kerja Mahanta yang kosong.
Tanpa memeriksa lagi, Ziana buru-buru keluar dari sana dan masuk ke dalam lift. Setelah Ziana keluar, Mahanta dan Lintang muncul dari balik meja kerja Mahanta. Keduanya langsung bersembunyi sebelum Ziana keluar dari ruang istirahat Mahanta.
“Kok dia pergi gitu aja? Segitunya nggak mau disini ya.”
“Nyesel? Mau dia balik lagi?” Lintang memutar bola matanya setelah berhasil mengetahui isi hati Mahanta.
“Gimana caranya?”
“Janji dulu nggak ngasih kerjaan berlebihan seperti sebelumnya. Dan kamu harus bicara baik-baik sama Ziana. Dia perempuan, bos. Kamu harus mendekatinya dengan kelembutan.”
“Kenapa juga aku harus mendengarkan nasehat dari jomblo sepertimu?” keluh Mahanta.
“Nggak ngaca. Sama-sama jomblo juga.”
Saat Mahanta dan Lintang sedang berdebat, Ziana sudah melaju dengan motornya keluar dari halaman gedung kantor R.D. Company. Ia bingung mau pulang ke rumah atau ke toko kue Hannah. Tapi ditengah perjalanan, Ziana memilih berbelok ke arah toko kue Hannah.
“Kakak harus tahu kalau aku sudah dipecat,” gumamnya lirih.
Sesampainya di depan toko kue Hannah, Ziana sedikit ragu untuk masuk dan memberitahu Hannah. Dia melihat kakaknya itu sedang sibuk melayani pembeli yang datang ke tokonya. Meskipun toko itu kecil, tapi ide kreatif Hannah membuat toko kuenya sangat laris.
Ziana segera masuk demi bisa membantu Hannah melayani pembeli. Saat itu pandangannya bertemu dengan Hannah yang menatapnya heran.
“Loh, Na? Kok sudah pulang?” tanya Hannah tanpa menghentikan tangannya yang membungkus sekotak kue coklat yang lezat.
“Nanti aku cerita ya, kak,” sahut Ziana tersenyum menenangkan Hannah. Tapi Hannah tahu kalau Ziana sedang tidak baik-baik saja.
“Kebetulan kamu disini, bisa minta tolong antarkan pesanan ke restorannya Pak Jay?”
“Iya, kak. Aku pergi dulu ya.”
Ziana kembali memakai atributnya sebelum mengantar pesanan milik Jay. Sebelum bekerja di R.D. Company, Ziana membantu Hannah di toko kuenya. Dia lebih sering mengantar pesanan agar Hannah bisa menghemat ongkos ojek online. Dan restoran milik Jay adalah salah satu langganan toko kue Hannah yang sering dikunjungi Ziana.
“Selamat siang, kak. Saya mau mengantar pesanan kue dari toko kue Hannah,” ucap Ziana sopan pada bagian kasir di restoran Jay.
“Loh, Ziana. Sudah lama nggak ketemu ya,” ucap Jay yang tiba-tiba muncul di samping Ziana.
Perempuan itu menoleh lalu tersenyum pada Jay. “Pak Jay, saya mengantar pesanan kue. Bukannya terakhir kita ketemu di pesta perusahaan R.D. Company. Bapak ada hubungan kerja sama dengan perusahaan itu ya?”
Jay tersenyum dan mengangguk. Lesung pipitnya terlihat jelas menambah keimutan dari wajah tampannya yang selalu tersenyum pada Ziana. “Bisa dikatakan begitu. Tapi bentuk kerja sama yang lain. Bukannya ini masih jam kerja? Kenapa kamu bisa mengantar pesanan kue dari toko kakakmu?”
“Ah, itu... Saya__” Suara dering telepon dari ponselnya membuat Ziana tersenyum pada Jay, lalu mengeluarkan ponselnya. “Permisi sebentar, Pak.”
“Silakan.”
Ziana sedikit menjauh demi menerima telepon dari manajer personalia R.D. Company. Perempuan itu berpikir kalau dia melewatkan sesuatu yang penting. Tapi hal berikutnya yang didengarnya membuat Ziana menarik nafas lega.
[“Ziana, pemecatanmu dibatalkan. Saat ini perusahaan sedang sangat sibuk dan tidak punya cukup waktu untuk mencari penggantimu. Apa kau bisa kembali bekerja besok? Sisa hari, bisa kamu pakai untuk beristirahat dulu,”] ucap manajer personalia.
“Bisa, Bu. Terima kasih atas kesempatannya. Saya akan berusaha yang terbaik.”
[“Aku percaya kamu bisa, Ziana. Kamu bisa mengambil kartu karyawan di pos sekuriti besok. Sampai jumpa.”]
Ziana nyaris berteriak senang karena diberi kesempatan kedua. Terlepas dengan apa yang sudah terjadi antara dirinya dengan Mahanta, Ziana ingin fokus pada pekerjaannya saja. Setidaknya sampai perpanjangan kontrak kerjanya nanti, dia akan memutuskannya lagi.
“Ziana, ada apa? Kelihatannya senang sekali,” ucap Jay ketika Ziana kembali mendekatinya.
“Bukan apa-apa, Pak. Kalau begitu, saya permisi dulu ya, Pak Jay. Terima kasih atas pesanan kuenya.”
“Apa kau tidak bisa tinggal sebentar untuk makan siang? Ada menu baru yang harus kau coba.”
“Maaf, Pak. Tapi saya benar-benar harus kembali ke toko sekarang. Kebetulan sedang ramai. Saya permisi dulu.”
Tanpa menunggu jawaban dari Jay, Ziana segera keluar dari restoran itu. Jay yang masih belum beranjak dari tempatnya, terus mengekori langkah Ziana sampai ke parkiran motor. Senyuman manis masih menghiasi wajahnya, tapi tatapan matanya tak lagi lembut. Kilatan di matanya seperti tatapan pria yang penuh hasrat pada wanita yang menarik baginya.
“Ziana, kapan kau akan melihatku saja? Lupakan Maha si pengecut itu dan datanglah padaku,” gumamnya lalu menjilat bibirnya sendiri.
Tiba-tiba terdengar suara nada dering pertanda telepon masuk dari ponsel Jay. Pria itu meraih ponselnya di dalam saku dan tersenyum smirk melihat siapa yang menelponnya. Dia segera menekan icon berwarna hijau, lalu melangkah menuju ruang kerjanya.
“Halo, sayang. Ada apa menelponku? Kangen?” goda Jay pada lawan bicaranya.
[“Hentikan, Jay. Kapan kau ada waktu? Kita harus bicara.”]
“Aku ada di restoran sekarang. Atau mau ketemu di apartemenku? Sekalian melakukan sesuatu yang kau suka?”
[“Aku serius, Jay. Rencanaku berantakan gara-gara kamu. Bisa-bisanya kau kecolongan. Percuma aku mencampur obat perangsang ke minuman Maha.”]
“Sherena, aku sudah bilang ‘kan, biarkan aku mengejar Ziana dulu. Tapi kau yang tidak sabaran.” Jay sedikit terpancing emosi karena Sherena terus menyalahkannya.
[“Bagaimana kita bisa mendapatkan tujuan kita kalau kau bergerak lebih lambat dari siput. Aku nggak mau tahu, Jay. Kau harus secepatnya menjauhkan perempuan sialan itu dari Maha atau aku akan bertindak lagi.”]
Jay nyaris melempar ponselnya saat Sherena memutuskan panggilan begitu saja. “Dasar wanita gila!”
Keesokan harinya, Ziana tiba lebih pagi di kantor CEO. Ia menyiapkan semuanya dengan baik dan teliti sambil menunggu kedatangan Mahanta dan Lintang. Berkali-kali Ziana meyakinkan dirinya untuk bersikap profesional dan tidak mengingat apa yang terjadi kemarin. “Selamat pagi, Ziana. Kau datang lebih pagi dari biasanya,” sapa Lintang. Tampak Mahanta berjalan di belakang pria itu. Tatapannya tetap tidak berubah, dingin dan cuek. “Selamat pagi, Pak Maha, Pak Lintang. Saya sudah berjanji sebelumnya. Maafkan atas keteledoran saya kemarin.” Ziana sedikit membungkukkan tubuhnya demi meminta maaf dengan tulus. “Sudah. Kembali bekerja. Hari ini kita ada klien yang sangat penting,” ucap Mahanta sambil berjalan melewati Ziana. “Baik, Pak.” Ziana segera mempersiapkan bahan meeting dan ruangan meeting yang akan menjadi tempat pertemuan kali ini. Dari profil klien yang Ziana baca, klien mereka kali ini memang sedikit rewel dan banyak tuntutan. Sepuluh menit sebelum waktu meeting tiba, klien itu
“Sampai kapan kau akan terus seperti itu, bos?” tegur Lintang setelah lagi-lagi memergoki Mahanta sedang melamun sambil menatap keluar jendela kantornya. “Apa dia serius dengan ucapannya, Tang?” “Ucapan apa? Siapa yang kamu maksud?” “Ziana.” Lintang menaikkan alisnya, mulai kepo lagi dengan urusan yang membuat Mahanta galau. “Memangnya Ziana bilang apa?” “Aku tidak bisa menjadi obat untuk lukanya.” “Aku setuju dengan Ziana,” sambar Lintang cepat, tapi pria itu menyadari tatapan Mahanta yang tidak bersahabat. “Maksudku, Ziana butuh waktu dan juga kejelasan tentang apa yang kau rasakan dulu padanya, bos. Perempuan itu ingin jaminan yang jelas untuk masa depan mereka.” “Apa maksudmu? Aku nggak ngerti.” Lintang menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sulit sekali menyampaikan sesuatu kalau berkaitan dengan perempuan. Ia juga tahu kemungkinan Mahanta akan jujur dengan perasaannya sendiri adalah nyaris nol persen. “Kalian hanya perlu bicara dari hati ke hati,” sambung Lintang akhirny
“Tapi nggak seharusnya dekat dengan pria beristri. Gimana kalau istrinya salah paham dan menuduhnya sebagai pelakor?” “Bukannya Sherena juga menyebut Ziana pelakor ya? Tapi kalian belum menikah tuh.” Mahanta terdiam mendengar ucapan Lintang. Pria itu tersadar dengan ucapannya pada Ziana tadi. Pantas saja Ziana mengatakan hal seperti itu. Sherena memang menuduh Ziana pelakor saat taruhan Mahanta dan teman-temannya akhirnya terbongkar. “Sudah sadar dengan kesalahanmu? Makanya kalau ngomong pakai otak,” sambung Lintang. “Kamu yang gila. Dimana-mana ngomong pakai bibir. Mikir pakai otak!” sambar Mahanta. Lintang memutar bola matanya malas. “Aku ingin tahu apa yang akan kau lakukan kalau tahu kebenarannya.” “Jangan berbelit-belit. Lagian kenapa kau ribut sekali membela Ziana? Jangan-jangan kamu juga suka sama dia? Iya?” “Wah! Beneran sudah kena ke otak.” Lintang menunjuk Mahanta dengan kesal. “Pak Renan itu suami kakaknya Ziana.” Mahanta langsung berdiri dari duduknya hingga kursi k
“Kamu yakin nggak perlu ke rumah sakit?” tanya Mahanta saat mereka berada di dalam mobil. Setelah Ziana keluar dari toilet, ia meminta ijin pada Mahanta untuk pulang lebih dulu dengan alasan tidak enak badan. Alih-alih membiarkan Ziana pulang sendiri, Mahanta segera membayar makanan mereka dan menuntun Ziana menuju mobilnya. “Iya, Pak. Saya baik-baik saja. Boleh saya turunkan kaca mobilnya?” Mahanta tidak menjawab, tapi menurunkan kaca jendela mobilnya di samping Ziana hingga terbuka seluruhnya. Pria itu juga menurunkan kecepatan mobilnya hingga semilir angin malam berhembus pelan menerpa wajah Ziana. Sesekali Ziana menarik nafas panjang sambil mengelus perutnya yang sudah kosong. “Apa kau mau makan sesuatu? Es krim vanila dengan topping coklat?” Ziana hanya diam dengan kejutan lain dari Mahanta. Pria itu mengingat makanan dan dessert favoritnya. Kalau saja hubungan mereka dulu tidak seburuk itu, mungkin Ziana akan merasa hatinya hangat atas perhatian Mahanta. Tapi justru perasaa
Mahanta meremas keras kedua tangannya, merasakan sakit yang amat sangat di hatinya. Pria itu tidak menyangka akan mendengar hal mengerikan seperti itu dari Ziana. Mengingat dengan mudahnya Ziana mengatakannya, Mahanta jadi berpikir tentang kejadian tiga tahun yang lalu.“Apa kamu sudah pernah melakukannya tiga tahun yang lalu?”“Melakukan ap__ iya.” Ziana segera mengiyakan pertanyaan Mahanta. Perempuan itu ingin membuat Mahanta membencinya agar mereka tidak terlibat lagi dalam hubungan personal.“Jangan bohong, Ziana. Tiga tahun lalu aku memakai pengaman. Setidaknya periksa dulu faktanya sebelum memilih membohongi dirimu sendiri.”Ziana menghela nafas panjang. Ia sudah sangat lelah dengan semua kejadian yang menimpanya hari ini. Mendapatkan gadis perawan tapi dengan cara yang aman, hanya Mahanta yang bisa memikirkan hal sedetail itu. “Tolonglah, Maha. Hubungan kita sudah berakhir tiga tahun lalu. Aku juga sudah menjelaskan alasan kepergianku. Apalagi yang kau inginkan?”“Tapi semua ya
“Mau bicara apalagi?” Ziana sedikit ngelag setelah perutnya kenyang.“Ziana,” panggil Mahanta dengan suara beratnya.Ziana mengalihkan pandangannya menatap pemandangan di luar jendela apartemen Mahanta. Perempuan itu ingin sekali menanyakan satu pertanyaan yang selalu menghantui Ziana sejak tiga tahun lalu. Tapi Ziana takut mendengar jawaban Mahanta.“Ziana, menikahlah denganku.”Kalau saja Mahanta mengatakannya tiga tahun lalu, mungkin Ziana akan langsung setuju dengan perasaan yang sangat bahagia. Tapi Ziana sudah tahu alasan pria itu melamarnya hanya karena bayi di dalam kandungan Ziana.“Bukannya lebih mudah kalau kau berkata ‘Gugurkan saja. Akan kubayar biayanya’. Aku bisa mendapat uang banyak dan pergi jauh dari kehidupanmu.”Tidak mudah bagi Ziana mengatakan hal mengerikan seperti itu untuk kedua kalinya. Hal pertama yang ia takutkan setelah menghabiskan malam panas bersama Mahanta adalah hamil diluar nikah. Ziana sudah bertekad saat itu akan menjaga bayinya dengan baik jika di
Mahanta merasakan denyutan sakit yang menghantam kepalanya seperti palu pemukul yang tidak kenal ampun. Dari sudut pandangnya yang buram, ia memandang sekeliling dengan mata yang masih setengah terpejam, mencoba memahami di mana ia berada. Apartemennya. Sofa. Bau alkohol yang tercium sangat kuat. Dan dalam benaknya, kejadian malam sebelumnya mulai muncul seperti bayangan buram yang ingin ia tolak.Mata Mahanta terbuka perlahan. Cahaya pagi yang masuk melalui jendela apartemennya menusuk seperti pedang tajam, membuatnya menutup mata kembali dengan cepat. Kepalanya terasa berat, dan setiap gerakan yang dilakukannya hanya membuatnya semakin merasa mual.Dia mencoba mengingat apa yang terjadi. Ah, Ziana. Mantan kekasihnya. Segala hal tentangnya seperti terpatri di setiap sudut apartemen ini. Tetapi Ziana tidak lagi bersamanya. Dia tidak menerima Mahanta kembali. Dan itu membuat Mahanta merasa hancur.Karena rasa sedih yang menghimpit, Mahanta meraih botol kosong yang tergeletak di meja, m
“Kamu sudah selesai sarapan?” tanya Mahanta membuat Ziana menoleh ke arah pintu kamar. Pemandangan yang dilihatnya membuat Ziana buru-buru menatap mangkuk buburnya yang sudah kosong. Mahanta tanpa malu keluar dari kamarnya hanya memakai handuk membalut pinggangnya.“Bisa nggak sih, pakai baju dulu?” protes Ziana kembali berpura-pura tidak melihat tubuh Mahanta.“Kenapa? Kau sudah melihat semuanya. Lagian mana bajuku?”Ziana menatap bingung pada Mahanta yang justru berdiri di samping meja makan dan membuka bungkusan bubur untuknya. “Bajumu di lemari ‘kan? Kenapa tanya aku?”“Biasanya ‘kan baju suami disiapkan oleh istrinya. Memangnya kamu tidak tahu?”“Istri?! Aku belum jadi istrimu, Maha.”“Soon ‘kan? Jadi apa salahnya berlatih sekarang. Ambilkan bajuku dan pakaikan sekalian.”“Kamu nggak malu sama umur ya?”Mahanta menggeleng, sengaja membiarkan handuk di pinggangnya terlepas hingga jatuh di kakinya. Ziana langsung beranjak dari duduknya lalu mendekati lemari pakaian Mahanta. Jantung
Sapaan dari sekretaris sementara Mahanta membuat Ziana tersenyum. Wanita cantik itu lalu membantu Mahanta membawa perlengkapan bayi Nanda ke dalam ruang kerja Mahanta. “Siapa namamu?” “Nama saya Mela, Bu Ziana. Saya sekretaris pengganti sementara Pak Lintang.” “Mela, apa meetingnya sudah dimulai?” tanya Mahanta yang sibuk di meja kerjanya. “Sudah, pak. Bapak bisa ke ruang meeting sekarang.” “Pesankan makan siang untuk Rania. Tanyakan saja dia mau makan apa,” titah Mahanta lalu mendekati Ziana yang sudah duduk di sofa. “Sayang, aku meeting dulu ya. Santai saja disini dulu.” “Iya, mas. Kamu tenang saja. Ada Mela disini.” Mahanta pun keluar dari ruang kerjanya dan langsung masuk ke ruang meeting. Sesuai perintah Mahanta, Mela segera memesan makanan untuk Rania. Saat makanannya datang, Nanda kembali menangis kencang lantaran haus lagi. Dengan telaten Ziana menyusui bayi itu sambil membayangkan Zaidan di mansion. “Oh, astaga,” ucapnya membuat Mela yang sedang membantu menyuapi Ra
“Siapa, sayang?” Mahanta menatap ke arah yang ditunjuk Ziana dengan kening mengerut. “Itu Pak Jay ‘kan? Dia sama Nanda.”Ziana tidak salah mengenali pria tampan yang sedang menggendong seorang bayi di tangannya. Jay tampak cemas memperhatikan mobilnya sambil sesekali menimang bayi Nanda. “Mas, ayo kita kesana. Sepertinya Pak Jay butuh bantuan.”Mahanta sebenarnya enggan membantu Jay setelah apa yang terjadi pada mereka. Tapi ia tidak bisa menahan Ziana yang sudah lebih dulu menggandeng tangan Rania mendekati pria itu. Mahanta mematikan mesin mobil lalu menyusul Ziana. “Pak Jay, kenapa mobilnya?”Jay menoleh lalu tersenyum menatap Ziana. “Ziana, kamu disini. Mobilku sepertinya mogok. Sopirku sedang mencari bantuan. Kamu ngapain disini?”“Saya baru menjemput Rania, Pak. Kebetulan dia bersekolah disini.” Jay tersenyum pada Rania yang bersembunyi di belakang punggung Ziana. “Kesayangan buna, ayo beri salam sama om Jay.”Rania menggeleng pelan, enggan mengulurkan tangannya pada Jay. Ket
“Babe, besok kita ke mansion om Tomo ya. Baju-bajumu masih disana ‘kan?”Arjuna yang baru keluar kamar, menatap bingung pada Rianti yang menelungkupkan wajahnya diatas meja. Mie yang masih mengepulkan asap putih tampak utuh di depannya.“Babe? Kamu tidur?”Arjuna mengguncang bahu Rianti pelan, sambil berusaha melihat wajahnya yang tertutup rambut. Saat Rianti mengangkat wajahnya, Arjuna bisa mencium aroma minuman dari bibir wanita itu.“Babe, kamu minum minumanku?”“Apa? Nggak. Aku baik-baik saja. Pusing, tapi nggak apa-apa.”Arjuna menggaruk kepalanya yang tidak gatal lalu meraih gelas air minum. “Minum dulu ya. Habis itu kamu tidur.”“Nggak enak!” tolak Rianti saat air minum menyentuh bibirnya.“Minum saja. Siapa suruh nakal. Minumanku nggak bisa kamu minum sembarangan, babe.”Arjuna tetap memaksa Rianti meneguk minumannya sampai tersisa setengah. Ia lalu menggendong Rianti masuk ke kamar dan membaringkannya di atas tempat tidur. Usai menyelimuti tubuh Rianti, Arjuna mengecup kening
“Pelan, mas. Sa-sakit,” lirih Hannah dengan suara serak menahan hasratnya.“Tahan, sayang. Aku coba lagi ya.”Lintang yang kepalang tanggung, mendorong tubuhnya hingga berhasil memasuki celah sempit milik Hannah. Pria itu mengerang keras saat miliknya terasa hangat dan terjepit ketat. Kenikmatan luar biasa yang dirasakan Lintang membuatnya menunduk mengecup pipi Hannah.Ditatapnya ekspresi wajah Hannah yang meringis menahan sakit. Dia tidak menyangka efek perawatan yang disarankan Ziana membuat miliknya seperti perawan lagi. Akibatnya Hannah merasakan sakit seperti malam pertamanya dengan Renan.“Sakit, mas,” lirih Hannah membuat Lintang mencium bibirnya lagi.Lintang terus menyentuh tubuh Hannah, membuat wanita itu melupakan rasa sakitnya hingga bisa menerima miliknya di dalam sana. Perlahan Lintang menggerakkan tubuhnya hingga miliknya terasa lebih licin. Suara desahan dan decapan mendominasi kamar yang berhawa sangat dingin itu. Tapi sedingin apapun suhu kamar itu tidak bisa mengur
Pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka tanpa peringatan. Hannah yang kaget, nyaris terjatuh karena refleks mundur dari depan pintu. Lintang dengan sigap meraih pinggang Hannah lalu memeluknya.“Hati-hati, sayang. Sedang apa kamu disini?”“Aku... itu... anu...”Rasa gugup membuat Hannah tergagap. Matanya mencoba melirik ke dalam kamar mandi, tepatnya ke arah koper mereka yang terlihat terbuka lebar. Wajah Hannah semakin pias dengan kemungkinan Lintang sudah melihat baju itu.“Kamu kenapa, sayang? Makanannya sudah datang?”“Iya. Sudah. Kamu mau makan sekarang?”“Ayo,” ajak Lintang.Hannah tidak punya alasan untuk membuatnya kembali masuk ke kamar mandi, hingga memilih mengikuti Lintang. Mereka duduk berdampingan lalu mulai menikmati hidangan makan malam di depan mereka. Lezatnya rasa makanan itu membuat Hannah tidak berhenti mencicipinya.“Enak ya?” tanya Lintang yang diangguki Hannah.“Makanannya enak sekali. Pas di lidah. Aku pikir makanan seperti apa yang ada di hotel mewah seperti ini.
Setelah pesta resepsi pernikahan itu selesai, kedua pasang pengantin baru itu pun berangkat dengan mobil masing-masing. Lintang dan Hannah menuju hotel, sedangkan Arjuna dan Rianti menuju apartemen Arjuna.“Wah, hotelnya besar sekali, mas,” puji Hannah kagum. Dia tidak pernah masuk ke hotel sebesar itu selama hidupnya.“Ini hadiah pernikahan dari om Tomo. Hotel ini juga punya om Tomo. Ayo, kita check in dulu.”Lintang menuntun Hannah mendekati resepsionis yang sudah siap menyambut kedatangan mereka. Seorang office boy mengambil alih koper yang dibawa Lintang, lalu mengantar keduanya menuju kamar hotel tempat mereka akan menginap selama tiga hari dua malam itu.“Silakan masuk, tuan, nyonya,” ucap office boy itu setelah pintu kamar terbuka lebar di hadapan mereka.“Terima kasih. Taruh saja kopernya di sini,” sahut Lintang lalu memberikan tip untuk office boy itu.Hannah memasuki kamar lebih dulu dan langsung mendekati jendela besar di dekat tempat tidur. Ia ingin melihat pemandangan dar
“Daripada mereka live show disini? Gimana kalau Rania melihatnya?”Mahanta buru-buru mengeluarkan ponselnya lalu menelpon Arjuna. Dering telepon terdengar jelas dari kantong jas Arjuna, tapi justru diabaikan pria itu yang masih asyik mencumbu Rianti. Belum menyerah, Mahanta mengulangi terus panggilan itu, hingga Rianti menghentikan ciuman Arjuna.“Ada telepon, Ar,” ucap Rianti sambil mendorong pelan bahu Arjuna.“Biarkan saja.”“Tapi sepertinya penting. Kita bisa lanjutkan nanti.”Arjuna menatap wajah Rianti yang sudah memerah sampai ke telinganya. Bibir wanita itu terlihat pucat dan ada sedikit bekas gigitan karena ulahnya. Mau tidak mau Arjuna mengalihkan pandangannya ke arah jasnya yang tergeletak di lantai begitu saja.“Siapa sih, mengganggu saja.” Kening Arjuna mengerut melihat nama Mahanta muncul di layar ponselnya. Pria itu segera mengedarkan pandangannya dan melihat sahabatnya berdiri tidak jauh dari posisinya. “Kamu ngapain sih? Ganggu saja.”“Heh! Kalau nggak gitu, kamu mau
Hari yang ditunggu-tunggu, hari pernikahan Hannah dan Lintang akhirnya tiba juga. Semua orang sudah berkumpul di halaman mansion Tomo untuk menyaksikan upacara sakral itu. Meskipun tidak banyak tamu undangan, tapi sudah cukup membahagiakan bagi Hannah dan Lintang. Acara akad akan segera berlangsung ketika Arjuna tiba di mansion itu. Tidak seperti biasanya, wajah pria itu terlihat muram dan lelah. Entah kemana perginya Arjuna yang selalu ceria dan bersemangat. Tanpa mempedulikan sekitarnya, Arjuna segera duduk di kursi khusus untuknya. Ia tersenyum tipis saat bertatapan dengan Mahanta yang duduk bersama Ziana.“Lihat itu Arjuna sudah datang,” bisik Mahanta pada Ziana. “Iya, aku sudah melihatnya. Lihat penampilannya kacau sekali.”“Aku dengar sejak kejadian malam itu, Arjuna hanya mengurung diri di apartemennya. Ia hanya makan kalau Lintang membawakannya makanan. Selebihnya hanya diam melamun. Apa Rianti tidak mengatakan apa-apa?”“Mereka sama-sama keras kepala. Sampai sekarang aku be
Tengah malam, Rianti tersentak kaget lalu mengerjakan matanya perlahan. Ia mencoba mengingat keberadaannya saat ini yang masih berada di kamar Zaidan. Saat Rianti memeriksa boks bayi itu, matanya melotot karena Zaidan tidak ada di dalam boks itu. “Zaidan dimana?” Lekas Rianti berlari keluar kamar dan melihat sekitarnya sudah gelap. Sedikit ragu, Rianti menoleh ke arah kamar Ziana dan Mahanta. Besar kemungkinan Zaidan ada disana. Tapi alasan kenapa Ziana tidak membangunkan Rianti membuatnya bingung. “Apa kucoba ketuk saja ya?” Rianti berjalan mendekati pintu kamar dan bersiap mengetuknya. Tapi tangannya melayang di udara karena keraguan yang masih menggantung. Akhirnya Rianti memutuskan untuk mengirimkan chat pada Ziana. {“Malam, nona. Maaf saya ketiduran tadi. Apa sekarang bayi Zaidan bersama nona?”}Rianti mengirimkan chat itu dan menunggu. Ia berharap Ziana masih terbangun dan membalas chatnya. Tapi selang lima menit kemudian, belum juga ada balasan dari Ziana. Pesannya juga ti