Mahanta merasakan denyutan sakit yang menghantam kepalanya seperti palu pemukul yang tidak kenal ampun. Dari sudut pandangnya yang buram, ia memandang sekeliling dengan mata yang masih setengah terpejam, mencoba memahami di mana ia berada. Apartemennya. Sofa. Bau alkohol yang tercium sangat kuat. Dan dalam benaknya, kejadian malam sebelumnya mulai muncul seperti bayangan buram yang ingin ia tolak.Mata Mahanta terbuka perlahan. Cahaya pagi yang masuk melalui jendela apartemennya menusuk seperti pedang tajam, membuatnya menutup mata kembali dengan cepat. Kepalanya terasa berat, dan setiap gerakan yang dilakukannya hanya membuatnya semakin merasa mual.Dia mencoba mengingat apa yang terjadi. Ah, Ziana. Mantan kekasihnya. Segala hal tentangnya seperti terpatri di setiap sudut apartemen ini. Tetapi Ziana tidak lagi bersamanya. Dia tidak menerima Mahanta kembali. Dan itu membuat Mahanta merasa hancur.Karena rasa sedih yang menghimpit, Mahanta meraih botol kosong yang tergeletak di meja, m
“Kamu sudah selesai sarapan?” tanya Mahanta membuat Ziana menoleh ke arah pintu kamar. Pemandangan yang dilihatnya membuat Ziana buru-buru menatap mangkuk buburnya yang sudah kosong. Mahanta tanpa malu keluar dari kamarnya hanya memakai handuk membalut pinggangnya.“Bisa nggak sih, pakai baju dulu?” protes Ziana kembali berpura-pura tidak melihat tubuh Mahanta.“Kenapa? Kau sudah melihat semuanya. Lagian mana bajuku?”Ziana menatap bingung pada Mahanta yang justru berdiri di samping meja makan dan membuka bungkusan bubur untuknya. “Bajumu di lemari ‘kan? Kenapa tanya aku?”“Biasanya ‘kan baju suami disiapkan oleh istrinya. Memangnya kamu tidak tahu?”“Istri?! Aku belum jadi istrimu, Maha.”“Soon ‘kan? Jadi apa salahnya berlatih sekarang. Ambilkan bajuku dan pakaikan sekalian.”“Kamu nggak malu sama umur ya?”Mahanta menggeleng, sengaja membiarkan handuk di pinggangnya terlepas hingga jatuh di kakinya. Ziana langsung beranjak dari duduknya lalu mendekati lemari pakaian Mahanta. Jantung
“Pelajari teknik menenangkan seperti ini, Maha. Peran suami juga penting untuk menjaga istri yang sedang hamil agar selalu merasa bahagia. Kamu pernah nggak merasakan patah tulang?”Mahanta mengangguk hingga membuat Ziana menatapnya. “Pernah. Aku mengalami kecelakaan saat mencari Ziana dulu. Kakiku patah. Dan aku harus beristirahat sebulan penuh.”Ziana tidak menyangka kalau Mahanta pernah mengalami kecelakaan karena mencarinya. Rupanya banyak hal yang terjadi selama Ziana pergi dari kehidupan Mahanta.“Rasa sakit wanita yang sedang melahirkan itu seperti 20 tulang patah secara bersamaan. Kamu tidak akan bisa membayangkan rasa sakitnya. Menyentuh pinggang, punggung, dan juga perutnya seperti yang kuajarkan tadi, bisa mengurangi setidaknya sedikit saja dari rasa sakit itu. Dan ibu hamil akan merasa tenang dan terlindungi. Kamu paham?”“Aku akan banyak berguru padamu, dokter Kavya.”“Aku serius. Kau juga harus perhatikan bengkak di kaki Ziana nantinya. Semakin besar kandungannya, Ziana
“Sherena? Yang mana?” tanya balik Juwita semakin bingung.“Itu, Bu. Wanita yang melarang Ibu masuk ke lobby kantor Pak Maha waktu pertama kali kita ketemu,” sahut Ziana menjelaskan.“Wanita judes itu? Namanya Sherena. Kok kayak pernah dengar ya. Memangnya dia siapa?”Mahanta kembali menarik tangan Ziana, seolah meminta kekuatan dari menggenggam tangan perempuan itu. Tapi Ziana justru merasakan hal lain. Saat ini Mahanta membutuhkan Ziana untuk mempercayainya. Pria itu akan menjelaskan sejelas-jelasnya tentang hubungannya dengan Sherena.“Na, mungkin kamu tidak akan percaya semudah itu padaku. Tapi aku berharap kamu bisa mendengarkan penjelasanku sampai selesai. Aku ingin meluruskan kesalahpahaman diantara kita.”Mahanta kembali menatap Pak Tomo dan Ibu Juwita. “Dulu aku dan Sherena memang menjalin hubungan pacaran. Bahkan ada rencana pertunangan yang sempat kami bicarakan. Tapi Sherena berselingkuh dengan Jay hingga hamil.”Ibu Juwita menutup mulutnya yang terkejut mendengar penjelasa
Mahanta baru saja akan membuka mulutnya ketika ponselnya berdering nyaring. Pria itu buru-buru mengeluarkan ponselnya dan melihat siapa yang menelponnya. “Sherena,” ucapnya lalu meletakkan ponsel itu di atas meja. Ziana melirik layar ponsel Mahanta yang sudah hilang nada deringnya tapi panggilan dari Sherena belum berakhir. Ibu Juwita juga ikut kepo dan melirik layar ponsel Mahanta. “Kenapa nggak diangkat?” Ibu Juwita menunjuk ponsel Mahanta saat panggilan kedua masuk. “Aku malas mendengar suaranya. Nggak penting, tante.” “Angkat saja. Kita dengerin rame-rame.” Mahanta mengikuti permintaan Ibu Juwita yang penasaran. Segera terdengar suara centil Sherena yang sepertinya sengaja dibuat-buat kalau bicara dengan Mahanta. [“Maha, lama banget angkat telponnya. Kamu lagi dimana sih?”] “To the point. Ada apa?” Nada suara Mahanta terdengar dingin. [“Besok om dan tante ‘kan pulang tuh. Nenek suruh kita menjemput ke bandara. Jemput aku ya di rumah.”] “Pulangnya bukan besok, lusa,” sahut
Sherena masih berharap dirinya akan dipanggil. Bahkan sampai sengaja memperlambat jalannya dan berpura-pura terhuyung. Tapi sampai lima menit berlalu, tidak ada siapapun yang mengejarnya. Saat Sherena berbalik, Mahanta dan kedua orang tuanya sudah pergi dari tempat mereka berdiri tadi.“Sialan! Mereka kemana sih,” dumel Sherena lalu mengedarkan pandangannya berusaha mencari keberadaan Mahanta.Lelah mencari-cari, Sherena buru-buru kembali ke mobilnya. Wanita itu menutup pintu dengan keras, lalu mengomeli sopirnya.“Kamu lihat nggak kemana sopirnya Maha pergi?!”“Tadi ke arah parkiran, Nona.”“Ck! Memang nggak berguna! Pulang sekarang!”Sopir Sherena menjalankan mobil keluar dari bandara dan tanpa mereka sadari kalau mobil Mahanta juga keluar dari gerbang yang berbeda. Kedua mobil itu berjalan beriringan, tapi sopir Sherena hanya diam, meskipun ia tahu keberadaan mobil Mahanta.Mahanta sengaja mengajak kedua orang tuanya makan di restoran favorit mereka. Pria itu akan memberitahu tenta
Renan meletakkan bungkusan kue buatan Hannah diatas meja kerja Ziana. “Baru saja. Hari ini kamu pulang ‘kan? Tidak baik lembur terus.” Pria itu melirik ke arah perut Ziana lalu tersenyum smirk.Ziana meneguk salivanya melihat arah pandangan Renan. Perempuan itu sengaja tidak menutupi perutnya agar Renan tidak semakin curiga. Ziana tidak percaya kalau Renan baru saja sampai karena sifat kepo kakak iparnya itu.“Nanti aku pulang, Pak,” sahut Ziana.“Oke. Riana juga nyariin kamu. Kemana buna katanya.” Pandangan Renan pun beralih pada Lintang yang sudah berdiri di samping pintu ruangannya. “Pak Lintang, saya cuma nganterin titipan kakaknya Ziana. Saya permisi dulu.”Ziana terus menatap punggung Renan yang berjalan kembali ke lift. Kedua kakinya terasa lemas hingga kembali terduduk di kursi kerjanya. Dengan tangan gemetar, Ziana meraih gelas air minum lalu meneguknya hingga tandas. Ziana belum memikirkan tanggapan Hannah kalau sampai tahu tentang kehamilannya.Reaksi Ziana membuat Lintang
Mahanta berjalan cepat diikuti Hasan dan Intan yang menyusul di belakangnya. Segera setelah Mahanta mendengar terjadi sesuatu pada Ziana, pria itu bergegas kembali ke kantornya. Dengan tidak sabaran Mahanta menekan tombol lift agar pintu kembali tertutup.“Tenanglah, Maha. Lintang bilang sudah memanggil dokter ‘kan?” kata Intan menenangkan Mahanta.“Tapi, mah. Aku khawatir terjadi sesuatu pada Ziana. Dia sedang hamil muda. Padahal aku sudah menasehatinya untuk tetap di apartemen, tapi dia bersikeras ingin bekerja.”Hasan dan Intan bisa melihat kegelisahan yang terpancar dari ekspresi Mahanta. Sudah lama sekali mereka tidak melihat ekspresi seperti itu dari Mahanta, sejak tiga tahun yang lalu. Pintu lift segera terbuka di lantai kantor CEO.“Ziana!” seru Mahanta yang sudah melesat lebih dulu menuju ruang kerjanya. Pria itu membuka pintu dengan kasar dan mendapati Lintang sedang menunggu di samping ruang pribadinya. “Lintang! Mana Ziana?!”“Ada di dalam. Kavya sedang memeriksanya. Tungg
Sapaan dari sekretaris sementara Mahanta membuat Ziana tersenyum. Wanita cantik itu lalu membantu Mahanta membawa perlengkapan bayi Nanda ke dalam ruang kerja Mahanta. “Siapa namamu?” “Nama saya Mela, Bu Ziana. Saya sekretaris pengganti sementara Pak Lintang.” “Mela, apa meetingnya sudah dimulai?” tanya Mahanta yang sibuk di meja kerjanya. “Sudah, pak. Bapak bisa ke ruang meeting sekarang.” “Pesankan makan siang untuk Rania. Tanyakan saja dia mau makan apa,” titah Mahanta lalu mendekati Ziana yang sudah duduk di sofa. “Sayang, aku meeting dulu ya. Santai saja disini dulu.” “Iya, mas. Kamu tenang saja. Ada Mela disini.” Mahanta pun keluar dari ruang kerjanya dan langsung masuk ke ruang meeting. Sesuai perintah Mahanta, Mela segera memesan makanan untuk Rania. Saat makanannya datang, Nanda kembali menangis kencang lantaran haus lagi. Dengan telaten Ziana menyusui bayi itu sambil membayangkan Zaidan di mansion. “Oh, astaga,” ucapnya membuat Mela yang sedang membantu menyuapi Ra
“Siapa, sayang?” Mahanta menatap ke arah yang ditunjuk Ziana dengan kening mengerut. “Itu Pak Jay ‘kan? Dia sama Nanda.”Ziana tidak salah mengenali pria tampan yang sedang menggendong seorang bayi di tangannya. Jay tampak cemas memperhatikan mobilnya sambil sesekali menimang bayi Nanda. “Mas, ayo kita kesana. Sepertinya Pak Jay butuh bantuan.”Mahanta sebenarnya enggan membantu Jay setelah apa yang terjadi pada mereka. Tapi ia tidak bisa menahan Ziana yang sudah lebih dulu menggandeng tangan Rania mendekati pria itu. Mahanta mematikan mesin mobil lalu menyusul Ziana. “Pak Jay, kenapa mobilnya?”Jay menoleh lalu tersenyum menatap Ziana. “Ziana, kamu disini. Mobilku sepertinya mogok. Sopirku sedang mencari bantuan. Kamu ngapain disini?”“Saya baru menjemput Rania, Pak. Kebetulan dia bersekolah disini.” Jay tersenyum pada Rania yang bersembunyi di belakang punggung Ziana. “Kesayangan buna, ayo beri salam sama om Jay.”Rania menggeleng pelan, enggan mengulurkan tangannya pada Jay. Ket
“Babe, besok kita ke mansion om Tomo ya. Baju-bajumu masih disana ‘kan?”Arjuna yang baru keluar kamar, menatap bingung pada Rianti yang menelungkupkan wajahnya diatas meja. Mie yang masih mengepulkan asap putih tampak utuh di depannya.“Babe? Kamu tidur?”Arjuna mengguncang bahu Rianti pelan, sambil berusaha melihat wajahnya yang tertutup rambut. Saat Rianti mengangkat wajahnya, Arjuna bisa mencium aroma minuman dari bibir wanita itu.“Babe, kamu minum minumanku?”“Apa? Nggak. Aku baik-baik saja. Pusing, tapi nggak apa-apa.”Arjuna menggaruk kepalanya yang tidak gatal lalu meraih gelas air minum. “Minum dulu ya. Habis itu kamu tidur.”“Nggak enak!” tolak Rianti saat air minum menyentuh bibirnya.“Minum saja. Siapa suruh nakal. Minumanku nggak bisa kamu minum sembarangan, babe.”Arjuna tetap memaksa Rianti meneguk minumannya sampai tersisa setengah. Ia lalu menggendong Rianti masuk ke kamar dan membaringkannya di atas tempat tidur. Usai menyelimuti tubuh Rianti, Arjuna mengecup kening
“Pelan, mas. Sa-sakit,” lirih Hannah dengan suara serak menahan hasratnya.“Tahan, sayang. Aku coba lagi ya.”Lintang yang kepalang tanggung, mendorong tubuhnya hingga berhasil memasuki celah sempit milik Hannah. Pria itu mengerang keras saat miliknya terasa hangat dan terjepit ketat. Kenikmatan luar biasa yang dirasakan Lintang membuatnya menunduk mengecup pipi Hannah.Ditatapnya ekspresi wajah Hannah yang meringis menahan sakit. Dia tidak menyangka efek perawatan yang disarankan Ziana membuat miliknya seperti perawan lagi. Akibatnya Hannah merasakan sakit seperti malam pertamanya dengan Renan.“Sakit, mas,” lirih Hannah membuat Lintang mencium bibirnya lagi.Lintang terus menyentuh tubuh Hannah, membuat wanita itu melupakan rasa sakitnya hingga bisa menerima miliknya di dalam sana. Perlahan Lintang menggerakkan tubuhnya hingga miliknya terasa lebih licin. Suara desahan dan decapan mendominasi kamar yang berhawa sangat dingin itu. Tapi sedingin apapun suhu kamar itu tidak bisa mengur
Pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka tanpa peringatan. Hannah yang kaget, nyaris terjatuh karena refleks mundur dari depan pintu. Lintang dengan sigap meraih pinggang Hannah lalu memeluknya.“Hati-hati, sayang. Sedang apa kamu disini?”“Aku... itu... anu...”Rasa gugup membuat Hannah tergagap. Matanya mencoba melirik ke dalam kamar mandi, tepatnya ke arah koper mereka yang terlihat terbuka lebar. Wajah Hannah semakin pias dengan kemungkinan Lintang sudah melihat baju itu.“Kamu kenapa, sayang? Makanannya sudah datang?”“Iya. Sudah. Kamu mau makan sekarang?”“Ayo,” ajak Lintang.Hannah tidak punya alasan untuk membuatnya kembali masuk ke kamar mandi, hingga memilih mengikuti Lintang. Mereka duduk berdampingan lalu mulai menikmati hidangan makan malam di depan mereka. Lezatnya rasa makanan itu membuat Hannah tidak berhenti mencicipinya.“Enak ya?” tanya Lintang yang diangguki Hannah.“Makanannya enak sekali. Pas di lidah. Aku pikir makanan seperti apa yang ada di hotel mewah seperti ini.
Setelah pesta resepsi pernikahan itu selesai, kedua pasang pengantin baru itu pun berangkat dengan mobil masing-masing. Lintang dan Hannah menuju hotel, sedangkan Arjuna dan Rianti menuju apartemen Arjuna.“Wah, hotelnya besar sekali, mas,” puji Hannah kagum. Dia tidak pernah masuk ke hotel sebesar itu selama hidupnya.“Ini hadiah pernikahan dari om Tomo. Hotel ini juga punya om Tomo. Ayo, kita check in dulu.”Lintang menuntun Hannah mendekati resepsionis yang sudah siap menyambut kedatangan mereka. Seorang office boy mengambil alih koper yang dibawa Lintang, lalu mengantar keduanya menuju kamar hotel tempat mereka akan menginap selama tiga hari dua malam itu.“Silakan masuk, tuan, nyonya,” ucap office boy itu setelah pintu kamar terbuka lebar di hadapan mereka.“Terima kasih. Taruh saja kopernya di sini,” sahut Lintang lalu memberikan tip untuk office boy itu.Hannah memasuki kamar lebih dulu dan langsung mendekati jendela besar di dekat tempat tidur. Ia ingin melihat pemandangan dar
“Daripada mereka live show disini? Gimana kalau Rania melihatnya?”Mahanta buru-buru mengeluarkan ponselnya lalu menelpon Arjuna. Dering telepon terdengar jelas dari kantong jas Arjuna, tapi justru diabaikan pria itu yang masih asyik mencumbu Rianti. Belum menyerah, Mahanta mengulangi terus panggilan itu, hingga Rianti menghentikan ciuman Arjuna.“Ada telepon, Ar,” ucap Rianti sambil mendorong pelan bahu Arjuna.“Biarkan saja.”“Tapi sepertinya penting. Kita bisa lanjutkan nanti.”Arjuna menatap wajah Rianti yang sudah memerah sampai ke telinganya. Bibir wanita itu terlihat pucat dan ada sedikit bekas gigitan karena ulahnya. Mau tidak mau Arjuna mengalihkan pandangannya ke arah jasnya yang tergeletak di lantai begitu saja.“Siapa sih, mengganggu saja.” Kening Arjuna mengerut melihat nama Mahanta muncul di layar ponselnya. Pria itu segera mengedarkan pandangannya dan melihat sahabatnya berdiri tidak jauh dari posisinya. “Kamu ngapain sih? Ganggu saja.”“Heh! Kalau nggak gitu, kamu mau
Hari yang ditunggu-tunggu, hari pernikahan Hannah dan Lintang akhirnya tiba juga. Semua orang sudah berkumpul di halaman mansion Tomo untuk menyaksikan upacara sakral itu. Meskipun tidak banyak tamu undangan, tapi sudah cukup membahagiakan bagi Hannah dan Lintang. Acara akad akan segera berlangsung ketika Arjuna tiba di mansion itu. Tidak seperti biasanya, wajah pria itu terlihat muram dan lelah. Entah kemana perginya Arjuna yang selalu ceria dan bersemangat. Tanpa mempedulikan sekitarnya, Arjuna segera duduk di kursi khusus untuknya. Ia tersenyum tipis saat bertatapan dengan Mahanta yang duduk bersama Ziana.“Lihat itu Arjuna sudah datang,” bisik Mahanta pada Ziana. “Iya, aku sudah melihatnya. Lihat penampilannya kacau sekali.”“Aku dengar sejak kejadian malam itu, Arjuna hanya mengurung diri di apartemennya. Ia hanya makan kalau Lintang membawakannya makanan. Selebihnya hanya diam melamun. Apa Rianti tidak mengatakan apa-apa?”“Mereka sama-sama keras kepala. Sampai sekarang aku be
Tengah malam, Rianti tersentak kaget lalu mengerjakan matanya perlahan. Ia mencoba mengingat keberadaannya saat ini yang masih berada di kamar Zaidan. Saat Rianti memeriksa boks bayi itu, matanya melotot karena Zaidan tidak ada di dalam boks itu. “Zaidan dimana?” Lekas Rianti berlari keluar kamar dan melihat sekitarnya sudah gelap. Sedikit ragu, Rianti menoleh ke arah kamar Ziana dan Mahanta. Besar kemungkinan Zaidan ada disana. Tapi alasan kenapa Ziana tidak membangunkan Rianti membuatnya bingung. “Apa kucoba ketuk saja ya?” Rianti berjalan mendekati pintu kamar dan bersiap mengetuknya. Tapi tangannya melayang di udara karena keraguan yang masih menggantung. Akhirnya Rianti memutuskan untuk mengirimkan chat pada Ziana. {“Malam, nona. Maaf saya ketiduran tadi. Apa sekarang bayi Zaidan bersama nona?”}Rianti mengirimkan chat itu dan menunggu. Ia berharap Ziana masih terbangun dan membalas chatnya. Tapi selang lima menit kemudian, belum juga ada balasan dari Ziana. Pesannya juga ti