Beranda / Romansa / Mengandung Benih Bos Arogan / Bab 5 – Sebuah Penjelasan

Share

Bab 5 – Sebuah Penjelasan

Penulis: Sanny Rama
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Setelah sepuluh menit, Ziana terpaksa keluar dengan tubuh berbalut handuk saja. Ia terkejut melihat Mahanta berdiri di dekat jendela besar di dalam ruangan itu. Baru saja Ziana berbalik hendak masuk kembali ke dalam kamar mandi, Mahanta memanggilnya.

“Ziana, apa kau ingin menggodaku?”

Ziana memejamkan matanya menahan air matanya agar tidak jatuh, lalu berkata lirih, “Toh Bapak sudah lihat semuanya. Saya hanya meminjam handuk ini sampai pakaian saya kering. Kalau tidak boleh juga, ijinkan saya meminjam kamar mandi Bapak lima menit lagi.”

“Sampai kapan kau akan terus bersikap seperti ini, Ziana?”

Ziana berbalik menatap Mahanta dengan air mata membasahi pipinya. Dia benci menangis di depan Mahanta, memperlihatkan kelemahannya hingga memberi celah pada pria itu untuk menghinanya lagi. Ziana bahkan tidak tahu apa kesalahannya pada Mahanta hingga membuat pria itu tega mempermainkan perasaannya.

“Apa maumu, Maha? Apa salahku sama kamu? Apa aku pernah membuatmu sakit hati? Apa aku pernah melukai orang yang kamu cintai? Apa yang membuatmu tega melukai hati dan tubuhku?”

Ziana menengadah mencoba menghentikan air mata yang terus membanjiri pipinya. Suaranya sudah tercekat, tapi Ziana berusaha mati-matian mengontrolnya. Nafasnya pun mulai sesak menahan gejolak emosi yang selama ini ia pendam sendiri.

“Kamu tahu, Maha, butuh waktu satu tahun sampai aku bisa berhenti menyalahkan diriku atas apa yang terjadi.” Ziana mengacungkan jari telunjuknya, lalu menaikkan jari tengahnya.

“Tahun berikutnya, aku mulai menerimanya sebagai pelajaran yang sangat berharga. Jangan pernah percaya 100% pada siapapun. Menginjak tahun ketiga, aku menyibukkan diri menyelesaikan kuliahku dan berharap bisa bekerja di sebuah perusahaan besar.”

Usai menunjukan tiga jarinya, Ziana mengusap kasar pipinya yang basah, lalu menyedot kuat ingusnya hingga membuat Mahanta menarik sudut bibirnya. Reaksi Mahanta membuat Ziana tersenyum sinis padanya.

“Maafkan aku yang terlalu banyak bicara. Pasti bagimu ini hanyalah lelucon. Apa artinya perjuanganku jika dibandingkan privilege yang kau dapatkan sejak di dalam kandungan. Baru lahir saja kau sudah mendapatkan uang, fasilitas mewah, bahkan... (Ziana merentangkan tangannya ke atas lalu mengarahkannya pada Mahanta) ...jabatan CEO. Wow!”

Ziana bertepuk tangan untuk mengakhiri pidatonya yang membosankan. Tentu saja, karena pendengarnya adalah seorang Mahanta. Sekali lagi Ziana tersenyum lalu membungkukkan tubuhnya ke arah Mahanta.

“Sekarang ijinkan saya pergi, Pak CEO yang terhormat. Saya sudah dipecat dan saya cukup tahu diri kalau kehadiran saya disini tidak diharapkan. Sekian yang dapat saya sampaikan, anggap saja iklan yang membosankan. Saya permisi.”

Ziana hampir berbalik, tapi kembali menghadap ke arah Mahanta. “Saya ijin untuk meminjam kamar mandi Pak CEO lima menit saja.”

“Berhenti, Ziana. Kau tidak diijinkan untuk pergi kemana-mana sebelum aku mendengar penjelasanmu. Kenapa kau pergi?”

Ziana berbalik dan melangkah cepat mendekati Mahanta dengan tatapan mengancam. Telunjuknya menekan keras dada bidang Mahanta. Butuh waktu baginya untuk kembali bicara setelah penutupan yang menurutnya cukup.

“Aku pergi karena aku sadar diri. Kita... (Ziana menunjuk dirinya dan Mahanta berulang kali) “...maaf, maksudnya aku, hanya ingin menempatkan diriku di tempat yang sepantasnya. Seharusnya aku sudah sadar sebelum kita melakukannya, tapi aku justru menyerahkan semuanya untukmu. Penjelasan seperti itu ‘kan yang ingin kau dengar? Kenapa? Apa kau merasa bersalah?”

Mahanta hanya diam tanpa menjawab pertanyaan Ziana. Dari ekspresi wajahnya, Ziana sudah bisa menebak kalau semua ini memang permainan Mahanta agar bisa mencicipi tubuhnya lagi.

“Katakan sesuatu, Maha. Aku ingin tahu, berapa harga keperawananku bagimu? Jangan katakan angka yang dulu. Berapa ya? Sebentar kuingat dulu.” Ziana mengetuk keningnya dengan jari telunjuknya, tampak mengingat sesuatu.

“Seratus juta? Seharusnya nilainya sudah menjadi lima ratus juta lebih sekarang ya. Apa kau akan membaginya denganku?”

“Hentikan, Ziana.” Ekspresi wajah Mahanta mengeras pertanda pria itu mulai kesal dan marah.

“Kenapa? Salahku dimana kalau minta sharing profit? Aku lupa kalau kemarin kita juga melakukannya. Jadi nilainya dua kali lipat dong. Satu miliar lebih. Aku kasih diskon deh, satu miliar saja. Nomor rekeningku ada di Pak Lintang.”

Mahanta memegang lengan Ziana dan menatapnya dalam, “Aku tidak pernah menerima uang itu, Ziana.”

“Rugi sekali. Sudah dapat perawan, tapi uangnya malah nggak kau ambil.” Ziana bahkan tidak peduli lagi dengan harga dirinya. Toh dihadapan Mahanta, dia bukan siapa-siapa.

“Bisakah kau berhenti merendahkan dirimu seperti itu? Aku hanya minta penjelasan, Ziana. Kenapa kau pergi begitu saja setelah kita melewati malam yang indah?”

Suara lembut Mahanta membuat tubuh Ziana merinding. Bulu kuduknya sampai berdiri hingga Mahanta bisa melihatnya. Tapi perempuan itu sudah benar-benar muak pada Mahanta.

“Kamu belum sadar juga? Ok, aku akan membantumu. Pertama, kau tidak jujur padaku tentang hubunganmu dengan Sherena, hingga aku dicap sebagai pelakor.” Ziana menjeda ucapannya sejenak demi mengatur nafasnya yang tersengal.

“Kedua, aku adalah bahan kegabutanmu dengan teman-teman itu ‘kan? Hingga kalian membuatku sebagai bahan taruhan dengan imbalan uang seratus juta.” Ziana kembali berhenti sambil mengusap pipinya yang basah. Bicara sambil menangis membuatnya kesulitan.

“Ketiga, kau yang bilang sendiri kalau aku hanya seorang gadis bodoh yang tidak pantas mengharapkanmu, padahal kau yang mengejarku lebih dulu. Jadi aku membuatnya lebih mudah bagimu. Aku pergi, menghilang dari kehidupanmu.”

Kali ini Ziana kembali meninggikan suaranya. “Seharusnya kau senang ‘kan?! Atau kau belum puas menghancurkan aku?! Belum puas menjadikanku bahan kegabutan kalian?! Bilang saja aku harus apa?! Melayani teman-temanmu juga?!”

“ZIANA!”

Ziana tercekat mendengar bentakan Mahanta yang sangat keras di depan wajahnya. Cengkeraman tangan Mahanta semakin kuat hinggamembuat Ziana sadar kalau dia sudah terlalu banyak bicara. Perlahan ia mundur berusaha menjaga jarak dari Mahanta.

Saat Mahanta bergerak mendekat lagi, Ziana mengangkat tangannya. “Sudah cukup. Aku benar-benar harus pergi sekarang.”

Ziana bergerak ke kanan dan ke kiri seperti orang linglung yang tidak tahu arah. Kedua tangannya terus memegang kepala dan wajahnya. Mahanta bisa melihat bagaimana Ziana kehilangan ketenangannya. Perempuan itu kembali panik hingga Mahanta harus mendekatinya lagi.

“Ziana, ganti bajumu dulu dengan ini.” Mahanta menyodorkan paper bag ke tangan Ziana, lalu menuntun perempuan itu menuju kamar mandi. “Tenanglah. Kau bebas memakai kamar mandi ini. Bahkan kamar ini. Aku tidak akan mengganggumu. Take your time.”

Setelah pintu kamar mandi kembali tertutup, Ziana membuka kran wastafel dan mencuci wajahnya dengan cepat. Ia nyaris kehabisan nafas dan baru berhenti saat hampir tidak sadarkan diri. Tubuh Ziana merosot ke lantai dan kembali terisak dengan sangat memilukan.

Butuh waktu setengah jam untuknya menenangkan diri dan memakai pakaian yang Mahanta berikan. Ia menatap penampilannya di cermin wastafel. Pakaian itu sangat pas di tubuhnya dan terlihat sangat indah. Tapi Ziana sama sekali tidak bahagia. Kedua matanya sangat bengkak dan sulit disembunyikan bahkan dengan make up.

“Bagaimana aku bisa keluar seperti ini? Orang-orang akan berpikir kalau mataku habis disengat tawon.”

Ziana menghela nafas panjang sekali lagi, sebelum keluar dari kamar mandi. Ia melihat nampan berisi makanan dan minuman diatas meja. Bahkan tas tangannya juga ada disana. Satu hal yang membuat Ziana tertegun adalah kompres es batu yang dibalut handuk kecil. Sebuah note tertulis disana.

{“Makanlah dulu sebelum pulang. Kompres juga matamu. Saat kau keluar nanti, tidak akan ada orang yang melihatmu. Mahanta.”}

“Masih punya hati juga, Pak. Apa ini pengganti pesangonku ya?” gumam Ziana lirih.

Bab terkait

  • Mengandung Benih Bos Arogan   Bab 6 – Rencana Jahat

    Mahanta dan Lintang sedang menunggu Ziana keluar dari ruang pribadi Mahanta sambil melanjutkan pekerjaan mereka. Sesekali Mahanta melirik ke arah pintu yang masih tertutup. Baru lima belas menit berlalu, dan belum ada tanda-tanda Ziana akan keluar dari sana. “Apa kau yakin dengan pemecatan Ziana? Tidak ada kesempatan lagi?” tanya Lintang memecah keheningan diantara mereka. “Aku tidak mungkin menarik kata-kataku. Dia akan berpikir aku plin-plan.” “Dia sudah berusaha memperbaiki kesalahannya. Aku dengar dari sekuriti hotel kalau Ziana hampir kecelakaan karena ngebut waktu nganterin dokumen kontrak kerja itu. Untung cuma bajunya yang kotor, nggak sampai terluka. Kesalahannya hanya tidak sengaja ketiduran karena ulahmu juga, bos.” Mahanta terdiam mendengar penjelasan Lintang. Dia terlalu keras pada Ziana demi meminta penjelasan pada perempuan itu. Egonya hampir mencelakai Ziana. “Apa kau sudah mendengar penjelasannya? Apa katanya?” tanya Lintang lagi. “Banyak salah paham diantara ka

  • Mengandung Benih Bos Arogan   Bab 7 – Sumber Luka

    Keesokan harinya, Ziana tiba lebih pagi di kantor CEO. Ia menyiapkan semuanya dengan baik dan teliti sambil menunggu kedatangan Mahanta dan Lintang. Berkali-kali Ziana meyakinkan dirinya untuk bersikap profesional dan tidak mengingat apa yang terjadi kemarin. “Selamat pagi, Ziana. Kau datang lebih pagi dari biasanya,” sapa Lintang. Tampak Mahanta berjalan di belakang pria itu. Tatapannya tetap tidak berubah, dingin dan cuek. “Selamat pagi, Pak Maha, Pak Lintang. Saya sudah berjanji sebelumnya. Maafkan atas keteledoran saya kemarin.” Ziana sedikit membungkukkan tubuhnya demi meminta maaf dengan tulus. “Sudah. Kembali bekerja. Hari ini kita ada klien yang sangat penting,” ucap Mahanta sambil berjalan melewati Ziana. “Baik, Pak.” Ziana segera mempersiapkan bahan meeting dan ruangan meeting yang akan menjadi tempat pertemuan kali ini. Dari profil klien yang Ziana baca, klien mereka kali ini memang sedikit rewel dan banyak tuntutan. Sepuluh menit sebelum waktu meeting tiba, klien itu

  • Mengandung Benih Bos Arogan   Bab 8 – Tuduhan Pelakor Lagi

    “Sampai kapan kau akan terus seperti itu, bos?” tegur Lintang setelah lagi-lagi memergoki Mahanta sedang melamun sambil menatap keluar jendela kantornya. “Apa dia serius dengan ucapannya, Tang?” “Ucapan apa? Siapa yang kamu maksud?” “Ziana.” Lintang menaikkan alisnya, mulai kepo lagi dengan urusan yang membuat Mahanta galau. “Memangnya Ziana bilang apa?” “Aku tidak bisa menjadi obat untuk lukanya.” “Aku setuju dengan Ziana,” sambar Lintang cepat, tapi pria itu menyadari tatapan Mahanta yang tidak bersahabat. “Maksudku, Ziana butuh waktu dan juga kejelasan tentang apa yang kau rasakan dulu padanya, bos. Perempuan itu ingin jaminan yang jelas untuk masa depan mereka.” “Apa maksudmu? Aku nggak ngerti.” Lintang menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sulit sekali menyampaikan sesuatu kalau berkaitan dengan perempuan. Ia juga tahu kemungkinan Mahanta akan jujur dengan perasaannya sendiri adalah nyaris nol persen. “Kalian hanya perlu bicara dari hati ke hati,” sambung Lintang akhirny

  • Mengandung Benih Bos Arogan   Bab 9 – Mual Lagi

    “Tapi nggak seharusnya dekat dengan pria beristri. Gimana kalau istrinya salah paham dan menuduhnya sebagai pelakor?” “Bukannya Sherena juga menyebut Ziana pelakor ya? Tapi kalian belum menikah tuh.” Mahanta terdiam mendengar ucapan Lintang. Pria itu tersadar dengan ucapannya pada Ziana tadi. Pantas saja Ziana mengatakan hal seperti itu. Sherena memang menuduh Ziana pelakor saat taruhan Mahanta dan teman-temannya akhirnya terbongkar. “Sudah sadar dengan kesalahanmu? Makanya kalau ngomong pakai otak,” sambung Lintang. “Kamu yang gila. Dimana-mana ngomong pakai bibir. Mikir pakai otak!” sambar Mahanta. Lintang memutar bola matanya malas. “Aku ingin tahu apa yang akan kau lakukan kalau tahu kebenarannya.” “Jangan berbelit-belit. Lagian kenapa kau ribut sekali membela Ziana? Jangan-jangan kamu juga suka sama dia? Iya?” “Wah! Beneran sudah kena ke otak.” Lintang menunjuk Mahanta dengan kesal. “Pak Renan itu suami kakaknya Ziana.” Mahanta langsung berdiri dari duduknya hingga kursi k

  • Mengandung Benih Bos Arogan   Bab 10 – Ziana Hamil

    “Kamu yakin nggak perlu ke rumah sakit?” tanya Mahanta saat mereka berada di dalam mobil. Setelah Ziana keluar dari toilet, ia meminta ijin pada Mahanta untuk pulang lebih dulu dengan alasan tidak enak badan. Alih-alih membiarkan Ziana pulang sendiri, Mahanta segera membayar makanan mereka dan menuntun Ziana menuju mobilnya. “Iya, Pak. Saya baik-baik saja. Boleh saya turunkan kaca mobilnya?” Mahanta tidak menjawab, tapi menurunkan kaca jendela mobilnya di samping Ziana hingga terbuka seluruhnya. Pria itu juga menurunkan kecepatan mobilnya hingga semilir angin malam berhembus pelan menerpa wajah Ziana. Sesekali Ziana menarik nafas panjang sambil mengelus perutnya yang sudah kosong. “Apa kau mau makan sesuatu? Es krim vanila dengan topping coklat?” Ziana hanya diam dengan kejutan lain dari Mahanta. Pria itu mengingat makanan dan dessert favoritnya. Kalau saja hubungan mereka dulu tidak seburuk itu, mungkin Ziana akan merasa hatinya hangat atas perhatian Mahanta. Tapi justru perasaa

  • Mengandung Benih Bos Arogan   Bab 11 – Aku Bukan Jalang

    Mahanta meremas keras kedua tangannya, merasakan sakit yang amat sangat di hatinya. Pria itu tidak menyangka akan mendengar hal mengerikan seperti itu dari Ziana. Mengingat dengan mudahnya Ziana mengatakannya, Mahanta jadi berpikir tentang kejadian tiga tahun yang lalu.“Apa kamu sudah pernah melakukannya tiga tahun yang lalu?”“Melakukan ap__ iya.” Ziana segera mengiyakan pertanyaan Mahanta. Perempuan itu ingin membuat Mahanta membencinya agar mereka tidak terlibat lagi dalam hubungan personal.“Jangan bohong, Ziana. Tiga tahun lalu aku memakai pengaman. Setidaknya periksa dulu faktanya sebelum memilih membohongi dirimu sendiri.”Ziana menghela nafas panjang. Ia sudah sangat lelah dengan semua kejadian yang menimpanya hari ini. Mendapatkan gadis perawan tapi dengan cara yang aman, hanya Mahanta yang bisa memikirkan hal sedetail itu. “Tolonglah, Maha. Hubungan kita sudah berakhir tiga tahun lalu. Aku juga sudah menjelaskan alasan kepergianku. Apalagi yang kau inginkan?”“Tapi semua ya

  • Mengandung Benih Bos Arogan   Bab 12 – Aku dan Kamu, bukan Kita

    “Mau bicara apalagi?” Ziana sedikit ngelag setelah perutnya kenyang.“Ziana,” panggil Mahanta dengan suara beratnya.Ziana mengalihkan pandangannya menatap pemandangan di luar jendela apartemen Mahanta. Perempuan itu ingin sekali menanyakan satu pertanyaan yang selalu menghantui Ziana sejak tiga tahun lalu. Tapi Ziana takut mendengar jawaban Mahanta.“Ziana, menikahlah denganku.”Kalau saja Mahanta mengatakannya tiga tahun lalu, mungkin Ziana akan langsung setuju dengan perasaan yang sangat bahagia. Tapi Ziana sudah tahu alasan pria itu melamarnya hanya karena bayi di dalam kandungan Ziana.“Bukannya lebih mudah kalau kau berkata ‘Gugurkan saja. Akan kubayar biayanya’. Aku bisa mendapat uang banyak dan pergi jauh dari kehidupanmu.”Tidak mudah bagi Ziana mengatakan hal mengerikan seperti itu untuk kedua kalinya. Hal pertama yang ia takutkan setelah menghabiskan malam panas bersama Mahanta adalah hamil diluar nikah. Ziana sudah bertekad saat itu akan menjaga bayinya dengan baik jika di

  • Mengandung Benih Bos Arogan   Bab 13 – Kesempatan

    Mahanta merasakan denyutan sakit yang menghantam kepalanya seperti palu pemukul yang tidak kenal ampun. Dari sudut pandangnya yang buram, ia memandang sekeliling dengan mata yang masih setengah terpejam, mencoba memahami di mana ia berada. Apartemennya. Sofa. Bau alkohol yang tercium sangat kuat. Dan dalam benaknya, kejadian malam sebelumnya mulai muncul seperti bayangan buram yang ingin ia tolak.Mata Mahanta terbuka perlahan. Cahaya pagi yang masuk melalui jendela apartemennya menusuk seperti pedang tajam, membuatnya menutup mata kembali dengan cepat. Kepalanya terasa berat, dan setiap gerakan yang dilakukannya hanya membuatnya semakin merasa mual.Dia mencoba mengingat apa yang terjadi. Ah, Ziana. Mantan kekasihnya. Segala hal tentangnya seperti terpatri di setiap sudut apartemen ini. Tetapi Ziana tidak lagi bersamanya. Dia tidak menerima Mahanta kembali. Dan itu membuat Mahanta merasa hancur.Karena rasa sedih yang menghimpit, Mahanta meraih botol kosong yang tergeletak di meja, m

Bab terbaru

  • Mengandung Benih Bos Arogan   Bab 118 – Menarik Simpati Ziana

    Sapaan dari sekretaris sementara Mahanta membuat Ziana tersenyum. Wanita cantik itu lalu membantu Mahanta membawa perlengkapan bayi Nanda ke dalam ruang kerja Mahanta. “Siapa namamu?” “Nama saya Mela, Bu Ziana. Saya sekretaris pengganti sementara Pak Lintang.” “Mela, apa meetingnya sudah dimulai?” tanya Mahanta yang sibuk di meja kerjanya. “Sudah, pak. Bapak bisa ke ruang meeting sekarang.” “Pesankan makan siang untuk Rania. Tanyakan saja dia mau makan apa,” titah Mahanta lalu mendekati Ziana yang sudah duduk di sofa. “Sayang, aku meeting dulu ya. Santai saja disini dulu.” “Iya, mas. Kamu tenang saja. Ada Mela disini.” Mahanta pun keluar dari ruang kerjanya dan langsung masuk ke ruang meeting. Sesuai perintah Mahanta, Mela segera memesan makanan untuk Rania. Saat makanannya datang, Nanda kembali menangis kencang lantaran haus lagi. Dengan telaten Ziana menyusui bayi itu sambil membayangkan Zaidan di mansion. “Oh, astaga,” ucapnya membuat Mela yang sedang membantu menyuapi Ra

  • Mengandung Benih Bos Arogan   Bab 117 – Permintaan Tolong

    “Siapa, sayang?” Mahanta menatap ke arah yang ditunjuk Ziana dengan kening mengerut. “Itu Pak Jay ‘kan? Dia sama Nanda.”Ziana tidak salah mengenali pria tampan yang sedang menggendong seorang bayi di tangannya. Jay tampak cemas memperhatikan mobilnya sambil sesekali menimang bayi Nanda. “Mas, ayo kita kesana. Sepertinya Pak Jay butuh bantuan.”Mahanta sebenarnya enggan membantu Jay setelah apa yang terjadi pada mereka. Tapi ia tidak bisa menahan Ziana yang sudah lebih dulu menggandeng tangan Rania mendekati pria itu. Mahanta mematikan mesin mobil lalu menyusul Ziana. “Pak Jay, kenapa mobilnya?”Jay menoleh lalu tersenyum menatap Ziana. “Ziana, kamu disini. Mobilku sepertinya mogok. Sopirku sedang mencari bantuan. Kamu ngapain disini?”“Saya baru menjemput Rania, Pak. Kebetulan dia bersekolah disini.” Jay tersenyum pada Rania yang bersembunyi di belakang punggung Ziana. “Kesayangan buna, ayo beri salam sama om Jay.”Rania menggeleng pelan, enggan mengulurkan tangannya pada Jay. Ket

  • Mengandung Benih Bos Arogan   Bab 116 – Jadi Atau Tidak?

    “Babe, besok kita ke mansion om Tomo ya. Baju-bajumu masih disana ‘kan?”Arjuna yang baru keluar kamar, menatap bingung pada Rianti yang menelungkupkan wajahnya diatas meja. Mie yang masih mengepulkan asap putih tampak utuh di depannya.“Babe? Kamu tidur?”Arjuna mengguncang bahu Rianti pelan, sambil berusaha melihat wajahnya yang tertutup rambut. Saat Rianti mengangkat wajahnya, Arjuna bisa mencium aroma minuman dari bibir wanita itu.“Babe, kamu minum minumanku?”“Apa? Nggak. Aku baik-baik saja. Pusing, tapi nggak apa-apa.”Arjuna menggaruk kepalanya yang tidak gatal lalu meraih gelas air minum. “Minum dulu ya. Habis itu kamu tidur.”“Nggak enak!” tolak Rianti saat air minum menyentuh bibirnya.“Minum saja. Siapa suruh nakal. Minumanku nggak bisa kamu minum sembarangan, babe.”Arjuna tetap memaksa Rianti meneguk minumannya sampai tersisa setengah. Ia lalu menggendong Rianti masuk ke kamar dan membaringkannya di atas tempat tidur. Usai menyelimuti tubuh Rianti, Arjuna mengecup kening

  • Mengandung Benih Bos Arogan   Bab 115 – Olahraga Malam

    “Pelan, mas. Sa-sakit,” lirih Hannah dengan suara serak menahan hasratnya.“Tahan, sayang. Aku coba lagi ya.”Lintang yang kepalang tanggung, mendorong tubuhnya hingga berhasil memasuki celah sempit milik Hannah. Pria itu mengerang keras saat miliknya terasa hangat dan terjepit ketat. Kenikmatan luar biasa yang dirasakan Lintang membuatnya menunduk mengecup pipi Hannah.Ditatapnya ekspresi wajah Hannah yang meringis menahan sakit. Dia tidak menyangka efek perawatan yang disarankan Ziana membuat miliknya seperti perawan lagi. Akibatnya Hannah merasakan sakit seperti malam pertamanya dengan Renan.“Sakit, mas,” lirih Hannah membuat Lintang mencium bibirnya lagi.Lintang terus menyentuh tubuh Hannah, membuat wanita itu melupakan rasa sakitnya hingga bisa menerima miliknya di dalam sana. Perlahan Lintang menggerakkan tubuhnya hingga miliknya terasa lebih licin. Suara desahan dan decapan mendominasi kamar yang berhawa sangat dingin itu. Tapi sedingin apapun suhu kamar itu tidak bisa mengur

  • Mengandung Benih Bos Arogan   Bab 114 – Baju Halal

    Pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka tanpa peringatan. Hannah yang kaget, nyaris terjatuh karena refleks mundur dari depan pintu. Lintang dengan sigap meraih pinggang Hannah lalu memeluknya.“Hati-hati, sayang. Sedang apa kamu disini?”“Aku... itu... anu...”Rasa gugup membuat Hannah tergagap. Matanya mencoba melirik ke dalam kamar mandi, tepatnya ke arah koper mereka yang terlihat terbuka lebar. Wajah Hannah semakin pias dengan kemungkinan Lintang sudah melihat baju itu.“Kamu kenapa, sayang? Makanannya sudah datang?”“Iya. Sudah. Kamu mau makan sekarang?”“Ayo,” ajak Lintang.Hannah tidak punya alasan untuk membuatnya kembali masuk ke kamar mandi, hingga memilih mengikuti Lintang. Mereka duduk berdampingan lalu mulai menikmati hidangan makan malam di depan mereka. Lezatnya rasa makanan itu membuat Hannah tidak berhenti mencicipinya.“Enak ya?” tanya Lintang yang diangguki Hannah.“Makanannya enak sekali. Pas di lidah. Aku pikir makanan seperti apa yang ada di hotel mewah seperti ini.

  • Mengandung Benih Bos Arogan   Bab 113 – Hadiah Dari Ziana

    Setelah pesta resepsi pernikahan itu selesai, kedua pasang pengantin baru itu pun berangkat dengan mobil masing-masing. Lintang dan Hannah menuju hotel, sedangkan Arjuna dan Rianti menuju apartemen Arjuna.“Wah, hotelnya besar sekali, mas,” puji Hannah kagum. Dia tidak pernah masuk ke hotel sebesar itu selama hidupnya.“Ini hadiah pernikahan dari om Tomo. Hotel ini juga punya om Tomo. Ayo, kita check in dulu.”Lintang menuntun Hannah mendekati resepsionis yang sudah siap menyambut kedatangan mereka. Seorang office boy mengambil alih koper yang dibawa Lintang, lalu mengantar keduanya menuju kamar hotel tempat mereka akan menginap selama tiga hari dua malam itu.“Silakan masuk, tuan, nyonya,” ucap office boy itu setelah pintu kamar terbuka lebar di hadapan mereka.“Terima kasih. Taruh saja kopernya di sini,” sahut Lintang lalu memberikan tip untuk office boy itu.Hannah memasuki kamar lebih dulu dan langsung mendekati jendela besar di dekat tempat tidur. Ia ingin melihat pemandangan dar

  • Mengandung Benih Bos Arogan   Bab 112 – Dua Pasang Pengantin

    “Daripada mereka live show disini? Gimana kalau Rania melihatnya?”Mahanta buru-buru mengeluarkan ponselnya lalu menelpon Arjuna. Dering telepon terdengar jelas dari kantong jas Arjuna, tapi justru diabaikan pria itu yang masih asyik mencumbu Rianti. Belum menyerah, Mahanta mengulangi terus panggilan itu, hingga Rianti menghentikan ciuman Arjuna.“Ada telepon, Ar,” ucap Rianti sambil mendorong pelan bahu Arjuna.“Biarkan saja.”“Tapi sepertinya penting. Kita bisa lanjutkan nanti.”Arjuna menatap wajah Rianti yang sudah memerah sampai ke telinganya. Bibir wanita itu terlihat pucat dan ada sedikit bekas gigitan karena ulahnya. Mau tidak mau Arjuna mengalihkan pandangannya ke arah jasnya yang tergeletak di lantai begitu saja.“Siapa sih, mengganggu saja.” Kening Arjuna mengerut melihat nama Mahanta muncul di layar ponselnya. Pria itu segera mengedarkan pandangannya dan melihat sahabatnya berdiri tidak jauh dari posisinya. “Kamu ngapain sih? Ganggu saja.”“Heh! Kalau nggak gitu, kamu mau

  • Mengandung Benih Bos Arogan   Bab 111 – Takut Khilaf

    Hari yang ditunggu-tunggu, hari pernikahan Hannah dan Lintang akhirnya tiba juga. Semua orang sudah berkumpul di halaman mansion Tomo untuk menyaksikan upacara sakral itu. Meskipun tidak banyak tamu undangan, tapi sudah cukup membahagiakan bagi Hannah dan Lintang. Acara akad akan segera berlangsung ketika Arjuna tiba di mansion itu. Tidak seperti biasanya, wajah pria itu terlihat muram dan lelah. Entah kemana perginya Arjuna yang selalu ceria dan bersemangat. Tanpa mempedulikan sekitarnya, Arjuna segera duduk di kursi khusus untuknya. Ia tersenyum tipis saat bertatapan dengan Mahanta yang duduk bersama Ziana.“Lihat itu Arjuna sudah datang,” bisik Mahanta pada Ziana. “Iya, aku sudah melihatnya. Lihat penampilannya kacau sekali.”“Aku dengar sejak kejadian malam itu, Arjuna hanya mengurung diri di apartemennya. Ia hanya makan kalau Lintang membawakannya makanan. Selebihnya hanya diam melamun. Apa Rianti tidak mengatakan apa-apa?”“Mereka sama-sama keras kepala. Sampai sekarang aku be

  • Mengandung Benih Bos Arogan   Bab 110 – Mari Kita Bicara

    Tengah malam, Rianti tersentak kaget lalu mengerjakan matanya perlahan. Ia mencoba mengingat keberadaannya saat ini yang masih berada di kamar Zaidan. Saat Rianti memeriksa boks bayi itu, matanya melotot karena Zaidan tidak ada di dalam boks itu. “Zaidan dimana?” Lekas Rianti berlari keluar kamar dan melihat sekitarnya sudah gelap. Sedikit ragu, Rianti menoleh ke arah kamar Ziana dan Mahanta. Besar kemungkinan Zaidan ada disana. Tapi alasan kenapa Ziana tidak membangunkan Rianti membuatnya bingung. “Apa kucoba ketuk saja ya?” Rianti berjalan mendekati pintu kamar dan bersiap mengetuknya. Tapi tangannya melayang di udara karena keraguan yang masih menggantung. Akhirnya Rianti memutuskan untuk mengirimkan chat pada Ziana. {“Malam, nona. Maaf saya ketiduran tadi. Apa sekarang bayi Zaidan bersama nona?”}Rianti mengirimkan chat itu dan menunggu. Ia berharap Ziana masih terbangun dan membalas chatnya. Tapi selang lima menit kemudian, belum juga ada balasan dari Ziana. Pesannya juga ti

DMCA.com Protection Status