Share

Bab 2

Aku sengaja menunjukkan ekspresi gugup dan ketakutan di wajahku. Benar saja, sudut bibir Ginny sedikit terangkat, meski dengan cepat dia mengganti raut wajahnya menjadi seolah-olah penuh perhatian.

"Ada yang ganggu kamu, Ashiya? Bilang saja padaku, akan kuberi pelajaran orang itu."

Aku mencengkeram bahunya dengan kuat, berpura-pura mengingat kembali kenangan buruk. "Aku baik-baik saja, jangan tanya lagi, ya?" Namun dalam hatiku, aku sudah mengutuknya habis-habisan, 'Kamu pembunuh! Kamu orang terakhir yang menelepon kakakku.'

....

Ponsel kakakku menunjukkan bahwa orang terakhir yang berkomunikasi dengannya adalah Ginny. Berdasarkan urutan waktu, aku bisa menyimpulkan bahwa Ginny mungkin mengajak kakakku keluar dengan mengatakan bahwa dia ingin memberikan kejutan di tempat terpencil.

Namun, yang menyambut kakakku bukanlah kejutan, melainkan sesuatu yang jauh lebih menakutkan ... mimpi buruk dan akhirnya kematian.

Pikiranku semakin diperkuat oleh hasil penyelidikanku terhadap Ginny. Di depan kakakku, dia selalu berperan sebagai sosok "gadis malang dengan keluarga yang berantakan" dan "matahari yang ceria".

Namun di balik itu, Ginny adalah remaja bermasalah yang merokok, minum-minum, dan suka berkelahi. Di antara teman-teman berandalnya, ada seorang bernama Joe yang baru-baru ini menerima transfer uang dalam jumlah besar di rekening banknya. Jumlahnya sama persis dengan uang yang diberikan kakakku kepada Ginny sebagai "hadiah".

Aku hanya perlu membandingkan cairan sperma yang diambil dari tubuh Joe dan yang ditemukan di tubuh kakakku untuk membuatnya dan Ginny mendekam di penjara. Memikirkan hal itu, aku semakin mengeratkan cengkeramanku di tangan Ginny.

"Ashiya, kamu menyakitiku. Kamu tahu aku paling takut sakit, 'kan?" Dia melepaskan tanganku dengan kasar, lalu mengomel padaku dengan marah.

"Kalau sakit, pergi saja. Jangan datang ke rumahku setiap hari!" Aku tidak seperti kakakku yang penyabar dan perhatian. Jika ada sesuatu yang membuatku marah, aku akan langsung melampiaskannya.

"Kenapa kamu ngomong begitu sama aku? Ashiya, otakmu jadi bermasalah setelah ditindas orang ya?" Menyadari dirinya salah bicara, Ginny langsung menutup mulutnya dan menatapku dengan gugup.

Aku berjalan ke hadapannya selangkah demi selangkah. "Ginny, kamu tahu sesuatu ya? Kalau asal ngomong, aku bisa menuntutmu, lho? Atau ... dalam hatimu memang ingin sekali aku ditindas orang? Hati busuk macam apa itu?"

Ginny menjelaskan dengan terbata-bata, tapi aku sudah menyuruh kepala pelayan untuk mengusirnya. Kakakku mungkin bisa menoleransimu, tapi aku tidak akan. Ginny, aku akan mempermainkanmu sampai mati.

....

Ginny, yang biasanya selalu bersikap sombong, tiba-tiba mengirimi aku pesan WhastApp berkali-kali untuk meminta maaf.

[ Ashiya, hari ini aku salah. Semua yang kubilang itu cuma omong kosong, jangan dimasukkan ke hati. ]

[ Aku benar-benar nggak lakukan apa pun. Aku kan sahabatmu, mana mungkin aku tega nyakitin kamu? ]

....

Aku tidak membalas pesannya satu pun karena aku sedang menunggu saat dia panik dan menunjukkan kebohongannya. Namun yang tidak pernah kusangka adalah, hal yang disembunyikannya ternyata sangat fatal. Dia menyuruh seseorang untuk memotret kakakku.

Mahkota putri di atas kepala Kakak terjatuh ke lantai, gaun pestanya dirobek-robek hingga tak karuan. Air mata penghinaan yang mengalir deras, tatapan yang putus asa, dan perjuangan yang sia-sia. Foto-foto kakakku setelah dinodai orang tersebar luas di internet.

Dengan rasa sakit yang tak tertahankan, aku menghancurkan komputerku ke lantai. Air mataku berderai deras. Kakakku yang malang ... kenapa setelah meninggal pun, dia masih harus mengalami penghinaan seperti ini?

Tanganku bergerak cepat di atas keyboard untuk melacak lokasi IP dari pengunggah foto itu. Awalnya, aku mengira IP itu akan berasal dari tempat tinggal Ginny. Namun, ternyata dugaanku salah. Lokasi IP menunjukkan foto itu berasal dari rumahku sendiri dan jaraknya hanya sekitar 200 meter dariku!

Dengan perasaan berat, aku memakai sandal rumah dan mengetuk pintu kamar ayahku. Yang membuka pintu adalah wanita yang menjadi penyebab perceraian orang tuaku dulu, Camilla.

"Cami ... oh maaf, maksudku, Bibi. Di mana Ayah?" Supaya tidak menimbulkan kecurigaan, aku harus mengoreksi panggilanku. Pintu hanya dibuka sedikit dan tatapan waspada terlihat jelas di mata ibu tiriku.

"Ayahmu lagi di luar untuk urusan bisnis. Pergi sana, jangan ganggu aku tidur."

Aku mendorong pintu kamar dengan paksa hingga Camilla hampir tersungkur.

"Ashiya, kenapa kamu nggak tidur tengah malam begini, malah buat keributan di kamarku?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status