Saat Riki mendekatkan wajahnya pada Flora, jantung Flora berdegup kencang. Ia menahan napas, memejamkan matanya, sadar sepenuhnya apa yang akan dilakukan Riki. Namun, sebelum segalanya terjadi, suara berat seorang pria memecah suasana.
"Apa-apaan ini!" Flora membuka matanya dengan cepat, terkejut mendapati Birru—gurunya—sudah berdiri di hadapan mereka. Dengan satu gerakan, Birru menarik kerah baju Riki, menjauhkan pemuda itu dari Flora. "Nggak ngapa-ngapain, Pak!" sergah Riki dengan nada panik, mencoba membela diri. Flora hanya diam, menelan ludah dengan gugup. Ia merasa panik, tetapi berusaha untuk tetap tenang. Birru menatap mereka berdua dengan tajam. Suaranya tegas penuh wibawa. "Ini sekolah, tempat menuntut ilmu, bukan tempat untuk perbuatan tidak senonoh." Wajah Riki memerah. Ia mengangguk, tak berani melawan. "Pulang! Besok kalian berdua menghadap saya di ruang guru. Kalau tidak, saya akan laporkan ini ke kepala sekolah dan orang tua kalian!" ancam Birru tanpa kompromi. "Iya, Pak," jawab Riki lemah, lalu melirik Flora sekilas sebelum pergi. Saat Flora hendak menyusul, Birru dengan cepat menangkap lengannya, menghentikan langkahnya. Tatapannya tajam, seperti menusuk langsung ke dalam hati Flora. "Ke ruangan sekarang!" perintahnya dengan nada dingin yang tak bisa dibantah. Flora hanya bisa mengikuti langkah Birru menuju ruangannya. Sekolah sudah sepi karena jam pulang sekolah sudah lewat sejak satu jam yang lalu. Sepanjang koridor yang sunyi, hanya terdengar langkah mereka. Begitu sampai di ruangan dan pintu tertutup rapat, Birru memutar tubuhnya, menatap Flora tajam. "Apa maksud lu? Lu tau dia mau ngapain?" tanya Birru langsung begitu mereka berada di dalam ruangan, suaranya dipenuhi rasa marah dan bingung. "Tau," jawab Flora dengan nada santai, tampak tidak terpengaruh. "Terus, lu diam aja?" tanya Birru, terkejut dan tidak percaya dengan sikap Flora. "Loh, memang kenapa? Nggak suka? Atau... cemburu?" tantang Flora, suaranya penuh nada kesal, meskipun ia tetap santai. Birru menghela napas panjang, kesal dengan sikap Flora. Ia kemudian meraih bahu Flora dengan kuat, menatapnya tajam. "Cemburu? Sama anak ingusan yang cuma tahu nongkrong dan nyusahin orang tua? Ngaca, Flo!" kata Birru sinis. Dada Flora terasa sesak dan panas, merasa dihina. Ia menatap Birru dengan tatapan tajam, ingin melawan. Namun, sebelum ia sempat berbicara, Birru kembali bersuara. "Kalau bukan karena status lu sebagai istri gue, terserah lu mau ngapain, gue nggak peduli!" Flora merasa terbakar oleh kata-kata Birru. Ia menepis tangan Birru yang masih memegang bahunya, marah. "Nggak usah sok peduli lu!" serunya dengan kesal. "Di sekolah ini, nggak ada yang tahu kalau kita suami istri. Lagian, laki-laki gila mana yang mau nikahi anak sekolah? Lu!" kata Flora, sambil menuding dada Birru dengan geram. Birru terdiam, mulutnya terbuka seakan ingin berkata sesuatu, tetapi tak ada kata yang keluar. Ia hanya diam, mematung, menatap Flora yang kini sudah berbalik meninggalkan ruangan. * "Mana?" Adel mengulurkan tangannya dengan senyum lebar yang penuh kemenangan. "Udah gue bilang, jangan di sekolah," Dara melontarkan peringatan yang sudah tidak asing lagi, tapi Flora tetap saja mengabaikannya. Flora mengeluarkan beberapa lembar uang dari saku seragamnya dan memberikannya kepada Adel dan Dara dengan ekspresi kesal yang jelas terlihat di wajahnya. "Padahal, sedikit lagi tuh bibir lu bakal dibuka segel sama Riki," ujar Adel dengan nada penuh canda sambil menyimpan uang taruhannya. "Sesuai taruhan, kan? Lu yang bayar semua ini, Flo," Dara mengingatkan sambil menunjuk ke meja yang penuh dengan makanan dan minuman. "Bungkus sekalian!" jawab Flora dengan nada acuh tak acuh, meskipun jelas sekali kesal. Adel dan Dara tertawa ringan mendengar jawabannya. "Nggak dong, kan sesuai taruhan," kata Dara dengan santai. Namun, yang sebenarnya membuat Flora kesal bukan soal kalah taruhan. Itu hanya pemicunya. Yang benar-benar menghancurkan suasana hatinya adalah sikap dan kata-kata Birru yang masih terngiang di telinganya. "Heran gue, Pak Birru bisa tahu kalau masih ada murid di sekolah? Padahal tempat lu sama Riki udah aman banget, loh," Adel berkata dengan nada bingung. Flora tetap diam, karena begitu mendengar nama Birru, rasa bencinya langsung membuncah, seperti ada api yang mulai menyala di dalam dirinya. "Astaga, kalian masih di luar dengan seragam sekolah?" suara tegas itu membuat ketiga pelajar itu langsung terkejut. Birru, guru mereka berdiri tepat di depan mereka, tatapannya tajam dan penuh kewibawaan. Mereka saling bertukar pandang, bingung. Jam sekolah memang sudah berakhir, dan mereka merasa tidak ada yang salah dengan duduk santai setelah jam pulang. Lagi pula, mereka bukan sedang bolos. "Kan udah jam pulang, Pak," Dara mencoba membela diri dengan alasan yang cukup masuk akal, yang langsung didukung dengan anggukan Adel. Sementara itu, Flora hanya diam, menyembunyikan ekspresi kesalnya. "Betul, tapi bukan berarti kalian boleh tetap bebas kesana kemari dengan seragam sekolah," jawab Birru datar. "Pulang, sebentar lagi gelap," tambahnya, seolah tidak peduli dengan apapun yang akan mereka katakan lagi. "Iya, Pak," jawab Adel dan Dara hampir bersamaan, segera berdiri dan mulai beranjak dari tempat mereka. "Flo, ayo..." bisik Adel, sambil menyentuh lengan Flora dengan lembut, lalu melirik ke arah Birru yang masih berdiri di sana. "Gue pulang dengan taksi online aja, ini lagi mau order," jawab Flora, sambil menunjukkan aplikasi di ponselnya yang sedang terbuka. "Oke deh, gue duluan ya," ujar Adel sambil melambaikan tangan. Ia menoleh pada Birru, "Pamit, Pak," katanya, yang hanya disambut dengan anggukan acuh tak acuh dari Birru. "Bye, Flo! Kabarin kita kalau udah sampai rumah, ya!" seru Dara ceria, lalu segera menyusul Adel keluar dari kafe. Setelah kedua temannya menghilang dari pandangan, Birru akhirnya duduk di hadapan Flora. "See, nongkrong sampai lupa waktu," sindirnya dengan nada sinis, sementara Flora hanya diam, menatap ke luar jendela kafe dengan ekspresi jutek yang jelas terlihat di wajahnya. "Ayo pulang," titahnya kemudian, seraya memegang lengan Flora. Namun, Flora langsung menepisnya dengan kesal. "Nggak usah pegang-pegang!" ujarnya dengan nada sinis. "Nggak usah kepedean lah, Flo. Gue nggak minat buat pegang lu," balas Birru dengan senyum mengejek, yang justru membuat Flora semakin kesal dan menambah kebenciannya pada pria itu. Dengan langkah cepat dan kesal, Flora beranjak menuju kasir membayar segala traktiran taruhannya, lalu mengikuti langkah Birru yang sudah menuju parkiran. Di sudut kafe yang tersembunyi dari pandangan para pengunjung, dua gadis berseragam sedang mengamati dengan cermat. "Tuh kan, gue udah bilang, ada yang aneh antara Flora sama Pak Birru," bisik Adel, menatap ke arah mereka. "Mereka pacaran?" tanya Dara dengan penasaran. Adel mengangkat bahu, tidak yakin. "Gue nggak yakin, deh. Sikap Flo yang cuek kayak gitu malah nggak kelihatan kayak dia pacaran. Tapi entahlah..." jawab Adel ragu, sambil matanya terus mengikuti mobil yang ditumpangi Flora menghilang dari pandangan mereka. ***“Saya terima nikah dan kawinnya Flora Adisti Zaviyar binti Didit Zaviyar dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!”"Bagaimana saksi, sah? Sah?"“Sah!” suara saksi terdengar tegas, memastikan bahwa pernikahan itu sah. Penghulu kemudian melanjutkan dengan doa, mengiringi ikatan yang baru saja terjadi.Di kasur perawatan, Lia terbaring lemah, namun senyuman penuh haru mengembang di wajahnya. Air mata mengalir, tak bisa dibendung. Perasaan campur aduk, antara bahagia dan haru, memenuhi hatinya."Akhirnya, kalau pun aku harus pergi, aku bisa pergi dengan tenang, Des. Tenang karena melihat semuanya terwujud" ujar Lia lirih, suaranya begitu lemah namun penuh ketulusan. Ia menatap sahabatnya yang sejak awal menemani di sisinya.Desi menggenggam tangan Lia dengan erat, seakan memberikan kekuatan. “Jangan bicara seperti itu, Li. Kamu akan sembuh, kamu akan sehat. Kamu akan menyaksikan Birru dan Flora tumbuh bersama, punya anak, dan melihat cucu-cucu kita yang akan tumbuh besar. Kamu akan ada di
Flora menuruni tangga dengan langkah berat, membiarkan pikirannya dipenuhi berbagai hal yang mengganggu. Setelah menikah, ia tinggal di rumah besar ini bersama Lia, mertuanya yang penuh kasih sayang, dan Violet, kakak perempuan Birru, yang sudah menikah lebih dari tiga tahun namun belum memiliki anak."Pagi, sayang," sapa Lia dengan suara lembut penuh kehangatan ketika melihat Flora sudah berada di ruang makan.Flora membalas sapaan itu dengan senyuman tipis, membiarkan mertuanya memeluknya singkat. Pelukan Lia selalu terasa nyaman, meski kali ini tak cukup mengusir kegundahan yang ia rasakan."Kamu kenapa, Nduk? Wajahmu kok terlihat murung. Kamu baik-baik aja, kan?" tanya Lia dengan nada penuh perhatian. Wajahnya memancarkan kasih sayang yang tulus, meskipun garis-garis kelelahan dan sakit masih jelas terlihat.Flora tertegun sejenak, berusaha menutupi perasaannya. Ia menarik napas panjang lalu tersenyum kecil. "Masa sih, Bun? Mungkin Flo cuma kelelahan aja karena tugas-tugas sekolah
"Lu pulang sendiri, atau sama Pak Birru?" tanya Adel sebelum benar-benar meninggalkan halaman sekolah.Flora menoleh kaget, seolah-olah rahasia besar telah terbongkar oleh Adel."Santai aja, gue tahu kok kemarin lu nggak pulang dengan taksi online, tapi bareng Pak Birru," ujar Adel, menatap Flora yang tampak semakin murung.Wajah Flora semakin suram, dan Adel semakin penasaran. "Sebenarnya, lu ada apa sih sama Pak Birru, Flo?" tanya Adel lagi."Enggak ada apa-apa," jawab Flora cepat, berusaha menghindar."Terus kenapa lu harus selalu pergi dan pulang bareng dia?" Adel masih tak puas.Flora menarik napas dalam, wajahnya menampilkan kelelahan. "Sebenarnya, orang tua gue nitipin gue sama dia. Dia yang harus ngurusin dan ngawas gue, kayak penjaga tahanan luar," jawab Flora, meski sedikit berbohong. Bukankah itu cara lain untuk menggambarkan tugas seorang suami?Adel dan Dara terdiam, kaget mendengar penjelasan Flora. "Separah itu? Emang lu ngapain sampai harus dijagain kayak gitu?" tanya
Di dalam mobil, Flora langsung membuka buku pemberian Ranu. Ia begitu antusias ingin tahu apakah isi buku itu benar-benar bisa membantu memahami dan menyembuhkan apa yang selama ini ia rasakan. Jari-jarinya membolak-balik halaman dengan semangat, seolah ia telah menemukan pelarian kecil dari kekacauan hidupnya.Birru, yang duduk di kursi kemudi, sesekali melirik Flora melalui sudut matanya. Tatapan sinis terpancar jelas dari wajahnya. Diam-diam, ia merasa terganggu dengan cara Flora memegang buku itu, seolah buku itu lebih penting dari apa pun.“Lu harus jaga diri, Flo. Gue nggak suka lu sok akrab sama orang lain,” ucap Birru tiba-tiba, suaranya dingin dan penuh tekanan, meski matanya tetap fokus pada jalan di depannya.Flora mengangkat kepalanya, menatap Birru dengan ekspresi campuran antara bingung dan marah. “Gue nggak sok akrab sama Mas Ranu,” jawabnya ketus. “Lagian, dia sepupu lu. Kalau dia sepupu lu, berarti dia juga keluarga gue sekarang.”Nada suaranya tegas, tapi hatinya mul
Selesai makan malam, Flora tidak langsung kembali ke kamarnya. Ia memilih duduk di taman, menikmati dinginnya malam yang terasa semakin menusuk setelah hujan deras mengguyur sore tadi. Di bawah langit gelap yang dihiasi bintang-bintang samar, pikirannya melayang pada mimpi-mimpi yang belakangan ini kerap menghampirinya. Mimpi-mimpi itu terasa begitu nyata, seperti pintu yang membuka kenangan masa lalunya. Dan yang paling mengganggunya, di setiap mimpi itu selalu ada Birru—sosok yang kini menjadi bagian dari hidupnya dengan cara yang tak pernah ia bayangkan. Flora menarik napas panjang. Ia bertanya-tanya, apakah dirinya mulai merindukan Birru yang dulu? Birru yang lembut, penuh perhatian, dan selalu menjaga dirinya layaknya seorang kakak? Ia tahu pasti perasaannya pada Birru tak pernah lebih dari sekadar kasih sayang seorang adik kepada kakaknya. Bukti nyatanya, ia jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Riki, pria yang ditemuinya di hari pertama masuk sekolah.Namun
"Ingat, Birru! Tujuan lu ngajak Flora itu buat bikin dia senang, bukan malah bikin dia tambah stres!" suara Violet terdengar tegas, matanya menatap serius ke arah adiknya. Birru hanya diam, memilih untuk menyelesaikan sarapannya tanpa banyak bicara. Sementara itu, dari kejauhan, ia bisa melihat Flora dan Bundanya sudah menunggu di depan rumah, tampak bersiap-siap. "Lu dengar gue ngomong nggak sih!?" suara Violet meninggi, merasa diabaikan. Ia pun reflek meraih pergelangan tangan Birru, memegangnya erat. "Dengar, Mbak!" sahut Birru akhirnya, dengan nada menahan kesal. "Flora nggak tau apa-apa, Birru! Semua ini murni keinginan Bunda. Jadi, jangan pernah salahin Flora atas keputusan yang lu buat sendiri!" tegas Violet sambil melepaskan genggamannya. Mendengar itu, Birru menoleh tajam ke arah kakaknya, seolah tak terima. Matanya menyiratkan perasaan terpojok, namun mulutnya tetap melontarkan balasan sinis. "Sejak kapan gue punya pilihan, Mbak?" tanya
Flora sama sekali tidak berminat kembali ke gazebo untuk menikmati jagung bakar yang tadi ia tinggalkan. Birru, yang menyadari perubahan suasana hati Flora, memilih diam. Tanpa banyak kata, ia masuk ke mobil dan melanjutkan perjalanan mereka menuju resort. Setibanya di penginapan, Flora langsung meminta kamar dengan dua tempat tidur. Sebenarnya, semangat liburannya sudah meredup. Bukannya menikmati waktu luang, perjalanan ini justru terasa menambah beban pikirannya. Dengan wajah yang masih menyiratkan kekesalan, ia berjalan masuk ke kamar sambil menyeret koper kecilnya. Setelah menaruh barang-barangnya, langkahnya terhenti di balkon. Di depannya terbentang pemandangan pantai yang memukau—pasir putih bersih berpadu dengan ombak tenang yang mengalun lembut di kejauhan. Sejenak, perasaan kesalnya memudar. Hatinya bergejolak, rindu akan kebebasan. Keinginan untuk berlari di atas pasir, berteriak sepuasnya, lalu membiarkan dirinya larut dalam pelukan air laut yang asin
Mereka kembali terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Mata mereka menyiratkan keinginan yang sama—untuk mengungkapkan sesuatu yang selama ini terpendam dalam hati. "Kamu nanti datang ke acara Mama?" tanya Riki akhirnya, memecah keheningan. Flora terkejut dengan pertanyaan itu. "Boleh?" tanyanya ragu. Ia sadar bahwa dua hari terakhir ini Riki tampak menjauhinya. Flora tidak ingin kehadirannya justru membuat Riki semakin tidak nyaman. "Kenapa harus tanya aku?" balas Riki dengan nada yang sulit ditebak. "Aku cuma khawatir kamu nggak nyaman kalau aku ada di sana," ujar Flora pelan, menundukkan kepala. Ada nada sedih dalam suaranya. Ia tidak bisa mengabaikan bagaimana Riki perlahan menjauh darinya. Riki terdiam, kebingungan. Masalahnya bukan pada Flora atau kehadirannya. Yang membuatnya gelisah adalah ucapan Birru yang masih terus mengusik pikirannya. "Aku..." Riki menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatur hatinya yang gundah. Ia tahu, ia ti
Hari-hari berikutnya, Birru mulai mencari rumah yang sesuai dengan keinginan mereka. Ia meminta bantuan Dion dan beberapa rekannya untuk mencari lokasi yang nyaman, tidak terlalu jauh dari kantor, tetapi tetap tenang dan ideal untuk keluarga kecil. Sementara itu, Flora juga mulai mempersiapkan diri untuk perubahan besar ini. Ia mulai menyortir barang-barangnya, membayangkan seperti apa kehidupan mereka nanti setelah pindah. Namun, di lubuk hatinya, ada sedikit kekhawatiran—bagaimana reaksi Lia ketika mereka benar-benar pindah? Suatu malam, setelah makan malam bersama keluarga, Birru memutuskan untuk berbicara dengan ibunya. "Bun, aku dan Flora ada rencana untuk pindah ke rumah sendiri," kata Birru dengan hati-hati. Lia, yang sedang merapikan piring, terdiam sejenak sebelum menoleh ke putranya. "Kenapa tiba-tiba ingin pindah?" "Bukan tiba-tiba, Bun," Birru tersenyum kecil. "Aku pikir sudah saatnya aku dan Flora mandiri, membangun rumah tangga kami sendiri. Tapi bukan berarti aku m
Pagi ini, Birru sengaja tidak pergi ke kantor. Ia menyerahkan masalah perusahaan akibat ulah Fani kepada Juna dan Dion. Setelah mengabarkan Dion melalui telepon, Birru meletakkan kembali ponselnya di atas nakas, lalu berbalik dan merengkuh istrinya dalam pelukan.Ia ingin menghabiskan waktu seharian bersama Flora, tanpa gangguan pekerjaan atau hal lain yang membebani pikirannya.Flora menggeliat kecil ketika tangan Birru dengan lembut menyusuri setiap inci tubuhnya di balik piyama tipis yang ia kenakan. Napasnya masih teratur, matanya masih terpejam, tetapi ia sadar sepenuhnya akan sentuhan suaminya."Mas..." gumamnya pelan, suaranya serak karena baru bangun tidur."Hm?" Birru menempelkan bibirnya di puncak kepala istrinya, menghirup aroma khas tubuh Flora yang selalu membuatnya tenang."Kenapa nggak ke kantor?" tanya Flora dengan mata yang masih setengah tertutup."Aku mau sama kamu seharian," jawab Birru tanpa ragu.Flora membuka matanya, menatap suaminya yang kini tersenyum tipis.
Hingga malam tiba, Birru masih belum memberi kabar. Flora yang awalnya berusaha menunggu di kamar akhirnya tertidur, meski tidurnya terasa gelisah dan tidak tenang. Sesekali ia tersentak bangun, lalu kembali mencoba memejamkan mata, tetapi pikirannya terus dihantui kecemasan. Ketika akhirnya ia terbangun lagi, matanya langsung melirik jam di atas nakas. Sudah lewat tengah malam. Dengan jantung yang berdebar cemas, ia meraih ponselnya dan mencoba menghubungi Birru. Tidak ada jawaban. Panggilan kedua pun tak berbalas. Saat ia akan mencoba untuk ketiga kalinya, suara nada sambung terdengar bersamaan dengan bunyi pintu kamar yang terbuka. Flora menoleh cepat, ponsel masih menempel di telinganya. Ketika pandangannya bertemu dengan suaminya, mereka sama-sama terkejut. "Kamu belum tidur, Flo?" suara Birru terdengar serak. Flora mengernyit, lalu berdiri, mendekat untuk melihat lebih jelas. Penampilan Birru jauh berbeda dari saat ia berangkat pagi tadi—kemejanya kusut, dasinya sudah dilep
Di dalam air hangat yang penuh dengan busa sabun wangi, tangan Birru dengan lembut menjelajahi setiap inci tubuh istrinya, memanjakannya dengan sentuhan yang penuh kasih. Flora bersandar di dadanya, merasakan kehangatan yang menyelimuti mereka berdua. Birru menciumi bahu dan leher Flora, membisikkan kata-kata manis yang membuat tubuh istrinya semakin melebur dalam keintiman. Napas mereka berbaur dengan uap air, menciptakan kehangatan yang lebih dari sekadar suhu di dalam kamar mandi. Tak lama, Birru mengangkat tubuh Flora dari bathtub, membawanya ke bawah guyuran shower. Air hangat mengalir membasahi mereka, menciptakan sensasi yang lebih intens. Di bawah aliran air yang jatuh membasahi tubuh mereka, Birru melanjutkan cumbuan penuh gairah, menyatukan mereka dalam keintiman yang lebih dalam. Ketika mereka mencapai puncak bersama, Birru memeluk Flora erat, napasnya masih memburu. Lalu, dengan suara serak dan lembut, ia berbisik di telinga istrinya, "Aku ingin kita punya anak, saya
Hari ini adalah hari terakhir semester awal sebelum liburan. Flora sibuk dengan buku-buku perpustakaan yang harus ia kembalikan. Tiba-tiba, seseorang datang menghampirinya dari belakang. Flora terperanjat dan hampir tersandung kakinya sendiri, untung saja orang itu sigap menangkapnya. Dalam sekejap, ia berada dalam dekapannya—begitu dekat hingga ia bisa merasakan napas hangatnya. "Maaf, aku bikin kamu kaget, Flo," suara itu terdengar pelan sebelum orang itu melepaskan pegangannya dan memastikan Flora sudah berdiri stabil. Flora menelan ludah begitu menyadari siapa yang berdiri di depannya. "Thanks," jawabnya datar, lalu segera mengambil satu langkah mundur untuk menjaga jarak. "Boleh bicara sebentar?" Flora mendongak, menatap mata Riki yang tampak penuh arti. "Soal apa?" tanyanya hati-hati. "Ssttt!" suara teguran dari penjaga perpustakaan membuat Riki buru-buru menutup mulutnya. Ia tersenyum kecil, sementara Flora hanya menghela napas. "Kita ngomong di luar," kata Flora setelah
"Flora!"Renata berlari menghampiri Flora dan Kirana yang baru saja keluar dari perpustakaan."Hai, Na!" sapanya begitu sadar bahwa yang bersama istri sepupunya adalah Kirana. "Oh iya, lu dapat salam dari Boy, teman sekelas gue," tambahnya, sambil mengedipkan sebelah mata.Kirana tersenyum simpul. "No thanks, he’s not being a gentleman," jawabnya santai.Renata tertawa kecil. "Nanti gue bilangin, biar Boy grow up and be a man."Mereka pun tertawa bersama."Udah ah, cukup gibahnya. Lu tadi mau ngomong apa?" tanya Flora kemudian."Oh iya!" Renata menepuk jidatnya pelan. "Riki pindah kuliah, Flo. Ke luar negeri."Langkah Flora sempat terhenti sesaat, tapi ia cepat-cepat mencoba bersikap biasa saja.Semester awal memang sudah berakhir, dan sebulan terakhir Riki benar-benar menjaga jaraknya. Meskipun begitu, terkadang mata mereka masih saling bertemu—di kelas, saat berpapasan di lorong, atau saat salah satu dari mereka maju untuk presentasi.Kirana melirik Flora dengan tatapan penuh arti.
Diruang meeting, Birru duduk di belakang mejanya, menautkan jemarinya dengan tenang di atas permukaan kayu. Matanya tajam menatap wanita di depannya—Fani. Wanita itu masih berdiri, kedua tangannya terlipat di depan dada. Bibirnya tersenyum tipis, tapi matanya menyiratkan ketidakpuasan. "Jadi, kamu sengaja panggil aku ke sini hanya untuk ini?" Fani bertanya, nada suaranya terdengar santai, tapi ada nada menantang di baliknya. Birru tidak langsung menjawab. Ia membiarkan keheningan menggantung di antara mereka, membiarkan ketegangan mengisi ruangan sebelum akhirnya ia berbicara. "Kamu pikir aku nggak tahu?" suaranya dalam dan berbahaya. Fani mengangkat alis, berpura-pura bingung. "Tahu apa?" Birru menyandarkan punggungnya ke kursi, lalu mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja. "Tentang apa yang terjadi pada Flora di kampus." Sekilas, Birru melihat raut wajah Fani berubah—sangat halus, nyaris tak kentara. Tapi ia menangkapnya. "Kamu menuduh aku?" Fani terkekeh pelan, berusaha
Begitu mobil Birru berhenti di depan rumah, Flora menarik napas dalam. Ia tahu semua orang di rumah pasti akan terkejut melihat keadaannya. Wajahnya masih menunjukkan bekas tamparan, dan tubuhnya masih terasa lelah akibat kejadian tadi. Birru keluar lebih dulu, lalu segera membukakan pintu untuk Flora. Saat ia turun, pintu rumah terbuka, dan suara langkah cepat terdengar mendekat. “Flora!” suara Violet adalah yang pertama terdengar. Ia bergegas menghampiri, diikuti oleh Juna dan Lia. Ekspresi mereka semua dipenuhi kekhawatiran. “Astaga, apa yang terjadi?!” Violet langsung menggenggam tangan Flora, matanya membesar saat melihat luka di sudut bibir adik iparnya. “Kamu kenapa? Siapa yang melakukan ini?” Lia pun menatapnya dengan cemas. “Flora, sayang, siapa yang menyakitimu, nduk?” Flora tersenyum kecil, meski jelas lelah. “Aku baik-baik saja, Bun…” “Baik-baik saja apanya?!” Juna menyela dengan ekspresi marah. “Lihat ini, wajah kamu jelas habis kena pukul!” Birru meletakkan tangan
Saat dalam perjalanan mengantar Flora ke kampus, pikirannya melayang pada seseorang. "Mas, sejak kapan Dion jadi sekretaris kamu?" tanyanya tiba-tiba. Birru menoleh sekilas sebelum kembali fokus ke jalan, tampak mengingat-ingat sejenak. "Sejak waktu itu, pas kamu ke kantor." Flora mengangguk-angguk pelan sambil mengalihkan pandangannya ke luar jendela. "Itu kamu ngerti, Mas," gumamnya nyaris tak terdengar. "Maksudnya gimana, Sayang?" tanya Birru, sedikit mengernyit. Flora menggeleng cepat. "Nggak apa-apa. Terus, Jeni ke mana?" "Dia dipindah ke divisi lain, yang nggak ada hubungannya sama aku," jawab Birru santai. Flora menghela napas pelan. "Dia pasti berpikir kalau itu karena aku, ya?" Birru meliriknya sekilas. "Memang kenapa? Kamu yang punya perusahaan, kamu berhak." Flora terdiam sejenak sebelum akhirnya bertanya ragu, "Bisa begitu juga ke Fani?" Wajah Birru seketika berubah lebih serius. Napasnya terdengar berat sebelum ia berkata, "Kalau aku bisa dari awal, pasti sudah