"Ingat, Birru! Tujuan lu ngajak Flora itu buat bikin dia senang, bukan malah bikin dia tambah stres!" suara Violet terdengar tegas, matanya menatap serius ke arah adiknya.
Birru hanya diam, memilih untuk menyelesaikan sarapannya tanpa banyak bicara. Sementara itu, dari kejauhan, ia bisa melihat Flora dan Bundanya sudah menunggu di depan rumah, tampak bersiap-siap. "Lu dengar gue ngomong nggak sih!?" suara Violet meninggi, merasa diabaikan. Ia pun reflek meraih pergelangan tangan Birru, memegangnya erat. "Dengar, Mbak!" sahut Birru akhirnya, dengan nada menahan kesal. "Flora nggak tau apa-apa, Birru! Semua ini murni keinginan Bunda. Jadi, jangan pernah salahin Flora atas keputusan yang lu buat sendiri!" tegas Violet sambil melepaskan genggamannya. Mendengar itu, Birru menoleh tajam ke arah kakaknya, seolah tak terima. Matanya menyiratkan perasaan terpojok, namun mulutnya tetap melontarkan balasan sinis. "Sejak kapan gue punya pilihan, Mbak?" tanya Birru dengan nada penuh amarah terpendam. "Lu punya pilihan, Birru! Bunda nggak pernah maksa lu buat nikahin Flora. Tapi lu sendiri yang milih untuk ngebahagiain Bunda dibanding diri lu sendiri. Lu harus bertanggung jawab atas pilihan lu! Jangan malah melampiaskannya ke Flora!" balas Violet tak kalah keras, matanya menyala penuh kemarahan. Ia benar-benar geram dengan sikap Birru. Birru hanya terdiam, rahangnya mengeras, mencoba menahan perasaan yang mulai menghimpit dadanya. Ia tahu, setiap kata yang diucapkan Violet ada benarnya. Tapi menerima kenyataan itu tak semudah yang dikira. * Dalam perjalanan menuju tujuan tempat mereka berlibur, Birru tiba-tiba menghentikan mobilnya di pinggir jalan, tepat di tepi pantai yang memperlihatkan hamparan laut luas. Flora duduk diam di kursinya, bingung dengan tindakan Birru. Ia tidak tahu apa yang ingin pria itu lakukan, dan ia juga tidak berniat bertanya. “Ayo turun,” ucap Birru, suaranya terdengar lembut. Flora mengerutkan dahinya, merasa aneh dengan nada bicara Birru yang seperti itu ketika mereka hanya berdua saja. Flora merasa serba salah. Apakah kelembutan itu hanya kepura-puraan, ataukah Birru yang sekarang adalah sosok yang dulu ia kenal? Meski ragu, Flora tetap turun dari mobil dan mengikuti langkah Birru yang berjalan menuju sebuah lapak jagung bakar di tepi jalan. Setelah memesan, Birru memilih tempat duduk di sebuah gazebo kecil yang menghadap langsung ke laut. Flora, dengan langkah pelan dan hati yang penuh keraguan, memilih duduk di ujung gazebo, punggungnya menghadap ke arah Birru. Ia menatap lepas ke arah laut, berusaha mencari ketenangan di tengah kebingungannya. “Duduk di sini, Flo,” ucap Birru lagi, kali ini dengan nada yang sama lembutnya. Flora menoleh, menatap wajah pria itu dengan sorot mata penuh pertanyaan. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Birru tiba-tiba bersikap seperti ini? Namun, seperti biasanya, Birru hanya menanggapinya dengan wajah datar, tanpa penjelasan. Ia tampak tak ingin repot-repot menjawab pertanyaan yang tergantung di benak Flora. Dengan sedikit enggan, Flora akhirnya beranjak dan pindah duduk di samping Birru. Namun, sikapnya tetap dingin. Ia memilih mengeluarkan ponselnya, sibuk menjelajahi layar tanpa tujuan yang jelas. Lebih baik begini, pikir Flora, daripada hanya diam atau mendengar Birru berbicara—khawatir pria itu akan kembali menyebalkan seperti biasanya. “Coba nikmati pemandangan di depan, Flo,” ujar Birru tiba-tiba. Nada suaranya lembut, hampir seperti dirinya yang dulu. Flora mengangkat wajahnya dari ponsel dan menoleh. Pandangannya tertuju pada Birru yang sedang menatap lurus ke arah laut lepas di depan mereka. Ia tidak tahu harus merespons seperti apa. Ada kebingungan yang menggelayut di pikirannya, mencoba memahami perubahan sikap Birru yang terasa aneh. Mengapa pria itu tiba-tiba menjadi begitu lembut? “Flo…” panggil Birru lirih, kali ini dengan tatapan yang lebih dalam. Suaranya membuat Flora menghentikan gerak tangannya di ponsel. Ia mengerutkan kening, merasa bingung tapi memilih diam, menunggu apa yang akan dikatakan Birru. Ada sesuatu yang tampak ingin ia sampaikan, sesuatu yang mungkin penting. Mulut Birru sedikit terbuka, tampak seperti hendak mengatakan sesuatu. Tapi, sebelum kata-kata itu keluar, suara lain memecah keheningan di antara mereka. “Birru?” seorang wanita memandang Birru dengan ekspresi penuh keterkejutan. Birru dan Flora secara bersamaan menoleh ke arah suara itu. Di hadapan mereka, berdiri seorang wanita yang tampak ragu namun penuh keyakinan dalam menyapa. Ekspresi Birru berubah, terlihat jelas keterkejutannya. Sedangkan Flora, meski sama terkejutnya, dengan cepat memasang wajah datar. Ia mencoba terlihat biasa saja, berusaha menyembunyikan gelombang kecil yang muncul di dadanya. Ia tidak ingin terlihat terganggu oleh kehadiran wanita itu. Namun, Flora tahu siapa wanita itu. Sosok yang pernah dilihatnya di rumah. Mantan kekasih Birru… atau mungkin, masih kekasihnya? "Maaf, aku kira kamu tadi sendiri," ucap wanita itu dengan senyum yang terlihat sopan, namun tatapannya pada Flora mengisyaratkan sesuatu yang berbeda—sungkan, tapi jelas dibuat-buat. Birru menoleh ke arah Flora dengan wajah yang jelas-jelas bingung. Sorot matanya memancarkan rasa bersalah, seolah mencari cara untuk menjelaskan situasi yang tiba-tiba menjadi rumit. Namun, sebelum ia sempat bicara, wanita itu kembali membuka mulut. "Aku nggak sengaja lihat mobil kamu terparkir di depan, jadi kupikir nggak ada salahnya mampir dan menyapa. Tapi..." Matanya melirik Flora dengan cepat sebelum kembali tersenyum hangat pada Birru. Flora, yang sudah cukup kesal dengan situasi ini, tak lagi berniat memendam ketidaknyamanannya. Ia mendengus pelan lalu berkata santai, namun tegas. "Kalau ada yang mau disampaikan, langsung aja. Kenapa harus ngelirik gue kayak gitu?" tanyanya cuek, tatapannya tajam. Flora sudah merasa cukup dikontrol oleh Birru—ia tak punya toleransi untuk wanita ini mencoba melakukan hal yang sama padanya. Wanita itu tampak terkejut mendengar respons Flora yang blak-blakan. Namun, ia dengan cepat menguasai diri, memasang kembali wajah lembutnya yang penuh senyum ramah. "Oh, bukan apa-apa kok," jawabnya dengan nada manis yang dipaksakan. Ia melirik Flora lagi sebelum bertanya dengan ragu. "Hmm... aku panggil kamu apa, ya?" Flora menarik napas panjang. Ia tahu pasti bahwa wanita itu tidak mungkin tidak mengetahui namanya. Kepura-puraan itu terlalu mencolok. Alih-alih menjawab dengan cara biasa, Flora memutuskan untuk meluruskan semuanya—dengan sangat jelas. "Lu bisa panggil gue 'Istri Birru,' 'Cintanya Birru,' atau 'Ibu dari anak-anaknya Birru,' atau..." ucap Flora tegas, memastikan setiap kata mengena. Seketika, wajah wanita itu berubah masam. Senyum hangatnya sirna, digantikan ekspresi tak nyaman yang bahkan tak mampu ia sembunyikan. Di sebelahnya, Birru hanya bisa menatap Flora dengan ekspresi campur aduk—antara terkejut dan tak tahu harus berkata apa. "Aku permisi," ucap wanita itu dengan nada lembut, meski jelas raut kecewa terpancar di wajahnya. Tanpa menunggu respons, ia berbalik dan melangkah pergi meninggalkan Birru dan Flora. Melihat kepergian wanita itu, Birru panik. Tanpa pikir panjang, ia segera turun dari gazebo dan mengejar wanita tersebut, sama sekali tak memedulikan keberadaan Flora yang masih di tempatnya. Flora hanya menatap punggung Birru yang menjauh dengan tatapan dingin. Ia tidak terkejut, tapi hatinya terasa panas. Birru begitu leluasa mengejar wanita yang ia cintai, sementara Flora sendiri terus-menerus terkekang dan dijauhkan dari apa pun yang menjadi keinginannya. Menghela napas panjang, Flora memutuskan untuk pergi dari sana. Namun langkahnya terhenti ketika seorang penjual jagung bakar tiba, membawa pesanan yang sebelumnya dipesan Birru. "Udah dibayar belum, Bu?" tanya Flora santai, menatap penjual itu dengan wajah tenang. Wanita paruh baya itu menggeleng. "Belum, Neng," jawabnya singkat. "Berapa?" tanya Flora lagi sambil membuka dompetnya tanpa ragu. Setelah membayar jagung bakar itu, Flora melangkah pergi tanpa sedikit pun menoleh ke arah Birru atau wanita yang ia kejar tadi. Ia sengaja membiarkan nampan berisi pesanan itu tergeletak begitu saja di gazebo—sebagai pengingat kecil untuk Birru, siapa yang sebenarnya ia abaikan. Lebih dari setengah jam, Flora mondar-mandir di pinggir jalan yang mengarah ke laut. Sesekali, ia duduk di bebatuan di pinggiran jalan, terkadang bersandar pada pohon kelapa yang menjulang. Matanya beberapa kali melirik ke arah kejadian di kejauhan—Birru dan wanita itu. Meski jaraknya cukup jauh, apa yang mereka lakukan masih jelas terlihat. Kini, wanita itu ada dalam dekapan Birru. Pemandangan itu membuat tubuh Flora terasa panas, seperti bara api menyala di dalam dirinya. Dengan cepat, ia membuang muka, berusaha mengalihkan perhatian, lalu kembali duduk di bebatuan, mencoba menenangkan hatinya yang terusik. Ia mengambil ponselnya, berpikir untuk menghubungi seseorang. Seandainya ia punya tempat untuk mencurahkan semua perasaan ini, pasti ia sudah melakukannya sekarang. Namun, ia tahu, Adel dan Dara bukan pilihan. Masalah ini terlalu rumit untuk diceritakan pada mereka. Lamunannya terinterupsi oleh suara ketus yang begitu familiar. "Apa-apaan lu ngomong kayak gitu!?" Suara Birru menggelegar, tajam, menudingnya tanpa ragu. Flora mendongak kaget. Birru sudah berdiri di sampingnya dengan wajah penuh amarah. Tapi Flora tidak tertekan sedikit pun. Dengan tenang, ia bangkit berdiri, menghadapi pria itu. "Kenapa? Memang gue istri lu, kan?" Flora menyeringai sinis. Ia menatap Birru tajam, lalu menirukan ucapan Birru beberapa waktu lalu dengan nada penuh tekanan. "Jangan terlalu akrab sama orang lain. Lu suami gue!" Birru terdiam. Ucapan Flora bagai tamparan keras yang menghantam dirinya sendiri. Ia bingung harus menjawab apa. "Dia bukan orang lain, Flo. Dia—" "Siapa?" potong Flora tajam. Tatapannya penuh tantangan. "Pacar lu? Kekasih hati yang lu harap ada di posisi gue sekarang?" Birru mengatupkan rahangnya. Ia berusaha menahan napas dan amarahnya. Apa yang Flora katakan memang benar, tapi ia tak mampu mengakuinya. Flora mendengus pelan. Ia tidak membutuhkan jawaban Birru, karena diamnya sudah cukup menjelaskan segalanya. "Kalau lu mau gue jaga sikap sama pacar lu, jangan pernah sekalipun lu ikut campur urusan gue," ucap Flora dingin, namun sarat emosi. Ia melanjutkan dengan nada penuh ancaman, "Atau gue pastikan dia bakal terus nangis kayak tadi, atau lu bakal kehilangan dia." Tangannya menunjuk ke arah di mana Birru dan wanita itu tadi berpelukan, seolah bayangan itu masih ada di sana, menyisakan jejak luka di hati Flora. ***Flora sama sekali tidak berminat kembali ke gazebo untuk menikmati jagung bakar yang tadi ia tinggalkan. Birru, yang menyadari perubahan suasana hati Flora, memilih diam. Tanpa banyak kata, ia masuk ke mobil dan melanjutkan perjalanan mereka menuju resort. Setibanya di penginapan, Flora langsung meminta kamar dengan dua tempat tidur. Sebenarnya, semangat liburannya sudah meredup. Bukannya menikmati waktu luang, perjalanan ini justru terasa menambah beban pikirannya. Dengan wajah yang masih menyiratkan kekesalan, ia berjalan masuk ke kamar sambil menyeret koper kecilnya. Setelah menaruh barang-barangnya, langkahnya terhenti di balkon. Di depannya terbentang pemandangan pantai yang memukau—pasir putih bersih berpadu dengan ombak tenang yang mengalun lembut di kejauhan. Sejenak, perasaan kesalnya memudar. Hatinya bergejolak, rindu akan kebebasan. Keinginan untuk berlari di atas pasir, berteriak sepuasnya, lalu membiarkan dirinya larut dalam pelukan air laut yang asin
Mereka kembali terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Mata mereka menyiratkan keinginan yang sama—untuk mengungkapkan sesuatu yang selama ini terpendam dalam hati. "Kamu nanti datang ke acara Mama?" tanya Riki akhirnya, memecah keheningan. Flora terkejut dengan pertanyaan itu. "Boleh?" tanyanya ragu. Ia sadar bahwa dua hari terakhir ini Riki tampak menjauhinya. Flora tidak ingin kehadirannya justru membuat Riki semakin tidak nyaman. "Kenapa harus tanya aku?" balas Riki dengan nada yang sulit ditebak. "Aku cuma khawatir kamu nggak nyaman kalau aku ada di sana," ujar Flora pelan, menundukkan kepala. Ada nada sedih dalam suaranya. Ia tidak bisa mengabaikan bagaimana Riki perlahan menjauh darinya. Riki terdiam, kebingungan. Masalahnya bukan pada Flora atau kehadirannya. Yang membuatnya gelisah adalah ucapan Birru yang masih terus mengusik pikirannya. "Aku..." Riki menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatur hatinya yang gundah. Ia tahu, ia ti
Malam itu, dengan senyum yang tak henti-hentinya merekah di wajahnya, Flora membongkar isi koper, mencari pakaian terbaik yang dimilikinya. Kebahagiaan terpancar jelas dari sorot matanya—seolah hidupnya kembali berwarna setelah Riki menerima dirinya apa adanya. Keputusan mereka untuk menjalin hubungan, meskipun harus backstreet, membuat hatinya berdebar penuh semangat. Keluarganya dan keluarga Birru tentulah yang utama yang tidak beh tau tentang hubungannya dengan Riki. 'Kalau Birru bisa, kenapa gue nggak?' pikirnya. Flora yakin, ia berhak bahagia. Ia berhak menikmati hidupnya. Flora memilih gaun terbaiknya malam itu. Wajahnya ia poles dengan riasan yang mempertegas kecantikannya, hingga bayangan dirinya di cermin seolah menampilkan sosok yang berbeda—lebih dewasa, lebih anggun, dan yang paling penting, lebih percaya diri. Bahkan Birru yang tengah duduk santai dengan buku di tangannya, mendadak terpaku. Napasnya terasa tersangkut di tenggorokan saat melihat Flora y
Flora tersentak saat merasakan ponselnya bergetar di dalam tas. Nada dering yang terdengar samar di tengah riuh pesta menarik perhatiannya. Ia segera berpamitan kepada kedua orang tua Riki sebelum melangkah menjauh untuk menerima panggilan itu. Dari kejauhan, Riki hanya diam, matanya mengikuti setiap gerak Flora dengan ekspresi sulit diartikan. Begitu menemukan tempat yang lebih tenang, Flora mengeluarkan ponselnya dan mendengus pelan saat melihat Birru nama di layar. Seketika, kekhawatiran menyeruak dalam benaknya. Apakah ini ada hubungannya dengan mertuanya? Tanpa pikir panjang, ia menekan tombol hijau dan menempelkan ponsel ke telinga. Namun, belum sempat ia menyapa, suara lain menyelusup di antara percakapan. Suara seorang wanita. Flora terdiam. Alisnya berkerut saat mencoba menangkap jelas percakapan itu, tetapi suara di seberang terdengar samar, seolah Birru tidak sedang berbicara padanya, melainkan pada seseorang di sisinya. Secepat kilat, dadanya terasa sesak oleh em
Gerak-gerik Flora yang aneh sejak tadi mulai masuk akal bagi Renata. Rasa kesal menguar di dadanya, membuatnya menegakkan punggung, bersiap memberi sepupunya itu pelajaran. Dengan langkah tegap, ia melangkah menuju Birru dan kekasihnya—entah siapa yang sangat asing di matanya. Namun, baru saja ia hendak melangkah menghampiri mereka, sebuah tangan kuat mencengkeram pergelangan tangannya. Renata tersentak. Ia menoleh dengan alis berkerut. "Lu mau ngapain?" suara itu terdengar hati-hati, tetapi tajam. Tatapan mata laki-laki itu serius, seakan menguliti niatnya hingga ke dasar. "Riki??" Renata semakin terkejut. Laki-laki yang baru saja ia gosipkan bersama Flora kini berdiri di hadapannya. Mereka memang saling mengenal—Mama mereka adalah teman arisan. Tapi, hubungan mereka tidak bisa dibilang akrab. Bahkan, kalau dipikir-pikir lagi, mereka nyaris tidak pernah berbicara satu sama lain. "Lu mau samperin Pak Birru?" tanya Riki lagi, suaranya tetap datar, tapi a
Flora membuka pintu dengan hati-hati, namun sebelum ia sempat mengeluarkan sepatah kata pun, Renata sudah berdiri dengan tangan berkacak pinggang, wajahnya menyiratkan kemarahan yang sulit dibendung. “Itu laki lu!” serunya, jari telunjuknya tajam mengarah pada Birru yang terhuyung di ambang pintu. Tubuh pria itu bersandar lemah di dinding, wajahnya kusut, matanya sayu, dan pakaiannya berantakan. Bau alkohol samar tercium dari tubuhnya. Flora terhenyak. Birru bukan tipe pria yang pulang dalam keadaan seperti ini. “Kalau tadi gue nggak ngikutin dia, sekarang dia udah dibawa gundik!” lanjut Renata dengan nada marah, matanya berkilat penuh amarah. Flora mengerutkan kening. “Gundik?” Flora mengulang dengan suara hampir berbisik, sulit mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Renata menghela napas kasar, lalu kembali menatap Birru dengan sorot mata penuh kekecewaan. “Iya, Flo. Mas Birru udah keterlaluan sama lu. Dan tadi gue lihat sendiri dia dicekokin! Ta
Keesokan paginya, Flora kembali ke kamar awalnya menginap bersama Birru. Ia datang sedikit siang setelah sarapan berdua dengan Riki. Saat membuka pintu, pandangannya langsung tertuju pada Birru yang tengah duduk santai dengan sebuah buku di tangannya. Tak seperti semalam saat mabuk, kini pria itu kembali tampil rapi, bersih, dan penuh wibawa—persis seperti sosok Birru yang biasa ia kenal. Flora menghela napas, memilih mengabaikan tatapan tajam yang Birru layangkan padanya. Tanpa berkata apa-apa, ia melangkah menuju koper dan mulai mengemasi barang-barangnya. "Dari mana lu?" suara Birru terdengar dingin dan tajam. "Jam segini baru balik?" Flora terdiam sejenak. Nada suara dan pertanyaan itu seolah menunjukkan bahwa Birru lupa akan apa yang terjadi semalam. Ia tidak menjawab, hanya melanjutkan mengemasi barangnya seakan pria itu tak ada di sana. Namun, ia bisa merasakan tatapan Birru yang terus menelusuri gerak-geriknya. Tak lama, langkah ka
Saat Riki mendekatkan wajahnya pada Flora, jantung Flora berdegup kencang. Ia menahan napas, memejamkan matanya, sadar sepenuhnya apa yang akan dilakukan Riki. Namun, sebelum segalanya terjadi, suara berat seorang pria memecah suasana. "Apa-apaan ini!" Flora membuka matanya dengan cepat, terkejut mendapati Birru—gurunya—sudah berdiri di hadapan mereka. Dengan satu gerakan, Birru menarik kerah baju Riki, menjauhkan pemuda itu dari Flora. "Nggak ngapa-ngapain, Pak!" sergah Riki dengan nada panik, mencoba membela diri. Flora hanya diam, menelan ludah dengan gugup. Ia merasa panik, tetapi berusaha untuk tetap tenang. Birru menatap mereka berdua dengan tajam. Suaranya tegas penuh wibawa. "Ini sekolah, tempat menuntut ilmu, bukan tempat untuk perbuatan tidak senonoh." Wajah Riki memerah. Ia mengangguk, tak berani melawan. "Pulang! Besok kalian berdua menghadap saya di ruang guru. Kalau tidak, saya akan laporkan ini ke kepala sekolah dan orang tua kalian!" ancam Birru tanpa kompromi.
Keesokan paginya, Flora kembali ke kamar awalnya menginap bersama Birru. Ia datang sedikit siang setelah sarapan berdua dengan Riki. Saat membuka pintu, pandangannya langsung tertuju pada Birru yang tengah duduk santai dengan sebuah buku di tangannya. Tak seperti semalam saat mabuk, kini pria itu kembali tampil rapi, bersih, dan penuh wibawa—persis seperti sosok Birru yang biasa ia kenal. Flora menghela napas, memilih mengabaikan tatapan tajam yang Birru layangkan padanya. Tanpa berkata apa-apa, ia melangkah menuju koper dan mulai mengemasi barang-barangnya. "Dari mana lu?" suara Birru terdengar dingin dan tajam. "Jam segini baru balik?" Flora terdiam sejenak. Nada suara dan pertanyaan itu seolah menunjukkan bahwa Birru lupa akan apa yang terjadi semalam. Ia tidak menjawab, hanya melanjutkan mengemasi barangnya seakan pria itu tak ada di sana. Namun, ia bisa merasakan tatapan Birru yang terus menelusuri gerak-geriknya. Tak lama, langkah ka
Flora membuka pintu dengan hati-hati, namun sebelum ia sempat mengeluarkan sepatah kata pun, Renata sudah berdiri dengan tangan berkacak pinggang, wajahnya menyiratkan kemarahan yang sulit dibendung. “Itu laki lu!” serunya, jari telunjuknya tajam mengarah pada Birru yang terhuyung di ambang pintu. Tubuh pria itu bersandar lemah di dinding, wajahnya kusut, matanya sayu, dan pakaiannya berantakan. Bau alkohol samar tercium dari tubuhnya. Flora terhenyak. Birru bukan tipe pria yang pulang dalam keadaan seperti ini. “Kalau tadi gue nggak ngikutin dia, sekarang dia udah dibawa gundik!” lanjut Renata dengan nada marah, matanya berkilat penuh amarah. Flora mengerutkan kening. “Gundik?” Flora mengulang dengan suara hampir berbisik, sulit mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Renata menghela napas kasar, lalu kembali menatap Birru dengan sorot mata penuh kekecewaan. “Iya, Flo. Mas Birru udah keterlaluan sama lu. Dan tadi gue lihat sendiri dia dicekokin! Ta
Gerak-gerik Flora yang aneh sejak tadi mulai masuk akal bagi Renata. Rasa kesal menguar di dadanya, membuatnya menegakkan punggung, bersiap memberi sepupunya itu pelajaran. Dengan langkah tegap, ia melangkah menuju Birru dan kekasihnya—entah siapa yang sangat asing di matanya. Namun, baru saja ia hendak melangkah menghampiri mereka, sebuah tangan kuat mencengkeram pergelangan tangannya. Renata tersentak. Ia menoleh dengan alis berkerut. "Lu mau ngapain?" suara itu terdengar hati-hati, tetapi tajam. Tatapan mata laki-laki itu serius, seakan menguliti niatnya hingga ke dasar. "Riki??" Renata semakin terkejut. Laki-laki yang baru saja ia gosipkan bersama Flora kini berdiri di hadapannya. Mereka memang saling mengenal—Mama mereka adalah teman arisan. Tapi, hubungan mereka tidak bisa dibilang akrab. Bahkan, kalau dipikir-pikir lagi, mereka nyaris tidak pernah berbicara satu sama lain. "Lu mau samperin Pak Birru?" tanya Riki lagi, suaranya tetap datar, tapi a
Flora tersentak saat merasakan ponselnya bergetar di dalam tas. Nada dering yang terdengar samar di tengah riuh pesta menarik perhatiannya. Ia segera berpamitan kepada kedua orang tua Riki sebelum melangkah menjauh untuk menerima panggilan itu. Dari kejauhan, Riki hanya diam, matanya mengikuti setiap gerak Flora dengan ekspresi sulit diartikan. Begitu menemukan tempat yang lebih tenang, Flora mengeluarkan ponselnya dan mendengus pelan saat melihat Birru nama di layar. Seketika, kekhawatiran menyeruak dalam benaknya. Apakah ini ada hubungannya dengan mertuanya? Tanpa pikir panjang, ia menekan tombol hijau dan menempelkan ponsel ke telinga. Namun, belum sempat ia menyapa, suara lain menyelusup di antara percakapan. Suara seorang wanita. Flora terdiam. Alisnya berkerut saat mencoba menangkap jelas percakapan itu, tetapi suara di seberang terdengar samar, seolah Birru tidak sedang berbicara padanya, melainkan pada seseorang di sisinya. Secepat kilat, dadanya terasa sesak oleh em
Malam itu, dengan senyum yang tak henti-hentinya merekah di wajahnya, Flora membongkar isi koper, mencari pakaian terbaik yang dimilikinya. Kebahagiaan terpancar jelas dari sorot matanya—seolah hidupnya kembali berwarna setelah Riki menerima dirinya apa adanya. Keputusan mereka untuk menjalin hubungan, meskipun harus backstreet, membuat hatinya berdebar penuh semangat. Keluarganya dan keluarga Birru tentulah yang utama yang tidak beh tau tentang hubungannya dengan Riki. 'Kalau Birru bisa, kenapa gue nggak?' pikirnya. Flora yakin, ia berhak bahagia. Ia berhak menikmati hidupnya. Flora memilih gaun terbaiknya malam itu. Wajahnya ia poles dengan riasan yang mempertegas kecantikannya, hingga bayangan dirinya di cermin seolah menampilkan sosok yang berbeda—lebih dewasa, lebih anggun, dan yang paling penting, lebih percaya diri. Bahkan Birru yang tengah duduk santai dengan buku di tangannya, mendadak terpaku. Napasnya terasa tersangkut di tenggorokan saat melihat Flora y
Mereka kembali terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Mata mereka menyiratkan keinginan yang sama—untuk mengungkapkan sesuatu yang selama ini terpendam dalam hati. "Kamu nanti datang ke acara Mama?" tanya Riki akhirnya, memecah keheningan. Flora terkejut dengan pertanyaan itu. "Boleh?" tanyanya ragu. Ia sadar bahwa dua hari terakhir ini Riki tampak menjauhinya. Flora tidak ingin kehadirannya justru membuat Riki semakin tidak nyaman. "Kenapa harus tanya aku?" balas Riki dengan nada yang sulit ditebak. "Aku cuma khawatir kamu nggak nyaman kalau aku ada di sana," ujar Flora pelan, menundukkan kepala. Ada nada sedih dalam suaranya. Ia tidak bisa mengabaikan bagaimana Riki perlahan menjauh darinya. Riki terdiam, kebingungan. Masalahnya bukan pada Flora atau kehadirannya. Yang membuatnya gelisah adalah ucapan Birru yang masih terus mengusik pikirannya. "Aku..." Riki menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatur hatinya yang gundah. Ia tahu, ia ti
Flora sama sekali tidak berminat kembali ke gazebo untuk menikmati jagung bakar yang tadi ia tinggalkan. Birru, yang menyadari perubahan suasana hati Flora, memilih diam. Tanpa banyak kata, ia masuk ke mobil dan melanjutkan perjalanan mereka menuju resort. Setibanya di penginapan, Flora langsung meminta kamar dengan dua tempat tidur. Sebenarnya, semangat liburannya sudah meredup. Bukannya menikmati waktu luang, perjalanan ini justru terasa menambah beban pikirannya. Dengan wajah yang masih menyiratkan kekesalan, ia berjalan masuk ke kamar sambil menyeret koper kecilnya. Setelah menaruh barang-barangnya, langkahnya terhenti di balkon. Di depannya terbentang pemandangan pantai yang memukau—pasir putih bersih berpadu dengan ombak tenang yang mengalun lembut di kejauhan. Sejenak, perasaan kesalnya memudar. Hatinya bergejolak, rindu akan kebebasan. Keinginan untuk berlari di atas pasir, berteriak sepuasnya, lalu membiarkan dirinya larut dalam pelukan air laut yang asin
"Ingat, Birru! Tujuan lu ngajak Flora itu buat bikin dia senang, bukan malah bikin dia tambah stres!" suara Violet terdengar tegas, matanya menatap serius ke arah adiknya. Birru hanya diam, memilih untuk menyelesaikan sarapannya tanpa banyak bicara. Sementara itu, dari kejauhan, ia bisa melihat Flora dan Bundanya sudah menunggu di depan rumah, tampak bersiap-siap. "Lu dengar gue ngomong nggak sih!?" suara Violet meninggi, merasa diabaikan. Ia pun reflek meraih pergelangan tangan Birru, memegangnya erat. "Dengar, Mbak!" sahut Birru akhirnya, dengan nada menahan kesal. "Flora nggak tau apa-apa, Birru! Semua ini murni keinginan Bunda. Jadi, jangan pernah salahin Flora atas keputusan yang lu buat sendiri!" tegas Violet sambil melepaskan genggamannya. Mendengar itu, Birru menoleh tajam ke arah kakaknya, seolah tak terima. Matanya menyiratkan perasaan terpojok, namun mulutnya tetap melontarkan balasan sinis. "Sejak kapan gue punya pilihan, Mbak?" tanya
Selesai makan malam, Flora tidak langsung kembali ke kamarnya. Ia memilih duduk di taman, menikmati dinginnya malam yang terasa semakin menusuk setelah hujan deras mengguyur sore tadi. Di bawah langit gelap yang dihiasi bintang-bintang samar, pikirannya melayang pada mimpi-mimpi yang belakangan ini kerap menghampirinya. Mimpi-mimpi itu terasa begitu nyata, seperti pintu yang membuka kenangan masa lalunya. Dan yang paling mengganggunya, di setiap mimpi itu selalu ada Birru—sosok yang kini menjadi bagian dari hidupnya dengan cara yang tak pernah ia bayangkan. Flora menarik napas panjang. Ia bertanya-tanya, apakah dirinya mulai merindukan Birru yang dulu? Birru yang lembut, penuh perhatian, dan selalu menjaga dirinya layaknya seorang kakak? Ia tahu pasti perasaannya pada Birru tak pernah lebih dari sekadar kasih sayang seorang adik kepada kakaknya. Bukti nyatanya, ia jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Riki, pria yang ditemuinya di hari pertama masuk sekolah.Namun