Keesokan paginya, Flora kembali ke kamar awalnya menginap bersama Birru. Ia datang sedikit siang setelah sarapan berdua dengan Riki. Saat membuka pintu, pandangannya langsung tertuju pada Birru yang tengah duduk santai dengan sebuah buku di tangannya. Tak seperti semalam saat mabuk, kini pria itu kembali tampil rapi, bersih, dan penuh wibawa—persis seperti sosok Birru yang biasa ia kenal.
Flora menghela napas, memilih mengabaikan tatapan tajam yang Birru layangkan padanya. Tanpa berkata apa-apa, ia melangkah menuju koper dan mulai mengemasi barang-barangnya. "Dari mana lu?" suara Birru terdengar dingin dan tajam. "Jam segini baru balik?" Flora terdiam sejenak. Nada suara dan pertanyaan itu seolah menunjukkan bahwa Birru lupa akan apa yang terjadi semalam. Ia tidak menjawab, hanya melanjutkan mengemasi barangnya seakan pria itu tak ada di sana. Namun, ia bisa merasakan tatapan Birru yang terus menelusuri gerak-geriknya. Tak lama, langkah kaRenata mengeluarkan ponselnya dari saku, lalu meletakkannya di atas meja sebelum mendorongnya ke tengah dengan gerakan yang disengaja—cukup jelas bagi Birru untuk melihat setiap tindakannya. Tanpa ragu, ia menekan nama Flora di daftar kontak, mengaktifkan mode speaker agar suara di ujung telepon terdengar oleh mereka berdua. Birru menatapnya, bingung. "Lu mau ngapain?" tanyanya curiga. Renata hanya mengangkat satu tangan, memberi isyarat agar Birru diam. "Bantu nemuin akar masalah lu," jawabnya tenang, namun tajam. Nada sambung berbunyi beberapa kali sebelum suara serak di ujung sana akhirnya menyapa, terdengar pelan dan jauh. "Iya, Re?" Birru menahan napas tanpa sadar. Ada sesuatu dalam suara itu yang membuat dadanya terasa sesak—entah apa, tapi ia bisa merasakannya. Jantungnya mulai berdegup lebih cepat. Renata, yang memperhatikan ekspresi paniknya, hanya menyeringai tipis. "Lu abis nangis, Flo?" pancing Renata, suaranya terdengar ringan, tapi matanya
Keesokan harinya, Renata benar-benar datang ke rumah, seperti janjinya pada Flora. "Tante… Halo semuanya! Every body!" serunya ceria begitu melangkah masuk setelah memberi salam. Di ruang tengah, Violet yang baru saja keluar kamar menatapnya dengan dahi berkerut. Hari itu ia sengaja tidak bekerja karena suaminya baru pulang dari luar kota, dan ia ingin menghabiskan waktu bersamanya. Namun, perhatiannya langsung tertuju pada koper kecil di samping Renata. "Mau ngapain lu, Re?" tanyanya heran, lalu menjatuhkan tubuh ke sofa dengan malas. Renata tersenyum lebar dan tanpa ragu ikut merebahkan diri di sampingnya. "Mau nginap di sini sampai weekend." Violet mengangkat sebelah alis. "Tumben. Biasanya juga ogah nginap di sini." Renata menyeringai usil. "Kan sekarang ada Flora. Ada yang seumuran, asyik buat diajak ngobrol." Violet menegakkan tubuh, menatapnya dengan kedua tangan menyilang di dada. "Jadi maksud lu, gue selama ini nggak asyik?" Renata tertawa pelan, lalu menepuk
Flora kecil melangkah ringan dengan penuh semangat begitu tiba di rumah Birru. Setelah hampir dua bulan tak berkunjung karena kesibukan kedua orang tuanya, ia merasa begitu rindu dengan suasana rumah ini. "Mas Birru dan Mbak Vio di mana, Tante?" tanyanya ceria kepada Lia, yang tengah duduk di ruang tamu. "Vio nggak di rumah, Flo. Dia ada acara sama teman-temannya," jawab Lia sambil tersenyum. "Tapi kalau Birru, dia ada di dapur." Ia menunjuk ke arah dapur, memberi isyarat agar Flora langsung menemui anak bungsunya itu. Tanpa menunggu lebih lama, Flora segera berjalan ke dapur. Begitu melihat Birru yang tampak sibuk di sana, langkahnya otomatis melambat. Ia berniat memberi kejutan. Namun, belum sempat ia melakukan apa pun, suara Birru terdengar lebih dulu. "Ini panas, Flo. Kamu mau aku celaka?" Flora tertegun, langkahnya langsung terhenti. Dengan ekspresi bingung, ia menatap punggung Birru yang masih fokus dengan masakannya. "Mas kok tahu aku ada di sini?" tanyanya polos se
Flora berdiri di depan gerbang sekolahnya, jari-jarinya sibuk mengetuk layar ponsel, memesan taksi online untuk pulang. Tiba-tiba, sebuah mobil berhenti tepat di depannya. Kaca jendela sisi penumpang depan turun, memperlihatkan wajah Birru yang menatapnya dengan ekspresi sulit ditebak. "Flora, masuk," ucapnya singkat. Flora mendengus, lalu menggeleng keras. "Nggak! Gue mau langsung pulang!" sahutnya tegas. Lebih baik dia pulang daripada harus terus melihat Birru bersama pacarnya. Toh, untuk sekadar mengobrol dengan Riki saja, Birru tak pernah mengizinkannya. Egois sekali! Tanpa banyak bicara, Birru menaikkan kaca jendela dan langsung melajukan mobilnya, meninggalkan Flora begitu saja di sana. Flora tertegun. Dadanya terasa sesak. Benarkah Birru lebih memilih pergi demi perempuan itu? Bahkan tadi, ia masih menurut saat Birru menyuruhnya masuk ke ruangannya, meninggalkan Riki. Sekarang? Dia ditinggal begitu saja, seolah tak berarti. Rasa perih menggelayut di hatinya. Matan
Violet kembali mengangkat ponselnya, bersiap mengabadikan pemandangan di depannya. "Juga?" suara Renata terdengar pelan, nyaris berbisik. "Iya. Buat bukti kalau mereka berdua sama aja!" Nada kecewa tak bisa disembunyikan dari suara Violet. Renata menghela napas, lalu dengan tenang meletakkan buku yang sejak tadi ia pegang. "Gue rasa Flora baru deh, Mbak." Violet menoleh cepat. "Tau dari mana lu?" tanyanya curiga. Renata tersenyum tipis. "Feeling aja. Soalnya kemarin pas liburan..." Ia mulai menceritakan kejadian di resort beberapa hari lalu. Saat tanpa sengaja bertemu Flora yang tampak gelisah, seolah menyembunyikan sesuatu. Saat ia menangkap percakapan Riki yang tahu lebih banyak tentang hubungan Flora, Birru, dan Serli daripada yang seharusnya. Dan yang paling membuat Violet panas adalah fakta bahwa Birru mabuk malam itu. Entah apa yang terjadi antara dia dan Flora, tapi satu hal sudah jelas—mereka sama-sama berkhianat. *** Flora melangkah masuk ke dalam rumah, lan
Flora mengambil selimut dan bantal dari dalam lemari, lalu berjalan menuju sofa. Ia berbaring di sana, bersiap untuk tidur. Birru yang baru keluar dari kamar mandi langsung mengernyit melihatnya. Sejak mereka pulang dari resort, Flora selalu memilih tidur di sofa, dan itu membuatnya heran. Tak ingin terus bertanya-tanya, Birru beranjak ke walk-in closet sebentar, lalu kembali mendekati Flora. Tanpa peringatan, ia membungkuk dan mengangkat tubuh gadis itu, berniat membawanya ke tempat tidur. Namun, Flora yang masih sepenuhnya sadar kaget bukan main. Refleks, ia menjerit kecil dan meronta, berusaha melepaskan diri. Karena gerakannya yang tiba-tiba, keseimbangan Birru goyah. Bruk! Mereka jatuh bersama ke lantai. Flora terhempas tepat di atas tubuh Birru, dan yang lebih mengejutkan, bibir pria itu secara tidak sengaja menyentuh pipinya. Sejenak, dunia terasa membeku. Flora menahan napas. Begitu pula Birru. Tidak ada yang bergerak, tidak ada yang bicara. Namun, kesadaran sege
"Memang ya, pernikahan Birru dan Flora membawa banyak berkah buat Mbak Lia," ucap Dea dengan penuh ketulusan dan rasa syukur. Mendengar itu, Lia tersenyum hangat, hatinya dipenuhi kebahagiaan dan rasa syukur yang tak terhingga. "Iya, Mama bener banget! Aku juga kena getahnya, loh!" sahut Renata, yang duduk di samping Dea, Mamanya ikut berseru dengan antusias. Mereka sedang berkumpul di rumah Lia dalam acara tasyakuran untuk merayakan kehamilan Violet. Setelah hampir empat tahun menanti, akhirnya doa-doa Violet dan suaminya beserta keluarga terkabul—ia hamil. "Emang lu dapat getah apa, Re?" tanya Violet, melirik Renata dengan penasaran. Renata tersenyum lebar sebelum menjawab dengan penuh semangat, "Gue dapat izin kuliah di kampus favorit gue!" "Wah, serius? Kok bisa?" Violet semakin ingin tahu. Renata langsung mengangkat kedua tangannya dan menunjuk ke arah Flora yang duduk tak jauh darinya. "Karena ada Flora!" serunya dengan gaya dramatis. Flora yang sejak tadi diam hany
"Sejak kapan lu pacaran sama dia?!" Suara Birru menggema di dalam kamar, penuh tuntutan. Flora hanya duduk diam di kursi meja belajarnya, menunduk kosong menatap tumpukan buku di depannya. Tidak ada niat untuk menjawab. "Jawab, Flo!" suara Birru semakin keras, lebih mendesak. Tangannya terulur, menggenggam dagu Flora, memaksanya menatap ke arahnya. Flora menepis tangan Birru dengan kasar. "Lepas!" serunya dengan nada kesal. "Mau sejak kapan bukan urusan lu!" lanjutnya tajam. Ia langsung berdiri, meninggalkan Birru tanpa sedikit pun menoleh. Tanpa ragu, Flora melangkah menuju walk-in closet. Acara Violet memang belum selesai, tapi mood-nya sudah hilang. Ia tak ingin berurusan dengan siapa pun lagi malam ini. Tidur jauh lebih baik daripada harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang semakin membuatnya lelah. Saat membuka lemari pakaian, ia menarik napas panjang. Tangannya terhenti di udara, sementara matanya terpaku kosong pada deretan pakaian yang tersusun rapi di hadapanny
Hari-hari berikutnya, Birru mulai mencari rumah yang sesuai dengan keinginan mereka. Ia meminta bantuan Dion dan beberapa rekannya untuk mencari lokasi yang nyaman, tidak terlalu jauh dari kantor, tetapi tetap tenang dan ideal untuk keluarga kecil. Sementara itu, Flora juga mulai mempersiapkan diri untuk perubahan besar ini. Ia mulai menyortir barang-barangnya, membayangkan seperti apa kehidupan mereka nanti setelah pindah. Namun, di lubuk hatinya, ada sedikit kekhawatiran—bagaimana reaksi Lia ketika mereka benar-benar pindah? Suatu malam, setelah makan malam bersama keluarga, Birru memutuskan untuk berbicara dengan ibunya. "Bun, aku dan Flora ada rencana untuk pindah ke rumah sendiri," kata Birru dengan hati-hati. Lia, yang sedang merapikan piring, terdiam sejenak sebelum menoleh ke putranya. "Kenapa tiba-tiba ingin pindah?" "Bukan tiba-tiba, Bun," Birru tersenyum kecil. "Aku pikir sudah saatnya aku dan Flora mandiri, membangun rumah tangga kami sendiri. Tapi bukan berarti aku m
Pagi ini, Birru sengaja tidak pergi ke kantor. Ia menyerahkan masalah perusahaan akibat ulah Fani kepada Juna dan Dion. Setelah mengabarkan Dion melalui telepon, Birru meletakkan kembali ponselnya di atas nakas, lalu berbalik dan merengkuh istrinya dalam pelukan.Ia ingin menghabiskan waktu seharian bersama Flora, tanpa gangguan pekerjaan atau hal lain yang membebani pikirannya.Flora menggeliat kecil ketika tangan Birru dengan lembut menyusuri setiap inci tubuhnya di balik piyama tipis yang ia kenakan. Napasnya masih teratur, matanya masih terpejam, tetapi ia sadar sepenuhnya akan sentuhan suaminya."Mas..." gumamnya pelan, suaranya serak karena baru bangun tidur."Hm?" Birru menempelkan bibirnya di puncak kepala istrinya, menghirup aroma khas tubuh Flora yang selalu membuatnya tenang."Kenapa nggak ke kantor?" tanya Flora dengan mata yang masih setengah tertutup."Aku mau sama kamu seharian," jawab Birru tanpa ragu.Flora membuka matanya, menatap suaminya yang kini tersenyum tipis.
Hingga malam tiba, Birru masih belum memberi kabar. Flora yang awalnya berusaha menunggu di kamar akhirnya tertidur, meski tidurnya terasa gelisah dan tidak tenang. Sesekali ia tersentak bangun, lalu kembali mencoba memejamkan mata, tetapi pikirannya terus dihantui kecemasan. Ketika akhirnya ia terbangun lagi, matanya langsung melirik jam di atas nakas. Sudah lewat tengah malam. Dengan jantung yang berdebar cemas, ia meraih ponselnya dan mencoba menghubungi Birru. Tidak ada jawaban. Panggilan kedua pun tak berbalas. Saat ia akan mencoba untuk ketiga kalinya, suara nada sambung terdengar bersamaan dengan bunyi pintu kamar yang terbuka. Flora menoleh cepat, ponsel masih menempel di telinganya. Ketika pandangannya bertemu dengan suaminya, mereka sama-sama terkejut. "Kamu belum tidur, Flo?" suara Birru terdengar serak. Flora mengernyit, lalu berdiri, mendekat untuk melihat lebih jelas. Penampilan Birru jauh berbeda dari saat ia berangkat pagi tadi—kemejanya kusut, dasinya sudah dilep
Di dalam air hangat yang penuh dengan busa sabun wangi, tangan Birru dengan lembut menjelajahi setiap inci tubuh istrinya, memanjakannya dengan sentuhan yang penuh kasih. Flora bersandar di dadanya, merasakan kehangatan yang menyelimuti mereka berdua. Birru menciumi bahu dan leher Flora, membisikkan kata-kata manis yang membuat tubuh istrinya semakin melebur dalam keintiman. Napas mereka berbaur dengan uap air, menciptakan kehangatan yang lebih dari sekadar suhu di dalam kamar mandi. Tak lama, Birru mengangkat tubuh Flora dari bathtub, membawanya ke bawah guyuran shower. Air hangat mengalir membasahi mereka, menciptakan sensasi yang lebih intens. Di bawah aliran air yang jatuh membasahi tubuh mereka, Birru melanjutkan cumbuan penuh gairah, menyatukan mereka dalam keintiman yang lebih dalam. Ketika mereka mencapai puncak bersama, Birru memeluk Flora erat, napasnya masih memburu. Lalu, dengan suara serak dan lembut, ia berbisik di telinga istrinya, "Aku ingin kita punya anak, saya
Hari ini adalah hari terakhir semester awal sebelum liburan. Flora sibuk dengan buku-buku perpustakaan yang harus ia kembalikan. Tiba-tiba, seseorang datang menghampirinya dari belakang. Flora terperanjat dan hampir tersandung kakinya sendiri, untung saja orang itu sigap menangkapnya. Dalam sekejap, ia berada dalam dekapannya—begitu dekat hingga ia bisa merasakan napas hangatnya. "Maaf, aku bikin kamu kaget, Flo," suara itu terdengar pelan sebelum orang itu melepaskan pegangannya dan memastikan Flora sudah berdiri stabil. Flora menelan ludah begitu menyadari siapa yang berdiri di depannya. "Thanks," jawabnya datar, lalu segera mengambil satu langkah mundur untuk menjaga jarak. "Boleh bicara sebentar?" Flora mendongak, menatap mata Riki yang tampak penuh arti. "Soal apa?" tanyanya hati-hati. "Ssttt!" suara teguran dari penjaga perpustakaan membuat Riki buru-buru menutup mulutnya. Ia tersenyum kecil, sementara Flora hanya menghela napas. "Kita ngomong di luar," kata Flora setelah
"Flora!"Renata berlari menghampiri Flora dan Kirana yang baru saja keluar dari perpustakaan."Hai, Na!" sapanya begitu sadar bahwa yang bersama istri sepupunya adalah Kirana. "Oh iya, lu dapat salam dari Boy, teman sekelas gue," tambahnya, sambil mengedipkan sebelah mata.Kirana tersenyum simpul. "No thanks, he’s not being a gentleman," jawabnya santai.Renata tertawa kecil. "Nanti gue bilangin, biar Boy grow up and be a man."Mereka pun tertawa bersama."Udah ah, cukup gibahnya. Lu tadi mau ngomong apa?" tanya Flora kemudian."Oh iya!" Renata menepuk jidatnya pelan. "Riki pindah kuliah, Flo. Ke luar negeri."Langkah Flora sempat terhenti sesaat, tapi ia cepat-cepat mencoba bersikap biasa saja.Semester awal memang sudah berakhir, dan sebulan terakhir Riki benar-benar menjaga jaraknya. Meskipun begitu, terkadang mata mereka masih saling bertemu—di kelas, saat berpapasan di lorong, atau saat salah satu dari mereka maju untuk presentasi.Kirana melirik Flora dengan tatapan penuh arti.
Diruang meeting, Birru duduk di belakang mejanya, menautkan jemarinya dengan tenang di atas permukaan kayu. Matanya tajam menatap wanita di depannya—Fani. Wanita itu masih berdiri, kedua tangannya terlipat di depan dada. Bibirnya tersenyum tipis, tapi matanya menyiratkan ketidakpuasan. "Jadi, kamu sengaja panggil aku ke sini hanya untuk ini?" Fani bertanya, nada suaranya terdengar santai, tapi ada nada menantang di baliknya. Birru tidak langsung menjawab. Ia membiarkan keheningan menggantung di antara mereka, membiarkan ketegangan mengisi ruangan sebelum akhirnya ia berbicara. "Kamu pikir aku nggak tahu?" suaranya dalam dan berbahaya. Fani mengangkat alis, berpura-pura bingung. "Tahu apa?" Birru menyandarkan punggungnya ke kursi, lalu mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja. "Tentang apa yang terjadi pada Flora di kampus." Sekilas, Birru melihat raut wajah Fani berubah—sangat halus, nyaris tak kentara. Tapi ia menangkapnya. "Kamu menuduh aku?" Fani terkekeh pelan, berusaha t
Begitu mobil Birru berhenti di depan rumah, Flora menarik napas dalam. Ia tahu semua orang di rumah pasti akan terkejut melihat keadaannya. Wajahnya masih menunjukkan bekas tamparan, dan tubuhnya masih terasa lelah akibat kejadian tadi. Birru keluar lebih dulu, lalu segera membukakan pintu untuk Flora. Saat ia turun, pintu rumah terbuka, dan suara langkah cepat terdengar mendekat. “Flora!” suara Violet adalah yang pertama terdengar. Ia bergegas menghampiri, diikuti oleh Juna dan Lia. Ekspresi mereka semua dipenuhi kekhawatiran. “Astaga, apa yang terjadi?!” Violet langsung menggenggam tangan Flora, matanya membesar saat melihat luka di sudut bibir adik iparnya. “Kamu kenapa? Siapa yang melakukan ini?” Lia pun menatapnya dengan cemas. “Flora, sayang, siapa yang menyakitimu, nduk?” Flora tersenyum kecil, meski jelas lelah. “Aku baik-baik saja, Bun…” “Baik-baik saja apanya?!” Juna menyela dengan ekspresi marah. “Lihat ini, wajah kamu jelas habis kena pukul!” Birru meletakkan
Saat dalam perjalanan mengantar Flora ke kampus, pikirannya melayang pada seseorang. "Mas, sejak kapan Dion jadi sekretaris kamu?" tanyanya tiba-tiba. Birru menoleh sekilas sebelum kembali fokus ke jalan, tampak mengingat-ingat sejenak. "Sejak waktu itu, pas kamu ke kantor." Flora mengangguk-angguk pelan sambil mengalihkan pandangannya ke luar jendela. "Itu kamu ngerti, Mas," gumamnya nyaris tak terdengar. "Maksudnya gimana, Sayang?" tanya Birru, sedikit mengernyit. Flora menggeleng cepat. "Nggak apa-apa. Terus, Jeni ke mana?" "Dia dipindah ke divisi lain, yang nggak ada hubungannya sama aku," jawab Birru santai. Flora menghela napas pelan. "Dia pasti berpikir kalau itu karena aku, ya?" Birru meliriknya sekilas. "Memang kenapa? Kamu yang punya perusahaan, kamu berhak." Flora terdiam sejenak sebelum akhirnya bertanya ragu, "Bisa begitu juga ke Fani?" Wajah Birru seketika berubah lebih serius. Napasnya terdengar berat sebelum ia berkata, "Kalau aku bisa dari awal, pas