Mereka kembali terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Mata mereka menyiratkan keinginan yang sama—untuk mengungkapkan sesuatu yang selama ini terpendam dalam hati.
"Kamu nanti datang ke acara Mama?" tanya Riki akhirnya, memecah keheningan. Flora terkejut dengan pertanyaan itu. "Boleh?" tanyanya ragu. Ia sadar bahwa dua hari terakhir ini Riki tampak menjauhinya. Flora tidak ingin kehadirannya justru membuat Riki semakin tidak nyaman. "Kenapa harus tanya aku?" balas Riki dengan nada yang sulit ditebak. "Aku cuma khawatir kamu nggak nyaman kalau aku ada di sana," ujar Flora pelan, menundukkan kepala. Ada nada sedih dalam suaranya. Ia tidak bisa mengabaikan bagaimana Riki perlahan menjauh darinya. Riki terdiam, kebingungan. Masalahnya bukan pada Flora atau kehadirannya. Yang membuatnya gelisah adalah ucapan Birru yang masih terus mengusik pikirannya. "Aku..." Riki menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatur hatinya yang gundah. Ia tahu, ia tidak bisa lagi membiarkan ini menggantung tanpa kejelasan. "Apa, Ki?" Flora bertanya pelan, matanya penuh rasa ingin tahu. Ia menatap Riki, menunggu dengan hati yang berdebar-debar. Riki mengangkat wajahnya, menatap Flora dalam-dalam. "Flo," ucapnya serius, suaranya sedikit bergetar. "Kamu... kamu beneran sudah nikah?" Pertanyaan itu seperti petir yang menyambar Flora. Tubuhnya membeku di tempat, dan kata-kata itu seolah menggemakan sesuatu yang paling ia takuti. Jadi, Birru benar-benar mengatakan hal itu pada Riki. Flora meremas tangannya, mencoba menahan tangis yang mulai memenuhi matanya. Ia merasa hatinya runtuh. Bagaimana mungkin Birru bisa tega melakukan ini? Bukankah dia tahu seberapa besar Flora menyukai Riki? Namun di sisi lain, Birru sendiri hidup dengan kebebasan yang Flora hanya bisa impikan—berpacaran, berpelukan, bahkan tanpa memikirkan perasaan atau posisi Flora. Kenapa hanya dirinya yang harus selalu berkorban? "Jadi, dia bilang gitu sama kamu?" tanya Flora dengan suara pelan, seraknya tak mampu menyembunyikan tangis yang ia tahan. Riki mengangguk kecil, menatap Flora penuh kebimbangan. "Dia bahkan menunjukkan kartu nikah kalian, Flo. Tapi aku nggak mau percaya begitu saja. Aku cuma butuh jawaban langsung dari kamu, supaya aku tahu harus melangkah ke mana setelah ini." Flora cepat-cepat mengusap air matanya, berusaha terlihat tegar. Tapi usaha itu sia-sia—Riki jelas melihat betapa rapuhnya dia saat ini. Ketika Riki hendak meraih tangannya, seorang pramusaji tiba-tiba datang membawa pesanan Riki, menghentikan momen itu sejenak. Flora memalingkan wajahnya, tak ingin orang lain melihat luka yang coba ia sembunyikan. Setelah pramusaji pergi, Riki kembali mencoba mendekat. "Flo," suaranya lebih lembut sekarang, penuh kesabaran. Kali ini, ia memberanikan diri menggenggam tangan Flora dengan erat. "Kamu percaya sama aku, kan? Kalau ada apa-apa, kamu bisa cerita. Aku di sini buat kamu." Kata-kata itu, ditambah dengan genggaman hangat dari Riki, seperti membuka bendungan yang selama ini coba Flora tahan. Air mata pun akhirnya tumpah. Flora menangis tersedu, merasa tak berdaya sekaligus dipenuhi rasa bersalah. Tanpa berpikir panjang, Riki bergeser ke sampingnya dan memeluknya erat, seolah ingin melindungi gadis itu dari seluruh kesedihannya. "Maaf..." suara Flora terdengar lirih, hampir seperti bisikan. Riki perlahan melepaskan pelukannya. Tatapannya tajam menembus Flora, penuh intensitas. "Jadi, semua itu benar?" tanyanya, nyaris tak percaya. Flora mengangguk pelan, tanpa berani menatap wajahnya. Kening Riki berkerut, ekspresinya berubah dari kaget menjadi penuh rasa ingin tahu. "Tapi bagaimana bisa, Flo? Kamu sama dia nggak..." Riki menggantungkan kalimatnya, bingung mencari kata yang tepat untuk mengungkapkan pertanyaannya. Flora, memahami maksudnya, segera menjawab. "Nggak, Ki," ucapnya pelan. Ia menghela napas panjang sebelum melanjutkan, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk menceritakan semuanya. "Aku dijodohkan. Aku dinikahkan saat aku bahkan nggak ada di sana. Tiba-tiba, statusku sudah berubah jadi istrinya." Riki terdiam, membiarkan Flora melanjutkan tanpa menyela. "Tante Lia—mertua aku, sahabatnya Mama—sakit, Ki," kata Flora, suaranya terdengar berat. "Beliau yang meminta pernikahan ini. Kata mama, demi kesehatannya, pernikahan harus segera dilakukan. Semua terjadi begitu cepat." Riki mengerutkan kening, kebingungannya semakin dalam. "Pak Birru juga... terpaksa?" tanyanya dengan nada penuh ketidakpercayaan. Dalam pikirannya, Birru selama ini terlihat seperti benar-benar menginginkan Flora. Bahkan, ia sampai berani menunjukkan kartu nikah mereka. Flora mengangguk pelan. "Iya, Ki. Kami berdua sama-sama terpaksa. Semuanya demi Tante Lia. Ini bukan keputusan yang di ambil dengan hati, tapi demi menghormati permintaan Tante Lia." Riki menatap Flora dalam-dalam, matanya penuh emosi yang tak bisa ia sembunyikan. Kedua tangannya menggenggam erat tangan Flora, seolah takut kehilangan momen ini. "Aku nggak tahu harus gimana menghadapi semua ini, Flo," suaranya terdengar berat, penuh keraguan dan penyesalan yang lama terpendam. Ia menarik napas dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. "Harusnya dari dulu aku bilang sama kamu. Aku suka kamu... lebih dari itu, aku sayang kamu, Flo. Sangat sayang," ucapnya dengan suara yang tegas namun lembut, seperti memaknai setiap kata yang keluar dari bibirnya. Tatapan Riki penuh harap, menunggu reaksi dari Flora, sementara waktu seakan berhenti di antara mereka. Flora terdiam, kata-kata terasa sulit keluar dari bibirnya. Dalam hati, ia ingin membalas dengan rasa yang sama, dengan kejujuran yang selama ini tertahan. Mereka berdua tahu, perasaan itu ada—mengakar di antara mereka—namun tidak ada yang cukup berani untuk mengungkapkannya lebih awal. "Riki..." suara Flora lirih, penuh keraguan, "Aku juga punya perasaan yang sama. Tapi..." ia berhenti sejenak, menundukkan pandangannya. "Aku nggak tahu harus bagaimana... dengan statusku sekarang." Riki menatapnya dalam, mencoba menangkap isi hati Flora melalui tatapannya yang gelisah. "Kamu bahagia menjalaninya?" tanyanya pelan, namun penuh arti. Flora menggeleng lemah, matanya berusaha menyampaikan kebenaran yang tak mampu ia ucapkan. Meski begitu, ada sesuatu dalam sorot matanya—keyakinan, harapan, atau mungkin keinginan untuk percaya pada Riki. Melihat itu, Riki menguatkan genggaman tangannya, seolah memberi jaminan bahwa ia akan tetap ada di sana. "Izinkan aku untuk membahagiakan kamu, Flo," ucapnya dengan penuh keyakinan, suaranya tegas namun lembut, seperti janji yang tak akan pernah ia ingkari. Flora menatap Riki dalam diam, matanya menyiratkan kebingungan dan kepedihan yang tak terucap. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan gejolak di hatinya yang terasa semakin sesak. Namun, rasa sakit itu terlalu nyata, seolah mencengkeram setiap bagian dirinya. Ia tahu, takdir yang harus ia jalani bukanlah hal yang mudah diterima. Hatinya bimbang antara keinginan untuk mengikuti perasaannya dan kenyataan pahit yang membatasinya. Dan di depan Riki, yang menatapnya penuh harap, Flora hanya bisa merasa semakin terhimpit oleh pilihan yang tak pernah ia harapkan. "Flo, aku nggak akan kemana-mana. Apa pun itu, aku akan tetap di sini," bisiknya lembut, mencoba meredakan gemuruh dalam hati Flora yang sedang hancur berkeping-keping. ***Malam itu, dengan senyum yang tak henti-hentinya merekah di wajahnya, Flora membongkar isi koper, mencari pakaian terbaik yang dimilikinya. Kebahagiaan terpancar jelas dari sorot matanya—seolah hidupnya kembali berwarna setelah Riki menerima dirinya apa adanya. Keputusan mereka untuk menjalin hubungan, meskipun harus backstreet, membuat hatinya berdebar penuh semangat. Keluarganya dan keluarga Birru tentulah yang utama yang tidak beh tau tentang hubungannya dengan Riki. 'Kalau Birru bisa, kenapa gue nggak?' pikirnya. Flora yakin, ia berhak bahagia. Ia berhak menikmati hidupnya. Flora memilih gaun terbaiknya malam itu. Wajahnya ia poles dengan riasan yang mempertegas kecantikannya, hingga bayangan dirinya di cermin seolah menampilkan sosok yang berbeda—lebih dewasa, lebih anggun, dan yang paling penting, lebih percaya diri. Bahkan Birru yang tengah duduk santai dengan buku di tangannya, mendadak terpaku. Napasnya terasa tersangkut di tenggorokan saat melihat Flora y
Flora tersentak saat merasakan ponselnya bergetar di dalam tas. Nada dering yang terdengar samar di tengah riuh pesta menarik perhatiannya. Ia segera berpamitan kepada kedua orang tua Riki sebelum melangkah menjauh untuk menerima panggilan itu. Dari kejauhan, Riki hanya diam, matanya mengikuti setiap gerak Flora dengan ekspresi sulit diartikan. Begitu menemukan tempat yang lebih tenang, Flora mengeluarkan ponselnya dan mendengus pelan saat melihat Birru nama di layar. Seketika, kekhawatiran menyeruak dalam benaknya. Apakah ini ada hubungannya dengan mertuanya? Tanpa pikir panjang, ia menekan tombol hijau dan menempelkan ponsel ke telinga. Namun, belum sempat ia menyapa, suara lain menyelusup di antara percakapan. Suara seorang wanita. Flora terdiam. Alisnya berkerut saat mencoba menangkap jelas percakapan itu, tetapi suara di seberang terdengar samar, seolah Birru tidak sedang berbicara padanya, melainkan pada seseorang di sisinya. Secepat kilat, dadanya terasa sesak oleh em
Gerak-gerik Flora yang aneh sejak tadi mulai masuk akal bagi Renata. Rasa kesal menguar di dadanya, membuatnya menegakkan punggung, bersiap memberi sepupunya itu pelajaran. Dengan langkah tegap, ia melangkah menuju Birru dan kekasihnya—entah siapa yang sangat asing di matanya. Namun, baru saja ia hendak melangkah menghampiri mereka, sebuah tangan kuat mencengkeram pergelangan tangannya. Renata tersentak. Ia menoleh dengan alis berkerut. "Lu mau ngapain?" suara itu terdengar hati-hati, tetapi tajam. Tatapan mata laki-laki itu serius, seakan menguliti niatnya hingga ke dasar. "Riki??" Renata semakin terkejut. Laki-laki yang baru saja ia gosipkan bersama Flora kini berdiri di hadapannya. Mereka memang saling mengenal—Mama mereka adalah teman arisan. Tapi, hubungan mereka tidak bisa dibilang akrab. Bahkan, kalau dipikir-pikir lagi, mereka nyaris tidak pernah berbicara satu sama lain. "Lu mau samperin Pak Birru?" tanya Riki lagi, suaranya tetap datar, tapi a
Flora membuka pintu dengan hati-hati, namun sebelum ia sempat mengeluarkan sepatah kata pun, Renata sudah berdiri dengan tangan berkacak pinggang, wajahnya menyiratkan kemarahan yang sulit dibendung. “Itu laki lu!” serunya, jari telunjuknya tajam mengarah pada Birru yang terhuyung di ambang pintu. Tubuh pria itu bersandar lemah di dinding, wajahnya kusut, matanya sayu, dan pakaiannya berantakan. Bau alkohol samar tercium dari tubuhnya. Flora terhenyak. Birru bukan tipe pria yang pulang dalam keadaan seperti ini. “Kalau tadi gue nggak ngikutin dia, sekarang dia udah dibawa gundik!” lanjut Renata dengan nada marah, matanya berkilat penuh amarah. Flora mengerutkan kening. “Gundik?” Flora mengulang dengan suara hampir berbisik, sulit mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Renata menghela napas kasar, lalu kembali menatap Birru dengan sorot mata penuh kekecewaan. “Iya, Flo. Mas Birru udah keterlaluan sama lu. Dan tadi gue lihat sendiri dia dicekokin! Ta
Keesokan paginya, Flora kembali ke kamar awalnya menginap bersama Birru. Ia datang sedikit siang setelah sarapan berdua dengan Riki. Saat membuka pintu, pandangannya langsung tertuju pada Birru yang tengah duduk santai dengan sebuah buku di tangannya. Tak seperti semalam saat mabuk, kini pria itu kembali tampil rapi, bersih, dan penuh wibawa—persis seperti sosok Birru yang biasa ia kenal. Flora menghela napas, memilih mengabaikan tatapan tajam yang Birru layangkan padanya. Tanpa berkata apa-apa, ia melangkah menuju koper dan mulai mengemasi barang-barangnya. "Dari mana lu?" suara Birru terdengar dingin dan tajam. "Jam segini baru balik?" Flora terdiam sejenak. Nada suara dan pertanyaan itu seolah menunjukkan bahwa Birru lupa akan apa yang terjadi semalam. Ia tidak menjawab, hanya melanjutkan mengemasi barangnya seakan pria itu tak ada di sana. Namun, ia bisa merasakan tatapan Birru yang terus menelusuri gerak-geriknya. Tak lama, langkah ka
Saat Riki mendekatkan wajahnya pada Flora, jantung Flora berdegup kencang. Ia menahan napas, memejamkan matanya, sadar sepenuhnya apa yang akan dilakukan Riki. Namun, sebelum segalanya terjadi, suara berat seorang pria memecah suasana. "Apa-apaan ini!" Flora membuka matanya dengan cepat, terkejut mendapati Birru—gurunya—sudah berdiri di hadapan mereka. Dengan satu gerakan, Birru menarik kerah baju Riki, menjauhkan pemuda itu dari Flora. "Nggak ngapa-ngapain, Pak!" sergah Riki dengan nada panik, mencoba membela diri. Flora hanya diam, menelan ludah dengan gugup. Ia merasa panik, tetapi berusaha untuk tetap tenang. Birru menatap mereka berdua dengan tajam. Suaranya tegas penuh wibawa. "Ini sekolah, tempat menuntut ilmu, bukan tempat untuk perbuatan tidak senonoh." Wajah Riki memerah. Ia mengangguk, tak berani melawan. "Pulang! Besok kalian berdua menghadap saya di ruang guru. Kalau tidak, saya akan laporkan ini ke kepala sekolah dan orang tua kalian!" ancam Birru tanpa kompromi.
“Saya terima nikah dan kawinnya Flora Adisti Zaviyar binti Didit Zaviyar dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!”"Bagaimana saksi, sah? Sah?"“Sah!” suara saksi terdengar tegas, memastikan bahwa pernikahan itu sah. Penghulu kemudian melanjutkan dengan doa, mengiringi ikatan yang baru saja terjadi.Di kasur perawatan, Lia terbaring lemah, namun senyuman penuh haru mengembang di wajahnya. Air mata mengalir, tak bisa dibendung. Perasaan campur aduk, antara bahagia dan haru, memenuhi hatinya."Akhirnya, kalau pun aku harus pergi, aku bisa pergi dengan tenang, Des. Tenang karena melihat semuanya terwujud" ujar Lia lirih, suaranya begitu lemah namun penuh ketulusan. Ia menatap sahabatnya yang sejak awal menemani di sisinya.Desi menggenggam tangan Lia dengan erat, seakan memberikan kekuatan. “Jangan bicara seperti itu, Li. Kamu akan sembuh, kamu akan sehat. Kamu akan menyaksikan Birru dan Flora tumbuh bersama, punya anak, dan melihat cucu-cucu kita yang akan tumbuh besar. Kamu akan ada di
Flora menuruni tangga dengan langkah berat, membiarkan pikirannya dipenuhi berbagai hal yang mengganggu. Setelah menikah, ia tinggal di rumah besar ini bersama Lia, mertuanya yang penuh kasih sayang, dan Violet, kakak perempuan Birru, yang sudah menikah lebih dari tiga tahun namun belum memiliki anak."Pagi, sayang," sapa Lia dengan suara lembut penuh kehangatan ketika melihat Flora sudah berada di ruang makan.Flora membalas sapaan itu dengan senyuman tipis, membiarkan mertuanya memeluknya singkat. Pelukan Lia selalu terasa nyaman, meski kali ini tak cukup mengusir kegundahan yang ia rasakan."Kamu kenapa, Nduk? Wajahmu kok terlihat murung. Kamu baik-baik aja, kan?" tanya Lia dengan nada penuh perhatian. Wajahnya memancarkan kasih sayang yang tulus, meskipun garis-garis kelelahan dan sakit masih jelas terlihat.Flora tertegun sejenak, berusaha menutupi perasaannya. Ia menarik napas panjang lalu tersenyum kecil. "Masa sih, Bun? Mungkin Flo cuma kelelahan aja karena tugas-tugas sekolah
Keesokan paginya, Flora kembali ke kamar awalnya menginap bersama Birru. Ia datang sedikit siang setelah sarapan berdua dengan Riki. Saat membuka pintu, pandangannya langsung tertuju pada Birru yang tengah duduk santai dengan sebuah buku di tangannya. Tak seperti semalam saat mabuk, kini pria itu kembali tampil rapi, bersih, dan penuh wibawa—persis seperti sosok Birru yang biasa ia kenal. Flora menghela napas, memilih mengabaikan tatapan tajam yang Birru layangkan padanya. Tanpa berkata apa-apa, ia melangkah menuju koper dan mulai mengemasi barang-barangnya. "Dari mana lu?" suara Birru terdengar dingin dan tajam. "Jam segini baru balik?" Flora terdiam sejenak. Nada suara dan pertanyaan itu seolah menunjukkan bahwa Birru lupa akan apa yang terjadi semalam. Ia tidak menjawab, hanya melanjutkan mengemasi barangnya seakan pria itu tak ada di sana. Namun, ia bisa merasakan tatapan Birru yang terus menelusuri gerak-geriknya. Tak lama, langkah ka
Flora membuka pintu dengan hati-hati, namun sebelum ia sempat mengeluarkan sepatah kata pun, Renata sudah berdiri dengan tangan berkacak pinggang, wajahnya menyiratkan kemarahan yang sulit dibendung. “Itu laki lu!” serunya, jari telunjuknya tajam mengarah pada Birru yang terhuyung di ambang pintu. Tubuh pria itu bersandar lemah di dinding, wajahnya kusut, matanya sayu, dan pakaiannya berantakan. Bau alkohol samar tercium dari tubuhnya. Flora terhenyak. Birru bukan tipe pria yang pulang dalam keadaan seperti ini. “Kalau tadi gue nggak ngikutin dia, sekarang dia udah dibawa gundik!” lanjut Renata dengan nada marah, matanya berkilat penuh amarah. Flora mengerutkan kening. “Gundik?” Flora mengulang dengan suara hampir berbisik, sulit mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Renata menghela napas kasar, lalu kembali menatap Birru dengan sorot mata penuh kekecewaan. “Iya, Flo. Mas Birru udah keterlaluan sama lu. Dan tadi gue lihat sendiri dia dicekokin! Ta
Gerak-gerik Flora yang aneh sejak tadi mulai masuk akal bagi Renata. Rasa kesal menguar di dadanya, membuatnya menegakkan punggung, bersiap memberi sepupunya itu pelajaran. Dengan langkah tegap, ia melangkah menuju Birru dan kekasihnya—entah siapa yang sangat asing di matanya. Namun, baru saja ia hendak melangkah menghampiri mereka, sebuah tangan kuat mencengkeram pergelangan tangannya. Renata tersentak. Ia menoleh dengan alis berkerut. "Lu mau ngapain?" suara itu terdengar hati-hati, tetapi tajam. Tatapan mata laki-laki itu serius, seakan menguliti niatnya hingga ke dasar. "Riki??" Renata semakin terkejut. Laki-laki yang baru saja ia gosipkan bersama Flora kini berdiri di hadapannya. Mereka memang saling mengenal—Mama mereka adalah teman arisan. Tapi, hubungan mereka tidak bisa dibilang akrab. Bahkan, kalau dipikir-pikir lagi, mereka nyaris tidak pernah berbicara satu sama lain. "Lu mau samperin Pak Birru?" tanya Riki lagi, suaranya tetap datar, tapi a
Flora tersentak saat merasakan ponselnya bergetar di dalam tas. Nada dering yang terdengar samar di tengah riuh pesta menarik perhatiannya. Ia segera berpamitan kepada kedua orang tua Riki sebelum melangkah menjauh untuk menerima panggilan itu. Dari kejauhan, Riki hanya diam, matanya mengikuti setiap gerak Flora dengan ekspresi sulit diartikan. Begitu menemukan tempat yang lebih tenang, Flora mengeluarkan ponselnya dan mendengus pelan saat melihat Birru nama di layar. Seketika, kekhawatiran menyeruak dalam benaknya. Apakah ini ada hubungannya dengan mertuanya? Tanpa pikir panjang, ia menekan tombol hijau dan menempelkan ponsel ke telinga. Namun, belum sempat ia menyapa, suara lain menyelusup di antara percakapan. Suara seorang wanita. Flora terdiam. Alisnya berkerut saat mencoba menangkap jelas percakapan itu, tetapi suara di seberang terdengar samar, seolah Birru tidak sedang berbicara padanya, melainkan pada seseorang di sisinya. Secepat kilat, dadanya terasa sesak oleh em
Malam itu, dengan senyum yang tak henti-hentinya merekah di wajahnya, Flora membongkar isi koper, mencari pakaian terbaik yang dimilikinya. Kebahagiaan terpancar jelas dari sorot matanya—seolah hidupnya kembali berwarna setelah Riki menerima dirinya apa adanya. Keputusan mereka untuk menjalin hubungan, meskipun harus backstreet, membuat hatinya berdebar penuh semangat. Keluarganya dan keluarga Birru tentulah yang utama yang tidak beh tau tentang hubungannya dengan Riki. 'Kalau Birru bisa, kenapa gue nggak?' pikirnya. Flora yakin, ia berhak bahagia. Ia berhak menikmati hidupnya. Flora memilih gaun terbaiknya malam itu. Wajahnya ia poles dengan riasan yang mempertegas kecantikannya, hingga bayangan dirinya di cermin seolah menampilkan sosok yang berbeda—lebih dewasa, lebih anggun, dan yang paling penting, lebih percaya diri. Bahkan Birru yang tengah duduk santai dengan buku di tangannya, mendadak terpaku. Napasnya terasa tersangkut di tenggorokan saat melihat Flora y
Mereka kembali terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Mata mereka menyiratkan keinginan yang sama—untuk mengungkapkan sesuatu yang selama ini terpendam dalam hati. "Kamu nanti datang ke acara Mama?" tanya Riki akhirnya, memecah keheningan. Flora terkejut dengan pertanyaan itu. "Boleh?" tanyanya ragu. Ia sadar bahwa dua hari terakhir ini Riki tampak menjauhinya. Flora tidak ingin kehadirannya justru membuat Riki semakin tidak nyaman. "Kenapa harus tanya aku?" balas Riki dengan nada yang sulit ditebak. "Aku cuma khawatir kamu nggak nyaman kalau aku ada di sana," ujar Flora pelan, menundukkan kepala. Ada nada sedih dalam suaranya. Ia tidak bisa mengabaikan bagaimana Riki perlahan menjauh darinya. Riki terdiam, kebingungan. Masalahnya bukan pada Flora atau kehadirannya. Yang membuatnya gelisah adalah ucapan Birru yang masih terus mengusik pikirannya. "Aku..." Riki menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatur hatinya yang gundah. Ia tahu, ia ti
Flora sama sekali tidak berminat kembali ke gazebo untuk menikmati jagung bakar yang tadi ia tinggalkan. Birru, yang menyadari perubahan suasana hati Flora, memilih diam. Tanpa banyak kata, ia masuk ke mobil dan melanjutkan perjalanan mereka menuju resort. Setibanya di penginapan, Flora langsung meminta kamar dengan dua tempat tidur. Sebenarnya, semangat liburannya sudah meredup. Bukannya menikmati waktu luang, perjalanan ini justru terasa menambah beban pikirannya. Dengan wajah yang masih menyiratkan kekesalan, ia berjalan masuk ke kamar sambil menyeret koper kecilnya. Setelah menaruh barang-barangnya, langkahnya terhenti di balkon. Di depannya terbentang pemandangan pantai yang memukau—pasir putih bersih berpadu dengan ombak tenang yang mengalun lembut di kejauhan. Sejenak, perasaan kesalnya memudar. Hatinya bergejolak, rindu akan kebebasan. Keinginan untuk berlari di atas pasir, berteriak sepuasnya, lalu membiarkan dirinya larut dalam pelukan air laut yang asin
"Ingat, Birru! Tujuan lu ngajak Flora itu buat bikin dia senang, bukan malah bikin dia tambah stres!" suara Violet terdengar tegas, matanya menatap serius ke arah adiknya. Birru hanya diam, memilih untuk menyelesaikan sarapannya tanpa banyak bicara. Sementara itu, dari kejauhan, ia bisa melihat Flora dan Bundanya sudah menunggu di depan rumah, tampak bersiap-siap. "Lu dengar gue ngomong nggak sih!?" suara Violet meninggi, merasa diabaikan. Ia pun reflek meraih pergelangan tangan Birru, memegangnya erat. "Dengar, Mbak!" sahut Birru akhirnya, dengan nada menahan kesal. "Flora nggak tau apa-apa, Birru! Semua ini murni keinginan Bunda. Jadi, jangan pernah salahin Flora atas keputusan yang lu buat sendiri!" tegas Violet sambil melepaskan genggamannya. Mendengar itu, Birru menoleh tajam ke arah kakaknya, seolah tak terima. Matanya menyiratkan perasaan terpojok, namun mulutnya tetap melontarkan balasan sinis. "Sejak kapan gue punya pilihan, Mbak?" tanya
Selesai makan malam, Flora tidak langsung kembali ke kamarnya. Ia memilih duduk di taman, menikmati dinginnya malam yang terasa semakin menusuk setelah hujan deras mengguyur sore tadi. Di bawah langit gelap yang dihiasi bintang-bintang samar, pikirannya melayang pada mimpi-mimpi yang belakangan ini kerap menghampirinya. Mimpi-mimpi itu terasa begitu nyata, seperti pintu yang membuka kenangan masa lalunya. Dan yang paling mengganggunya, di setiap mimpi itu selalu ada Birru—sosok yang kini menjadi bagian dari hidupnya dengan cara yang tak pernah ia bayangkan. Flora menarik napas panjang. Ia bertanya-tanya, apakah dirinya mulai merindukan Birru yang dulu? Birru yang lembut, penuh perhatian, dan selalu menjaga dirinya layaknya seorang kakak? Ia tahu pasti perasaannya pada Birru tak pernah lebih dari sekadar kasih sayang seorang adik kepada kakaknya. Bukti nyatanya, ia jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Riki, pria yang ditemuinya di hari pertama masuk sekolah.Namun