Selesai makan malam, Flora tidak langsung kembali ke kamarnya. Ia memilih duduk di taman, menikmati dinginnya malam yang terasa semakin menusuk setelah hujan deras mengguyur sore tadi.
Di bawah langit gelap yang dihiasi bintang-bintang samar, pikirannya melayang pada mimpi-mimpi yang belakangan ini kerap menghampirinya. Mimpi-mimpi itu terasa begitu nyata, seperti pintu yang membuka kenangan masa lalunya. Dan yang paling mengganggunya, di setiap mimpi itu selalu ada Birru—sosok yang kini menjadi bagian dari hidupnya dengan cara yang tak pernah ia bayangkan. Flora menarik napas panjang. Ia bertanya-tanya, apakah dirinya mulai merindukan Birru yang dulu? Birru yang lembut, penuh perhatian, dan selalu menjaga dirinya layaknya seorang kakak? Ia tahu pasti perasaannya pada Birru tak pernah lebih dari sekadar kasih sayang seorang adik kepada kakaknya. Bukti nyatanya, ia jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Riki, pria yang ditemuinya di hari pertama masuk sekolah. Namun kini, semuanya berubah. Sikap Birru yang dingin dan penuh sinisme terhadapnya membuat hatinya terluka. Perlakuan Birru seolah menyalahkannya atas pernikahan dadakan yang tiba-tiba mempertemukan mereka sebagai suami istri. Padahal, ia sama sekali tidak tahu-menahu soal perjodohan itu. "Kenapa kamu malah duduk di sini sendirian, Flo?" Suara Violet tiba-tiba memecah keheningan malam. Flora tersenyum kecut pada kakak iparnya itu, lalu bergeser, memberi ruang untuk Violet duduk di sebelahnya. "Dia masih sering ketus sama kamu?" tanya Violet, meskipun sebenarnya ia sudah tahu jawabannya. Flora hanya mengangguk pelan tanpa kata. Hanya kepada Violet, ia bisa menjadi dirinya sendiri—rapuh dan terluka. Di depan orang lain, ia selalu berusaha tegar. Tapi malam ini, semuanya runtuh. Violet merangkulnya dengan hangat, mencoba menyampaikan kekuatan tanpa kata. Perlahan, Flora mulai menangis dalam pelukan Violet. Tangisnya pecah, seolah ingin meluapkan semua rasa sakit yang ia pendam selama ini. Violet hanya diam, terus mengelus punggungnya dengan lembut, berharap pelukan itu bisa sedikit mengobati luka di hati Flora. Namun tanpa mereka sadari, di ujung pintu taman yang remang-remang, Birru berdiri diam. Pandangannya terpaku pada Flora yang menangis dalam pelukan Violet. Ada sesuatu yang menghantam dadanya—rasa sesak dan tidak nyaman yang ia sendiri tak bisa pahami. Ia membenci pernikahan ini. Ia membenci segala hal yang berhubungan dengannya, termasuk Flora. Gadis yang dulu ia sayangi sebagai adik, kini menjadi istrinya. Perubahan status itu membuat segalanya terasa salah. Semua kasih sayangnya seolah terkubur oleh rasa kesal dan keterpaksaan. Tapi malam ini, melihat Flora menangis seperti itu, sesuatu di hatinya terasa retak. Namun ia terlalu bingung untuk memahami apa artinya. * Setelah memastikan Lia sudah tertidur di kamarnya, Flora kembali ke kamarnya sendiri. Ia tidak mau mertuanya itu melihat wajahnya penuh dengan sisa kesedihan. Flora membuka pintu perlahan, berusaha tak menimbulkan suara. Di dalam, Birru sudah ada di atas kasur, bersandar pada kepala ranjang dengan sebuah buku di tangannya. Itu kebiasaan Birru sebelum tidur—membaca meskipun hanya sebentar. Birru sama sekali tidak menoleh atau melirik ke arah Flora, namun ia tahu siapa yang baru saja masuk. Kehadirannya sudah cukup dikenali tanpa harus melihat. Flora berjalan ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya yang sembab. Bekas air mata membuat wajahnya terasa lengket, dan ia butuh waktu untuk meredakan kesedihan yang masih terasa mengganjal di dadanya. Setelah itu, ia menuju walk-in closet untuk berganti piyama. Saat pintu tertutup, Birru perlahan mengangkat kepalanya dari buku yang sedang ia baca. Matanya terarah pada pintu, tatapannya kosong dan penuh keraguan. Namun, ketika Flora membuka pintu kembali, suara halus dari engsel pintu membuatnya buru-buru menunduk, kembali memfokuskan diri pada halaman buku di tangannya. Flora berjalan mendekat dan menyibak selimut di atas kasur. Ia masuk ke dalamnya, lalu duduk sejenak, seperti ingin mengatur posisi tidur. Namun ketika ia mulai menggeser tubuh untuk berbaring, suara Birru tiba-tiba memecah keheningan. “Besok mau ke mana?” tanyanya tanpa mengangkat pandangan dari bukunya. Flora berhenti bergerak, menoleh dengan dahi berkerut bingung. “Maksudnya?” suaranya terdengar pelan dan serak, sisa tangis tadi masih terasa jelas. Birru akhirnya menatap Flora sekilas. Wajah sembab gadis itu terlihat jelas di bawah lampu kamar, tapi ia segera memalingkan pandangan lagi. “Katanya mau jalan-jalan,” ucapnya singkat, nadanya datar. “Oh.” Flora mengangguk kecil, tapi tak menunjukkan minat untuk melanjutkan percakapan. “Nggak usah dipikirin, gue mau di rumah aja. Tidur seharian.” Nada suaranya terdengar cuek, dan ia segera berbaring, membelakangi Birru, bersiap memejamkan mata. Ia mendengar Birru mendesah pelan, kesal. “Lu mau bikin gue disalahin sama Bunda karena nggak ngajak lu jalan-jalan?” Nada sinis itu membuat Flora memejamkan matanya lebih kuat, mencoba mengabaikan. Setelah menarik napas dalam, ia menjawab tanpa mengubah posisi. “Terserah lu aja kalau gitu. Gue ikut aja ke mana pun lu mau pergi.” Suaranya datar, tanpa emosi, seperti menyuruh Birru menyelesaikan masalahnya sendiri. “Terserah?” ujar Birru, suaranya terdengar datar. “Mau gue bawa ke kuburan sekalian?” Entah kenapa, kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutnya. Tanpa berpikir. Flora, yang awalnya membelakanginya, tiba-tiba berbalik. Tatapan matanya tajam menembus Birru, seolah mencari makna di balik ucapannya. Birru, yang masih duduk bersandar dengan santai, segera menyadari gerakan itu. Pandangannya beralih pada Flora, mencoba membaca pikiran gadis itu, menebak-nebak apa yang akan dia katakan selanjutnya. “Lu mau ngajak gue mati? Atau lu mau gue mati?” Suara Flora dingin, nyaris tanpa emosi, tapi justru itulah yang membuat kalimatnya terasa menusuk. Tatapan seriusnya membuat Birru terdiam. Wajahnya yang tadi terlihat cuek langsung berubah suram. Kata-kata itu menghantam kesadarannya—apa yang barusan dia ucapkan begitu salah. Namun, alih-alih menjawab, Birru hanya terdiam. Kata-kata seolah terjebak di tenggorokannya, tidak mampu melawan keheningan yang mendadak terasa berat. Melihat itu, Flora menghela napas pelan. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia kembali memunggungi Birru, meninggalkannya dengan rasa bersalah yang membebaninya dalam keheningan malam itu. “Gue udah booking kamar di resort, dua malam,” ucap Birru akhirnya, suaranya terdengar tenang, tapi ada sedikit nada ragu. “Senin kan tanggal merah.” Ia menoleh, berharap setidaknya ada reaksi kecil dari Flora. Tapi gadis itu tetap diam, tidak bergeming sedikit pun. Wajahnya tetap menghadap ke sisi lain, matanya terpejam seperti mencoba melarikan diri dari percakapan. “Rekomendasi dari Mbak Violet,” tambah Birru, mencoba membuat pernyataannya terdengar lebih ringan. Ia berharap menyebut nama itu akan memancing sedikit ketertarikan, seolah rencana ini bukan sepenuhnya ide dia. Namun Flora masih sama. Diam. Dingin. Tubuhnya tak bergerak, posisinya tetap membelakangi Birru seolah kehadiran pria itu tak berarti apa-apa. Birru mengembuskan napas panjang, memalingkan pandangannya ke arah langit-langit. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakan lagi. Pikirannya berkecamuk, tapi tak ada satu pun yang berhasil ia jadikan kata-kata. Mungkin Flora memang sengaja bersikap seperti ini. Atau, mungkin ia benar-benar sudah tidak peduli. ***"Ingat, Birru! Tujuan lu ngajak Flora itu buat bikin dia senang, bukan malah bikin dia tambah stres!" suara Violet terdengar tegas, matanya menatap serius ke arah adiknya. Birru hanya diam, memilih untuk menyelesaikan sarapannya tanpa banyak bicara. Sementara itu, dari kejauhan, ia bisa melihat Flora dan Bundanya sudah menunggu di depan rumah, tampak bersiap-siap. "Lu dengar gue ngomong nggak sih!?" suara Violet meninggi, merasa diabaikan. Ia pun reflek meraih pergelangan tangan Birru, memegangnya erat. "Dengar, Mbak!" sahut Birru akhirnya, dengan nada menahan kesal. "Flora nggak tau apa-apa, Birru! Semua ini murni keinginan Bunda. Jadi, jangan pernah salahin Flora atas keputusan yang lu buat sendiri!" tegas Violet sambil melepaskan genggamannya. Mendengar itu, Birru menoleh tajam ke arah kakaknya, seolah tak terima. Matanya menyiratkan perasaan terpojok, namun mulutnya tetap melontarkan balasan sinis. "Sejak kapan gue punya pilihan, Mbak?" tanya
Flora sama sekali tidak berminat kembali ke gazebo untuk menikmati jagung bakar yang tadi ia tinggalkan. Birru, yang menyadari perubahan suasana hati Flora, memilih diam. Tanpa banyak kata, ia masuk ke mobil dan melanjutkan perjalanan mereka menuju resort. Setibanya di penginapan, Flora langsung meminta kamar dengan dua tempat tidur. Sebenarnya, semangat liburannya sudah meredup. Bukannya menikmati waktu luang, perjalanan ini justru terasa menambah beban pikirannya. Dengan wajah yang masih menyiratkan kekesalan, ia berjalan masuk ke kamar sambil menyeret koper kecilnya. Setelah menaruh barang-barangnya, langkahnya terhenti di balkon. Di depannya terbentang pemandangan pantai yang memukau—pasir putih bersih berpadu dengan ombak tenang yang mengalun lembut di kejauhan. Sejenak, perasaan kesalnya memudar. Hatinya bergejolak, rindu akan kebebasan. Keinginan untuk berlari di atas pasir, berteriak sepuasnya, lalu membiarkan dirinya larut dalam pelukan air laut yang asin
Mereka kembali terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Mata mereka menyiratkan keinginan yang sama—untuk mengungkapkan sesuatu yang selama ini terpendam dalam hati. "Kamu nanti datang ke acara Mama?" tanya Riki akhirnya, memecah keheningan. Flora terkejut dengan pertanyaan itu. "Boleh?" tanyanya ragu. Ia sadar bahwa dua hari terakhir ini Riki tampak menjauhinya. Flora tidak ingin kehadirannya justru membuat Riki semakin tidak nyaman. "Kenapa harus tanya aku?" balas Riki dengan nada yang sulit ditebak. "Aku cuma khawatir kamu nggak nyaman kalau aku ada di sana," ujar Flora pelan, menundukkan kepala. Ada nada sedih dalam suaranya. Ia tidak bisa mengabaikan bagaimana Riki perlahan menjauh darinya. Riki terdiam, kebingungan. Masalahnya bukan pada Flora atau kehadirannya. Yang membuatnya gelisah adalah ucapan Birru yang masih terus mengusik pikirannya. "Aku..." Riki menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatur hatinya yang gundah. Ia tahu, ia ti
Malam itu, dengan senyum yang tak henti-hentinya merekah di wajahnya, Flora membongkar isi koper, mencari pakaian terbaik yang dimilikinya. Kebahagiaan terpancar jelas dari sorot matanya—seolah hidupnya kembali berwarna setelah Riki menerima dirinya apa adanya. Keputusan mereka untuk menjalin hubungan, meskipun harus backstreet, membuat hatinya berdebar penuh semangat. Keluarganya dan keluarga Birru tentulah yang utama yang tidak beh tau tentang hubungannya dengan Riki. 'Kalau Birru bisa, kenapa gue nggak?' pikirnya. Flora yakin, ia berhak bahagia. Ia berhak menikmati hidupnya. Flora memilih gaun terbaiknya malam itu. Wajahnya ia poles dengan riasan yang mempertegas kecantikannya, hingga bayangan dirinya di cermin seolah menampilkan sosok yang berbeda—lebih dewasa, lebih anggun, dan yang paling penting, lebih percaya diri. Bahkan Birru yang tengah duduk santai dengan buku di tangannya, mendadak terpaku. Napasnya terasa tersangkut di tenggorokan saat melihat Flora y
Flora tersentak saat merasakan ponselnya bergetar di dalam tas. Nada dering yang terdengar samar di tengah riuh pesta menarik perhatiannya. Ia segera berpamitan kepada kedua orang tua Riki sebelum melangkah menjauh untuk menerima panggilan itu. Dari kejauhan, Riki hanya diam, matanya mengikuti setiap gerak Flora dengan ekspresi sulit diartikan. Begitu menemukan tempat yang lebih tenang, Flora mengeluarkan ponselnya dan mendengus pelan saat melihat Birru nama di layar. Seketika, kekhawatiran menyeruak dalam benaknya. Apakah ini ada hubungannya dengan mertuanya? Tanpa pikir panjang, ia menekan tombol hijau dan menempelkan ponsel ke telinga. Namun, belum sempat ia menyapa, suara lain menyelusup di antara percakapan. Suara seorang wanita. Flora terdiam. Alisnya berkerut saat mencoba menangkap jelas percakapan itu, tetapi suara di seberang terdengar samar, seolah Birru tidak sedang berbicara padanya, melainkan pada seseorang di sisinya. Secepat kilat, dadanya terasa sesak oleh em
Gerak-gerik Flora yang aneh sejak tadi mulai masuk akal bagi Renata. Rasa kesal menguar di dadanya, membuatnya menegakkan punggung, bersiap memberi sepupunya itu pelajaran. Dengan langkah tegap, ia melangkah menuju Birru dan kekasihnya—entah siapa yang sangat asing di matanya. Namun, baru saja ia hendak melangkah menghampiri mereka, sebuah tangan kuat mencengkeram pergelangan tangannya. Renata tersentak. Ia menoleh dengan alis berkerut. "Lu mau ngapain?" suara itu terdengar hati-hati, tetapi tajam. Tatapan mata laki-laki itu serius, seakan menguliti niatnya hingga ke dasar. "Riki??" Renata semakin terkejut. Laki-laki yang baru saja ia gosipkan bersama Flora kini berdiri di hadapannya. Mereka memang saling mengenal—Mama mereka adalah teman arisan. Tapi, hubungan mereka tidak bisa dibilang akrab. Bahkan, kalau dipikir-pikir lagi, mereka nyaris tidak pernah berbicara satu sama lain. "Lu mau samperin Pak Birru?" tanya Riki lagi, suaranya tetap datar, tapi a
Flora membuka pintu dengan hati-hati, namun sebelum ia sempat mengeluarkan sepatah kata pun, Renata sudah berdiri dengan tangan berkacak pinggang, wajahnya menyiratkan kemarahan yang sulit dibendung. “Itu laki lu!” serunya, jari telunjuknya tajam mengarah pada Birru yang terhuyung di ambang pintu. Tubuh pria itu bersandar lemah di dinding, wajahnya kusut, matanya sayu, dan pakaiannya berantakan. Bau alkohol samar tercium dari tubuhnya. Flora terhenyak. Birru bukan tipe pria yang pulang dalam keadaan seperti ini. “Kalau tadi gue nggak ngikutin dia, sekarang dia udah dibawa gundik!” lanjut Renata dengan nada marah, matanya berkilat penuh amarah. Flora mengerutkan kening. “Gundik?” Flora mengulang dengan suara hampir berbisik, sulit mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Renata menghela napas kasar, lalu kembali menatap Birru dengan sorot mata penuh kekecewaan. “Iya, Flo. Mas Birru udah keterlaluan sama lu. Dan tadi gue lihat sendiri dia dicekokin! Ta
Keesokan paginya, Flora kembali ke kamar awalnya menginap bersama Birru. Ia datang sedikit siang setelah sarapan berdua dengan Riki. Saat membuka pintu, pandangannya langsung tertuju pada Birru yang tengah duduk santai dengan sebuah buku di tangannya. Tak seperti semalam saat mabuk, kini pria itu kembali tampil rapi, bersih, dan penuh wibawa—persis seperti sosok Birru yang biasa ia kenal. Flora menghela napas, memilih mengabaikan tatapan tajam yang Birru layangkan padanya. Tanpa berkata apa-apa, ia melangkah menuju koper dan mulai mengemasi barang-barangnya. "Dari mana lu?" suara Birru terdengar dingin dan tajam. "Jam segini baru balik?" Flora terdiam sejenak. Nada suara dan pertanyaan itu seolah menunjukkan bahwa Birru lupa akan apa yang terjadi semalam. Ia tidak menjawab, hanya melanjutkan mengemasi barangnya seakan pria itu tak ada di sana. Namun, ia bisa merasakan tatapan Birru yang terus menelusuri gerak-geriknya. Tak lama, langkah ka
Hari-hari berikutnya, Birru mulai mencari rumah yang sesuai dengan keinginan mereka. Ia meminta bantuan Dion dan beberapa rekannya untuk mencari lokasi yang nyaman, tidak terlalu jauh dari kantor, tetapi tetap tenang dan ideal untuk keluarga kecil. Sementara itu, Flora juga mulai mempersiapkan diri untuk perubahan besar ini. Ia mulai menyortir barang-barangnya, membayangkan seperti apa kehidupan mereka nanti setelah pindah. Namun, di lubuk hatinya, ada sedikit kekhawatiran—bagaimana reaksi Lia ketika mereka benar-benar pindah? Suatu malam, setelah makan malam bersama keluarga, Birru memutuskan untuk berbicara dengan ibunya. "Bun, aku dan Flora ada rencana untuk pindah ke rumah sendiri," kata Birru dengan hati-hati. Lia, yang sedang merapikan piring, terdiam sejenak sebelum menoleh ke putranya. "Kenapa tiba-tiba ingin pindah?" "Bukan tiba-tiba, Bun," Birru tersenyum kecil. "Aku pikir sudah saatnya aku dan Flora mandiri, membangun rumah tangga kami sendiri. Tapi bukan berarti aku m
Pagi ini, Birru sengaja tidak pergi ke kantor. Ia menyerahkan masalah perusahaan akibat ulah Fani kepada Juna dan Dion. Setelah mengabarkan Dion melalui telepon, Birru meletakkan kembali ponselnya di atas nakas, lalu berbalik dan merengkuh istrinya dalam pelukan.Ia ingin menghabiskan waktu seharian bersama Flora, tanpa gangguan pekerjaan atau hal lain yang membebani pikirannya.Flora menggeliat kecil ketika tangan Birru dengan lembut menyusuri setiap inci tubuhnya di balik piyama tipis yang ia kenakan. Napasnya masih teratur, matanya masih terpejam, tetapi ia sadar sepenuhnya akan sentuhan suaminya."Mas..." gumamnya pelan, suaranya serak karena baru bangun tidur."Hm?" Birru menempelkan bibirnya di puncak kepala istrinya, menghirup aroma khas tubuh Flora yang selalu membuatnya tenang."Kenapa nggak ke kantor?" tanya Flora dengan mata yang masih setengah tertutup."Aku mau sama kamu seharian," jawab Birru tanpa ragu.Flora membuka matanya, menatap suaminya yang kini tersenyum tipis.
Hingga malam tiba, Birru masih belum memberi kabar. Flora yang awalnya berusaha menunggu di kamar akhirnya tertidur, meski tidurnya terasa gelisah dan tidak tenang. Sesekali ia tersentak bangun, lalu kembali mencoba memejamkan mata, tetapi pikirannya terus dihantui kecemasan. Ketika akhirnya ia terbangun lagi, matanya langsung melirik jam di atas nakas. Sudah lewat tengah malam. Dengan jantung yang berdebar cemas, ia meraih ponselnya dan mencoba menghubungi Birru. Tidak ada jawaban. Panggilan kedua pun tak berbalas. Saat ia akan mencoba untuk ketiga kalinya, suara nada sambung terdengar bersamaan dengan bunyi pintu kamar yang terbuka. Flora menoleh cepat, ponsel masih menempel di telinganya. Ketika pandangannya bertemu dengan suaminya, mereka sama-sama terkejut. "Kamu belum tidur, Flo?" suara Birru terdengar serak. Flora mengernyit, lalu berdiri, mendekat untuk melihat lebih jelas. Penampilan Birru jauh berbeda dari saat ia berangkat pagi tadi—kemejanya kusut, dasinya sudah dilep
Di dalam air hangat yang penuh dengan busa sabun wangi, tangan Birru dengan lembut menjelajahi setiap inci tubuh istrinya, memanjakannya dengan sentuhan yang penuh kasih. Flora bersandar di dadanya, merasakan kehangatan yang menyelimuti mereka berdua. Birru menciumi bahu dan leher Flora, membisikkan kata-kata manis yang membuat tubuh istrinya semakin melebur dalam keintiman. Napas mereka berbaur dengan uap air, menciptakan kehangatan yang lebih dari sekadar suhu di dalam kamar mandi. Tak lama, Birru mengangkat tubuh Flora dari bathtub, membawanya ke bawah guyuran shower. Air hangat mengalir membasahi mereka, menciptakan sensasi yang lebih intens. Di bawah aliran air yang jatuh membasahi tubuh mereka, Birru melanjutkan cumbuan penuh gairah, menyatukan mereka dalam keintiman yang lebih dalam. Ketika mereka mencapai puncak bersama, Birru memeluk Flora erat, napasnya masih memburu. Lalu, dengan suara serak dan lembut, ia berbisik di telinga istrinya, "Aku ingin kita punya anak, saya
Hari ini adalah hari terakhir semester awal sebelum liburan. Flora sibuk dengan buku-buku perpustakaan yang harus ia kembalikan. Tiba-tiba, seseorang datang menghampirinya dari belakang. Flora terperanjat dan hampir tersandung kakinya sendiri, untung saja orang itu sigap menangkapnya. Dalam sekejap, ia berada dalam dekapannya—begitu dekat hingga ia bisa merasakan napas hangatnya. "Maaf, aku bikin kamu kaget, Flo," suara itu terdengar pelan sebelum orang itu melepaskan pegangannya dan memastikan Flora sudah berdiri stabil. Flora menelan ludah begitu menyadari siapa yang berdiri di depannya. "Thanks," jawabnya datar, lalu segera mengambil satu langkah mundur untuk menjaga jarak. "Boleh bicara sebentar?" Flora mendongak, menatap mata Riki yang tampak penuh arti. "Soal apa?" tanyanya hati-hati. "Ssttt!" suara teguran dari penjaga perpustakaan membuat Riki buru-buru menutup mulutnya. Ia tersenyum kecil, sementara Flora hanya menghela napas. "Kita ngomong di luar," kata Flora setelah
"Flora!"Renata berlari menghampiri Flora dan Kirana yang baru saja keluar dari perpustakaan."Hai, Na!" sapanya begitu sadar bahwa yang bersama istri sepupunya adalah Kirana. "Oh iya, lu dapat salam dari Boy, teman sekelas gue," tambahnya, sambil mengedipkan sebelah mata.Kirana tersenyum simpul. "No thanks, he’s not being a gentleman," jawabnya santai.Renata tertawa kecil. "Nanti gue bilangin, biar Boy grow up and be a man."Mereka pun tertawa bersama."Udah ah, cukup gibahnya. Lu tadi mau ngomong apa?" tanya Flora kemudian."Oh iya!" Renata menepuk jidatnya pelan. "Riki pindah kuliah, Flo. Ke luar negeri."Langkah Flora sempat terhenti sesaat, tapi ia cepat-cepat mencoba bersikap biasa saja.Semester awal memang sudah berakhir, dan sebulan terakhir Riki benar-benar menjaga jaraknya. Meskipun begitu, terkadang mata mereka masih saling bertemu—di kelas, saat berpapasan di lorong, atau saat salah satu dari mereka maju untuk presentasi.Kirana melirik Flora dengan tatapan penuh arti.
Diruang meeting, Birru duduk di belakang mejanya, menautkan jemarinya dengan tenang di atas permukaan kayu. Matanya tajam menatap wanita di depannya—Fani. Wanita itu masih berdiri, kedua tangannya terlipat di depan dada. Bibirnya tersenyum tipis, tapi matanya menyiratkan ketidakpuasan. "Jadi, kamu sengaja panggil aku ke sini hanya untuk ini?" Fani bertanya, nada suaranya terdengar santai, tapi ada nada menantang di baliknya. Birru tidak langsung menjawab. Ia membiarkan keheningan menggantung di antara mereka, membiarkan ketegangan mengisi ruangan sebelum akhirnya ia berbicara. "Kamu pikir aku nggak tahu?" suaranya dalam dan berbahaya. Fani mengangkat alis, berpura-pura bingung. "Tahu apa?" Birru menyandarkan punggungnya ke kursi, lalu mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja. "Tentang apa yang terjadi pada Flora di kampus." Sekilas, Birru melihat raut wajah Fani berubah—sangat halus, nyaris tak kentara. Tapi ia menangkapnya. "Kamu menuduh aku?" Fani terkekeh pelan, berusaha
Begitu mobil Birru berhenti di depan rumah, Flora menarik napas dalam. Ia tahu semua orang di rumah pasti akan terkejut melihat keadaannya. Wajahnya masih menunjukkan bekas tamparan, dan tubuhnya masih terasa lelah akibat kejadian tadi. Birru keluar lebih dulu, lalu segera membukakan pintu untuk Flora. Saat ia turun, pintu rumah terbuka, dan suara langkah cepat terdengar mendekat. “Flora!” suara Violet adalah yang pertama terdengar. Ia bergegas menghampiri, diikuti oleh Juna dan Lia. Ekspresi mereka semua dipenuhi kekhawatiran. “Astaga, apa yang terjadi?!” Violet langsung menggenggam tangan Flora, matanya membesar saat melihat luka di sudut bibir adik iparnya. “Kamu kenapa? Siapa yang melakukan ini?” Lia pun menatapnya dengan cemas. “Flora, sayang, siapa yang menyakitimu, nduk?” Flora tersenyum kecil, meski jelas lelah. “Aku baik-baik saja, Bun…” “Baik-baik saja apanya?!” Juna menyela dengan ekspresi marah. “Lihat ini, wajah kamu jelas habis kena pukul!” Birru meletakkan tangan
Saat dalam perjalanan mengantar Flora ke kampus, pikirannya melayang pada seseorang. "Mas, sejak kapan Dion jadi sekretaris kamu?" tanyanya tiba-tiba. Birru menoleh sekilas sebelum kembali fokus ke jalan, tampak mengingat-ingat sejenak. "Sejak waktu itu, pas kamu ke kantor." Flora mengangguk-angguk pelan sambil mengalihkan pandangannya ke luar jendela. "Itu kamu ngerti, Mas," gumamnya nyaris tak terdengar. "Maksudnya gimana, Sayang?" tanya Birru, sedikit mengernyit. Flora menggeleng cepat. "Nggak apa-apa. Terus, Jeni ke mana?" "Dia dipindah ke divisi lain, yang nggak ada hubungannya sama aku," jawab Birru santai. Flora menghela napas pelan. "Dia pasti berpikir kalau itu karena aku, ya?" Birru meliriknya sekilas. "Memang kenapa? Kamu yang punya perusahaan, kamu berhak." Flora terdiam sejenak sebelum akhirnya bertanya ragu, "Bisa begitu juga ke Fani?" Wajah Birru seketika berubah lebih serius. Napasnya terdengar berat sebelum ia berkata, "Kalau aku bisa dari awal, pasti sudah