Di dalam mobil, Flora langsung membuka buku pemberian Ranu. Ia begitu antusias ingin tahu apakah isi buku itu benar-benar bisa membantu memahami dan menyembuhkan apa yang selama ini ia rasakan. Jari-jarinya membolak-balik halaman dengan semangat, seolah ia telah menemukan pelarian kecil dari kekacauan hidupnya.
Birru, yang duduk di kursi kemudi, sesekali melirik Flora melalui sudut matanya. Tatapan sinis terpancar jelas dari wajahnya. Diam-diam, ia merasa terganggu dengan cara Flora memegang buku itu, seolah buku itu lebih penting dari apa pun. “Lu harus jaga diri, Flo. Gue nggak suka lu sok akrab sama orang lain,” ucap Birru tiba-tiba, suaranya dingin dan penuh tekanan, meski matanya tetap fokus pada jalan di depannya. Flora mengangkat kepalanya, menatap Birru dengan ekspresi campuran antara bingung dan marah. “Gue nggak sok akrab sama Mas Ranu,” jawabnya ketus. “Lagian, dia sepupu lu. Kalau dia sepupu lu, berarti dia juga keluarga gue sekarang.” Nada suaranya tegas, tapi hatinya mulai terasa panas. Dengan kesal, Flora menutup bukunya, kehilangan semangat membaca. Sikap Birru berhasil merusak mood-nya. “Dia tetap orang lain dalam hubungan kita,” Birru membalas, nada dinginnya tidak berkurang. Ada tekanan dalam suaranya yang terasa menyesakkan. “Hubungan?” Flora mengulang kata itu dengan nada mengejek sambil mengangkat kedua tangannya, seolah mengutip sesuatu yang absurd. “Maksud lu status suami istri itu?” Birru tidak menjawab. Matanya tetap fokus ke jalanan, tapi rahangnya mengeras. Ia tidak ingin mengakui apa yang ia rasakan—rasa tidak sukanya melihat kedekatan Flora dengan Ranu. “Lu istri gue, Flo. Bisa nggak lu nurut aja?” suara Birru meninggi, nada tuntutannya semakin jelas. Flora terkekeh sinis, tapi bukan karena senang. Dadanya terasa semakin sesak. “Istri?” ucapnya dengan nada tajam. “Lu bahkan nggak pernah memperlakukan gue seperti istri! Yang lu lakukan cuma ngatur-ngatur hidup gue! Lu sadar nggak sih?” Kata-kata itu keluar seperti ledakan yang tak lagi bisa ditahan. Flora merasa sesak, marah, dan lelah sekaligus. Birru melirik Flora sekilas, tapi tak satu pun kata keluar dari mulutnya. Ia tidak tahu harus berkata apa. Kata-kata Flora menusuk dalam, karena itulah kenyataannya. Di balik wajah dinginnya, ia tahu ada sesuatu yang salah, tapi egonya terlalu besar untuk mengakuinya. Keheningan menyelimuti mobil. Hanya suara deru mesin dan roda yang berputar mengiringi ketegangan di antara mereka. Flora kembali mengalihkan pandangannya ke jendela, mencoba menenangkan diri, sementara Birru terus mengemudi tanpa satu kata pun, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Flora menarik napas dalam, mencoba menguasai emosinya. Ia harus tetap terlihat tenang, bahkan bahagia, setidaknya di depan Lia. Wanita itu tak perlu tahu betapa sesungguhnya Flora merasa terjebak dalam keadaan yang ironis. Menjadi istri dari Albirru Aryodipto, sesuatu yang tampak membahagiakan di mata semua orang, terutama Lia, namun justru menyiksa batinnya. Birru, yang duduk di samping Flora sepanjang perjalanan pulang, tahu betul kebiasaan istrinya ini. Tapi, seperti biasa, ia memilih untuk diam dan pura-pura tidak peduli. "Udah makan, sayang?" tanya Lia dengan senyum hangat saat melihat Flora memasuki rumah. "Udah, Bun," jawab Flora sambil tersenyum, meski itu hanya kebohongan kecil. Ia melirik Birru, berharap pria itu tak mengomentarinya. Namun Birru justru tersenyum tipis, memasang ekspresi lembut yang hanya Flora yang tahu itu palsu. "Tapi aku masih lapar. Ayo kita makan lagi," katanya santai sambil merangkul bahu Flora dengan gerakan yang tampak mesra di mata Lia, tapi terasa penuh kepura-puraan bagi Flora. Mereka pun menuju ruang makan. Lia hanya tersenyum melihat keduanya, seolah yakin pernikahan mereka berjalan sempurna. Saat makan, Birru selesai lebih dulu. Ia bangkit dengan tenang, lalu berjalan menuju ruang tamu setelah salah satu ART memberi tahu bahwa ada tamu menunggunya. Flora tetap di meja makan, berusaha menyelesaikan makanannya dengan perlahan, meski rasa makanannya sedari tadi tak ia nikmati. Namun, saat hendak kembali ke kamarnya, langkahnya terhenti. Di ruang tamu, ia melihat Birru duduk bersama seorang wanita. Wanita itu menggenggam tangan Birru dengan erat, wajahnya basah oleh air mata. Flora hanya berdiri di kejauhan, membeku sejenak. Matanya menatap pemandangan itu dengan rasa yang ia tidak bisa artikan, yang jelas ia tidak menyukainya. Birru, yang menyadari kehadiran Flora, sempat melirik ke arahnya. Namun dengan cepat, ia mengalihkan pandangannya, berpura-pura bahwa Flora tidak ada di sana. Flora menarik napas dalam, memilih untuk tidak mengatakan apa pun. Ia melangkah perlahan, mencoba menghilang dari situasi yang membuat dadanya terasa semakin sesak karena statusnya sebagai istri terasa semakin tidak dihargai. Wanita itu pun tampaknya tidak menyadari kehadiran Flora, atau mungkin memang tidak peduli. Mungkin ia tidak tahu siapa Flora sebenarnya, atau lebih buruk, mungkin ia tidak menganggap Flora cukup penting untuk diperhatikan. Di balik senyumnya yang selalu ia tampilkan, Flora tahu, hatinya semakin retak. Namun, ia tetap melangkah, karena seperti biasa, kepura-puraan ini adalah satu-satunya hal yang membuatnya terlihat 'baik-baik saja.' Hujan di luar semakin deras, tetesannya menggema lembut di kaca jendela, menciptakan suasana dingin yang merayap hingga ke sudut kamar. Di dalam, Flora merasa keheningan itu menambah beban di dadanya. Ia berjalan menuju kamar mandi, mengisi bathtub dengan air panas hingga uap tipis memenuhi ruangan. Aroma sabun mawar yang dituangkannya—lebih dari setengah botol—menguar, menciptakan busa melimpah yang menutupi permukaan air. Flora berharap ritual kecil ini bisa meredakan kepenatan tubuh dan pikirannya. Saat menatap busa yang mengembang, pikirannya melayang. 'Dia pasti lagi sama pacarnya sekarang,' pikirnya dengan getir. Bayangan wanita di ruang tamu tadi melintas lagi di benaknya. Flora yakin, wanita itu adalah seseorang yang terpaksa Birru tinggalkan karena pernikahan mereka—seseorang yang mungkin masih menguasai hatinya. Dengan napas berat, Flora akhirnya masuk ke dalam bathtub. Hangatnya air menyentuh kulitnya, perlahan-lahan membawa rasa nyaman. Ia memejamkan mata, membiarkan tubuhnya tenggelam sedikit lebih dalam di antara busa. Sejenak, ia mencoba melupakan segalanya. Hingga tanpa disadari, tubuhnya yang lelah dan pikirannya yang kalut menyerah pada rasa kantuk. Flora tertidur, membiarkan suara hujan di luar menjadi pengiring mimpinya. Namun, beberapa saat kemudian, suara langkah kaki menghentikan keheningan di kamar mandi. Birru berdiri di depan pintu yang setengah terbuka, bersandar dengan ekspresi datar. “Mau berapa lama lu di dalam sana?” tanyanya dengan nada malas, matanya menatap Flora yang tampak diam di dalam bathtub. Tidak ada jawaban. Birru mengernyitkan alis, merasa aneh dengan keheningan itu. Ia melangkah masuk, mendekat ke arah bathtub. “Flo,” panggilnya lagi, kali ini lebih serius. Namun tidak ada respons. * "Flo, jangan terlalu ke pinggir," suara tegas Desi, sang Mama, kembali terdengar. Perhatian Desi tertuju pada putrinya yang berdiri di tepi danau, memandangi sesuatu dengan penuh rasa ingin tahu. "Cuma mau lihat bunga teratai, Ma," jawab Flora kecil tanpa menoleh. Matanya terpaku pada bunga teratai yang mengapung indah di permukaan air, membuatnya semakin penasaran. Ia ingin menyentuh kelopaknya, merasakan teksturnya. Flora mulai mencari-cari sesuatu di sekitar yang bisa ia gunakan untuk menarik bunga itu ke tepi. Tiba-tiba ia menemukan sebatang ranting cukup panjang. Dengan semangat, Flora berlari untuk mengambilnya. "Flo, mau ke mana?" tanya Desi, curiga dengan gerak-gerik putrinya yang terlihat terlalu sibuk. Namun Flora hanya diam, pura-pura tidak mendengar. Desi, yang mulai kehilangan fokus pada Flora, kembali duduk di atas tikar piknik. "Mending kamu di sini dulu aja, sayang. Mas Birru dan Mbak Violet sebentar lagi sampai, lho," katanya, mencoba mengalihkan perhatian Flora. "Iya, Ma," jawab Flora singkat. Tapi bukannya mendekat, ia malah kembali ke tepi danau. Ranting di tangannya digerakkan perlahan, mencoba menggapai bunga teratai yang terapung semakin dekat. Sementara itu, Desi yang melihat Lia dan keluarganya datang langsung bangkit untuk menyambut mereka. Kesempatan ini Flora manfaatkan untuk melanjutkan usahanya. Ia berdiri di pinggir danau, hati-hati namun tak sabar, mendorong ranting itu dengan gerakan kecil tapi penuh semangat. Dari kejauhan, Birru yang baru tiba langsung menyadari sesuatu. Ia tidak melihat Flora di antara mereka. Matanya menajam, hingga akhirnya ia melihat gadis kecil itu berdiri di ujung danau, terlalu dekat dengan tepi air. Awalnya, senyum simpul terukir di wajah Birru. Namun, hanya sekejap, senyumnya lenyap, tergantikan oleh kepanikan ketika langkah kecil Flora tergelincir. "Flo!" Teriakan Birru memecah suasana piknik yang tenang. Ia berlari secepat mungkin menuju tepi danau. Flora sudah terjatuh, air menciprat ke segala arah. Teriakan itu menarik perhatian semua orang. Desi dan Lia terkejut, menoleh ke arah danau dengan ekspresi penuh kecemasan. Tanpa ragu, Birru melepaskan sepatunya dan melompat ke dalam air. Ia berenang dengan sigap menuju Flora yang tampak panik, tubuh kecilnya berusaha menggapai-gapai ke permukaan. Air danau terasa dingin, tapi itu bukan hal yang dipikirkan Birru. Yang ada di benaknya hanyalah menyelamatkan Flora. Dengan cepat, ia meraih tangan gadis kecil itu dan membawanya ke permukaan. "Mas Birru!" lirih Flora saat akhirnya ia bisa bernapas lagi. Suaranya lemah, tapi penuh rasa lega. Birru memeluk Flora erat, memastikan ia aman di pelukannya. "Aku di sini, Flo. Kamu aman sekarang," ucap Birru pelan, tapi penuh ketegasan, sebelum membawanya ke tepi danau di mana Desi dan Lia sudah menunggu dengan wajah penuh kekhawatiran. Flora yang basah kuyup hanya bisa memandang Birru dengan mata berkaca-kaca. Di balik ketakutannya, ada rasa hangat yang perlahan menyusup ke dalam hatinya—perasaan aman karena Birru sudah berada disampingnya. * Birru berjongkok di tepi bathtub, ia mulai merasa ada yang tidak beres. Birru menatap Flora yang terbaring di sana dengan mata terpejam. Ada kekhawatiran yang tak bisa ia abaikan. Perlahan, ia menyentuh bahu Flora dengan lembut namun cukup tegas. "Flo," panggilnya, suaranya rendah namun penuh tekanan. Tidak ada respons. Birru mengerutkan dahi, kini mengguncang bahunya sedikit lebih keras. "Flora!" Tiba-tiba, Flora tersentak bangun, matanya terbuka lebar, napasnya terkejut. Namun gerakannya yang mendadak membuat tubuhnya kehilangan keseimbangan. Dalam hitungan detik, ia tergelincir, tubuhnya terendam hingga kepalanya masuk ke dalam air. "Flora!" Birru langsung bereaksi, tanpa berpikir dua kali ia masuk ke dalam bathtub. Tangannya dengan sigap meraih Flora yang panik, menarik tubuhnya ke permukaan. Flora terbatuk-batuk, menghirup udara dengan napas terengah-engah. Matanya membulat penuh kepanikan, air menetes dari wajah dan rambutnya. "Mas Birru!" panggilnya dengan suara bergetar, cemas bercampur lega saat ia sadar Birru memegangnya erat. "Gue di sini, Flo. Lu aman sekarang." ujar Birru, matanya menatap Flora tajam tapi penuh ketenangan. Tangannya masih memegang bahu Flora dengan kokoh, memastikan gadis itu tidak tergelincir lagi. Namun panggilan yang sudah lama tidak ia dengar dari mulut Flora itu, kini mengusik hatinya. Flora mengatur napasnya, dadanya naik turun dengan cepat. Hening menyelimuti ruangan, hanya terdengar bunyi tetesan air yang jatuh dari tubuh mereka ke permukaan bathtub. Ingatan itu datang tanpa permisi. Sosok kecil dirinya di tepi danau, terjatuh dalam air yang dingin. Suara Birru yang memanggil namanya dengan panik, langkahnya yang tergesa-gesa, dan tangan yang menyelamatkannya dari tenggelam. Ia masih ingat betul bagaimana Birru menatapnya saat itu, sorot mata yang penuh dengan kelegaan dan teguran lembut. Ucapan Birru tadi—kalimat yang sama, dengan nada dan kehangatan serupa—mengusik hatinya. 'Mas Birru!' lirih Flora saat akhirnya ia bisa bernapas lagi. Suaranya lemah, tapi penuh rasa lega. Birru memeluk Flora erat, memastikan ia aman di pelukannya. 'Aku di sini, Flo. Kamu aman sekarang,' ucap Birru pelan, tapi penuh ketegasan. Flora tersadar dari lamunannya, matanya tertuju pada Birru yang masih berada di sampingnya. Jarak mereka terlalu dekat, bahkan tangan Birru masih memegang bahu telanjangnya. Sentuhan itu seolah menyadarkannya akan sesuatu—bukan hanya tentang situasi sekarang, tetapi tentang rasa rindu pada sosok Birru yang dulu. Namun, kesadarannya yang tiba-tiba itu juga disusul oleh kepanikan. Flora menjerit kecil, refleks menutup dadanya dengan menyilangkan kedua tangan. Wajahnya memerah, campuran antara malu dan bingung. Melihat Flora kembali sadar sepenuhnya, Birru hanya menghela napas santai. Ia berdiri, keluar dari bathtub tanpa tergesa-gesa, seolah situasi itu bukan hal yang besar baginya. Tidak ada tanda canggung atau risih di wajahnya, hanya ketenangan khas Birru. "Buruan! Gue juga mau bersih-bersih," ucapnya singkat, nadanya datar, seperti biasa. Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah keluar dari kamar mandi, meninggalkan Flora yang masih duduk di bathtub dengan perasaan yang campur aduk. Flora memandangi pintu yang tertutup, napasnya perlahan stabil, tetapi jantungnya tetap berdebar. Di balik sikap Birru yang terkesan dingin dan acuh, ada sesuatu yang ia rasakan. Bukan hanya tentang kehadirannya, tetapi juga bayangan akan sosok Birru yang dulu—sosok yang perlahan mulai ia rindukan tanpa ia sadari. "Mas Birru..." lirihnya. ***Selesai makan malam, Flora tidak langsung kembali ke kamarnya. Ia memilih duduk di taman, menikmati dinginnya malam yang terasa semakin menusuk setelah hujan deras mengguyur sore tadi. Di bawah langit gelap yang dihiasi bintang-bintang samar, pikirannya melayang pada mimpi-mimpi yang belakangan ini kerap menghampirinya. Mimpi-mimpi itu terasa begitu nyata, seperti pintu yang membuka kenangan masa lalunya. Dan yang paling mengganggunya, di setiap mimpi itu selalu ada Birru—sosok yang kini menjadi bagian dari hidupnya dengan cara yang tak pernah ia bayangkan. Flora menarik napas panjang. Ia bertanya-tanya, apakah dirinya mulai merindukan Birru yang dulu? Birru yang lembut, penuh perhatian, dan selalu menjaga dirinya layaknya seorang kakak? Ia tahu pasti perasaannya pada Birru tak pernah lebih dari sekadar kasih sayang seorang adik kepada kakaknya. Bukti nyatanya, ia jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Riki, pria yang ditemuinya di hari pertama masuk sekolah.Namun
"Ingat, Birru! Tujuan lu ngajak Flora itu buat bikin dia senang, bukan malah bikin dia tambah stres!" suara Violet terdengar tegas, matanya menatap serius ke arah adiknya. Birru hanya diam, memilih untuk menyelesaikan sarapannya tanpa banyak bicara. Sementara itu, dari kejauhan, ia bisa melihat Flora dan Bundanya sudah menunggu di depan rumah, tampak bersiap-siap. "Lu dengar gue ngomong nggak sih!?" suara Violet meninggi, merasa diabaikan. Ia pun reflek meraih pergelangan tangan Birru, memegangnya erat. "Dengar, Mbak!" sahut Birru akhirnya, dengan nada menahan kesal. "Flora nggak tau apa-apa, Birru! Semua ini murni keinginan Bunda. Jadi, jangan pernah salahin Flora atas keputusan yang lu buat sendiri!" tegas Violet sambil melepaskan genggamannya. Mendengar itu, Birru menoleh tajam ke arah kakaknya, seolah tak terima. Matanya menyiratkan perasaan terpojok, namun mulutnya tetap melontarkan balasan sinis. "Sejak kapan gue punya pilihan, Mbak?" tanya
Flora sama sekali tidak berminat kembali ke gazebo untuk menikmati jagung bakar yang tadi ia tinggalkan. Birru, yang menyadari perubahan suasana hati Flora, memilih diam. Tanpa banyak kata, ia masuk ke mobil dan melanjutkan perjalanan mereka menuju resort. Setibanya di penginapan, Flora langsung meminta kamar dengan dua tempat tidur. Sebenarnya, semangat liburannya sudah meredup. Bukannya menikmati waktu luang, perjalanan ini justru terasa menambah beban pikirannya. Dengan wajah yang masih menyiratkan kekesalan, ia berjalan masuk ke kamar sambil menyeret koper kecilnya. Setelah menaruh barang-barangnya, langkahnya terhenti di balkon. Di depannya terbentang pemandangan pantai yang memukau—pasir putih bersih berpadu dengan ombak tenang yang mengalun lembut di kejauhan. Sejenak, perasaan kesalnya memudar. Hatinya bergejolak, rindu akan kebebasan. Keinginan untuk berlari di atas pasir, berteriak sepuasnya, lalu membiarkan dirinya larut dalam pelukan air laut yang asin
Mereka kembali terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Mata mereka menyiratkan keinginan yang sama—untuk mengungkapkan sesuatu yang selama ini terpendam dalam hati. "Kamu nanti datang ke acara Mama?" tanya Riki akhirnya, memecah keheningan. Flora terkejut dengan pertanyaan itu. "Boleh?" tanyanya ragu. Ia sadar bahwa dua hari terakhir ini Riki tampak menjauhinya. Flora tidak ingin kehadirannya justru membuat Riki semakin tidak nyaman. "Kenapa harus tanya aku?" balas Riki dengan nada yang sulit ditebak. "Aku cuma khawatir kamu nggak nyaman kalau aku ada di sana," ujar Flora pelan, menundukkan kepala. Ada nada sedih dalam suaranya. Ia tidak bisa mengabaikan bagaimana Riki perlahan menjauh darinya. Riki terdiam, kebingungan. Masalahnya bukan pada Flora atau kehadirannya. Yang membuatnya gelisah adalah ucapan Birru yang masih terus mengusik pikirannya. "Aku..." Riki menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatur hatinya yang gundah. Ia tahu, ia ti
Malam itu, dengan senyum yang tak henti-hentinya merekah di wajahnya, Flora membongkar isi koper, mencari pakaian terbaik yang dimilikinya. Kebahagiaan terpancar jelas dari sorot matanya—seolah hidupnya kembali berwarna setelah Riki menerima dirinya apa adanya. Keputusan mereka untuk menjalin hubungan, meskipun harus backstreet, membuat hatinya berdebar penuh semangat. Keluarganya dan keluarga Birru tentulah yang utama yang tidak beh tau tentang hubungannya dengan Riki. 'Kalau Birru bisa, kenapa gue nggak?' pikirnya. Flora yakin, ia berhak bahagia. Ia berhak menikmati hidupnya. Flora memilih gaun terbaiknya malam itu. Wajahnya ia poles dengan riasan yang mempertegas kecantikannya, hingga bayangan dirinya di cermin seolah menampilkan sosok yang berbeda—lebih dewasa, lebih anggun, dan yang paling penting, lebih percaya diri. Bahkan Birru yang tengah duduk santai dengan buku di tangannya, mendadak terpaku. Napasnya terasa tersangkut di tenggorokan saat melihat Flora y
Flora tersentak saat merasakan ponselnya bergetar di dalam tas. Nada dering yang terdengar samar di tengah riuh pesta menarik perhatiannya. Ia segera berpamitan kepada kedua orang tua Riki sebelum melangkah menjauh untuk menerima panggilan itu. Dari kejauhan, Riki hanya diam, matanya mengikuti setiap gerak Flora dengan ekspresi sulit diartikan. Begitu menemukan tempat yang lebih tenang, Flora mengeluarkan ponselnya dan mendengus pelan saat melihat Birru nama di layar. Seketika, kekhawatiran menyeruak dalam benaknya. Apakah ini ada hubungannya dengan mertuanya? Tanpa pikir panjang, ia menekan tombol hijau dan menempelkan ponsel ke telinga. Namun, belum sempat ia menyapa, suara lain menyelusup di antara percakapan. Suara seorang wanita. Flora terdiam. Alisnya berkerut saat mencoba menangkap jelas percakapan itu, tetapi suara di seberang terdengar samar, seolah Birru tidak sedang berbicara padanya, melainkan pada seseorang di sisinya. Secepat kilat, dadanya terasa sesak oleh em
Gerak-gerik Flora yang aneh sejak tadi mulai masuk akal bagi Renata. Rasa kesal menguar di dadanya, membuatnya menegakkan punggung, bersiap memberi sepupunya itu pelajaran. Dengan langkah tegap, ia melangkah menuju Birru dan kekasihnya—entah siapa yang sangat asing di matanya. Namun, baru saja ia hendak melangkah menghampiri mereka, sebuah tangan kuat mencengkeram pergelangan tangannya. Renata tersentak. Ia menoleh dengan alis berkerut. "Lu mau ngapain?" suara itu terdengar hati-hati, tetapi tajam. Tatapan mata laki-laki itu serius, seakan menguliti niatnya hingga ke dasar. "Riki??" Renata semakin terkejut. Laki-laki yang baru saja ia gosipkan bersama Flora kini berdiri di hadapannya. Mereka memang saling mengenal—Mama mereka adalah teman arisan. Tapi, hubungan mereka tidak bisa dibilang akrab. Bahkan, kalau dipikir-pikir lagi, mereka nyaris tidak pernah berbicara satu sama lain. "Lu mau samperin Pak Birru?" tanya Riki lagi, suaranya tetap datar, tapi a
Flora membuka pintu dengan hati-hati, namun sebelum ia sempat mengeluarkan sepatah kata pun, Renata sudah berdiri dengan tangan berkacak pinggang, wajahnya menyiratkan kemarahan yang sulit dibendung. “Itu laki lu!” serunya, jari telunjuknya tajam mengarah pada Birru yang terhuyung di ambang pintu. Tubuh pria itu bersandar lemah di dinding, wajahnya kusut, matanya sayu, dan pakaiannya berantakan. Bau alkohol samar tercium dari tubuhnya. Flora terhenyak. Birru bukan tipe pria yang pulang dalam keadaan seperti ini. “Kalau tadi gue nggak ngikutin dia, sekarang dia udah dibawa gundik!” lanjut Renata dengan nada marah, matanya berkilat penuh amarah. Flora mengerutkan kening. “Gundik?” Flora mengulang dengan suara hampir berbisik, sulit mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Renata menghela napas kasar, lalu kembali menatap Birru dengan sorot mata penuh kekecewaan. “Iya, Flo. Mas Birru udah keterlaluan sama lu. Dan tadi gue lihat sendiri dia dicekokin! Ta
Keesokan paginya, Flora kembali ke kamar awalnya menginap bersama Birru. Ia datang sedikit siang setelah sarapan berdua dengan Riki. Saat membuka pintu, pandangannya langsung tertuju pada Birru yang tengah duduk santai dengan sebuah buku di tangannya. Tak seperti semalam saat mabuk, kini pria itu kembali tampil rapi, bersih, dan penuh wibawa—persis seperti sosok Birru yang biasa ia kenal. Flora menghela napas, memilih mengabaikan tatapan tajam yang Birru layangkan padanya. Tanpa berkata apa-apa, ia melangkah menuju koper dan mulai mengemasi barang-barangnya. "Dari mana lu?" suara Birru terdengar dingin dan tajam. "Jam segini baru balik?" Flora terdiam sejenak. Nada suara dan pertanyaan itu seolah menunjukkan bahwa Birru lupa akan apa yang terjadi semalam. Ia tidak menjawab, hanya melanjutkan mengemasi barangnya seakan pria itu tak ada di sana. Namun, ia bisa merasakan tatapan Birru yang terus menelusuri gerak-geriknya. Tak lama, langkah ka
Flora membuka pintu dengan hati-hati, namun sebelum ia sempat mengeluarkan sepatah kata pun, Renata sudah berdiri dengan tangan berkacak pinggang, wajahnya menyiratkan kemarahan yang sulit dibendung. “Itu laki lu!” serunya, jari telunjuknya tajam mengarah pada Birru yang terhuyung di ambang pintu. Tubuh pria itu bersandar lemah di dinding, wajahnya kusut, matanya sayu, dan pakaiannya berantakan. Bau alkohol samar tercium dari tubuhnya. Flora terhenyak. Birru bukan tipe pria yang pulang dalam keadaan seperti ini. “Kalau tadi gue nggak ngikutin dia, sekarang dia udah dibawa gundik!” lanjut Renata dengan nada marah, matanya berkilat penuh amarah. Flora mengerutkan kening. “Gundik?” Flora mengulang dengan suara hampir berbisik, sulit mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Renata menghela napas kasar, lalu kembali menatap Birru dengan sorot mata penuh kekecewaan. “Iya, Flo. Mas Birru udah keterlaluan sama lu. Dan tadi gue lihat sendiri dia dicekokin! Ta
Gerak-gerik Flora yang aneh sejak tadi mulai masuk akal bagi Renata. Rasa kesal menguar di dadanya, membuatnya menegakkan punggung, bersiap memberi sepupunya itu pelajaran. Dengan langkah tegap, ia melangkah menuju Birru dan kekasihnya—entah siapa yang sangat asing di matanya. Namun, baru saja ia hendak melangkah menghampiri mereka, sebuah tangan kuat mencengkeram pergelangan tangannya. Renata tersentak. Ia menoleh dengan alis berkerut. "Lu mau ngapain?" suara itu terdengar hati-hati, tetapi tajam. Tatapan mata laki-laki itu serius, seakan menguliti niatnya hingga ke dasar. "Riki??" Renata semakin terkejut. Laki-laki yang baru saja ia gosipkan bersama Flora kini berdiri di hadapannya. Mereka memang saling mengenal—Mama mereka adalah teman arisan. Tapi, hubungan mereka tidak bisa dibilang akrab. Bahkan, kalau dipikir-pikir lagi, mereka nyaris tidak pernah berbicara satu sama lain. "Lu mau samperin Pak Birru?" tanya Riki lagi, suaranya tetap datar, tapi a
Flora tersentak saat merasakan ponselnya bergetar di dalam tas. Nada dering yang terdengar samar di tengah riuh pesta menarik perhatiannya. Ia segera berpamitan kepada kedua orang tua Riki sebelum melangkah menjauh untuk menerima panggilan itu. Dari kejauhan, Riki hanya diam, matanya mengikuti setiap gerak Flora dengan ekspresi sulit diartikan. Begitu menemukan tempat yang lebih tenang, Flora mengeluarkan ponselnya dan mendengus pelan saat melihat Birru nama di layar. Seketika, kekhawatiran menyeruak dalam benaknya. Apakah ini ada hubungannya dengan mertuanya? Tanpa pikir panjang, ia menekan tombol hijau dan menempelkan ponsel ke telinga. Namun, belum sempat ia menyapa, suara lain menyelusup di antara percakapan. Suara seorang wanita. Flora terdiam. Alisnya berkerut saat mencoba menangkap jelas percakapan itu, tetapi suara di seberang terdengar samar, seolah Birru tidak sedang berbicara padanya, melainkan pada seseorang di sisinya. Secepat kilat, dadanya terasa sesak oleh em
Malam itu, dengan senyum yang tak henti-hentinya merekah di wajahnya, Flora membongkar isi koper, mencari pakaian terbaik yang dimilikinya. Kebahagiaan terpancar jelas dari sorot matanya—seolah hidupnya kembali berwarna setelah Riki menerima dirinya apa adanya. Keputusan mereka untuk menjalin hubungan, meskipun harus backstreet, membuat hatinya berdebar penuh semangat. Keluarganya dan keluarga Birru tentulah yang utama yang tidak beh tau tentang hubungannya dengan Riki. 'Kalau Birru bisa, kenapa gue nggak?' pikirnya. Flora yakin, ia berhak bahagia. Ia berhak menikmati hidupnya. Flora memilih gaun terbaiknya malam itu. Wajahnya ia poles dengan riasan yang mempertegas kecantikannya, hingga bayangan dirinya di cermin seolah menampilkan sosok yang berbeda—lebih dewasa, lebih anggun, dan yang paling penting, lebih percaya diri. Bahkan Birru yang tengah duduk santai dengan buku di tangannya, mendadak terpaku. Napasnya terasa tersangkut di tenggorokan saat melihat Flora y
Mereka kembali terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Mata mereka menyiratkan keinginan yang sama—untuk mengungkapkan sesuatu yang selama ini terpendam dalam hati. "Kamu nanti datang ke acara Mama?" tanya Riki akhirnya, memecah keheningan. Flora terkejut dengan pertanyaan itu. "Boleh?" tanyanya ragu. Ia sadar bahwa dua hari terakhir ini Riki tampak menjauhinya. Flora tidak ingin kehadirannya justru membuat Riki semakin tidak nyaman. "Kenapa harus tanya aku?" balas Riki dengan nada yang sulit ditebak. "Aku cuma khawatir kamu nggak nyaman kalau aku ada di sana," ujar Flora pelan, menundukkan kepala. Ada nada sedih dalam suaranya. Ia tidak bisa mengabaikan bagaimana Riki perlahan menjauh darinya. Riki terdiam, kebingungan. Masalahnya bukan pada Flora atau kehadirannya. Yang membuatnya gelisah adalah ucapan Birru yang masih terus mengusik pikirannya. "Aku..." Riki menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatur hatinya yang gundah. Ia tahu, ia ti
Flora sama sekali tidak berminat kembali ke gazebo untuk menikmati jagung bakar yang tadi ia tinggalkan. Birru, yang menyadari perubahan suasana hati Flora, memilih diam. Tanpa banyak kata, ia masuk ke mobil dan melanjutkan perjalanan mereka menuju resort. Setibanya di penginapan, Flora langsung meminta kamar dengan dua tempat tidur. Sebenarnya, semangat liburannya sudah meredup. Bukannya menikmati waktu luang, perjalanan ini justru terasa menambah beban pikirannya. Dengan wajah yang masih menyiratkan kekesalan, ia berjalan masuk ke kamar sambil menyeret koper kecilnya. Setelah menaruh barang-barangnya, langkahnya terhenti di balkon. Di depannya terbentang pemandangan pantai yang memukau—pasir putih bersih berpadu dengan ombak tenang yang mengalun lembut di kejauhan. Sejenak, perasaan kesalnya memudar. Hatinya bergejolak, rindu akan kebebasan. Keinginan untuk berlari di atas pasir, berteriak sepuasnya, lalu membiarkan dirinya larut dalam pelukan air laut yang asin
"Ingat, Birru! Tujuan lu ngajak Flora itu buat bikin dia senang, bukan malah bikin dia tambah stres!" suara Violet terdengar tegas, matanya menatap serius ke arah adiknya. Birru hanya diam, memilih untuk menyelesaikan sarapannya tanpa banyak bicara. Sementara itu, dari kejauhan, ia bisa melihat Flora dan Bundanya sudah menunggu di depan rumah, tampak bersiap-siap. "Lu dengar gue ngomong nggak sih!?" suara Violet meninggi, merasa diabaikan. Ia pun reflek meraih pergelangan tangan Birru, memegangnya erat. "Dengar, Mbak!" sahut Birru akhirnya, dengan nada menahan kesal. "Flora nggak tau apa-apa, Birru! Semua ini murni keinginan Bunda. Jadi, jangan pernah salahin Flora atas keputusan yang lu buat sendiri!" tegas Violet sambil melepaskan genggamannya. Mendengar itu, Birru menoleh tajam ke arah kakaknya, seolah tak terima. Matanya menyiratkan perasaan terpojok, namun mulutnya tetap melontarkan balasan sinis. "Sejak kapan gue punya pilihan, Mbak?" tanya
Selesai makan malam, Flora tidak langsung kembali ke kamarnya. Ia memilih duduk di taman, menikmati dinginnya malam yang terasa semakin menusuk setelah hujan deras mengguyur sore tadi. Di bawah langit gelap yang dihiasi bintang-bintang samar, pikirannya melayang pada mimpi-mimpi yang belakangan ini kerap menghampirinya. Mimpi-mimpi itu terasa begitu nyata, seperti pintu yang membuka kenangan masa lalunya. Dan yang paling mengganggunya, di setiap mimpi itu selalu ada Birru—sosok yang kini menjadi bagian dari hidupnya dengan cara yang tak pernah ia bayangkan. Flora menarik napas panjang. Ia bertanya-tanya, apakah dirinya mulai merindukan Birru yang dulu? Birru yang lembut, penuh perhatian, dan selalu menjaga dirinya layaknya seorang kakak? Ia tahu pasti perasaannya pada Birru tak pernah lebih dari sekadar kasih sayang seorang adik kepada kakaknya. Bukti nyatanya, ia jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Riki, pria yang ditemuinya di hari pertama masuk sekolah.Namun