"Lu pulang sendiri, atau sama Pak Birru?" tanya Adel sebelum benar-benar meninggalkan halaman sekolah.
Flora menoleh kaget, seolah-olah rahasia besar telah terbongkar oleh Adel.
"Santai aja, gue tahu kok kemarin lu nggak pulang dengan taksi online, tapi bareng Pak Birru," ujar Adel, menatap Flora yang tampak semakin murung.
Wajah Flora semakin suram, dan Adel semakin penasaran. "Sebenarnya, lu ada apa sih sama Pak Birru, Flo?" tanya Adel lagi.
"Enggak ada apa-apa," jawab Flora cepat, berusaha menghindar.
"Terus kenapa lu harus selalu pergi dan pulang bareng dia?" Adel masih tak puas.
Flora menarik napas dalam, wajahnya menampilkan kelelahan. "Sebenarnya, orang tua gue nitipin gue sama dia. Dia yang harus ngurusin dan ngawas gue, kayak penjaga tahanan luar," jawab Flora, meski sedikit berbohong. Bukankah itu cara lain untuk menggambarkan tugas seorang suami?
Adel dan Dara terdiam, kaget mendengar penjelasan Flora. "Separah itu? Emang lu ngapain sampai harus dijagain kayak gitu?" tanya Adel, tak percaya.
Flora hanya mengangkat bahu, merasa bingung harus menjelaskan apa.
"Jadi itu alasan kenapa lu kelihatan keki banget sama Pak Birru," celetuk Dara, yang mulai mengerti.
"Eh, pawang lu datang," ucap Adel tiba-tiba, menyadari kehadiran Pak Birru yang sedang berjalan menuju mereka. "Gue cabut, Flo," ujar Adel sambil menepuk bahu temanannya.
"Gue juga pulang deh, sabar ya, Flo.Bye!" Dara melambaikan tangan sambil tersenyum, sementara Flora hanya bisa membalas dengan senyum tipis yang ia paksakan.
"Ayo!" kata Birru, begitu langkahnya sudah dekat dengan Flora. Tanpa berhenti, ia langsung melanjutkan langkah menuju mobil yang terparkir. Dengan kesal, Flora mengikutinya dari belakang.
Sesampainya di dalam mobil, Flora melemparkan tasnya ke jok belakang dengan kasar, ekspresinya jelas menunjukkan kemarahan. Sikapnya yang terbuka itu membuat Birru menoleh sebentar, tapi ia memilih untuk tidak peduli.
"Mampir dulu ke toko buku, ada beberapa buku yang harus gue beli," kata Birru, sekadar memberi informasi sebelum menyalakan mesin mobil.
"Gue nggak mau! Gue mau pulang dan istirahat!" Flora menolak tegas, tanpa melirik sedikit pun ke arah Birru.
Birru menoleh lagi, kali ini dengan tatapan aneh. "Lu nggak punya pilihan, Flo," jawabnya dengan nada datar.
Flora mendengus kesal, menyadari kenyataan itu. Mana mungkin ada pilihan untuknya? Yang ada hanya menjalani apa yang orang lain tentukan.
"Ya, gue tahu! Gue cuma manusia yang jadi robot, cuma bisa jalani perintah tanpa bisa milih!" Flora mengucapkan kata-kata itu dengan nada sinis, seolah lebih seperti gumaman untuk dirinya sendiri.
"Maksud lu ngomong begitu apa?" tanya Birru sambil menjalankan mobil keluar dari gerbang sekolah. Nada suaranya tenang, tapi ada nada ingin tahu di baliknya.
"Lu ngomong apa sama Riki?" Flora balik bertanya dengan kesal, matanya menyipit tajam ke arah Birru.
Birru tersenyum sinis, penuh kemenangan. "Jadi benar dia jauhin lu," ujarnya dengan nada mengejek. Senyumnya semakin lebar, puas karena Riki memegang ucapannya untuk menjauhi Flora. Alasannya? Itu urusan antara dirinya dan Riki—tak perlu Flora tahu.
Flora menatap Birru dengan penuh kebencian, lalu melengos kesal. Dadanya terasa sesak oleh rasa frustrasi yang terus bertumpuk.
"Kenapa? Lu nggak suka? Jadi lu benar-benar pengen dicium sama dia?" ejek Birru dengan nada tajam yang membuat Flora semakin panas. Kata-katanya menusuk, seperti merendahkan harga dirinya. Flora ingin membalas, tapi ia hanya bisa menahan diri, meski hatinya sudah bergejolak hebat.
"Itu bukan urusan lu!" sahut Flora akhirnya, suaranya terdengar parau karena ia berusaha keras menahan emosi. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba untuk tidak menangis. Pandangannya beralih ke jendela, menghindari tatapan Birru.
Birru tertawa kecil, masih menikmati situasi ini. "Gue juga bisa kasih, kalau lu mau, Flo," katanya santai, nadanya penuh ejekan.
Hati Flora terasa semakin panas, kata-kata Birru benar-benar membuatnya merasa direndahkan. Tapi ia tetap diam, mencoba menahan semua emosi itu sendirian.
"Kenapa? Lu nggak mau? Jadi lu lebih milih sama dia? Lebih suka yang haram daripada yang halal?" Birru kembali menyerang, nadanya seperti menantang.
"Lu bisa diam nggak sih?!" Flora akhirnya bersuara, datar tapi penuh penekanan. Kali ini ia menatap Birru tajam, matanya mulai berkaca-kaca.
Birru yang awalnya santai, mendadak terdiam. Tatapan mata Flora membuatnya merasa sedikit tak nyaman. Ia buru-buru mengalihkan pandangan, pura-pura fokus ke jalan, meski suasana dalam mobil berubah menjadi berat dan canggung.
*
Sesampainya di toko buku, Flora berjalan dalam diam di belakang Birru, mengikuti langkahnya tanpa minat. Birru sibuk mencari buku yang ia butuhkan, sementara Flora hanya mondar-mandir melihat-lihat rak, tanpa niat membeli apa pun.
"Flora?"
Sebuah suara menghentikan langkahnya. Flora menoleh, mencoba mengenali si penyapa. Matanya menyipit sejenak sebelum akhirnya ia ingat.
"Aku Ranu, sepupu Birru," ujar pria itu sambil tersenyum ramah, membantu Flora yang tampak sedikit bingung.
"Oh iya," balas Flora sambil tersenyum kecil. Ia tidak sepenuhnya lupa, hanya nama pria itu yang sempat hilang dari ingatannya. Ranu adalah salah satu sepupu Birru yang hadir saat pengumuman pernikahan mereka—dan yang bersikap paling ramah padanya.
“Sendirian?” tanya Ranu, memandang Flora dengan sedikit bingung.
Flora menggeleng pelan. “Nggak, Mas. Sama Mas Birru,” jawabnya sambil menunjuk ke arah Birru, yang tengah sibuk di ujung toko.
Ranu mengangguk paham. "Kamu, lagi cari buku apa?" tanyanya, kini matanya terfokus pada Flora.
“Nggak cari apa-apa, Mas. Cuma nemenin Mas Birru aja,” balas Flora santai. Ia melirik tumpukan buku yang dipegang Ranu. Rasa penasarannya terusik. “Kalau Mas Ranu sendiri? Lagi cari buku apa?” tanyanya balik.
Ranu mengangkat beberapa buku yang ada di tangannya, membuat Flora tertegun. “Resep masakan?” tanyanya dengan nada tak percaya.
Ranu terkekeh pelan melihat ekspresi Flora. “Kenapa? Aneh ya?” tanyanya balik, masih tertawa kecil.
Flora ikut tertawa sambil mengangguk. “Lumayan aneh, sih, Mas. Kenapa nggak cari di YouTube atau media sosial aja, Mas? Kan lebih praktis," tanya Flora, kini menyandarkan punggungnya pada dinding disamping rak buku di sebelahnya, benar-benar ingin tahu.
Ranu mengedikkan bahu. "Entah ya, mungkin karena buku lebih fokus. Gampang bolak-balik halamannya, bisa baca dulu sebelum praktek."
"Kayaknya sama aja deh, Mas. Dari ponsel juga bisa kayak gitu," balas Flora, sedikit skeptis.
"Beda dong, Flo," ujar Ranu dengan senyuman yang ramah. "Ponsel terlalu banyak distraksinya. Ada iklan, notifikasi, bahkan telepon masuk. Nggak fokus jadinya."
Senyum Flora yang tadinya tipis berubah menjadi lebih lebar. Ia kini mengerti maksud Ranu—ponsel memang bisa mengalihkan perhatian, dan itu bukan hal yang ia sadari sebelumnya.
Mereka tertawa kecil bersama, berbagi pemahaman yang sama. Dari kejauhan, Birru memperhatikan mereka. Ia sadar kehadiran Ranu, tapi memilih pura-pura tidak tahu. Namun, matanya sesekali melirik ke arah mereka, menyimpan sesuatu yang sulit ditebak.
Dengan langkah santai, Birru akhirnya menghampiri Flora. Buku yang ia butuhkan sudah di tangan, dan ia tidak punya alasan untuk berlama-lama di toko buku itu.
Begitu tiba di depan Flora dan Ranu, Birru hanya memberikan senyum tipis disertai anggukan kecil, mengangkat dagunya sedikit sebagai sapaan. Ranu membalasnya dengan senyuman sopan dan anggukan ringan, suasana di antara keduanya terasa dingin tapi penuh kendali.
"Ayo," ajak Birru pada Flora dengan nada lembut yang jelas dibuat-buat. Flora tahu betul, kelembutannya itu hanya untuk menjaga tampilan, bukan niat sebenarnya.
"Mas Ranu, aku duluan ya," ujar Flora dengan ramah. Tapi sebelum langkahnya menjauh, Ranu menahannya.
"Tunggu sebentar, Flo," ucap Ranu seperti baru teringat sesuatu. Ia langsung melangkah ke kasir dengan cepat. Flora menatapnya dengan bingung, sementara Birru hanya berdiri diam, tatapannya kosong namun matanya tajam.
Tak butuh waktu lama, Ranu kembali dengan sebuah buku di tangannya. Ia tersenyum kecil sambil menyerahkannya pada Flora. "Ini buat kamu," katanya dengan nada tenang.
Flora menerimanya dengan ragu, tapi begitu matanya membaca judul buku tersebut—tentang cinta dan self-healing—ia tak bisa menyembunyikan ekspresi terkejut sekaligus senangnya. Buku itu terasa seperti sesuatu yang ia butuhkan, sebuah petunjuk untuk dirinya yang sedang berjuang dalam kerumitan hidup.
"Terima kasih, Mas Ranu," ucap Flora tulus, senyum kecil mulai muncul di wajahnya. "Aku yakin buku ini bagus." Nada suaranya terdengar serius, penuh rasa terima kasih.
Di sampingnya, Birru hanya diam. Matanya tak lepas dari interaksi itu, namun ekspresinya sulit ditebak. Rahangnya tampak mengeras, tangannya mengepal di sisi tubuhnya tanpa sadar. Flora, terlalu sibuk dengan rasa senangnya, tidak menyadari perubahan kecil pada Birru.
"Semoga buku itu bermanfaat, Flo," ujar Ranu ringan, senyumnya tetap ramah. Ia sempat melirik Birru sekilas, seperti sengaja menyelipkan pesan yang hanya mereka berdua yang mengerti.
Flora masih tersenyum saat mengikuti Birru yang mulai berjalan keluar toko tanpa sepatah kata pun. Di luar, angin dingin menyambut mereka, tapi suasana antara Flora dan Birru jauh lebih dingin.
Flora melirik ke buku di tangannya, lalu ke punggung Birru yang berjalan di depannya. Ada rasa ingin tahu bercampur frustasi dalam dirinya, tapi ia memilih diam. Sementara itu, Birru terus melangkah dengan langkah berat, pikirannya penuh dengan percakapan yang baru saja terjadi.
Ia tidak menyukai apa yang dilihatnya—tapi untuk alasan yang bahkan ia sendiri enggan akui.
***
Di dalam mobil, Flora langsung membuka buku pemberian Ranu. Ia begitu antusias ingin tahu apakah isi buku itu benar-benar bisa membantu memahami dan menyembuhkan apa yang selama ini ia rasakan. Jari-jarinya membolak-balik halaman dengan semangat, seolah ia telah menemukan pelarian kecil dari kekacauan hidupnya.Birru, yang duduk di kursi kemudi, sesekali melirik Flora melalui sudut matanya. Tatapan sinis terpancar jelas dari wajahnya. Diam-diam, ia merasa terganggu dengan cara Flora memegang buku itu, seolah buku itu lebih penting dari apa pun.“Lu harus jaga diri, Flo. Gue nggak suka lu sok akrab sama orang lain,” ucap Birru tiba-tiba, suaranya dingin dan penuh tekanan, meski matanya tetap fokus pada jalan di depannya.Flora mengangkat kepalanya, menatap Birru dengan ekspresi campuran antara bingung dan marah. “Gue nggak sok akrab sama Mas Ranu,” jawabnya ketus. “Lagian, dia sepupu lu. Kalau dia sepupu lu, berarti dia juga keluarga gue sekarang.”Nada suaranya tegas, tapi hatinya mul
Selesai makan malam, Flora tidak langsung kembali ke kamarnya. Ia memilih duduk di taman, menikmati dinginnya malam yang terasa semakin menusuk setelah hujan deras mengguyur sore tadi. Di bawah langit gelap yang dihiasi bintang-bintang samar, pikirannya melayang pada mimpi-mimpi yang belakangan ini kerap menghampirinya. Mimpi-mimpi itu terasa begitu nyata, seperti pintu yang membuka kenangan masa lalunya. Dan yang paling mengganggunya, di setiap mimpi itu selalu ada Birru—sosok yang kini menjadi bagian dari hidupnya dengan cara yang tak pernah ia bayangkan. Flora menarik napas panjang. Ia bertanya-tanya, apakah dirinya mulai merindukan Birru yang dulu? Birru yang lembut, penuh perhatian, dan selalu menjaga dirinya layaknya seorang kakak? Ia tahu pasti perasaannya pada Birru tak pernah lebih dari sekadar kasih sayang seorang adik kepada kakaknya. Bukti nyatanya, ia jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Riki, pria yang ditemuinya di hari pertama masuk sekolah.Namun
"Ingat, Birru! Tujuan lu ngajak Flora itu buat bikin dia senang, bukan malah bikin dia tambah stres!" suara Violet terdengar tegas, matanya menatap serius ke arah adiknya. Birru hanya diam, memilih untuk menyelesaikan sarapannya tanpa banyak bicara. Sementara itu, dari kejauhan, ia bisa melihat Flora dan Bundanya sudah menunggu di depan rumah, tampak bersiap-siap. "Lu dengar gue ngomong nggak sih!?" suara Violet meninggi, merasa diabaikan. Ia pun reflek meraih pergelangan tangan Birru, memegangnya erat. "Dengar, Mbak!" sahut Birru akhirnya, dengan nada menahan kesal. "Flora nggak tau apa-apa, Birru! Semua ini murni keinginan Bunda. Jadi, jangan pernah salahin Flora atas keputusan yang lu buat sendiri!" tegas Violet sambil melepaskan genggamannya. Mendengar itu, Birru menoleh tajam ke arah kakaknya, seolah tak terima. Matanya menyiratkan perasaan terpojok, namun mulutnya tetap melontarkan balasan sinis. "Sejak kapan gue punya pilihan, Mbak?" tanya
Flora sama sekali tidak berminat kembali ke gazebo untuk menikmati jagung bakar yang tadi ia tinggalkan. Birru, yang menyadari perubahan suasana hati Flora, memilih diam. Tanpa banyak kata, ia masuk ke mobil dan melanjutkan perjalanan mereka menuju resort. Setibanya di penginapan, Flora langsung meminta kamar dengan dua tempat tidur. Sebenarnya, semangat liburannya sudah meredup. Bukannya menikmati waktu luang, perjalanan ini justru terasa menambah beban pikirannya. Dengan wajah yang masih menyiratkan kekesalan, ia berjalan masuk ke kamar sambil menyeret koper kecilnya. Setelah menaruh barang-barangnya, langkahnya terhenti di balkon. Di depannya terbentang pemandangan pantai yang memukau—pasir putih bersih berpadu dengan ombak tenang yang mengalun lembut di kejauhan. Sejenak, perasaan kesalnya memudar. Hatinya bergejolak, rindu akan kebebasan. Keinginan untuk berlari di atas pasir, berteriak sepuasnya, lalu membiarkan dirinya larut dalam pelukan air laut yang asin
Mereka kembali terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Mata mereka menyiratkan keinginan yang sama—untuk mengungkapkan sesuatu yang selama ini terpendam dalam hati. "Kamu nanti datang ke acara Mama?" tanya Riki akhirnya, memecah keheningan. Flora terkejut dengan pertanyaan itu. "Boleh?" tanyanya ragu. Ia sadar bahwa dua hari terakhir ini Riki tampak menjauhinya. Flora tidak ingin kehadirannya justru membuat Riki semakin tidak nyaman. "Kenapa harus tanya aku?" balas Riki dengan nada yang sulit ditebak. "Aku cuma khawatir kamu nggak nyaman kalau aku ada di sana," ujar Flora pelan, menundukkan kepala. Ada nada sedih dalam suaranya. Ia tidak bisa mengabaikan bagaimana Riki perlahan menjauh darinya. Riki terdiam, kebingungan. Masalahnya bukan pada Flora atau kehadirannya. Yang membuatnya gelisah adalah ucapan Birru yang masih terus mengusik pikirannya. "Aku..." Riki menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatur hatinya yang gundah. Ia tahu, ia ti
Malam itu, dengan senyum yang tak henti-hentinya merekah di wajahnya, Flora membongkar isi koper, mencari pakaian terbaik yang dimilikinya. Kebahagiaan terpancar jelas dari sorot matanya—seolah hidupnya kembali berwarna setelah Riki menerima dirinya apa adanya. Keputusan mereka untuk menjalin hubungan, meskipun harus backstreet, membuat hatinya berdebar penuh semangat. Keluarganya dan keluarga Birru tentulah yang utama yang tidak beh tau tentang hubungannya dengan Riki. 'Kalau Birru bisa, kenapa gue nggak?' pikirnya. Flora yakin, ia berhak bahagia. Ia berhak menikmati hidupnya. Flora memilih gaun terbaiknya malam itu. Wajahnya ia poles dengan riasan yang mempertegas kecantikannya, hingga bayangan dirinya di cermin seolah menampilkan sosok yang berbeda—lebih dewasa, lebih anggun, dan yang paling penting, lebih percaya diri. Bahkan Birru yang tengah duduk santai dengan buku di tangannya, mendadak terpaku. Napasnya terasa tersangkut di tenggorokan saat melihat Flora y
Flora tersentak saat merasakan ponselnya bergetar di dalam tas. Nada dering yang terdengar samar di tengah riuh pesta menarik perhatiannya. Ia segera berpamitan kepada kedua orang tua Riki sebelum melangkah menjauh untuk menerima panggilan itu. Dari kejauhan, Riki hanya diam, matanya mengikuti setiap gerak Flora dengan ekspresi sulit diartikan. Begitu menemukan tempat yang lebih tenang, Flora mengeluarkan ponselnya dan mendengus pelan saat melihat Birru nama di layar. Seketika, kekhawatiran menyeruak dalam benaknya. Apakah ini ada hubungannya dengan mertuanya? Tanpa pikir panjang, ia menekan tombol hijau dan menempelkan ponsel ke telinga. Namun, belum sempat ia menyapa, suara lain menyelusup di antara percakapan. Suara seorang wanita. Flora terdiam. Alisnya berkerut saat mencoba menangkap jelas percakapan itu, tetapi suara di seberang terdengar samar, seolah Birru tidak sedang berbicara padanya, melainkan pada seseorang di sisinya. Secepat kilat, dadanya terasa sesak oleh em
Gerak-gerik Flora yang aneh sejak tadi mulai masuk akal bagi Renata. Rasa kesal menguar di dadanya, membuatnya menegakkan punggung, bersiap memberi sepupunya itu pelajaran. Dengan langkah tegap, ia melangkah menuju Birru dan kekasihnya—entah siapa yang sangat asing di matanya. Namun, baru saja ia hendak melangkah menghampiri mereka, sebuah tangan kuat mencengkeram pergelangan tangannya. Renata tersentak. Ia menoleh dengan alis berkerut. "Lu mau ngapain?" suara itu terdengar hati-hati, tetapi tajam. Tatapan mata laki-laki itu serius, seakan menguliti niatnya hingga ke dasar. "Riki??" Renata semakin terkejut. Laki-laki yang baru saja ia gosipkan bersama Flora kini berdiri di hadapannya. Mereka memang saling mengenal—Mama mereka adalah teman arisan. Tapi, hubungan mereka tidak bisa dibilang akrab. Bahkan, kalau dipikir-pikir lagi, mereka nyaris tidak pernah berbicara satu sama lain. "Lu mau samperin Pak Birru?" tanya Riki lagi, suaranya tetap datar, tapi a
Hari-hari berikutnya, Birru mulai mencari rumah yang sesuai dengan keinginan mereka. Ia meminta bantuan Dion dan beberapa rekannya untuk mencari lokasi yang nyaman, tidak terlalu jauh dari kantor, tetapi tetap tenang dan ideal untuk keluarga kecil. Sementara itu, Flora juga mulai mempersiapkan diri untuk perubahan besar ini. Ia mulai menyortir barang-barangnya, membayangkan seperti apa kehidupan mereka nanti setelah pindah. Namun, di lubuk hatinya, ada sedikit kekhawatiran—bagaimana reaksi Lia ketika mereka benar-benar pindah? Suatu malam, setelah makan malam bersama keluarga, Birru memutuskan untuk berbicara dengan ibunya. "Bun, aku dan Flora ada rencana untuk pindah ke rumah sendiri," kata Birru dengan hati-hati. Lia, yang sedang merapikan piring, terdiam sejenak sebelum menoleh ke putranya. "Kenapa tiba-tiba ingin pindah?" "Bukan tiba-tiba, Bun," Birru tersenyum kecil. "Aku pikir sudah saatnya aku dan Flora mandiri, membangun rumah tangga kami sendiri. Tapi bukan berarti aku m
Pagi ini, Birru sengaja tidak pergi ke kantor. Ia menyerahkan masalah perusahaan akibat ulah Fani kepada Juna dan Dion. Setelah mengabarkan Dion melalui telepon, Birru meletakkan kembali ponselnya di atas nakas, lalu berbalik dan merengkuh istrinya dalam pelukan.Ia ingin menghabiskan waktu seharian bersama Flora, tanpa gangguan pekerjaan atau hal lain yang membebani pikirannya.Flora menggeliat kecil ketika tangan Birru dengan lembut menyusuri setiap inci tubuhnya di balik piyama tipis yang ia kenakan. Napasnya masih teratur, matanya masih terpejam, tetapi ia sadar sepenuhnya akan sentuhan suaminya."Mas..." gumamnya pelan, suaranya serak karena baru bangun tidur."Hm?" Birru menempelkan bibirnya di puncak kepala istrinya, menghirup aroma khas tubuh Flora yang selalu membuatnya tenang."Kenapa nggak ke kantor?" tanya Flora dengan mata yang masih setengah tertutup."Aku mau sama kamu seharian," jawab Birru tanpa ragu.Flora membuka matanya, menatap suaminya yang kini tersenyum tipis.
Hingga malam tiba, Birru masih belum memberi kabar. Flora yang awalnya berusaha menunggu di kamar akhirnya tertidur, meski tidurnya terasa gelisah dan tidak tenang. Sesekali ia tersentak bangun, lalu kembali mencoba memejamkan mata, tetapi pikirannya terus dihantui kecemasan. Ketika akhirnya ia terbangun lagi, matanya langsung melirik jam di atas nakas. Sudah lewat tengah malam. Dengan jantung yang berdebar cemas, ia meraih ponselnya dan mencoba menghubungi Birru. Tidak ada jawaban. Panggilan kedua pun tak berbalas. Saat ia akan mencoba untuk ketiga kalinya, suara nada sambung terdengar bersamaan dengan bunyi pintu kamar yang terbuka. Flora menoleh cepat, ponsel masih menempel di telinganya. Ketika pandangannya bertemu dengan suaminya, mereka sama-sama terkejut. "Kamu belum tidur, Flo?" suara Birru terdengar serak. Flora mengernyit, lalu berdiri, mendekat untuk melihat lebih jelas. Penampilan Birru jauh berbeda dari saat ia berangkat pagi tadi—kemejanya kusut, dasinya sudah dilep
Di dalam air hangat yang penuh dengan busa sabun wangi, tangan Birru dengan lembut menjelajahi setiap inci tubuh istrinya, memanjakannya dengan sentuhan yang penuh kasih. Flora bersandar di dadanya, merasakan kehangatan yang menyelimuti mereka berdua. Birru menciumi bahu dan leher Flora, membisikkan kata-kata manis yang membuat tubuh istrinya semakin melebur dalam keintiman. Napas mereka berbaur dengan uap air, menciptakan kehangatan yang lebih dari sekadar suhu di dalam kamar mandi. Tak lama, Birru mengangkat tubuh Flora dari bathtub, membawanya ke bawah guyuran shower. Air hangat mengalir membasahi mereka, menciptakan sensasi yang lebih intens. Di bawah aliran air yang jatuh membasahi tubuh mereka, Birru melanjutkan cumbuan penuh gairah, menyatukan mereka dalam keintiman yang lebih dalam. Ketika mereka mencapai puncak bersama, Birru memeluk Flora erat, napasnya masih memburu. Lalu, dengan suara serak dan lembut, ia berbisik di telinga istrinya, "Aku ingin kita punya anak, saya
Hari ini adalah hari terakhir semester awal sebelum liburan. Flora sibuk dengan buku-buku perpustakaan yang harus ia kembalikan. Tiba-tiba, seseorang datang menghampirinya dari belakang. Flora terperanjat dan hampir tersandung kakinya sendiri, untung saja orang itu sigap menangkapnya. Dalam sekejap, ia berada dalam dekapannya—begitu dekat hingga ia bisa merasakan napas hangatnya. "Maaf, aku bikin kamu kaget, Flo," suara itu terdengar pelan sebelum orang itu melepaskan pegangannya dan memastikan Flora sudah berdiri stabil. Flora menelan ludah begitu menyadari siapa yang berdiri di depannya. "Thanks," jawabnya datar, lalu segera mengambil satu langkah mundur untuk menjaga jarak. "Boleh bicara sebentar?" Flora mendongak, menatap mata Riki yang tampak penuh arti. "Soal apa?" tanyanya hati-hati. "Ssttt!" suara teguran dari penjaga perpustakaan membuat Riki buru-buru menutup mulutnya. Ia tersenyum kecil, sementara Flora hanya menghela napas. "Kita ngomong di luar," kata Flora setelah
"Flora!"Renata berlari menghampiri Flora dan Kirana yang baru saja keluar dari perpustakaan."Hai, Na!" sapanya begitu sadar bahwa yang bersama istri sepupunya adalah Kirana. "Oh iya, lu dapat salam dari Boy, teman sekelas gue," tambahnya, sambil mengedipkan sebelah mata.Kirana tersenyum simpul. "No thanks, he’s not being a gentleman," jawabnya santai.Renata tertawa kecil. "Nanti gue bilangin, biar Boy grow up and be a man."Mereka pun tertawa bersama."Udah ah, cukup gibahnya. Lu tadi mau ngomong apa?" tanya Flora kemudian."Oh iya!" Renata menepuk jidatnya pelan. "Riki pindah kuliah, Flo. Ke luar negeri."Langkah Flora sempat terhenti sesaat, tapi ia cepat-cepat mencoba bersikap biasa saja.Semester awal memang sudah berakhir, dan sebulan terakhir Riki benar-benar menjaga jaraknya. Meskipun begitu, terkadang mata mereka masih saling bertemu—di kelas, saat berpapasan di lorong, atau saat salah satu dari mereka maju untuk presentasi.Kirana melirik Flora dengan tatapan penuh arti.
Diruang meeting, Birru duduk di belakang mejanya, menautkan jemarinya dengan tenang di atas permukaan kayu. Matanya tajam menatap wanita di depannya—Fani. Wanita itu masih berdiri, kedua tangannya terlipat di depan dada. Bibirnya tersenyum tipis, tapi matanya menyiratkan ketidakpuasan. "Jadi, kamu sengaja panggil aku ke sini hanya untuk ini?" Fani bertanya, nada suaranya terdengar santai, tapi ada nada menantang di baliknya. Birru tidak langsung menjawab. Ia membiarkan keheningan menggantung di antara mereka, membiarkan ketegangan mengisi ruangan sebelum akhirnya ia berbicara. "Kamu pikir aku nggak tahu?" suaranya dalam dan berbahaya. Fani mengangkat alis, berpura-pura bingung. "Tahu apa?" Birru menyandarkan punggungnya ke kursi, lalu mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja. "Tentang apa yang terjadi pada Flora di kampus." Sekilas, Birru melihat raut wajah Fani berubah—sangat halus, nyaris tak kentara. Tapi ia menangkapnya. "Kamu menuduh aku?" Fani terkekeh pelan, berusaha
Begitu mobil Birru berhenti di depan rumah, Flora menarik napas dalam. Ia tahu semua orang di rumah pasti akan terkejut melihat keadaannya. Wajahnya masih menunjukkan bekas tamparan, dan tubuhnya masih terasa lelah akibat kejadian tadi. Birru keluar lebih dulu, lalu segera membukakan pintu untuk Flora. Saat ia turun, pintu rumah terbuka, dan suara langkah cepat terdengar mendekat. “Flora!” suara Violet adalah yang pertama terdengar. Ia bergegas menghampiri, diikuti oleh Juna dan Lia. Ekspresi mereka semua dipenuhi kekhawatiran. “Astaga, apa yang terjadi?!” Violet langsung menggenggam tangan Flora, matanya membesar saat melihat luka di sudut bibir adik iparnya. “Kamu kenapa? Siapa yang melakukan ini?” Lia pun menatapnya dengan cemas. “Flora, sayang, siapa yang menyakitimu, nduk?” Flora tersenyum kecil, meski jelas lelah. “Aku baik-baik saja, Bun…” “Baik-baik saja apanya?!” Juna menyela dengan ekspresi marah. “Lihat ini, wajah kamu jelas habis kena pukul!” Birru meletakkan tangan
Saat dalam perjalanan mengantar Flora ke kampus, pikirannya melayang pada seseorang. "Mas, sejak kapan Dion jadi sekretaris kamu?" tanyanya tiba-tiba. Birru menoleh sekilas sebelum kembali fokus ke jalan, tampak mengingat-ingat sejenak. "Sejak waktu itu, pas kamu ke kantor." Flora mengangguk-angguk pelan sambil mengalihkan pandangannya ke luar jendela. "Itu kamu ngerti, Mas," gumamnya nyaris tak terdengar. "Maksudnya gimana, Sayang?" tanya Birru, sedikit mengernyit. Flora menggeleng cepat. "Nggak apa-apa. Terus, Jeni ke mana?" "Dia dipindah ke divisi lain, yang nggak ada hubungannya sama aku," jawab Birru santai. Flora menghela napas pelan. "Dia pasti berpikir kalau itu karena aku, ya?" Birru meliriknya sekilas. "Memang kenapa? Kamu yang punya perusahaan, kamu berhak." Flora terdiam sejenak sebelum akhirnya bertanya ragu, "Bisa begitu juga ke Fani?" Wajah Birru seketika berubah lebih serius. Napasnya terdengar berat sebelum ia berkata, "Kalau aku bisa dari awal, pasti sudah