Kalula bangun lebih awal seperti biasanya. Matahari baru saja mulai mengintip dari balik tirai jendela kamarnya. Setelah mandi dan berdandan sederhana, dia menuju dapur dengan langkah ringan. Aroma segar pagi itu seolah menular pada semangatnya.
Setibanya di dapur, dia melihat Tika‒ maid yang setia membantu pekerjaan rumah tangga, tengah sibuk di sana.
“Pagi, Tika.” Sapa Kalula dengan senyum khasnya.
“Pagi, Nona Kalula.” Jawab Tika sopan sambil menoleh sekilas dari meja dapur.
“Mau masak apa kita hari ini, Tika?” Kalula mengambil apron dari gantungan dan mengikat rambutnya asal, siap membantu.
Tika tersenyum kecil, “Saya sudah siapkan bahan untuk nasi goreng spesial, Nona. Tapi kalau ada yang mau ditambah, saya siap bantu.”
“Hmm... nasi goreng kedengarannya enak,” gumam Kalula sambil membuka kulkas,
Setelah percakapan telepon dengan Mama mertuanya, Kalula bergegas untuk bersiap berangkat ke kafe milik Mama mertuanya seperti biasa. Dia memilih setelan kasual berupa blus putih sederhana dan celana panjang krem, lalu mengambil tas slempangnya.Sebelum keluar rumah, Kalula menghela napas panjang, “Lupakan dulu, Kal. Sekarang kamu harus fokus dulu di kafe,” gumamnya pada diri sendiri.Setelah itu dia segera keluar dari rumah dan langsung menaiki taksi yang sudah menunggunya di depan pagar. Sopir taksi menyapanya dengan ramah, tapi Kalula hanya menjawab dengan senyuman singkat sembari tenggelam dalam pikirannya sendiri.“Ke Kafe Romania, Pak.” Ucapnya pelan.Sepanjang perjalanan, Kalula memandang keluar jendela‒ menyaksikan keramaian kota yang terasa seperti latar belakang tanpa suara. Suasana hatinya pagi ini terasa berat, tapi dia terus mengingatkan diri untuk tetap tenang.
Langit malam yang bertabur bintang menjadi saksi perjalanan mereka menuju rumah. Suara canda tawa Sagala, Mama Elena, dan Kakek Arya memenuhi kabin mobil, menciptakan kehangatan di tengah dinginnya malam. Kalula meski tersenyum sesekali, lebih banyak tenggelam dalam pikirannya sendiri.Pesan misterius yang diterimanya tadi siang terus menghantui, membuat suasana hatinya tak sepenuhnya terhubung dengan keceriaan di sekitarnya.“Kamu baik-baik saja, Nak?” suara berat namun lembut Kakek Arya memecah lamunannya. Tatapan penuh perhatian pria tua itu langsung tertuju ke arah Kalula.“Ah... iya, Kek. Aku baik-baik saja.” Jawab Kalula tergesa, mencoba menutupi kegelisahannya dengan senyum, “Cuma sedikit lelah setelah seharian di kafe.”Elena yang duduk di samping Kalula, menyentuh lembut tangan menantunya, “Kalau kamu lelah‒ istirahat saja, Sayang. Besok biar Mama ya
Kedua mata Kalula mengerjap pelan menyesuaikan cahaya yang masuk mengenai matanya. Dia memegangi kepalanya yang masih pusing. Sekujur tubuhnya sakit, apalagi di bagian berharga miliknya yang terasa ngilu juga perih. Gadis itu mengedarkan pandangannya dan baru menyadari jika kini dia tengah berada di sebuah kamar yang cukup luas dengan nuansa putih. “Aku dimana?” lirih Kalula, ketika akan beranjak dari atas ranjang dia baru menyadari jika ternyata tidak ada sehelai pun baju miliknya yang melekat pada tubuhnya. Pikirannya semakin di buat bingung. Tidak lama kemudian, terdengar sebuah suara dari arah pintu kamar mandi. Seketika Kalula menoleh dan buru-buru menutup tubuhnya dengan selimut ketika mendapati seorang pria dewasa memakai jubah mandi dengan tatapan datar lurus ke depan. Pria dengan rahang tegas, hidung mancung dan alis tebal. Tentu saja membuat wanita manapun akan terpesona, tapi tidak dengan Kalula‒ gadis itu justru sangat marah. “S-siapa kamu?” lirih Kalula dengan
Kalula bergegas masuk ke dalam ruang meeting bersama dengan salah satu Office Girl perusahaan ini. Sepi‒ tidak ada satu pun orang di dalamnya, hanya sebuah meja panjang dan beberapa kursi hitam serta map di atas meja yang tertata dengan sangat rapi. “Mau ada meeting ya, mbak?” tanya Kalula pada Office Girl tersebut sembari tangan lentiknya menata satu persatu roti di atas meja. “Iya, mbak. Makanya sekarang kita harus cepat sebelum pak bos datang.” Jawab Office Girl tersebut. Kalula menoleh dan mengerutkan alisnya, dia heran kenapa Office Girl tersebut sepertinya terdengar sangat takut sekali, apa bos nya sangat galak ya. Namun, belum sempat Kalula menyelesaikan pekerjaannya, rupanya pintu ruangan itu terbuka, kedua nya langsung menoleh ke arah pintu masuk. Kalula diam mematung, dadanya bergemuruh‒ gadis itu sangat tahu siapa pria yang berdiri di depannya saat ini. Dia tidak menyangka jika harus bertemu lagi dengan pria yang sudah merenggut kesuciannya itu dan meninggalka
Setelah melihat di dalam video tersebut, Mario kali ini benar-benar tidak bisa lagi mengelah dan mencari alasan untuk membela dirinya, karena bukti sudah sangat jelas sekali.“Mau beralasan apalagi kamu sekarang, hah?!” tanya Kalula dengan nada yang rendah. Perasaan gadis itu saat ini benar-benar sakit sekali, pria yang sudah dia kenal selama dua tahun terakhir ini‒ pria yang selalu baik dan perhatian, ternyata tega mengkhianati dengan saudara tirinya.Berulang kali Kalula mengambil napas dalam-dalam seraya memejamkan matanya. Setelah itu, kakinya berjalan mundur dan mendongakkan kepalanya lagi menatap Mario, “Mulai saat ini, hubungan kita sudah benar-benar berakhir. Ini terkahir kalinya kita ketemu, aku tidak ingin melihatmu lagi dan jangan pernah ganggu aku setelah ini.” Tangis Kalula kembali pecah. Setelah mengatakan itu, Kalula beranjak pergi meninggalkan semua orang yang ada di sana. Nimas beberapa kali memanggil namanya, tetapi tidak di hiraukan. Gadis itu berjalan menyusuri t
“Sepertinya aku sudah mengganggumu pagi ini, tidak biasanya wajahmu terlihat sangat kusut seperti ini ketika aku datang kesini sepagi ini.” Tebak Erik.“Memang!” Jawab Sagala ketus, “Sekarang cepatlah! Mau apa kau kesini sepagi ini? Jika bukan hal yang penting‒ aku akan memotong gaji mu bulan ini.” Sambungnya lagi.“Cih! Ancamanmu selalu saja seperti itu.” Ucap Erik Mahendra.“Cepatlah, Erik Mahendra! Aku belum mandi sekarang, kau jangan membuang-buang waktuku.” Ucap pria itu dan kali ini nada bicara nya penuh dengan penekanan dan ekspresi wajahnya sangat serius.“Oke-oke. Jadi aku sudah mencari tahu tentang pria itu, yang merupakan mantan kekasih perempuan itu‒ ternyata dia adalah seorang photografer perusahaan kita, dia juga photografer terbaik di kota ini.” Ujar Erik.“Sementara wanita yang bersama nya di hotel itu, dia adalah saudara tiri perempuan itu dan dia juga salah satu model di perusahaan kita‒ dia baru bergabung di perusahaan kita sekitar tiga bulan yang lalu atas rekomend
Setelah Kiara memberikan sebuah surat pada Kalula. Wanita itu langsung pergi meninggalkan gadis itu. Namun, Kalula tidak langsung membukanya. Dia lebih memilih memasukkan ke dalam tas, karena dia sangat malas sekali‒ apalagi jika sudah berkaitan dengan saudara tirinya itu.“Lebih baik aku langsung pulang aja sekarang. Lagian badanku rasanya udah pegel banget.” Ucap Kalula.Sesampainya di rumah Sagala. Terlihat sangat sepi‒ pikirnya semua orang sudah istirahat di dalam kamarnya masing-masing, karena memang hari sudah sangat malam. Kalula juga segera pergi ke kamarnya sendiri.Di dalam kamar, dia menutup pintu dan menguncinya rapat-rapat. Kemudian kakinya melangkah menuju balkon. Gadis itu merentangkan kedua tangannya seraya memejamkan matanya dan menghirup udara dalam-dalam untuk melepas sejenak semua beban dalam dirinya.Kalula membuka matanya, sembari melamun menatap lurus ke depan. Seperti ada sesuatu yang sangat mengganjal pikirannya, “Sekarang aku sudah kehilangan satu-satunya pek
“Kamu kelihatan tambah cantik, Kalula.” Bisik Mario tepat di samping telinga Kalula seraya meletakkan dagu nya di pundak sebelah kanan gadis itu.“Mario!” sentak Kalula. Gadis itu terkejut, cepat-cepat dia melepaskan kedua lengan Mario yang melingkar di perutnya, “Mario, lepasin!” ujarnya.“Enggak.. Aku kangen sama kamu, Kalula.” Ucap Mario dengan tidak tahu malunya setelah dia berselingkuh dari Kalula.Kalula benar-benar sudah sangat muak ketika mendengar ucapan yang keluar dari mulut pria itu, karena setelah pengkhianatan yang telah di lakukan oleh Mario‒ bagi Kalula saat ini apa yang keluar dari mulut pria itu hanyalah omong kosong.“Tolong lepasin! Aku gak mau orang lain jadi salah paham kalau melihat kita seperti ini, dan nanti akan menimbulkan gosip yang tidak-tidak.” Ucap Kalula. “Enggak! Aku gak akan lepasin kamu, aku masih sayang sama kamu, Kalula. Aku cuma cinta sama kamu, bukan sama dia‒ percaya sama aku.” Ujar Mario.“Sudahlah, Mario. Semuanya udah jelas, kalau kamu meman
Langit malam yang bertabur bintang menjadi saksi perjalanan mereka menuju rumah. Suara canda tawa Sagala, Mama Elena, dan Kakek Arya memenuhi kabin mobil, menciptakan kehangatan di tengah dinginnya malam. Kalula meski tersenyum sesekali, lebih banyak tenggelam dalam pikirannya sendiri.Pesan misterius yang diterimanya tadi siang terus menghantui, membuat suasana hatinya tak sepenuhnya terhubung dengan keceriaan di sekitarnya.“Kamu baik-baik saja, Nak?” suara berat namun lembut Kakek Arya memecah lamunannya. Tatapan penuh perhatian pria tua itu langsung tertuju ke arah Kalula.“Ah... iya, Kek. Aku baik-baik saja.” Jawab Kalula tergesa, mencoba menutupi kegelisahannya dengan senyum, “Cuma sedikit lelah setelah seharian di kafe.”Elena yang duduk di samping Kalula, menyentuh lembut tangan menantunya, “Kalau kamu lelah‒ istirahat saja, Sayang. Besok biar Mama ya
Setelah percakapan telepon dengan Mama mertuanya, Kalula bergegas untuk bersiap berangkat ke kafe milik Mama mertuanya seperti biasa. Dia memilih setelan kasual berupa blus putih sederhana dan celana panjang krem, lalu mengambil tas slempangnya.Sebelum keluar rumah, Kalula menghela napas panjang, “Lupakan dulu, Kal. Sekarang kamu harus fokus dulu di kafe,” gumamnya pada diri sendiri.Setelah itu dia segera keluar dari rumah dan langsung menaiki taksi yang sudah menunggunya di depan pagar. Sopir taksi menyapanya dengan ramah, tapi Kalula hanya menjawab dengan senyuman singkat sembari tenggelam dalam pikirannya sendiri.“Ke Kafe Romania, Pak.” Ucapnya pelan.Sepanjang perjalanan, Kalula memandang keluar jendela‒ menyaksikan keramaian kota yang terasa seperti latar belakang tanpa suara. Suasana hatinya pagi ini terasa berat, tapi dia terus mengingatkan diri untuk tetap tenang.
Kalula bangun lebih awal seperti biasanya. Matahari baru saja mulai mengintip dari balik tirai jendela kamarnya. Setelah mandi dan berdandan sederhana, dia menuju dapur dengan langkah ringan. Aroma segar pagi itu seolah menular pada semangatnya.Setibanya di dapur, dia melihat Tika‒ maid yang setia membantu pekerjaan rumah tangga, tengah sibuk di sana.“Pagi, Tika.” Sapa Kalula dengan senyum khasnya.“Pagi, Nona Kalula.” Jawab Tika sopan sambil menoleh sekilas dari meja dapur.“Mau masak apa kita hari ini, Tika?” Kalula mengambil apron dari gantungan dan mengikat rambutnya asal, siap membantu.Tika tersenyum kecil, “Saya sudah siapkan bahan untuk nasi goreng spesial, Nona. Tapi kalau ada yang mau ditambah, saya siap bantu.”“Hmm... nasi goreng kedengarannya enak,” gumam Kalula sambil membuka kulkas,
Sagala menyandarkan tubuhnya ke mobil, matanya tetap tertuju pada pintu kafe yang baru saja tertutup. Udara malam yang semakin dingin membawa aroma kopi bercampur wangi tanah basah sisa hujan sore tadi. Dia melipat kedua tangannya di depan dada, membiarkan pikirannya mengembara.Kalula tidak pernah berubah, pikirnya sambil tersenyum tipis. Energinya selalu penuh, bahkan setelah seharian bekerja. Itu salah satu hal yang membuatnya jatuh cinta sejak awal.Tidak lama kemudian, pintu kafe kembali terbuka. Kalula muncul kembali dengan membawa tas selempang kecil di pundaknya. Langkahnya cepat, seperti sedang mengejar waktu.“Mas, maaf ya kalau sedikit lama.” Ucapnya sambil berhenti tepat di hadapan Sagala.Sagala menggeleng kecil, “Enggak apa-apa, Kal. Lagi pula, aku lebih suka nunggu kamu.” Jawabnya sambil tersenyum menggoda.Kalula mendengus kecil, lalu terta
Langit malam mulai memayungi kota ketika lampu-lampu kecil di kafe Romania memancarkan sinarnya yang hangat, menciptakan suasana nyaman bagi pelanggan yang tersisa. Kalula sibuk menyusun laporan harian di meja bar, sementara Lia berdiri tak jauh darinya, tampak gelisah dengan tas kecil yang sudah tersampir di bahunya.Lia akhirnya mendekat, mengalihkan perhatian Kalula dari laporan-laporan yang berserakan."Kal, gue izin pulang duluan, boleh kan?" tanyanya singkat. Suaranya terdengar datar, tidak seperti biasanya.Kalula menghentikan pekerjaannya, menatap Lia dengan seksama. "Iya, Lia. Boleh kok. Lagi pula kafe juga sudah mulai sepi," jawabnya dengan lembut. Namun, rasa khawatir tergambar jelas di matanya. "Tapi kamu baik-baik aja? Kelihatannya dari tadi kamu kurang semangat."Lia mengangguk kecil, tapi tidak menatap langsung. "Gue nggak apa-apa," ucapnya dengan nada singkat. Lalu, dengan sedikit ket
Pagi berikutnya, Lia bangun lebih pagi dari biasanya‒ memastikan dirinya tidak bertemu langsung dengan sang ayah. Keputusan itu lahir dari rasa bimbang yang terus menghantuinya semalaman. Dia belum siap menghadapi kenyataan yang mungkin akan membuat hubungannya dengan sang ayah semakin renggang.Setelah bersiap, Lia mengambil tas kecilnya dan segera melangkah keluar. Namun, baru saja membuka pintu, suara ayahnya menghentikan langkahnya."Lia, kamu mau ke mana pagi-pagi begini?" tanya Erwin dengan nada datar, meski sorot matanya penuh kecurigaan.Lia menghentikan langkahnya, menghela napas berat sebelum berbalik menatap sang ayah, "Ke kafe Romania. Mau bantu-bantu di sana seperti biasa."Erwin mengangguk kecil, lalu melanjutkan, "Nanti pulang lebih awal, Papa mau bicara sama kamu. Ada yang harus Papa jelaskan."Ucapan itu seperti petir di siang bolong. Lia mencoba menjaga ekspresinya tetap tenang, meski dalam hati dia bertanya-tanya apa yang ingin disampaikan ayahnya, "Oke." Jawabnya s
Pagi itu, sinar matahari menembus tirai kamar Lia, menciptakan pola bayangan lembut di lantai kayu. Wanita muda itu duduk termenung di depan meja rias, tangannya menopang dagu. Bayangan dirinya di cermin tampak seperti seseorang yang berjuang melawan badai dalam pikirannya. Pertengkaran tadi malam dengan sang ayah terus bergema di benaknya, membuat tidur malamnya terpotong-potong oleh mimpi buruk.Dia menghela napas panjang, mencoba menyemangati dirinya sendiri, "Aku nggak bisa terus begini. Aku harus tahu apa yang sebenarnya papa sembunyikan." Suaranya lirih, seperti mantra untuk menguatkan tekadnya.Setelah bergegas mandi dan mengenakan pakaian sederhana, Lia melewatkan sarapan. Langkah kakinya cepat menuruni tangga rumah, tetapi hatinya terasa berat. Dia memutuskan untuk mampir ke taman kecil di pusat kota sebelum menuju kafe Romania, tempat yang biasa dia datangi untuk menghabiskan waktu dengan membantu bekerja di sana.Taman itu masih lengang saat Lia tiba. Pepohonan rindang meli
Malam semakin larut, dan suasana kamar dipenuhi keheningan yang hanya diiringi suara detak jam di dinding. Sagala berbaring di sisi ranjang, tubuhnya terlentang dengan satu tangan diletakkan di belakang kepala. Pandangannya menatap langit-langit yang gelap, pikirannya terus berputar di antara kekhawatiran dan rencana-rencana yang belum tuntas dia susun.Di sebelahnya, Kalula tertidur pulas dengan posisi miring‒ wajahnya menghadap Sagala. Wajah damai istrinya seolah menjadi penawar bagi segala badai yang dia rasakan di hati. Napas Kalula yang lembut terdengar beraturan, memberi ritme yang menenangkan di tengah kegelisahan malam itu.Sagala memutar tubuhnya sedikit, menghadap Kalula. Tangan besarnya terulur perlahan, menyibakkan helaian rambut yang jatuh di pipi istrinya. Gerakannya lembut, seperti ingin memastikan bahwa kehadirannya tidak mengganggu tidur wanita itu."Semoga saja dia tidak merencanakan sesuatu," gumamnya pelan.Matanya mengamati wajah Kalula dengan penuh perhatian, mena
Menjelang sore, suasana kafe mulai lengang. Lampu gantung di langit-langit yang berbentuk bola kaca mulai menyala‒ memancarkan cahaya hangat ke seluruh ruangan. Aroma kopi yang khas masih samar-samar tercium, berpadu dengan wangi roti panggang yang baru keluar dari oven.Beberapa meja masih terisi pelanggan. Ada yang bercengkerama ringan, ada pula yang menatap layar laptop dengan fokus. Di sudut ruangan, pasangan muda tampak berbagi sepotong cake sambil tersenyum kecil. Kesibukan pagi yang penuh antrean sudah lama berlalu, meninggalkan keheningan yang terasa nyaman namun sedikit melankolis.Kalula berdiri di belakang meja kasir, jarinya mengetuk-ngetuk ringan countertop kayu yang sudah mulai aus di beberapa sudut. Tatapannya sesekali melirik ke arah Lia yang sedang merapikan etalase roti. Rak-rak kaca itu kini berisi sisa-sisa stok yang mulai menipis‒ beberapa croissant, brownies, dan sepotong cheesecake yang tampak sedikit miring di ujung p