Setelah Kiara memberikan sebuah surat pada Kalula. Wanita itu langsung pergi meninggalkan gadis itu. Namun, Kalula tidak langsung membukanya. Dia lebih memilih memasukkan ke dalam tas, karena dia sangat malas sekali‒ apalagi jika sudah berkaitan dengan saudara tirinya itu.
“Lebih baik aku langsung pulang aja sekarang. Lagian badanku rasanya udah pegel banget.” Ucap Kalula. Sesampainya di rumah Sagala. Terlihat sangat sepi‒ pikirnya semua orang sudah istirahat di dalam kamarnya masing-masing, karena memang hari sudah sangat malam. Kalula juga segera pergi ke kamarnya sendiri. Di dalam kamar, dia menutup pintu dan menguncinya rapat-rapat. Kemudian kakinya melangkah menuju balkon. Gadis itu merentangkan kedua tangannya seraya memejamkan matanya dan menghirup udara dalam-dalam untuk melepas sejenak semua beban dalam dirinya. Kalula membuka matanya, sembari melamun menatap lurus ke depan. Seperti ada sesuatu yang sangat mengganjal pikirannya, “Sekarang aku sudah kehilangan satu-satunya pekerjaan yang aku miliki. Lalu, setelah ini aku harus mendapatkan uang dari mana.” Ucap gadis itu. Secepatnya Kalula juga akan mencari tempat tinggal yang baru, karena tidak mungkin selamanya gadis itu akan tinggal di rumah milik Sagala, “Hufftt.. lebih baik aku pikirkan saja lagi besok. Sekarang lebih baik aku bersih-bersih dan istirahat.” Gadis berbalik badan, melangkah masuk ke dalam kamar. Namun, seketika kakinya berhenti saat matanya melirik tas nya yang tadi dia letakkan di atas nakas. “Kira-kira apa ya kertas yang di kasih Kiara tadi.” Ucap gadis itu. Karena sangat penasaran, Kalula menunda niatnya untuk mandi. Tangannya mulai meraih tas miliknya dan merogoh selembar kertas tadi. Ketika di buka, gadis itu tersentak‒ matanya melebar tidak percaya dengan apa yang di suguhkan di depan matanya itu. Selembar kertas itu menunjukkan jika saudara tirinya tengah hamil. Lalu untuk apa Kiara memberitahunya, itu sama sekali bukan urusannya. Namun, Kalula penasaran apakah saudara nya itu benar-benar hamil atau tidak. Dengan inisiatif, gadis itu mengambil ponsel miliknya dan segera menghubungi Kiara untuk menanyakan kebenarannya. “Halo.. Ngapain lo telfon gue, hmm?!” tanya Kiara dari balik telepon dengan nada ketus, “Pasti lo udah baca kan kertas yang gue kasih tadi. Gimana kejutan dari gue bagus kan?” sambungnya lagi. “Jadi, maksudnya kamu beneran hamil, ra?” tanya Kalula. “Iya lah!” “Ba-bagaimana bisa? Lalu siapa pria yang sudah menghamili kamu?” tanya gadis itu lagi. “Tentu aja Mario, mantan pacar lo itu.” Jawab Kiara dengan enteng. Degh! Kalula mendadak tidak bisa berkata-kata. Lidahnya kelu‒ air mata sudah memenuhi pelupuk matanya. Dadanya terasa sesak, seakan baru saja tertimpa reruntuhan yang sangat besar. “La-lalu, apa papa sudah tahu jika kamu hamil dengan Mario?” tanya Kalula. Suara gadis itu mulai terdengar bergetar, air mata yang sejak tadi di tahan olehnya, akhirnya tumpah juga membasahi pipinya. Hatinya benar-benar sakit, kedua tangannya gemetar. “Papa tidak perlu tahu tentang ini, yang terpenting Mario mau bertanggung jawab dan menikahi ku.” Jawab Kiara. Jelas saja Kiara tidak akan memberitahu Teo tentang kehamilannya itu, karena jika pria paruh baya itu sampai tahu‒ maka dia akan mendapat amukan, atau bahkan bisa di usir dari rumah, seperti Kalula. Kalula tidak bisa berkata apa-apa lagi. Hatinya teramat sakit, gadis itu tidak menyangka jika selain sekedar berselingkuh dengan Kiara, Mario juga menghamilinya. “Jadi gue minta mulai sekarang lo jauhin Mario, karena dia sebentar lagi akan menjadi ayah dari anak yang ada di perut gue.” Ucap Kiara, kemudian wanita itu langsung mematikan sambungan teleponnya. Sementara Kalula masih bungkam. Tiba-tiba ponselnya jatuh hingga layarnya pecah, air matanya semakin deras saling berlomba-lomba untuk mendarat di pipi. Tega sekali mereka melakukan hal itu padanya. Kalula pikir, di khianati dengan perselingkuhan mereka kemarin adalah hal yang paling menyakitkan, tapi ternyata sekarang dia harus menerima kabar yang lebih menyakitkan lagi. “Tega sekali kalian padaku? Sebenarnya apa salahku pada kalian?” Kalula merasakan sesak yang teramat sangat di dadanya hingga dia kesulitan untuk bernapas. “Sejak dulu Kiara sudah mengambil semuanya dari ku, dan sekarang pun dia masih belum puas mengambil segala hal dariku lagi.” Isaknya. ** Pagi harinya. Kalula bangun dengan kedua mata bengkak karena semalaman dia hanya menangis sampai pukul dua pagi. Dengan rasa malas, Kalula terpaksa beranjak dari atas tempat tidurnya karena dia harus pergi untuk mencari pekerjaan yang baru lagi. Kaki nya berjalan masuk ke dalam kamar mandi. Dia memutuskan berendam di dalam air hangat untuk merileks kan pikirannya yang sedang kacau. “Kenapa sih semua masalah harus menimpa aku terus-terusan? Apa aku emang gak pantes untuk merasakan bahagia?” ucap Kalula. Dua puluh menit berlalu. Kalula sudah rapi dengan pakaiannya, dia menatap pantulan dirinya di depan cermin untuk memoles sedikit wajahnya, terutama di bagian kedua mata yang bengkak. “Semangat Kalula,” batin Kalula seraya mengela napas berat. Ketika sudah sampai di meja makan, ternyata di sana sudah ada Sagala yang sedang menikmati sarapannya dengan tenang, “Tumben sekali pria ini sudah ada di sini.” Batin Kalula. Kemudian gadis itu pun segera menarik kursi dan ikut mendudukkan dirinya di kursi yang berada di seberang Sagala. Menyadari kehadiran Kalula, pria itu langsung mendongakkan wajah dan menatap pada gadis yang ada di depannya itu. Sagala mengerutkan dahinya, kedua matanya meneliti baik-baik wajah milik gadis itu. Seperti terlihat ada yang berbeda di sana, dan ya benar saja‒ Sagala menyadari bahwa kedua mata Kalula ada yang salah. Baru saja Kalula akan memulai sarapannya, urung karena Sagala bertanya padanya. “Kenapa mata kamu, hmm?” tanya Sagala dengan nada datar. “Hah!” Kalula mendongakkan wajahnya, “Memangnya kenapa dengan mataku? Mataku baik-baik aja kok, gak bengkak.” Sambungnya lagi, gadis itu tanpa sadar keceplosan mengatakan hal itu. “Bengkak? Aku tidak mengatakan jika matamu bengkak.” Ujar pria itu. “Mm.. It-itu, maksud bukan begitu, tapi—” Kalula gugup, hingga dia sendiri pun kebingungan untuk menjawab pertanyaan Sagala. “Cih! Kau pasti habis menangisi pria itu lagi kan?” tebak pria itu sembari bibirnya berdecih tidak suka, “Buang-buang energi saja kau ini.” Sambungnya lagi. “Lalu apa urusannya denganmu, hah?!” sentak Kalula kesal pada Sagala, “Sudahlah! Aku jadi tidak berselera lagi untuk sarapan.” Ketika gadis itu akan beranjak dari duduknya, Sagala langsung menahan dengan suaranya yang terdengar dingin, “Duduk! Habiskan sarapanmu! Jangan kemana-mana!” ucapnya. Tatapan pria itu sangat menakutkan. Keberanian Kalula yang semula ada, tapi saat melihat tatapan pria itu langsung menciut begitu saja. “Saya bilang duduk, Kalula!” ucapnya lagi dengan nada penuh penekanan. Gadis itu kembali duduk dan segera menghabiskan sarapannya dengan tenang. Karena dia takut dengan tatapan Sagala yang masih setia melihat ke arahnya, “Tolong dong jangan melihatku seperti itu!” batinnya. Kalula sangat kesulitan sekali menelan makanannya. Ada rasa takut dan gugup menjadi satu di dalam dirinya. “Mau kemana kau? Sudah saya bilang jangan kemana-mana! Tunggu sampai saya menghabiskan sarapan, baru kau boleh pergi.” Lagi-lagi Sagala menghentikan Kalula yang akan pergi dari sana. “Mau apa lagi sih? Aku kan sudah menghabiskan sarapanku, ck!” batin Kalula. Gadis itu benar-benar tidak berani melontarkan protesnya langsung di depan Sagala, yang hanya bisa dia lakukan hanyalah dengan menggerutu di dalam hati saja. Lima menit sudah Kalula duduk dan merasa bosan ketika menunggu dan akhirnya Sagala pun sudah selesai. “Apa sekarang aku sudah boleh pergi dari sini?” tanya Kalula. “Tidak!” Pria itu beranjak dari duduknya, kemudian memakai jas nya. Dan ya, masih seperti biasa dia akan meminta Kalula untuk memakaikan dasi nya. Namun, kali ini hanya cukup merapikannya saja. “Setelah ini kau ikut denganku!” ucap Sagala. “Kemana? Aku harus pergi bekerja!” “Kerja? Bukannya kau sudah di pecat dari tempat kerja mu, hmm?” Gadis itu menautkan kedua alisnya, “Bagaimana kau tau aku di pecat?” tanya Kalula. Dia menatap curiga pada Sagala. “Cih! Apa yang tidak saya tahu tentangmu, Kalula.” Jawab pria itu dengan enteng. Benar juga yang di katakan oleh Sagala. Orang sepertinya tidaklah sulit jika ingin mengetahui semua tentang orang lain, apalagi orang seperti Kalula. *** Tepat pukul sembilan, Sagala dan Kalula sampai di kantor milik pria itu. Ketika berada di rumah tadi, Kalula sempat menolak saat di ajak untuk pergi ke sana‒ tetapi pria itu terus membujuknya dengan menggunakan berbagai alasan sampai akhirnya gadis itu mau ikut. “Lebih baik kau masuk saja ke dalam lebih dulu, karena aku tidak ingin ada gosip yang akan muncul jika aku masuk bersamaan denganmu.” Ucap Kalula. “Baiklah...” Kaki Sagala pun segera memasuki area kantor. Seluruh karyawan miliknya yang sudah datang, langsung membungkuk dan menyapanya dengan sopan. Namun, pria itu jika sudah berada di kantor, akan menampilkan wajah dinginnya untuk menjaga wibawanya di depan seluruh karyawan. Sementara Kalula baru akan masuk ke dalam, langkahnya segera di hentikan oleh suara wanita yang sangat dia kenali. Lalu gadis itu pun menoleh seraya menampilkan eskpresi wajah datarnya. “Ah.. Kebetulan sekali kita ketemu disini, saudara tiriku.” Ujar Kiara di susul dengan tawa meledek. “Mau apa lagi kau?!” tanya Kalula dengan datar. “Oh enggak kok. Aku cuma mau ngasih ini aja kok, jangan lupa datang ya.” Jawab Kiara seraya mengulurkan sebuah undangan berwarna merah pada Kalula. “Kalau gitu, kita pergi dulu. Pokoknya jangan lupa dateng ya.” Ucap Kiara lagi. “Ya udah yuk, sayang. Kita masuk aja sekarang.” Ajak Kiara, wanita itu sengaja menunjukkan kemesraan dengan Mario di depan Kalula, tetapi gadis itu berusaha untuk menghiraukan. Kalula sudah berada di ruangan Sagala. Kalula sangat terpukau dengan ruangan milik pria itu, pasalnya ruangan itu memiliki desain interior Scandinavia, dimana karakteristik desain ini selalu hadir dengan dominasi warna netral dan furniture kayu yang hangat, di tambah warna pastel. Di sana juga di lengkapi sebuah jendela besar yang membuat ruangan itu lebih luas dan terang. “Buatkan saya kopi sekarang!” titah Sagala. Seketika gadis itu merasa kesal. Jadi CEO menyebalkan ini mengajaknya untuk datang ke kantor miliknya hanya untuk menjadikannya sebagai pesuruh. Tau seperti itu, lebih baik tadi Kalula mencari pekerjaan baru saja. Kalula menghela napas berat. Sudah empat kali kopi buatannya di tolak oleh Sagala, pria itu sangat cerewet sekali dan terlalu banyak permintaannya. Karena kaki gadis itu sangat pegal, dia pun memilih untuk menjatuhkan tubuhnya di sofa yang ada di depan meja kerja Sagala. “Ck! Aku lelah sekali! Lebih baik kau tidak usah minum kopi, aku tidak mau membuatkan lagi.” gerutu Kalula kesal. “Kau memarahiku?” ujar Sagala bernada tegas. “Eh, tidak. Bukan begitu maksudku.” Kalula berharap Sagala tidak akan mempermasalahkan soal ini. “Kalau begitu, tolong cepat buatkan saya kopi lagi dan kali ini harus sesuai.” Pria tampan itu berucap dengan sangat enteng. Gadis itu tidak punya pilihan lain. Dia sangat ingin sekali waktu bisa segera berakhir. Tanpa berkata lagi, Kalula beranjak dari duduknya dan keluar dari ruangan itu. Setelah itu Sagala menyandarkan punggungnya ke kursi. Menatap punggung Kalula sampai menghilang di balik pintu. Kali ini Kalula yang berada di dapur, sangat berhati-hati dalam membuat kopi‒ tidak ingin ada kesalahan lagi. Namun, ketika gadis itu tengah sibuk menyeduh kopi, seseorang memeluk tubuhnya dari belakang.“Kamu kelihatan tambah cantik, Kalula.” Bisik Mario tepat di samping telinga Kalula seraya meletakkan dagu nya di pundak sebelah kanan gadis itu.“Mario!” sentak Kalula. Gadis itu terkejut, cepat-cepat dia melepaskan kedua lengan Mario yang melingkar di perutnya, “Mario, lepasin!” ujarnya.“Enggak.. Aku kangen sama kamu, Kalula.” Ucap Mario dengan tidak tahu malunya setelah dia berselingkuh dari Kalula.Kalula benar-benar sudah sangat muak ketika mendengar ucapan yang keluar dari mulut pria itu, karena setelah pengkhianatan yang telah di lakukan oleh Mario‒ bagi Kalula saat ini apa yang keluar dari mulut pria itu hanyalah omong kosong.“Tolong lepasin! Aku gak mau orang lain jadi salah paham kalau melihat kita seperti ini, dan nanti akan menimbulkan gosip yang tidak-tidak.” Ucap Kalula. “Enggak! Aku gak akan lepasin kamu, aku masih sayang sama kamu, Kalula. Aku cuma cinta sama kamu, bukan sama dia‒ percaya sama aku.” Ujar Mario.“Sudahlah, Mario. Semuanya udah jelas, kalau kamu meman
Pintu ruang aula terbuka. Kalula merasa gugup karena banyak pasang mata yang menatap ke arahnya. Gadis itu menarik napas dalam-dalam, kemudian berjalan masuk menuju pada keluarganya, di depan sudah ada papa, mama dan juga kedua calon mempelai.Mereka semua tengah meatap Kalula dengan tatapan tidak suka, terutama Kiara.'Wah.. dia cantik sekali! Bagaimana bisa pria itu menyia-nyiakan gadis secantik dia dan lebih memilih saudara tirinya itu.''Iya ya anda benar sekali. Sangat rugi menyiakan gadis seperti dia.''Wow... Bagaimana bisa ada gadis secantik ini?! Bahkan dia terlihat begitu anggun daripada calon mempelai wanitanya.'Terdengar banyak pujian pada Kalula. Tetapi, tidak sedikit juga yang menatapnya tidak suka dan membicarakan hal buruk tentangnya.'Bukankah itu mantan dari mempelai pria?''Iya, anda benar. Pasti dia sengaja ingin mengacaukan pernikahan saudara nya.'Sepanjang dia berjalan menuju depan, telinganya terus mendengar bisikan-bisikan yang di lontarkan oleh beberapa tamu
Sagala berjalan melewati semua orang, pandangannya lurus ke depan dengan sorot matanya yang mengintimidasi. Di ikuti dengan Erik yang juga berjalan di belakangnya. 'Siapa pria itu?’ ‘Entahlah... Saya juga tidak tahu, nyonya.’ Seluruh tamu undangan yang berada di ruangan itu saling berbisik-bisik membicarakan kedatangan Sagala di ruangan itu, serta menatap pria itu dengan penasaran. Setibanya di depan, kedua tangan Sagala langsung merangkul pundak Kalula, “Kau tidak apa-apa? Mereka tidak keterlaluan padamu kan?” tanya nya. Kalula menatap Sagala dengan mendongak, kemudian menggelengkan kepalanya. Tetapi, Sagala tidak begitu saja langsung percaya, karena dia sangat tahu sekali bagaimana gadis nya itu. Kalula tidak akan memberitahunya apa yang terjadi. Pria itu mulai meneliti dari ujung kepala sampai ujung kaki, dan akhirnya mata elangnya mendapati sebuah bekas merah berada di pipi sebelah kiri gadis itu, “Siapa yang melakukannya? Katakan pada saya!” tanya Sagala dengan nada be
Tak lama kemudian, Kalula mendengar semua orang yang dilewatinya mulai berbisik-bisik tentang sesuatu—tetapi gadis itu tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Namun, karena merasa penasaran, Kalula mencoba berhenti dan menoleh ke belakang. Ternyata itu adalah video yang memperlihatkan Mario dan Kiara bermesraan di sebuah hotel beberapa waktu lalu. Kalula mendongak, "Apa kau sudah menyiapkan semua ini?" bisik Kalula kepada Sagala. "Ya, saya memang sengaja menyiapkan semuanya. Saya minta Erik mencari video itu lewat rekaman CCTV di hotel," jawab Sagala. "Karena sejak awal aku sudah menduga kalau mereka akan melakukan sesuatu kepadamu," imbuhnya. Kalula tersenyum manis pada Sagala, ia tak menyangka masih ada orang baik yang mendekatinya selain sahabatnya, Nimas. Meski baru kenal sebentar, lelaki itu sudah berbuat banyak untuknya. “Terima kasih karena selalu membantuku di waktu yang tepat,” kata Kalula. Tiba-tiba, tangan Sagala mendarat di atas kepalanya, lalu mengusapnya dengan
Kalula terkejut sesaat, namun saat bibir mereka menyentuh, semua perasaan campur aduk dalam dirinya seolah menguap. Jantungnya berdegup kencang, seolah terjebak dalam momen yang tak terduga. Dia tidak bisa mempercayai apa yang terjadi, tapi saat Sagala menariknya lebih dekat, rasa hangat mengikat hatinya. Namun, saat kesadarannya kembali, Kalula mendorong tubuhnya menjauh. “Apa yang kamu lakukan?!” serunya, suaranya bergetar antara malu dan bingung. Sagala tampak terkejut, tetapi ada nada percaya diri dalam senyumannya, pria itu tahu jika gadis yag ada di depannya itu tengah malu karena terlihat jelas saat ini pipinya merona merah, “Aku hanya ingin kamu tahu betapa aku peduli padamu,” katanya lembut, mencoba meraih tangan Kalula. “Peduli? Apa maksud ucapanmu?” Kalula menjawab, wajahnya mencoba mengubahnya ke arah lain untuk menyembunyikan kegugupannya. “Aku tidak mengerti apa yang kamu bicarakan.” Sagala berpikir, sepertinya memikirkan sebuah kata. Lalu pria itu mengembuskan na
Keesokan harinya, Kalula bangun lebih awal. Sinar matahari masih malu-malu mengintip dari balik tirai, menciptakan bayangan lembut di kamar tidurnya. Udara pagi yang sejuk merayap masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka, membuat Kalula merasa segar dan penuh semangat. Ia merentangkan tubuhnya perlahan, menikmati ketenangan sejenak sebelum hari benar-benar dimulai.Kalula mulai membersihkan tubuhnya dengan cepat, membasuh wajah dengan air dingin yang membuatnya semakin terjaga. Setelah mengenakan pakaian sederhana, ia bergegas menuju dapur untuk membantu maid menyiapkan sarapan untuk Sagala, pria yang sudah sangat baik padanya. Setelah apa yang terjadi ketika di pasar malam dan apa yang sudah mereka bicarakan tadi malam, Kalula akan memulai membiasakan diri, hitung-hitung sebagai balas budi karena pria itu sudah banyak menolongnya.“Anda memasak apa untuk sarapan hari ini?” tanya Kalula pada maid yang sedang berada di dapur, melihat wanita itu sibuk menyiapkan bahan-bahan.Mai
Setelah jam makan siang, Kalula berinisiatif untuk pergi ke kantor Sagala‒ mengantarkan makan siang yang sudah dia buat tadi bersama Tika‒ maid rumah Sagala. Dia merasa senang bisa memberikan kejutan kecil untuk Sagala.Namun, ketika Kalula sampai di sana, hatinya bergetar saat melihat pemandangan yang tidak terduga. Di ruang kerja kantor, Sagala sedang asyik menikmati makan siang bersama seorang wanita yang tidak dikenal. Wanita itu tampak elegan dan anggun, dengan senyum yang terlihat akrab dan lekat dengan Sagala.Mereka tertawa bersama, dan terlihat sangat jelas kehangatan di antara mereka membuat Kalula merasa seolah-olah terjepit dengan perasaan yang tidak jelas.‘Perasaan apa ini? Kenapa rasanya aku begitu tidak rela melihat Saga bersama dengan wanita itu.’Kalula tertegun sejenak, merasakan cemas menyergapnya. Dia tidak tahu siapa wanita itu, tetapi chemistry di antara mereka tampak jelas. Sagala terlihat lebih santai dan b
Pukul enam malam. Sagala yang baru saja pulang dari kantor melihat sekeliling rumahnya tampak sepi. Kalula yang biasanya akan berada di dapur kini tidak terlihat, hanya ada Tika yang tengah sibuk menyiapkan makan malam.Sagala bertanya pada Tika, di mana Kalula berada. Tika menjawab bahwa dia tidak mengetahui, karena setelah mengantar makan siang ke kantor Sagala siang tadi, gadis itu sama sekali belum kembali kerumah.Sagala mengernyitkan dahi‒ merasakan ketidaknyamanan yang mulai merayap ke dalam pikirannya, “Tidak kembali? Dia seharusnya sudah ada di sini.” Gumamnya. Pria itu berusaha menenangkan diri meskipun ada rasa khawatir yang mulai menguasai pikirannya."Mungkin dia hanya butuh waktu untuk sendiri, Tuan.” Jawab Tika sambil menyusun piring-piring di meja makan.Sagala merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar keinginan untuk sendiri. Dia berusaha mengingat kembali percakapan mereka terakhir kali dan menyadari ba
Langit malam yang bertabur bintang menjadi saksi perjalanan mereka menuju rumah. Suara canda tawa Sagala, Mama Elena, dan Kakek Arya memenuhi kabin mobil, menciptakan kehangatan di tengah dinginnya malam. Kalula meski tersenyum sesekali, lebih banyak tenggelam dalam pikirannya sendiri.Pesan misterius yang diterimanya tadi siang terus menghantui, membuat suasana hatinya tak sepenuhnya terhubung dengan keceriaan di sekitarnya.“Kamu baik-baik saja, Nak?” suara berat namun lembut Kakek Arya memecah lamunannya. Tatapan penuh perhatian pria tua itu langsung tertuju ke arah Kalula.“Ah... iya, Kek. Aku baik-baik saja.” Jawab Kalula tergesa, mencoba menutupi kegelisahannya dengan senyum, “Cuma sedikit lelah setelah seharian di kafe.”Elena yang duduk di samping Kalula, menyentuh lembut tangan menantunya, “Kalau kamu lelah‒ istirahat saja, Sayang. Besok biar Mama ya
Setelah percakapan telepon dengan Mama mertuanya, Kalula bergegas untuk bersiap berangkat ke kafe milik Mama mertuanya seperti biasa. Dia memilih setelan kasual berupa blus putih sederhana dan celana panjang krem, lalu mengambil tas slempangnya.Sebelum keluar rumah, Kalula menghela napas panjang, “Lupakan dulu, Kal. Sekarang kamu harus fokus dulu di kafe,” gumamnya pada diri sendiri.Setelah itu dia segera keluar dari rumah dan langsung menaiki taksi yang sudah menunggunya di depan pagar. Sopir taksi menyapanya dengan ramah, tapi Kalula hanya menjawab dengan senyuman singkat sembari tenggelam dalam pikirannya sendiri.“Ke Kafe Romania, Pak.” Ucapnya pelan.Sepanjang perjalanan, Kalula memandang keluar jendela‒ menyaksikan keramaian kota yang terasa seperti latar belakang tanpa suara. Suasana hatinya pagi ini terasa berat, tapi dia terus mengingatkan diri untuk tetap tenang.
Kalula bangun lebih awal seperti biasanya. Matahari baru saja mulai mengintip dari balik tirai jendela kamarnya. Setelah mandi dan berdandan sederhana, dia menuju dapur dengan langkah ringan. Aroma segar pagi itu seolah menular pada semangatnya.Setibanya di dapur, dia melihat Tika‒ maid yang setia membantu pekerjaan rumah tangga, tengah sibuk di sana.“Pagi, Tika.” Sapa Kalula dengan senyum khasnya.“Pagi, Nona Kalula.” Jawab Tika sopan sambil menoleh sekilas dari meja dapur.“Mau masak apa kita hari ini, Tika?” Kalula mengambil apron dari gantungan dan mengikat rambutnya asal, siap membantu.Tika tersenyum kecil, “Saya sudah siapkan bahan untuk nasi goreng spesial, Nona. Tapi kalau ada yang mau ditambah, saya siap bantu.”“Hmm... nasi goreng kedengarannya enak,” gumam Kalula sambil membuka kulkas,
Sagala menyandarkan tubuhnya ke mobil, matanya tetap tertuju pada pintu kafe yang baru saja tertutup. Udara malam yang semakin dingin membawa aroma kopi bercampur wangi tanah basah sisa hujan sore tadi. Dia melipat kedua tangannya di depan dada, membiarkan pikirannya mengembara.Kalula tidak pernah berubah, pikirnya sambil tersenyum tipis. Energinya selalu penuh, bahkan setelah seharian bekerja. Itu salah satu hal yang membuatnya jatuh cinta sejak awal.Tidak lama kemudian, pintu kafe kembali terbuka. Kalula muncul kembali dengan membawa tas selempang kecil di pundaknya. Langkahnya cepat, seperti sedang mengejar waktu.“Mas, maaf ya kalau sedikit lama.” Ucapnya sambil berhenti tepat di hadapan Sagala.Sagala menggeleng kecil, “Enggak apa-apa, Kal. Lagi pula, aku lebih suka nunggu kamu.” Jawabnya sambil tersenyum menggoda.Kalula mendengus kecil, lalu terta
Langit malam mulai memayungi kota ketika lampu-lampu kecil di kafe Romania memancarkan sinarnya yang hangat, menciptakan suasana nyaman bagi pelanggan yang tersisa. Kalula sibuk menyusun laporan harian di meja bar, sementara Lia berdiri tak jauh darinya, tampak gelisah dengan tas kecil yang sudah tersampir di bahunya.Lia akhirnya mendekat, mengalihkan perhatian Kalula dari laporan-laporan yang berserakan."Kal, gue izin pulang duluan, boleh kan?" tanyanya singkat. Suaranya terdengar datar, tidak seperti biasanya.Kalula menghentikan pekerjaannya, menatap Lia dengan seksama. "Iya, Lia. Boleh kok. Lagi pula kafe juga sudah mulai sepi," jawabnya dengan lembut. Namun, rasa khawatir tergambar jelas di matanya. "Tapi kamu baik-baik aja? Kelihatannya dari tadi kamu kurang semangat."Lia mengangguk kecil, tapi tidak menatap langsung. "Gue nggak apa-apa," ucapnya dengan nada singkat. Lalu, dengan sedikit ket
Pagi berikutnya, Lia bangun lebih pagi dari biasanya‒ memastikan dirinya tidak bertemu langsung dengan sang ayah. Keputusan itu lahir dari rasa bimbang yang terus menghantuinya semalaman. Dia belum siap menghadapi kenyataan yang mungkin akan membuat hubungannya dengan sang ayah semakin renggang.Setelah bersiap, Lia mengambil tas kecilnya dan segera melangkah keluar. Namun, baru saja membuka pintu, suara ayahnya menghentikan langkahnya."Lia, kamu mau ke mana pagi-pagi begini?" tanya Erwin dengan nada datar, meski sorot matanya penuh kecurigaan.Lia menghentikan langkahnya, menghela napas berat sebelum berbalik menatap sang ayah, "Ke kafe Romania. Mau bantu-bantu di sana seperti biasa."Erwin mengangguk kecil, lalu melanjutkan, "Nanti pulang lebih awal, Papa mau bicara sama kamu. Ada yang harus Papa jelaskan."Ucapan itu seperti petir di siang bolong. Lia mencoba menjaga ekspresinya tetap tenang, meski dalam hati dia bertanya-tanya apa yang ingin disampaikan ayahnya, "Oke." Jawabnya s
Pagi itu, sinar matahari menembus tirai kamar Lia, menciptakan pola bayangan lembut di lantai kayu. Wanita muda itu duduk termenung di depan meja rias, tangannya menopang dagu. Bayangan dirinya di cermin tampak seperti seseorang yang berjuang melawan badai dalam pikirannya. Pertengkaran tadi malam dengan sang ayah terus bergema di benaknya, membuat tidur malamnya terpotong-potong oleh mimpi buruk.Dia menghela napas panjang, mencoba menyemangati dirinya sendiri, "Aku nggak bisa terus begini. Aku harus tahu apa yang sebenarnya papa sembunyikan." Suaranya lirih, seperti mantra untuk menguatkan tekadnya.Setelah bergegas mandi dan mengenakan pakaian sederhana, Lia melewatkan sarapan. Langkah kakinya cepat menuruni tangga rumah, tetapi hatinya terasa berat. Dia memutuskan untuk mampir ke taman kecil di pusat kota sebelum menuju kafe Romania, tempat yang biasa dia datangi untuk menghabiskan waktu dengan membantu bekerja di sana.Taman itu masih lengang saat Lia tiba. Pepohonan rindang meli
Malam semakin larut, dan suasana kamar dipenuhi keheningan yang hanya diiringi suara detak jam di dinding. Sagala berbaring di sisi ranjang, tubuhnya terlentang dengan satu tangan diletakkan di belakang kepala. Pandangannya menatap langit-langit yang gelap, pikirannya terus berputar di antara kekhawatiran dan rencana-rencana yang belum tuntas dia susun.Di sebelahnya, Kalula tertidur pulas dengan posisi miring‒ wajahnya menghadap Sagala. Wajah damai istrinya seolah menjadi penawar bagi segala badai yang dia rasakan di hati. Napas Kalula yang lembut terdengar beraturan, memberi ritme yang menenangkan di tengah kegelisahan malam itu.Sagala memutar tubuhnya sedikit, menghadap Kalula. Tangan besarnya terulur perlahan, menyibakkan helaian rambut yang jatuh di pipi istrinya. Gerakannya lembut, seperti ingin memastikan bahwa kehadirannya tidak mengganggu tidur wanita itu."Semoga saja dia tidak merencanakan sesuatu," gumamnya pelan.Matanya mengamati wajah Kalula dengan penuh perhatian, mena
Menjelang sore, suasana kafe mulai lengang. Lampu gantung di langit-langit yang berbentuk bola kaca mulai menyala‒ memancarkan cahaya hangat ke seluruh ruangan. Aroma kopi yang khas masih samar-samar tercium, berpadu dengan wangi roti panggang yang baru keluar dari oven.Beberapa meja masih terisi pelanggan. Ada yang bercengkerama ringan, ada pula yang menatap layar laptop dengan fokus. Di sudut ruangan, pasangan muda tampak berbagi sepotong cake sambil tersenyum kecil. Kesibukan pagi yang penuh antrean sudah lama berlalu, meninggalkan keheningan yang terasa nyaman namun sedikit melankolis.Kalula berdiri di belakang meja kasir, jarinya mengetuk-ngetuk ringan countertop kayu yang sudah mulai aus di beberapa sudut. Tatapannya sesekali melirik ke arah Lia yang sedang merapikan etalase roti. Rak-rak kaca itu kini berisi sisa-sisa stok yang mulai menipis‒ beberapa croissant, brownies, dan sepotong cheesecake yang tampak sedikit miring di ujung p