Setelah jam makan siang, Kalula berinisiatif untuk pergi ke kantor Sagala‒ mengantarkan makan siang yang sudah dia buat tadi bersama Tika‒ maid rumah Sagala. Dia merasa senang bisa memberikan kejutan kecil untuk Sagala.Namun, ketika Kalula sampai di sana, hatinya bergetar saat melihat pemandangan yang tidak terduga. Di ruang kerja kantor, Sagala sedang asyik menikmati makan siang bersama seorang wanita yang tidak dikenal. Wanita itu tampak elegan dan anggun, dengan senyum yang terlihat akrab dan lekat dengan Sagala.Mereka tertawa bersama, dan terlihat sangat jelas kehangatan di antara mereka membuat Kalula merasa seolah-olah terjepit dengan perasaan yang tidak jelas.‘Perasaan apa ini? Kenapa rasanya aku begitu tidak rela melihat Saga bersama dengan wanita itu.’Kalula tertegun sejenak, merasakan cemas menyergapnya. Dia tidak tahu siapa wanita itu, tetapi chemistry di antara mereka tampak jelas. Sagala terlihat lebih santai dan b
Pukul enam malam. Sagala yang baru saja pulang dari kantor melihat sekeliling rumahnya tampak sepi. Kalula yang biasanya akan berada di dapur kini tidak terlihat, hanya ada Tika yang tengah sibuk menyiapkan makan malam.Sagala bertanya pada Tika, di mana Kalula berada. Tika menjawab bahwa dia tidak mengetahui, karena setelah mengantar makan siang ke kantor Sagala siang tadi, gadis itu sama sekali belum kembali kerumah.Sagala mengernyitkan dahi‒ merasakan ketidaknyamanan yang mulai merayap ke dalam pikirannya, “Tidak kembali? Dia seharusnya sudah ada di sini.” Gumamnya. Pria itu berusaha menenangkan diri meskipun ada rasa khawatir yang mulai menguasai pikirannya."Mungkin dia hanya butuh waktu untuk sendiri, Tuan.” Jawab Tika sambil menyusun piring-piring di meja makan.Sagala merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar keinginan untuk sendiri. Dia berusaha mengingat kembali percakapan mereka terakhir kali dan menyadari ba
Kalula meremas erat gaunnya, hatinya diliputi kebingungan dan ketakutan. Dia ingin menghadapi Sagala, ingin mengatakan semuanya, tapi ketakutan akan kekecewaan terus membelenggunya. Kakinya terasa berat, seolah tidak mampu untuk melangkah maju.Saat itu, dia mendengar suara langkah kaki mendekat. Sagala tiba-tiba memutar tubuhnya dan berjalan menuju pintu. Napas Kalula tertahan, dadanya semakin sesak, dan detak jantungnya semakin kencang."Kalula!" Suara Sagala terdengar, lembut namun penuh dengan pertanyaan, seakan dia tahu gadis itu ada di dekatnya.Kalula terdiam di balik pintu, tubuhnya menegang. Dalam hati, dia bertanya-tanya, apa yang akan terjadi jika mereka saling berhadapan sekarang? Haruskah dia menjawab panggilannya atau tetap bersembunyi dalam kebisuannya? Rasa ragu semakin menelan keberaniannya, dan dia hanya bisa berharap waktu berhenti sejenak, memberikan kesempatan untuk berpikir lebih jernih.Namun, rasa takut membuatnya memilih u
Kalula menatap Lia dengan wajah bingung, sementara Sagala merasa seolah dunia di sekelilingnya mendadak berhenti. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Kenyataan apa yang akan terungkap? Lia datang kembali ke rumah Sagala dengan ekspresi tidak suka, matanya melirik Kalula dengan penuh sindiran.“Wah.. wah.. wah... Ternyata wanita ini masih berada disini. Aku pikir dia sudah pergi karena punya malu.” Seru Lia seraya melipat kedua tangannya di dada.Kalula merasa seolah semua perhatian terpusat padanya. Dia menahan napas, berusaha tidak terpengaruh oleh nada sinis Lia, “Apa yang kamu inginkan, Lia?” tanyanya, berusaha tetap tenang.Lia mengabaikan pertanyaannya dan berbalik kepada Sagala, “Aku baru saja mendengar sesuatu yang sangat menarik, Kak. Ternyata Kalula tidak sebaik yang kita kira. Dia punya masa lalu yang cukup buruk.”Sagala merasakan perutnya mules, meramalkan arah pembicaraan ini, “Lia, cepat bicaralah apa yang ingin kamu bicarakan. Aku ti
Sagala menatap layar ponselnya, matanya melebar tak percaya. Nama yang muncul di sana adalah seseorang yang seharusnya sudah menjadi bagian dari masa lalunya‒ seorang wanita yang pernah dia cintai dengan segenap hatinya, namun telah lama dia anggap hilang, bahkan meninggal dunia.Jantungnya berdegup kencang, dan perasaannya campur aduk antara kegembiraan dan kecemasan, "Ini tidak mungkin." Gumam Sagala pelan, sementara tangannya bergetar.Lia yang memperhatikan perubahan ekspresi pria itu, mengerutkan kening, "Apa yang terjadi? Siapa yang menghubungi kak Saga?" tanyanya dengan nada penasaran, langkahnya mendekat.Sagala tidak bisa langsung menjawab. Di satu sisi, ada perasaan senang karena wanita yang dulu sangat berarti baginya masih hidup. Namun, di sisi lain ada Kalula‒ gadis yang perlahan mulai mengisi hidupnya. Meski hubungan mereka hanya pura-pura di awal. Namun, saat ini Sagala sadar bahwa perasaannya pada Kalula sudah tumbuh lebih dari sekadar permainan.
“Astaga... Kau kenapa? Apa yang terjadi padamu, Sag?” Seru Kalula. Gadis yang berdiri di ambang pintu itu sedikit berlari ke ranjang, telapak tangannya dia tempelkan di dahi Sagala untuk memeriksa suhu tubuh pria itu.“Tubuhmu panas sekali,” ucapnya. Kemudian, Kalula akan beranjak dari duduknya untuk mengambil air ke dapur, “Kau tunggulah sebentar, aku akan mengambil kompresan untukmu.” Ucapnya lagi. Namun, belum sempat gadis itu berdiri‒ Sagala menahan tangannya, hingga membuat Kalula terjatuh di atas tubuh pria itu.Kalula terkejut ketika tiba-tiba Sagala menggenggam tangannya dengan lemah, menahannya agar tidak pergi. Tarikan halus itu membuatnya kehilangan keseimbangan. Dalam sekejap‒ dia jatuh di atas tubuh pria itu. Wajah mereka begitu dekat, napas Sagala yang berat terasa di wajahnya.Kalula membeku sesaat, jantungnya berdegup begitu kencang, "Saga," ucapnya pelan. Namun, suara itu teredam oleh keheningan kamar yang teg
Di ambang pintu, berdiri seorang wanita dengan rambut panjang terurai, mengenakan pakaian yang sangat anggun. Tatapannya tajam, namun menyimpan kesedihan yang dalam. Kalula belum pernah melihat wanita itu sebelumnya– tapi sepertinya jelas ada sesuatu yang menghubungkannya dengan Sagala.Kalula mendekat, penasaran dengan siapa wanita ini dan apa hubungannya dengan Sagala. Wanita itu menatapnya dengan mata yang tampak lelah, lalu berkata, "Maafkan saya datang tiba-tiba, tanpa pemberitahuan. Saya—" Suaranya terhenti, seolah-olah berusaha mengumpulkan kekuatan untuk melanjutkan, "Saya adalah Lira."Nama itu asing bagi Kalula, "Lira?" tanyanya, bingung.Lira mengangguk pelan, "Saya mantan kekasih Sagala. Saya datang kesini karena ingin bertemu dengannya. Apa dia ada di rumah?"Kalula belum sempat menjawab ketika Lia, yang diam-diam memperhatikan dari ujung ruangan, tiba-tiba berjalan mendekat dengan ekspresi tak menyenangkan. Suaranya langsung terd
Kalula terdiam sejenak, merasakan genggaman Sagala di lengannya yang semakin erat. Hatinya bergejolak‒ sebelum kembali berbicara, Kalula mengambil napas dalam-dalam seraya memejamkan matan. Kemudian, menatap pria itu sembari menampilkan senyumnya.“Tuan Saga! Saya tidak sedang berpikir apa-apa kok, memangnya saya harus berpikir apa untuk hubungan diantara kalian.” Ucapnya dengan sangat tenang, “Saya justru senang, karena kedatangan Nona Lira‒ hubungan kalian bisa kembali seperti dulu lagi kan.”“Lagi pula aku kesini hanya untuk memberitahu anda jika sarapan sudah siap.” Ucap Kalula, “Kalau begitu saya permisi.”Setelah mengatakan hal itu, Kalula pun berbalik dan melangkah menjauh dari hadapan Sagala, gadis itu memutuskan untuk naik ke atas dan masuk ke kamar.Sagala masih terpaku di tempat, jantungnya berdebar keras mendengar ucapan Kalula yang terdengar begitu tenang, namun menusuk di dalam hatinya. Senyum
Menjelang sore, suasana kafe mulai lengang. Lampu gantung di langit-langit yang berbentuk bola kaca mulai menyala‒ memancarkan cahaya hangat ke seluruh ruangan. Aroma kopi yang khas masih samar-samar tercium, berpadu dengan wangi roti panggang yang baru keluar dari oven.Beberapa meja masih terisi pelanggan. Ada yang bercengkerama ringan, ada pula yang menatap layar laptop dengan fokus. Di sudut ruangan, pasangan muda tampak berbagi sepotong cake sambil tersenyum kecil. Kesibukan pagi yang penuh antrean sudah lama berlalu, meninggalkan keheningan yang terasa nyaman namun sedikit melankolis.Kalula berdiri di belakang meja kasir, jarinya mengetuk-ngetuk ringan countertop kayu yang sudah mulai aus di beberapa sudut. Tatapannya sesekali melirik ke arah Lia yang sedang merapikan etalase roti. Rak-rak kaca itu kini berisi sisa-sisa stok yang mulai menipis‒ beberapa croissant, brownies, dan sepotong cheesecake yang tampak sedikit miring di ujung p
Mentari pagi menyelinap melalui jendela rumah besar itu, membawa kehangatan yang lembut. Kalula membuka mata perlahan, menyadari bahwa Sagala sudah tidak ada di sisinya. Dia menguap kecil, menggeliat sejenak sebelum bangkit. Dari dapur, terdengar suara panci diketuk-ketuk dan aroma masakan yang menggugah selera.“Aroma apa ini?” gumam Kalula sambil berjalan ke dapur, wajahnya masih sedikit mengantuk.Sagala mengenakan kemeja hitam santainya, tampak sibuk mengaduk telur orak-arik di atas kompor. Wajahnya serius, seperti sedang memimpin rapat di kantor‒ namun kali ini yang pria itu kendalikan adalah spatula.“Pagi, Sayang.” Sapa Sagala tanpa menoleh, suaranya santai namun hangat, “Aku bikin sarapan buat kita.”Kalula tersenyum tipis, lalu melingkarkan lengannya di pinggang suaminya. Namun, matanya melirik ke sudut dapur. Biasanya, pagi-pagi seperti ini dia sibuk di dapur bersama Tika‒ maid mereka yang
Malam semakin larut ketika Lia tiba di rumah mewahnya. Suasana sepi menyelimuti, hanya terdengar deru lembut pendingin ruangan yang menyapa dari pintu utama. Lia memarkir mobilnya asal-asalan, menutup pintu mobil dengan suara yang sedikit lebih keras dari biasanya. Langkahnya gontai saat dia berjalan menuju pintu depan.Begitu masuk, seorang maid menyambutnya dengan senyum sopan, "Selamat datang, Nona Lia. Apa anda butuh sesuatu?" tanyanya lembut.Lia menggeleng pelan tanpa banyak bicara. Dia melepas sepatu hak tinggi dan menyerahkannya kepada maid, "Enggak. Aku mau langsung istirahat. Terima kasih," ucapnya singkat sebelum melangkah naik ke lantai dua.Sesampainya di kamarnya, Lia langsung membuka pintu dan masuk. Kamar itu luas dan tertata sempurna‒ dinding krem lembut, tempat tidur besar yang terlihat begitu nyaman, serta jendela besar yang menghadap ke taman belakang. Namun, Lia tidak memperhatikan semua itu malam in
Erik terdiam sesaat setelah mendengar pertanyaan Sagala. Dia meletakkan dokumen di meja, menatap temannya dengan dahi sedikit berkerut.“Apa maksud lo? Gue enggak ngerti,” ucapnya dengan nada setengah bercanda.Sagala yang bersandar di sofa, melipat tangannya di dada. Tatapannya tajam namun tidak menghakimi, “Gue ngomong soal Lia. Hubungan lo sama dia. Lo sadar enggak, dia kelihatan mulai bersikap beda ke lo?”Erik mendengus, mencoba mencairkan suasana, “Lia? Seriusan, Sag? Gue enggak ngerti kenapa lo mikir kaya gitu. Kita cuma akrab doang loh. Gue enggak pernah‒ dan enggak ada niatan ataupun ngasih sinyal apa pun ke dia.”Sagala menghela napas pelan, tetap tidak melepaskan tatapan seriusnya, “Dengar, Rik. Dia memang bukan adik kandung gue, tapi dia udah gue anggap kayak keluarga. Anak dari rekan bisnis keluarga gue yang udah dekat sama gue
Ketika sampai di kafe, langkah Kalula disambut senyum ramah para staf.“Selamat pagi, Mbak Kalula!” sapa Ana, salah satu barista, sambil melambaikan tangan.“Pagi, Ana. Semangat, ya!” jawab Kalula dengan senyuman hangat.Aroma kopi segar dan roti yang baru dipanggang memenuhi udara Kafe Romania. Suasana hangat dan nyaman terasa menyelimuti ruangan. Cahaya lampu gantung yang lembut berpadu dengan dekorasi tanaman hijau membuat kafe tampak hidup. Meja-meja penuh dengan pelanggan tetap yang berbincang santai sambil menikmati sarapan.Di sudut ruangan, Nimas‒ sahabat Kalula, berdiri dengan kedua tangan di pinggang. Ekspresi pura-pura kesal menghiasi wajahnya.“Balik juga akhirnya. Aku pikir kamu udah sekalian mau pergi bulan madu,” ujar Nimas menggoda.Kalula tertawa kecil sambil menghampirinya, &l
Sesampainya di rumah setelah mengantar makan siang untuk suaminya, Kalula segera mengemasi barang-barang mereka, bersiap untuk perjalanan kembali ke kota. Dia mengerjakannya dengan cekatan, meski hatinya diliputi rasa enggan. Ada sesuatu yang menahannya, membuatnya ingin tinggal lebih lama di rumah sederhana itu.Kalula berdiri sejenak di ambang pintu, menatap halaman yang sangat menyejukkan dan begitu menenangkan. Dia menghela napas panjang, mencoba menenangkan perasaan yang berkecamuk.“Rasanya berat sekali harus berpisah lagi dengan rumah ini,” gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.Pukul tiga sore, suara deru mesin mobil terdengar mendekat‒ diikuti suara roda berdecit lembut di atas kerikil halaman. Kalula tahu itu mobil suaminya. Dengan senyuman yang selalu ia siapkan untuk Sagala, ia melangkah keluar untuk menyambut.“Mas Saga udah pulang? Mau makan dulu, atau langsung siap-siap?” tanyan
Keesokan paginya, sinar matahari perlahan merayap masuk melalui celah-celah rumah kayu peninggalan mendiang nenek Rini. Kalula kembali sibuk di dapur, menyiapkan sarapan sederhana untuk suaminya, Sagala, dan Erik. Hari ini dia memutuskan untuk membuat nasi goreng dan telur mata sapi.Tak butuh waktu lama, masakannya pun siap. Aroma harum nasi goreng dan telur mata sapi segera memenuhi ruangan, mengundang siapa pun yang menciumnya untuk segera mencicipi.“Akhirnya selesai juga,” gumamnya sambil tersenyum, “Lebih baik aku segera menyajikannya di meja makan, lalu menyiapkan pakaian kerja untuk Mas Saga. Setelah itu, aku bisa pergi ke kebun.”Setelah semua tersaji di meja makan dan tertutup rapi dengan tudung saji, Kalula beranjak ke kamar untuk membangunkan suaminya dan menyiapkan pakaiannya.Saat masuk ke kamar, dia melihat Sagala masih terlelap di atas tempat tidur. Kalula duduk di tepi ranjang, meman
Matahari semakin tinggi, menandakan waktu istirahat siang bagi para pekerja proyek. Erik memperhatikan sebagian besar dari mereka tampak lelah, dengan keringat membasahi seragam mereka. Ia melambaikan tangan dan memberi isyarat."Kalian istirahat dulu," katanya dengan nada tegas namun ramah. Para pekerja mengangguk dan berjalan menuju tempat istirahat yang disediakan, beberapa mengucapkan terima kasih pada Erik sebelum berlalu.Erik kemudian menghampiri Sagala yang duduk di bawah bayangan tenda, sibuk menatap layar iPad-nya dengan alis berkerut. Erik duduk di sampingnya dan mencoba mengintip layar yang tampak terang di bawah sinar matahari."Masih ada masalah?" tanya Erik sambil membuka botol air mineralnya.Sagala mengangguk sambil mengusap pelipis, "Ada laporan tambahan. Material yang datang tadi pagi juga masih di bawah standar." Dia menghela napas, meletakkan iPad-nya di pangkuan, "Kalau benar ad
“Mas Saga gak siap-siap? Katanya hari ini Mas harus pergi ke perbatasan buat ngecek proyek di sana,” ujar Kalula, tersenyum sambil menatap suaminya yang kini tengah berjongkok di sebelahnya.“Iya-iya, setelah ini.” Jawab Sagala sambil menarik napas panjang, “Aku masih ingin menikmati pagi ini sebentar bermesraan dengan istriku.”Mereka berdua tertawa kecil, lalu Sagala mulai membantu Kalula merapikan kebun kecil di samping rumah. Tangan mereka sibuk mencabut rumput liar, sesekali diiringi obrolan ringan dan canda tawa yang membuat pagi itu semakin cerah dan penuh kehangatan.Di sela-sela candaan Sagala yang membuat Kalula tertawa lepas, tiba-tiba terdengar suara dari arah depan rumah.“Woi, bucin terus lo! Mau kerja atau mau pacaran seharian di kebun?” teriak Erik sambil berdiri di tepi pagar dengan tangan di pinggang, wajahnya tampak pura-pura serius,