Di ambang pintu, berdiri seorang wanita dengan rambut panjang terurai, mengenakan pakaian yang sangat anggun. Tatapannya tajam, namun menyimpan kesedihan yang dalam. Kalula belum pernah melihat wanita itu sebelumnya– tapi sepertinya jelas ada sesuatu yang menghubungkannya dengan Sagala.
Kalula mendekat, penasaran dengan siapa wanita ini dan apa hubungannya dengan Sagala. Wanita itu menatapnya dengan mata yang tampak lelah, lalu berkata, "Maafkan saya datang tiba-tiba, tanpa pemberitahuan. Saya—" Suaranya terhenti, seolah-olah berusaha mengumpulkan kekuatan untuk melanjutkan, "Saya adalah Lira."
Nama itu asing bagi Kalula, "Lira?" tanyanya, bingung.
Lira mengangguk pelan, "Saya mantan kekasih Sagala. Saya datang kesini karena ingin bertemu dengannya. Apa dia ada di rumah?"
Kalula belum sempat menjawab ketika Lia, yang diam-diam memperhatikan dari ujung ruangan, tiba-tiba berjalan mendekat dengan ekspresi tak menyenangkan. Suaranya langsung terd
Kalula terdiam sejenak, merasakan genggaman Sagala di lengannya yang semakin erat. Hatinya bergejolak‒ sebelum kembali berbicara, Kalula mengambil napas dalam-dalam seraya memejamkan matan. Kemudian, menatap pria itu sembari menampilkan senyumnya.“Tuan Saga! Saya tidak sedang berpikir apa-apa kok, memangnya saya harus berpikir apa untuk hubungan diantara kalian.” Ucapnya dengan sangat tenang, “Saya justru senang, karena kedatangan Nona Lira‒ hubungan kalian bisa kembali seperti dulu lagi kan.”“Lagi pula aku kesini hanya untuk memberitahu anda jika sarapan sudah siap.” Ucap Kalula, “Kalau begitu saya permisi.”Setelah mengatakan hal itu, Kalula pun berbalik dan melangkah menjauh dari hadapan Sagala, gadis itu memutuskan untuk naik ke atas dan masuk ke kamar.Sagala masih terpaku di tempat, jantungnya berdebar keras mendengar ucapan Kalula yang terdengar begitu tenang, namun menusuk di dalam hatinya. Senyum
Kalula menyerahkan kotak makanan yang telah dia siapkan tadi pada Erik dengan senyuman lemah, meskipun hatinya terasa berat. Setelah itu, tanpa berkata banyak‒ dia segera meninggalkan kantor dan pulang dengan perasaan yang sudah campur aduk. Pikiran dan emosinya tidak lagi bisa tertata dengan jelas.Sesampainya di rumah, langkahnya terasa berat ketika menaiki tangga. Wajahnya terlihat lesu, seolah semua energi yang dia miliki telah terkuras. Panggilan Tika yang biasanya akan ia respon dengan ramah, kali ini tidak dihiraukannya. Kalula hanya terus berjalan menuju kamarnya, berusaha menghindari interaksi dengan siapa pun.Begitu masuk ke dalam kamar, Kalula duduk di tepi ranjang dan memejamkan matanya sejenak. Dia berusaha mencari ketenangan di tengah semua kebingungannya, namun pikirannya terus berputar. Semua yang terjadi pagi tadi, reaksi Sagala terhadap Lira, kekhawatiran yang tidak dia tunjukkan, dan kini bayang-bayang keraguan semakin menyelimutinya."Apa le
Setelah perdebatan panjang yang dipenuhi amarah dan kebingungan, Kalula akhirnya menyerah. Gadis itu berdiri diam di hadapan Sagala, tubuhnya gemetar karena frustrasi, tapi dia tahu tidak ada jalan keluar. Dia kalah dalam permainan yang Sagala atur‒ permainan yang awalnya dia terima tanpa sepenuhnya memahami konsekuensinya."Baiklah," ucap Kalula dengan suara pelan, nyaris berbisik. Hatinya terasa berat, seperti terhimpit oleh semua keputusan yang harus dia terima, "Aku akan tetap tinggal‒ seperti yang kau inginkan."Sagala menatapnya. Ekspresi wajahnya sulit diartikan. Mungkin ada sedikit rasa bersalah di matanya, tapi sikapnya tetap dingin, "Kau tahu, Kalula. Ini adalah pilihanmu sendiri. Kau yang menerima permainan ini sejak awal."Kalula mengepalkan tangannya, mencoba menahan semua rasa sakit yang meluap-luap di dalam dadanya, “Pilihan?” gumamnya, hampir tertawa pahit, “Aku tidak pernah punya pilihan, Saga. Sejak awal, ini semua permainanmu
Kalula mulai berkeliling membawa map coklat di tangannya, isinya penuh dengan berkas-berkas lamaran kerja yang sudah dia siapkan semalaman. Dia mendatangi berbagai tempat‒ dari toko kecil di pinggir jalan, kafe, hingga kantor perusahaan yang lebih besar. Berharap ada satu yang mau menerimanya sebagai karyawan. Namun, hingga siang menjelang, hasilnya masih nihil. Setiap pintu yang dia ketuk selalu ditutup dengan kata-kata penolakan yang halus namun tetap menusuk."Huuftt... ternyata mencari pekerjaan tidak semudah yang aku pikirkan." Gumamnya sambil menyeka keringat di dahinya. Matanya melirik ke arah matahari yang semakin terik‒ membakar aspal di bawah kakinya. Meski tubuhnya mulai lelah dan langkahnya melambat, semangat di dalam hatinya tetap menyala.Kalula menarik napas dalam-dalam, mencoba meredam kekecewaan yang mulai merayap. Dia tidak bisa menyerah sekarang bukan‒ setelah memutuskan untuk berdiri di atas kakinya sendiri. Pikirannya melayang sejenak ke Sagal
Rama mengajak Kalula masuk ke dalam mobilnya, membuka pintu dengan gestur yang sopan, "Ayo, kita pergi ke suatu tempat," katanya. Senyumnya lebar dan penuh semangat. Kalula merasa sedikit canggung, tapi rasa senangnya mengalahkan perasaan itu. Dia melangkah masuk ke dalam mobil, menatap interior yang rapi dan modern. Setelah mereka melaju, suasana di dalam mobil terasa hangat. Sepanjang perjalanan, mereka mengobrol banyak hal‒ mengenai sekolah, teman-teman lama, dan pengalaman Rama selama tinggal di luar negeri, "Kamu tidak akan percaya, aku sudah mencoba makanan dari berbagai negara. Tapi satu yang paling bikin kangen adalah‒ bakso!" kata Rama sambil tertawa, mengingat kenangan masa kecil mereka yang sering makan bakso bersama. Kalula tertawa, teringat betapa mereka berdua selalu menghabiskan uang saku untuk membeli bakso di pojok jalan, "Jadi kamu benar-benar merindukan bakso kita yang biasa dibeli di warung itu?" tanyanya, matanya berbinar.
Kalula merasa sangat kecewa dan hancur atas apa yang telah dilakukan Sagala. Dia menangis dalam keheningan, meringkuk di atas tempat tidur pria itu dengan tubuhnya yang tertutup selimut tebal. Air mata terus mengalir di pipinya, membasahi bantal di bawahnya. Tubuhnya terasa lelah dan remuk, baik secara fisik maupun emosional. Perasaan sakit yang menguasai hatinya begitu dalam, membuatnya bertanya-tanya bagaimana ini bisa terjadi. Sagala, yang kini terbaring pulas di sampingnya, seolah tidak menyadari luka yang telah ditorehkannya. Bagi Kalula, malam itu adalah sesuatu yang tidak akan pernah bisa dia lupakan. Dia memeluk dirinya sendiri, berusaha mencari kehangatan di tengah rasa dingin yang memenuhi hatinya. Pikiran-pikirannya penuh dengan kebingungan, kemarahan, dan rasa sakit, “Kenapa semua ini harus terjadi lagi?” gumamnya dalam hati, berusaha memahami situasi yang baru saja dialaminya. Kenangan masa lalu yang penuh luka kembali menghantui, mengingat
"Saya tidak mau tahu! Pokoknya kalian cari Kalula sampai ketemu, kalian cari ke mana pun!" seru Sagala, suaranya penuh tekanan."Baik, Tuan. Kami akan segera mencari Nona Kalula. Jika sudah ada kabar, kami akan langsung menghubungi Anda," jawab salah satu anak buah Sagala sebelum mereka segera bergegas keluar untuk menjalankan perintah.Setelah semua anak buahnya pergi, Erik mendekat ke arah Sagala. "Sekarang lo ceritain deh sama gue, apa yang sebenarnya udah terjadi? Dan apa alasan gadis itu pergi? Pasti ada sesuatu yang bikin dia sampai kabur," ujar Erik dengan nada tenang namun mendesak.Sagala menghela napas berat, pandangannya terarah ke lantai, seolah mencari jawaban yang sulit diungkapkan. Erik diam, menunggu dengan sabar meski rasa ingin tahunya semakin kuat."Apa maksud lo, Sag? Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Erik pelan, mencoba memancing temannya untuk membuka diri.Sagala mengusap wajahnya dengan kedua tangan, seolah berusaha mengha
Sementara itu, Kalula kini tinggal di sebuah desa yang cukup jauh dari perkotaan. Dia menghabiskan hari-harinya bersama seorang nenek yang tidak sengaja dia tolong di jalan. Nenek itu, yang bernama Rini, sangat berterima kasih atas pertolongan Kalula dan menawarkan gadis itu tempat tinggal.Setiap hari Kalula membantu Nenek Rini berkebun, menanam sayuran, dan merawat tanaman-tanaman di kebun kecil milik nenek itu. Dia juga menemani Nenek Rini ke pasar untuk menjual hasil kebun mereka. Kehidupan barunya di desa ini memberinya rasa tenang yang sudah lama dia rindukan. Suasana yang jauh dari hiruk-pikuk kota membuat Kalula bisa sedikit melupakan masalah yang dia tinggalkan.Namun, meski begitu‒ terkadang nama Sagala masih terlintas di pikirannya. Kenangan-kenangan indah bersama pria itu mengisi pikirannya, mulai dari tawa hingga perdebatan kecil yang sering terjadi di antara mereka. Kalula sering bertanya-tanya apakah Sagala mencarinya atau hanya melupakan segalanya.
Menjelang sore, suasana kafe mulai lengang. Lampu gantung di langit-langit yang berbentuk bola kaca mulai menyala‒ memancarkan cahaya hangat ke seluruh ruangan. Aroma kopi yang khas masih samar-samar tercium, berpadu dengan wangi roti panggang yang baru keluar dari oven.Beberapa meja masih terisi pelanggan. Ada yang bercengkerama ringan, ada pula yang menatap layar laptop dengan fokus. Di sudut ruangan, pasangan muda tampak berbagi sepotong cake sambil tersenyum kecil. Kesibukan pagi yang penuh antrean sudah lama berlalu, meninggalkan keheningan yang terasa nyaman namun sedikit melankolis.Kalula berdiri di belakang meja kasir, jarinya mengetuk-ngetuk ringan countertop kayu yang sudah mulai aus di beberapa sudut. Tatapannya sesekali melirik ke arah Lia yang sedang merapikan etalase roti. Rak-rak kaca itu kini berisi sisa-sisa stok yang mulai menipis‒ beberapa croissant, brownies, dan sepotong cheesecake yang tampak sedikit miring di ujung p
Mentari pagi menyelinap melalui jendela rumah besar itu, membawa kehangatan yang lembut. Kalula membuka mata perlahan, menyadari bahwa Sagala sudah tidak ada di sisinya. Dia menguap kecil, menggeliat sejenak sebelum bangkit. Dari dapur, terdengar suara panci diketuk-ketuk dan aroma masakan yang menggugah selera.“Aroma apa ini?” gumam Kalula sambil berjalan ke dapur, wajahnya masih sedikit mengantuk.Sagala mengenakan kemeja hitam santainya, tampak sibuk mengaduk telur orak-arik di atas kompor. Wajahnya serius, seperti sedang memimpin rapat di kantor‒ namun kali ini yang pria itu kendalikan adalah spatula.“Pagi, Sayang.” Sapa Sagala tanpa menoleh, suaranya santai namun hangat, “Aku bikin sarapan buat kita.”Kalula tersenyum tipis, lalu melingkarkan lengannya di pinggang suaminya. Namun, matanya melirik ke sudut dapur. Biasanya, pagi-pagi seperti ini dia sibuk di dapur bersama Tika‒ maid mereka yang
Malam semakin larut ketika Lia tiba di rumah mewahnya. Suasana sepi menyelimuti, hanya terdengar deru lembut pendingin ruangan yang menyapa dari pintu utama. Lia memarkir mobilnya asal-asalan, menutup pintu mobil dengan suara yang sedikit lebih keras dari biasanya. Langkahnya gontai saat dia berjalan menuju pintu depan.Begitu masuk, seorang maid menyambutnya dengan senyum sopan, "Selamat datang, Nona Lia. Apa anda butuh sesuatu?" tanyanya lembut.Lia menggeleng pelan tanpa banyak bicara. Dia melepas sepatu hak tinggi dan menyerahkannya kepada maid, "Enggak. Aku mau langsung istirahat. Terima kasih," ucapnya singkat sebelum melangkah naik ke lantai dua.Sesampainya di kamarnya, Lia langsung membuka pintu dan masuk. Kamar itu luas dan tertata sempurna‒ dinding krem lembut, tempat tidur besar yang terlihat begitu nyaman, serta jendela besar yang menghadap ke taman belakang. Namun, Lia tidak memperhatikan semua itu malam in
Erik terdiam sesaat setelah mendengar pertanyaan Sagala. Dia meletakkan dokumen di meja, menatap temannya dengan dahi sedikit berkerut.“Apa maksud lo? Gue enggak ngerti,” ucapnya dengan nada setengah bercanda.Sagala yang bersandar di sofa, melipat tangannya di dada. Tatapannya tajam namun tidak menghakimi, “Gue ngomong soal Lia. Hubungan lo sama dia. Lo sadar enggak, dia kelihatan mulai bersikap beda ke lo?”Erik mendengus, mencoba mencairkan suasana, “Lia? Seriusan, Sag? Gue enggak ngerti kenapa lo mikir kaya gitu. Kita cuma akrab doang loh. Gue enggak pernah‒ dan enggak ada niatan ataupun ngasih sinyal apa pun ke dia.”Sagala menghela napas pelan, tetap tidak melepaskan tatapan seriusnya, “Dengar, Rik. Dia memang bukan adik kandung gue, tapi dia udah gue anggap kayak keluarga. Anak dari rekan bisnis keluarga gue yang udah dekat sama gue
Ketika sampai di kafe, langkah Kalula disambut senyum ramah para staf.“Selamat pagi, Mbak Kalula!” sapa Ana, salah satu barista, sambil melambaikan tangan.“Pagi, Ana. Semangat, ya!” jawab Kalula dengan senyuman hangat.Aroma kopi segar dan roti yang baru dipanggang memenuhi udara Kafe Romania. Suasana hangat dan nyaman terasa menyelimuti ruangan. Cahaya lampu gantung yang lembut berpadu dengan dekorasi tanaman hijau membuat kafe tampak hidup. Meja-meja penuh dengan pelanggan tetap yang berbincang santai sambil menikmati sarapan.Di sudut ruangan, Nimas‒ sahabat Kalula, berdiri dengan kedua tangan di pinggang. Ekspresi pura-pura kesal menghiasi wajahnya.“Balik juga akhirnya. Aku pikir kamu udah sekalian mau pergi bulan madu,” ujar Nimas menggoda.Kalula tertawa kecil sambil menghampirinya, &l
Sesampainya di rumah setelah mengantar makan siang untuk suaminya, Kalula segera mengemasi barang-barang mereka, bersiap untuk perjalanan kembali ke kota. Dia mengerjakannya dengan cekatan, meski hatinya diliputi rasa enggan. Ada sesuatu yang menahannya, membuatnya ingin tinggal lebih lama di rumah sederhana itu.Kalula berdiri sejenak di ambang pintu, menatap halaman yang sangat menyejukkan dan begitu menenangkan. Dia menghela napas panjang, mencoba menenangkan perasaan yang berkecamuk.“Rasanya berat sekali harus berpisah lagi dengan rumah ini,” gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.Pukul tiga sore, suara deru mesin mobil terdengar mendekat‒ diikuti suara roda berdecit lembut di atas kerikil halaman. Kalula tahu itu mobil suaminya. Dengan senyuman yang selalu ia siapkan untuk Sagala, ia melangkah keluar untuk menyambut.“Mas Saga udah pulang? Mau makan dulu, atau langsung siap-siap?” tanyan
Keesokan paginya, sinar matahari perlahan merayap masuk melalui celah-celah rumah kayu peninggalan mendiang nenek Rini. Kalula kembali sibuk di dapur, menyiapkan sarapan sederhana untuk suaminya, Sagala, dan Erik. Hari ini dia memutuskan untuk membuat nasi goreng dan telur mata sapi.Tak butuh waktu lama, masakannya pun siap. Aroma harum nasi goreng dan telur mata sapi segera memenuhi ruangan, mengundang siapa pun yang menciumnya untuk segera mencicipi.“Akhirnya selesai juga,” gumamnya sambil tersenyum, “Lebih baik aku segera menyajikannya di meja makan, lalu menyiapkan pakaian kerja untuk Mas Saga. Setelah itu, aku bisa pergi ke kebun.”Setelah semua tersaji di meja makan dan tertutup rapi dengan tudung saji, Kalula beranjak ke kamar untuk membangunkan suaminya dan menyiapkan pakaiannya.Saat masuk ke kamar, dia melihat Sagala masih terlelap di atas tempat tidur. Kalula duduk di tepi ranjang, meman
Matahari semakin tinggi, menandakan waktu istirahat siang bagi para pekerja proyek. Erik memperhatikan sebagian besar dari mereka tampak lelah, dengan keringat membasahi seragam mereka. Ia melambaikan tangan dan memberi isyarat."Kalian istirahat dulu," katanya dengan nada tegas namun ramah. Para pekerja mengangguk dan berjalan menuju tempat istirahat yang disediakan, beberapa mengucapkan terima kasih pada Erik sebelum berlalu.Erik kemudian menghampiri Sagala yang duduk di bawah bayangan tenda, sibuk menatap layar iPad-nya dengan alis berkerut. Erik duduk di sampingnya dan mencoba mengintip layar yang tampak terang di bawah sinar matahari."Masih ada masalah?" tanya Erik sambil membuka botol air mineralnya.Sagala mengangguk sambil mengusap pelipis, "Ada laporan tambahan. Material yang datang tadi pagi juga masih di bawah standar." Dia menghela napas, meletakkan iPad-nya di pangkuan, "Kalau benar ad
“Mas Saga gak siap-siap? Katanya hari ini Mas harus pergi ke perbatasan buat ngecek proyek di sana,” ujar Kalula, tersenyum sambil menatap suaminya yang kini tengah berjongkok di sebelahnya.“Iya-iya, setelah ini.” Jawab Sagala sambil menarik napas panjang, “Aku masih ingin menikmati pagi ini sebentar bermesraan dengan istriku.”Mereka berdua tertawa kecil, lalu Sagala mulai membantu Kalula merapikan kebun kecil di samping rumah. Tangan mereka sibuk mencabut rumput liar, sesekali diiringi obrolan ringan dan canda tawa yang membuat pagi itu semakin cerah dan penuh kehangatan.Di sela-sela candaan Sagala yang membuat Kalula tertawa lepas, tiba-tiba terdengar suara dari arah depan rumah.“Woi, bucin terus lo! Mau kerja atau mau pacaran seharian di kebun?” teriak Erik sambil berdiri di tepi pagar dengan tangan di pinggang, wajahnya tampak pura-pura serius,