Rama mengajak Kalula masuk ke dalam mobilnya, membuka pintu dengan gestur yang sopan, "Ayo, kita pergi ke suatu tempat," katanya. Senyumnya lebar dan penuh semangat. Kalula merasa sedikit canggung, tapi rasa senangnya mengalahkan perasaan itu. Dia melangkah masuk ke dalam mobil, menatap interior yang rapi dan modern.
Setelah mereka melaju, suasana di dalam mobil terasa hangat. Sepanjang perjalanan, mereka mengobrol banyak hal‒ mengenai sekolah, teman-teman lama, dan pengalaman Rama selama tinggal di luar negeri, "Kamu tidak akan percaya, aku sudah mencoba makanan dari berbagai negara. Tapi satu yang paling bikin kangen adalah‒ bakso!" kata Rama sambil tertawa, mengingat kenangan masa kecil mereka yang sering makan bakso bersama. Kalula tertawa, teringat betapa mereka berdua selalu menghabiskan uang saku untuk membeli bakso di pojok jalan, "Jadi kamu benar-benar merindukan bakso kita yang biasa dibeli di warung itu?" tanyanya, matanya berbinar.Kalula merasa sangat kecewa dan hancur atas apa yang telah dilakukan Sagala. Dia menangis dalam keheningan, meringkuk di atas tempat tidur pria itu dengan tubuhnya yang tertutup selimut tebal. Air mata terus mengalir di pipinya, membasahi bantal di bawahnya. Tubuhnya terasa lelah dan remuk, baik secara fisik maupun emosional. Perasaan sakit yang menguasai hatinya begitu dalam, membuatnya bertanya-tanya bagaimana ini bisa terjadi. Sagala, yang kini terbaring pulas di sampingnya, seolah tidak menyadari luka yang telah ditorehkannya. Bagi Kalula, malam itu adalah sesuatu yang tidak akan pernah bisa dia lupakan. Dia memeluk dirinya sendiri, berusaha mencari kehangatan di tengah rasa dingin yang memenuhi hatinya. Pikiran-pikirannya penuh dengan kebingungan, kemarahan, dan rasa sakit, “Kenapa semua ini harus terjadi lagi?” gumamnya dalam hati, berusaha memahami situasi yang baru saja dialaminya. Kenangan masa lalu yang penuh luka kembali menghantui, mengingat
"Saya tidak mau tahu! Pokoknya kalian cari Kalula sampai ketemu, kalian cari ke mana pun!" seru Sagala, suaranya penuh tekanan."Baik, Tuan. Kami akan segera mencari Nona Kalula. Jika sudah ada kabar, kami akan langsung menghubungi Anda," jawab salah satu anak buah Sagala sebelum mereka segera bergegas keluar untuk menjalankan perintah.Setelah semua anak buahnya pergi, Erik mendekat ke arah Sagala. "Sekarang lo ceritain deh sama gue, apa yang sebenarnya udah terjadi? Dan apa alasan gadis itu pergi? Pasti ada sesuatu yang bikin dia sampai kabur," ujar Erik dengan nada tenang namun mendesak.Sagala menghela napas berat, pandangannya terarah ke lantai, seolah mencari jawaban yang sulit diungkapkan. Erik diam, menunggu dengan sabar meski rasa ingin tahunya semakin kuat."Apa maksud lo, Sag? Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Erik pelan, mencoba memancing temannya untuk membuka diri.Sagala mengusap wajahnya dengan kedua tangan, seolah berusaha mengha
Sementara itu, Kalula kini tinggal di sebuah desa yang cukup jauh dari perkotaan. Dia menghabiskan hari-harinya bersama seorang nenek yang tidak sengaja dia tolong di jalan. Nenek itu, yang bernama Rini, sangat berterima kasih atas pertolongan Kalula dan menawarkan gadis itu tempat tinggal.Setiap hari Kalula membantu Nenek Rini berkebun, menanam sayuran, dan merawat tanaman-tanaman di kebun kecil milik nenek itu. Dia juga menemani Nenek Rini ke pasar untuk menjual hasil kebun mereka. Kehidupan barunya di desa ini memberinya rasa tenang yang sudah lama dia rindukan. Suasana yang jauh dari hiruk-pikuk kota membuat Kalula bisa sedikit melupakan masalah yang dia tinggalkan.Namun, meski begitu‒ terkadang nama Sagala masih terlintas di pikirannya. Kenangan-kenangan indah bersama pria itu mengisi pikirannya, mulai dari tawa hingga perdebatan kecil yang sering terjadi di antara mereka. Kalula sering bertanya-tanya apakah Sagala mencarinya atau hanya melupakan segalanya.
Beberapa hari berlalu sejak Nenek Rini dirawat di rumah sakit desa, dan selama waktu itu‒ Kalula setia menemani neneknya. Dia merawat, mengurus, dan memastikan nenek mendapatkan perawatan terbaik yang bisa diberikan di rumah sakit sederhana itu. Meskipun Nenek Rini mulai membaik dan kondisinya stabil, Kalula tetap merasa cemas setiap kali mengingat kejadian di kebun.Pagi itu, Kalula duduk di samping ranjang Nenek Rini, membelai lembut tangan nenek yang tampak lebih lemah dari biasanya. Meskipun tubuhnya terlihat ringkih, senyuman tipis yang menghiasi wajah Nenek Rini membuat Kalula sedikit tenang.“Nak, kamu tidak perlu khawatir. Nenek ini hanya butuh waktu untuk istirahat lebih lama,” ujar Nenek Rini dengan suara pelan tapi hangat.Kalula mengangguk, matanya masih berkaca-kaca, "Nenek, aku benar-benar takut. Aku pikir aku akan kehilanganmu." Jawabnya lirih. Tangannya tetap menggenggam erat tangan nenek, seakan-akan takut akan kehilangan lagi.
Kalula duduk di samping tempat tidur Nenek Rini, matanya sembab karena air mata yang terus mengalir sejak kejadian tadi malam. Dia menatap nenek yang terbaring dengan tenang, wajahnya keriput namun penuh kedamaian.Setiap detik terasa lambat, seolah waktu berhenti untuk memberi ruang bagi pikirannya yang dipenuhi kekhawatiran. Dia menatap nenek yang terbaring dengan tenang, wajahnya keriput namun penuh kedamaian. Sesekali, Kalula berbicara dalam hati, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja, tetapi ketakutan tetap menguasainya.Suara napas Nenek Rini yang lembut menjadi satu-satunya pengingat bahwa dia masih ada di sana."Bagaimana kalau‒ bagaimana kalau ini waktunya? Apa aku siap kehilangan orang yang paling berarti dalam hidupku sekarang?" batinnya penuh kecemasan. Setiap napas Nenek Rini, meski lembut, terasa seperti pengingat bahwa hidup begitu rapuh.Kalula menutup wajahnya dengan kedua tangan‒ berusaha menenangkan diri,
"Jangan sampai Saga melihatku di sini, ya Tuhan," gumam Kalula, matanya terus berkeliling memastikan tidak ada tanda-tanda kehadiran Sagala. Ia sibuk merapikan barang-barang dagangannya yang hanya terjual sedikit. Dengan perasaan was-was, tangannya dengan cepat mengikat kotak-kotak barang untuk dibawa pulang. Semakin cepat ia pergi dari sini, semakin baik‒ sebelum pria itu menyadari keberadaannya.Sejak kejadian terakhir di antara mereka, perasaannya menjadi rumit. Jarak yang ada sekarang terasa penting untuk menjaga dirinya tetap kuat dan tidak terjebak dalam kebingungan hati. Dia benar-benar tidak siap untuk bertemu dengan Sagala, apalagi di tempat sesederhana ini. Pasar desa, dengan hiruk-pikuknya yang biasa, mendadak terasa seperti tempat yang penuh tekanan bagi Kalula.Namun, seolah dunia berkonspirasi melawan keinginannya, takdir punya rencana lain. Saat Kalula sibuk menutup kotak-kotak dagangannya, sebuah suara yang sangat dikenalnya terdengar dari belakang.
Kalula mengusap wajahnya, seolah berusaha menghilangkan beban di pikirannya, “Aku tidak tahu, Bu. Dia bilang ingin memperbaiki semuanya, tapi‒ aku masih belum bisa melupakan apa yang sudah terjadi. Aku- masih terlalu kecewa dan sakit.”Ibu Aisyah mendengarkan dengan sabar, lalu menyentuh tangan Kalula dengan lembut, “Nak Kalula... Terkadang luka di hati memang butuh waktu untuk sembuh. Tidak ada yang bisa memaksa perasaanmu berubah dalam sekejap. Kamu berhak untuk menjaga jarak jika itu yang membuatmu merasa lebih baik.”Kalula menundukkan kepala, suaranya lirih, “Tapi, di sisi lain aku juga tidak bisa membohongi diri sendiri, Bu. Sebagian dari diriku masih peduli padanya. Aku takut kalau aku memberi dia kesempatan lagi, semua akan terulang. Tapi aku juga tidak bisa sepenuhnya menjauh darinya.”Ibu Aisyah tersenyum lembut, “Perasaan manusia memang rumit, Nak. Tidak ada jawaban yang mudah. Tapi satu hal yang perlu kamu in
"Aku tidak menyangka, seorang Sagala kini kembali seperti dulu lagi. Kembali menjadi pria yang terlihat begitu mencintai seseorang." Erik menggoda sambil menyenggol lengan Sagala, matanya penuh tawa, "Tapi aku harap, kau tidak akan mengulangi kesalahan yang sama seperti dulu‒ yang akhirnya membuatmu menyesal."Sagala hanya mendesah, menatap sungai yang mengalir tenang di hadapannya, "Aku sudah cukup menyesal, Rik." katanya datar. Meski ada kepedihan yang tersembunyi dalam suaranya, "Aku tidak mau mengulanginya lagi. Itu sebabnya aku berusaha keras untuk memperbaiki semuanya. Tapi, Kalula‒ dia masih belum siap."Erik menatapnya dengan ekspresi serius, "Kau tahu, Sag. Cinta itu soal waktu juga. Kalau kau terlalu cepat atau terlalu lambat, kau bisa kehilangan segalanya. Mungkin sekarang bukan waktunya‒ tapi kau juga harus paham batas. Jangan memaksakan sesuatu sesuai kehendakmu."Sagala mengangguk pelan, namun di dalam hati
Langit malam yang bertabur bintang menjadi saksi perjalanan mereka menuju rumah. Suara canda tawa Sagala, Mama Elena, dan Kakek Arya memenuhi kabin mobil, menciptakan kehangatan di tengah dinginnya malam. Kalula meski tersenyum sesekali, lebih banyak tenggelam dalam pikirannya sendiri.Pesan misterius yang diterimanya tadi siang terus menghantui, membuat suasana hatinya tak sepenuhnya terhubung dengan keceriaan di sekitarnya.“Kamu baik-baik saja, Nak?” suara berat namun lembut Kakek Arya memecah lamunannya. Tatapan penuh perhatian pria tua itu langsung tertuju ke arah Kalula.“Ah... iya, Kek. Aku baik-baik saja.” Jawab Kalula tergesa, mencoba menutupi kegelisahannya dengan senyum, “Cuma sedikit lelah setelah seharian di kafe.”Elena yang duduk di samping Kalula, menyentuh lembut tangan menantunya, “Kalau kamu lelah‒ istirahat saja, Sayang. Besok biar Mama ya
Setelah percakapan telepon dengan Mama mertuanya, Kalula bergegas untuk bersiap berangkat ke kafe milik Mama mertuanya seperti biasa. Dia memilih setelan kasual berupa blus putih sederhana dan celana panjang krem, lalu mengambil tas slempangnya.Sebelum keluar rumah, Kalula menghela napas panjang, “Lupakan dulu, Kal. Sekarang kamu harus fokus dulu di kafe,” gumamnya pada diri sendiri.Setelah itu dia segera keluar dari rumah dan langsung menaiki taksi yang sudah menunggunya di depan pagar. Sopir taksi menyapanya dengan ramah, tapi Kalula hanya menjawab dengan senyuman singkat sembari tenggelam dalam pikirannya sendiri.“Ke Kafe Romania, Pak.” Ucapnya pelan.Sepanjang perjalanan, Kalula memandang keluar jendela‒ menyaksikan keramaian kota yang terasa seperti latar belakang tanpa suara. Suasana hatinya pagi ini terasa berat, tapi dia terus mengingatkan diri untuk tetap tenang.
Kalula bangun lebih awal seperti biasanya. Matahari baru saja mulai mengintip dari balik tirai jendela kamarnya. Setelah mandi dan berdandan sederhana, dia menuju dapur dengan langkah ringan. Aroma segar pagi itu seolah menular pada semangatnya.Setibanya di dapur, dia melihat Tika‒ maid yang setia membantu pekerjaan rumah tangga, tengah sibuk di sana.“Pagi, Tika.” Sapa Kalula dengan senyum khasnya.“Pagi, Nona Kalula.” Jawab Tika sopan sambil menoleh sekilas dari meja dapur.“Mau masak apa kita hari ini, Tika?” Kalula mengambil apron dari gantungan dan mengikat rambutnya asal, siap membantu.Tika tersenyum kecil, “Saya sudah siapkan bahan untuk nasi goreng spesial, Nona. Tapi kalau ada yang mau ditambah, saya siap bantu.”“Hmm... nasi goreng kedengarannya enak,” gumam Kalula sambil membuka kulkas,
Sagala menyandarkan tubuhnya ke mobil, matanya tetap tertuju pada pintu kafe yang baru saja tertutup. Udara malam yang semakin dingin membawa aroma kopi bercampur wangi tanah basah sisa hujan sore tadi. Dia melipat kedua tangannya di depan dada, membiarkan pikirannya mengembara.Kalula tidak pernah berubah, pikirnya sambil tersenyum tipis. Energinya selalu penuh, bahkan setelah seharian bekerja. Itu salah satu hal yang membuatnya jatuh cinta sejak awal.Tidak lama kemudian, pintu kafe kembali terbuka. Kalula muncul kembali dengan membawa tas selempang kecil di pundaknya. Langkahnya cepat, seperti sedang mengejar waktu.“Mas, maaf ya kalau sedikit lama.” Ucapnya sambil berhenti tepat di hadapan Sagala.Sagala menggeleng kecil, “Enggak apa-apa, Kal. Lagi pula, aku lebih suka nunggu kamu.” Jawabnya sambil tersenyum menggoda.Kalula mendengus kecil, lalu terta
Langit malam mulai memayungi kota ketika lampu-lampu kecil di kafe Romania memancarkan sinarnya yang hangat, menciptakan suasana nyaman bagi pelanggan yang tersisa. Kalula sibuk menyusun laporan harian di meja bar, sementara Lia berdiri tak jauh darinya, tampak gelisah dengan tas kecil yang sudah tersampir di bahunya.Lia akhirnya mendekat, mengalihkan perhatian Kalula dari laporan-laporan yang berserakan."Kal, gue izin pulang duluan, boleh kan?" tanyanya singkat. Suaranya terdengar datar, tidak seperti biasanya.Kalula menghentikan pekerjaannya, menatap Lia dengan seksama. "Iya, Lia. Boleh kok. Lagi pula kafe juga sudah mulai sepi," jawabnya dengan lembut. Namun, rasa khawatir tergambar jelas di matanya. "Tapi kamu baik-baik aja? Kelihatannya dari tadi kamu kurang semangat."Lia mengangguk kecil, tapi tidak menatap langsung. "Gue nggak apa-apa," ucapnya dengan nada singkat. Lalu, dengan sedikit ket
Pagi berikutnya, Lia bangun lebih pagi dari biasanya‒ memastikan dirinya tidak bertemu langsung dengan sang ayah. Keputusan itu lahir dari rasa bimbang yang terus menghantuinya semalaman. Dia belum siap menghadapi kenyataan yang mungkin akan membuat hubungannya dengan sang ayah semakin renggang.Setelah bersiap, Lia mengambil tas kecilnya dan segera melangkah keluar. Namun, baru saja membuka pintu, suara ayahnya menghentikan langkahnya."Lia, kamu mau ke mana pagi-pagi begini?" tanya Erwin dengan nada datar, meski sorot matanya penuh kecurigaan.Lia menghentikan langkahnya, menghela napas berat sebelum berbalik menatap sang ayah, "Ke kafe Romania. Mau bantu-bantu di sana seperti biasa."Erwin mengangguk kecil, lalu melanjutkan, "Nanti pulang lebih awal, Papa mau bicara sama kamu. Ada yang harus Papa jelaskan."Ucapan itu seperti petir di siang bolong. Lia mencoba menjaga ekspresinya tetap tenang, meski dalam hati dia bertanya-tanya apa yang ingin disampaikan ayahnya, "Oke." Jawabnya s
Pagi itu, sinar matahari menembus tirai kamar Lia, menciptakan pola bayangan lembut di lantai kayu. Wanita muda itu duduk termenung di depan meja rias, tangannya menopang dagu. Bayangan dirinya di cermin tampak seperti seseorang yang berjuang melawan badai dalam pikirannya. Pertengkaran tadi malam dengan sang ayah terus bergema di benaknya, membuat tidur malamnya terpotong-potong oleh mimpi buruk.Dia menghela napas panjang, mencoba menyemangati dirinya sendiri, "Aku nggak bisa terus begini. Aku harus tahu apa yang sebenarnya papa sembunyikan." Suaranya lirih, seperti mantra untuk menguatkan tekadnya.Setelah bergegas mandi dan mengenakan pakaian sederhana, Lia melewatkan sarapan. Langkah kakinya cepat menuruni tangga rumah, tetapi hatinya terasa berat. Dia memutuskan untuk mampir ke taman kecil di pusat kota sebelum menuju kafe Romania, tempat yang biasa dia datangi untuk menghabiskan waktu dengan membantu bekerja di sana.Taman itu masih lengang saat Lia tiba. Pepohonan rindang meli
Malam semakin larut, dan suasana kamar dipenuhi keheningan yang hanya diiringi suara detak jam di dinding. Sagala berbaring di sisi ranjang, tubuhnya terlentang dengan satu tangan diletakkan di belakang kepala. Pandangannya menatap langit-langit yang gelap, pikirannya terus berputar di antara kekhawatiran dan rencana-rencana yang belum tuntas dia susun.Di sebelahnya, Kalula tertidur pulas dengan posisi miring‒ wajahnya menghadap Sagala. Wajah damai istrinya seolah menjadi penawar bagi segala badai yang dia rasakan di hati. Napas Kalula yang lembut terdengar beraturan, memberi ritme yang menenangkan di tengah kegelisahan malam itu.Sagala memutar tubuhnya sedikit, menghadap Kalula. Tangan besarnya terulur perlahan, menyibakkan helaian rambut yang jatuh di pipi istrinya. Gerakannya lembut, seperti ingin memastikan bahwa kehadirannya tidak mengganggu tidur wanita itu."Semoga saja dia tidak merencanakan sesuatu," gumamnya pelan.Matanya mengamati wajah Kalula dengan penuh perhatian, mena
Menjelang sore, suasana kafe mulai lengang. Lampu gantung di langit-langit yang berbentuk bola kaca mulai menyala‒ memancarkan cahaya hangat ke seluruh ruangan. Aroma kopi yang khas masih samar-samar tercium, berpadu dengan wangi roti panggang yang baru keluar dari oven.Beberapa meja masih terisi pelanggan. Ada yang bercengkerama ringan, ada pula yang menatap layar laptop dengan fokus. Di sudut ruangan, pasangan muda tampak berbagi sepotong cake sambil tersenyum kecil. Kesibukan pagi yang penuh antrean sudah lama berlalu, meninggalkan keheningan yang terasa nyaman namun sedikit melankolis.Kalula berdiri di belakang meja kasir, jarinya mengetuk-ngetuk ringan countertop kayu yang sudah mulai aus di beberapa sudut. Tatapannya sesekali melirik ke arah Lia yang sedang merapikan etalase roti. Rak-rak kaca itu kini berisi sisa-sisa stok yang mulai menipis‒ beberapa croissant, brownies, dan sepotong cheesecake yang tampak sedikit miring di ujung p