Kalula duduk di samping tempat tidur Nenek Rini, matanya sembab karena air mata yang terus mengalir sejak kejadian tadi malam. Dia menatap nenek yang terbaring dengan tenang, wajahnya keriput namun penuh kedamaian.
Setiap detik terasa lambat, seolah waktu berhenti untuk memberi ruang bagi pikirannya yang dipenuhi kekhawatiran. Dia menatap nenek yang terbaring dengan tenang, wajahnya keriput namun penuh kedamaian. Sesekali, Kalula berbicara dalam hati, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja, tetapi ketakutan tetap menguasainya.
Suara napas Nenek Rini yang lembut menjadi satu-satunya pengingat bahwa dia masih ada di sana.
"Bagaimana kalau‒ bagaimana kalau ini waktunya? Apa aku siap kehilangan orang yang paling berarti dalam hidupku sekarang?" batinnya penuh kecemasan. Setiap napas Nenek Rini, meski lembut, terasa seperti pengingat bahwa hidup begitu rapuh.
Kalula menutup wajahnya dengan kedua tangan‒ berusaha menenangkan diri,
"Jangan sampai Saga melihatku di sini, ya Tuhan," gumam Kalula, matanya terus berkeliling memastikan tidak ada tanda-tanda kehadiran Sagala. Ia sibuk merapikan barang-barang dagangannya yang hanya terjual sedikit. Dengan perasaan was-was, tangannya dengan cepat mengikat kotak-kotak barang untuk dibawa pulang. Semakin cepat ia pergi dari sini, semakin baik‒ sebelum pria itu menyadari keberadaannya.Sejak kejadian terakhir di antara mereka, perasaannya menjadi rumit. Jarak yang ada sekarang terasa penting untuk menjaga dirinya tetap kuat dan tidak terjebak dalam kebingungan hati. Dia benar-benar tidak siap untuk bertemu dengan Sagala, apalagi di tempat sesederhana ini. Pasar desa, dengan hiruk-pikuknya yang biasa, mendadak terasa seperti tempat yang penuh tekanan bagi Kalula.Namun, seolah dunia berkonspirasi melawan keinginannya, takdir punya rencana lain. Saat Kalula sibuk menutup kotak-kotak dagangannya, sebuah suara yang sangat dikenalnya terdengar dari belakang.
Kalula mengusap wajahnya, seolah berusaha menghilangkan beban di pikirannya, “Aku tidak tahu, Bu. Dia bilang ingin memperbaiki semuanya, tapi‒ aku masih belum bisa melupakan apa yang sudah terjadi. Aku- masih terlalu kecewa dan sakit.”Ibu Aisyah mendengarkan dengan sabar, lalu menyentuh tangan Kalula dengan lembut, “Nak Kalula... Terkadang luka di hati memang butuh waktu untuk sembuh. Tidak ada yang bisa memaksa perasaanmu berubah dalam sekejap. Kamu berhak untuk menjaga jarak jika itu yang membuatmu merasa lebih baik.”Kalula menundukkan kepala, suaranya lirih, “Tapi, di sisi lain aku juga tidak bisa membohongi diri sendiri, Bu. Sebagian dari diriku masih peduli padanya. Aku takut kalau aku memberi dia kesempatan lagi, semua akan terulang. Tapi aku juga tidak bisa sepenuhnya menjauh darinya.”Ibu Aisyah tersenyum lembut, “Perasaan manusia memang rumit, Nak. Tidak ada jawaban yang mudah. Tapi satu hal yang perlu kamu in
"Aku tidak menyangka, seorang Sagala kini kembali seperti dulu lagi. Kembali menjadi pria yang terlihat begitu mencintai seseorang." Erik menggoda sambil menyenggol lengan Sagala, matanya penuh tawa, "Tapi aku harap, kau tidak akan mengulangi kesalahan yang sama seperti dulu‒ yang akhirnya membuatmu menyesal."Sagala hanya mendesah, menatap sungai yang mengalir tenang di hadapannya, "Aku sudah cukup menyesal, Rik." katanya datar. Meski ada kepedihan yang tersembunyi dalam suaranya, "Aku tidak mau mengulanginya lagi. Itu sebabnya aku berusaha keras untuk memperbaiki semuanya. Tapi, Kalula‒ dia masih belum siap."Erik menatapnya dengan ekspresi serius, "Kau tahu, Sag. Cinta itu soal waktu juga. Kalau kau terlalu cepat atau terlalu lambat, kau bisa kehilangan segalanya. Mungkin sekarang bukan waktunya‒ tapi kau juga harus paham batas. Jangan memaksakan sesuatu sesuai kehendakmu."Sagala mengangguk pelan, namun di dalam hati
Kalula duduk di teras rumahnya, ditemani Ibu Aisyah yang setia menghabiskan waktu bersama semenjak kepergian Nenek Rini. Sore itu angin berhembus lembut, membuat suasana terasa damai, meskipun di dalam hati Kalula masih ada rasa gundah yang belum sepenuhnya hilang."Bagaimana kebunmu hari ini, Kalula?" tanya Ibu Aisyah, sambil menyandarkan tubuhnya pada kursi kayu. Wanita setengah baya itu selalu tampak tenang, dan keberadaannya menjadi pelipur lara bagi Kalula."Seperti biasa, Bu." Jawab Kalula sambil tersenyum tipis, "Tidak banyak yang berubah. Hanya beberapa tanaman yang butuh perhatian ekstra."Ibu Aisyah mengangguk pelan, sorot matanya penuh kasih sayang, "Nak, kamu terlalu sering menghabiskan waktu sendirian. Ibu khawatir kamu merasa kesepian."Kalula tersenyum lebih lebar kali ini, berusaha menyembunyikan perasaan hatinya, "Tidak apa-apa, Bu. Lagipula, Ibu selalu ada di sini menemani, kan? Kalula jadi tidak terlalu merasa sendirian."Wanita
Dua hari kemudian, Kalula kembali berada di pasar seperti biasanya. Dia duduk di balik lapak sederhana yang penuh dengan sayur mayur segar hasil panen dari kebunnya sendiri. Namun, tidak seperti biasanya‒ dagangannya sama sekali belum laku terjual. Matahari sudah mulai tinggi, namun tidak ada satu pun pembeli yang mampir ke lapaknya. Kalula mulai merasa cemas."Ya Tuhan, kenapa hari ini tidak ada yang membeli daganganku?" gumamnya pelan sambil memandang sayur-sayuran yang tersusun rapi di depannya.Namun, dia segera menggelengkan kepala, berusaha mengusir kekhawatiran itu, "Tapi aku gak boleh patah semangat. Siapa tahu, sebentar lagi ada yang membeli," ujarnya pada dirinya sendiri, mencoba menyemangati diri. Sebuah senyuman kembali menghiasi wajahnya, meski tipis.Dan benar saja, tidak lama kemudian seorang ibu-ibu menghampirinya. Wajahnya ceria, dan matanya berbinar ketika melihat sayur-sayuran yang dijual Kalula."Wahh... Sayurannya segar-segar sekali!"
Kalula menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gemuruh perasaannya. Dia memandang Sagala dengan mata yang sendu, “Sagala, kamu tahu bahwa apa yang terjadi malam itu‒ itu bukan sesuatu yang bisa aku lupakan begitu saja. Rasa kecewa itu masih ada, dan aku belum bisa sepenuhnya memaafkan apa yang kamu lakukan.”Sagala menundukkan kepalanya, menyadari beratnya kata-kata Kalula. Dia tahu bahwa malam itu telah merusak sesuatu yang begitu berharga di antara mereka.“Tapi aku mohon, beri aku kesempatan untuk memperbaikinya,” pinta Sagala, suaranya terdengar tulus, namun juga dipenuhi ketidakpastian, “Aku akan lakukan apa pun. Aku hanya ingin kamu kembali, dan aku ingin kita membangun masa depan bersama.”Kalula terdiam, merasa perasaannya terbelah. Dia masih merasakan luka dari masa lalu, tetapi di satu sisi, ada bagian dari dirinya yang ingin percaya pada ketulusan Sagala. Namun, untuk menerima permintaan menikah begitu saja?
"Maaf... Aku tadi tidak membawa bekal apapun, karena tidak sempat membuatnya," ucap Kalula dengan suara yang terdengar canggung."Tidak apa-apa, Kalula. Dengan kamu mengizinkan aku untuk membantumu di sini saja, sudah membuatku sangat senang," jawab Sagala, matanya berbinar penuh harapan, "Aku harap ini adalah langkah awal yang baik untuk hubungan kita lagi."Kalula terdiam sesaat, tak tahu harus merespon bagaimana ucapan pria itu barusan. Dalam hati kecilnya, dia memang belum sepenuhnya bisa menerima kehadiran Sagala kembali, tetapi dia berusaha untuk membuka diri pada pria itu."Hmmm... Ini sudah siang. Aku akan masak makan siang dulu. Jika kau mau, kau bisa ikut ke rumahku dan makan siang," ucap Kalula dengan sedikit ragu, suaranya bergetar antara harapan dan ketakutan.Sagala tersenyum lebar, "Aku akan sangat senang sekali! Terima kasih, Kalula. Ini akan menjadi momen yang berharga."Mereka berdua berjalan menuju rumah Kalula, suasana di sepanj
Tepat lusa. Kalula sudah memiliki jawaban yang akan dia berikan pada Sagala. Namun, gadis itu merasakan ada yang berbeda. Sejak pagi, Sagala tidak datang ke rumahnya untuk membantunya di kebun atau sekadar mengganggu dengan candaan seperti biasanya, "Tumben dia tidak kesini? Apa dia sedang sibuk dengan pekerjaannya di proyek?" gumamnya.Setelah menyelesaikan pekerjaan di kebun, Kalula memutuskan untuk mengantar makan siang ke tempat proyek Sagala. Dia ingin memberikan jawaban atas pertanyaan yang diutarakan Sagala beberapa hari lalu, "Semoga saja aku tidak telat," pikirnya, sambil bergegas mengambil bekal yang sudah disiapkannya.Kalula mengemas makanan sederhana dalam sebuah wadah dan mengenakan jaketnya. Dalam hati, dia berharap semoga Sagala masih ada di proyek saat dia tiba, "Semoga keputusanku tidak salah," bisiknya pada diri sendiri.Dengan langkah cepat, Kalula berangkat menuju lokasi proyek. Perasaan campur aduk
Menjelang sore, suasana kafe mulai lengang. Lampu gantung di langit-langit yang berbentuk bola kaca mulai menyala‒ memancarkan cahaya hangat ke seluruh ruangan. Aroma kopi yang khas masih samar-samar tercium, berpadu dengan wangi roti panggang yang baru keluar dari oven.Beberapa meja masih terisi pelanggan. Ada yang bercengkerama ringan, ada pula yang menatap layar laptop dengan fokus. Di sudut ruangan, pasangan muda tampak berbagi sepotong cake sambil tersenyum kecil. Kesibukan pagi yang penuh antrean sudah lama berlalu, meninggalkan keheningan yang terasa nyaman namun sedikit melankolis.Kalula berdiri di belakang meja kasir, jarinya mengetuk-ngetuk ringan countertop kayu yang sudah mulai aus di beberapa sudut. Tatapannya sesekali melirik ke arah Lia yang sedang merapikan etalase roti. Rak-rak kaca itu kini berisi sisa-sisa stok yang mulai menipis‒ beberapa croissant, brownies, dan sepotong cheesecake yang tampak sedikit miring di ujung p
Mentari pagi menyelinap melalui jendela rumah besar itu, membawa kehangatan yang lembut. Kalula membuka mata perlahan, menyadari bahwa Sagala sudah tidak ada di sisinya. Dia menguap kecil, menggeliat sejenak sebelum bangkit. Dari dapur, terdengar suara panci diketuk-ketuk dan aroma masakan yang menggugah selera.“Aroma apa ini?” gumam Kalula sambil berjalan ke dapur, wajahnya masih sedikit mengantuk.Sagala mengenakan kemeja hitam santainya, tampak sibuk mengaduk telur orak-arik di atas kompor. Wajahnya serius, seperti sedang memimpin rapat di kantor‒ namun kali ini yang pria itu kendalikan adalah spatula.“Pagi, Sayang.” Sapa Sagala tanpa menoleh, suaranya santai namun hangat, “Aku bikin sarapan buat kita.”Kalula tersenyum tipis, lalu melingkarkan lengannya di pinggang suaminya. Namun, matanya melirik ke sudut dapur. Biasanya, pagi-pagi seperti ini dia sibuk di dapur bersama Tika‒ maid mereka yang
Malam semakin larut ketika Lia tiba di rumah mewahnya. Suasana sepi menyelimuti, hanya terdengar deru lembut pendingin ruangan yang menyapa dari pintu utama. Lia memarkir mobilnya asal-asalan, menutup pintu mobil dengan suara yang sedikit lebih keras dari biasanya. Langkahnya gontai saat dia berjalan menuju pintu depan.Begitu masuk, seorang maid menyambutnya dengan senyum sopan, "Selamat datang, Nona Lia. Apa anda butuh sesuatu?" tanyanya lembut.Lia menggeleng pelan tanpa banyak bicara. Dia melepas sepatu hak tinggi dan menyerahkannya kepada maid, "Enggak. Aku mau langsung istirahat. Terima kasih," ucapnya singkat sebelum melangkah naik ke lantai dua.Sesampainya di kamarnya, Lia langsung membuka pintu dan masuk. Kamar itu luas dan tertata sempurna‒ dinding krem lembut, tempat tidur besar yang terlihat begitu nyaman, serta jendela besar yang menghadap ke taman belakang. Namun, Lia tidak memperhatikan semua itu malam in
Erik terdiam sesaat setelah mendengar pertanyaan Sagala. Dia meletakkan dokumen di meja, menatap temannya dengan dahi sedikit berkerut.“Apa maksud lo? Gue enggak ngerti,” ucapnya dengan nada setengah bercanda.Sagala yang bersandar di sofa, melipat tangannya di dada. Tatapannya tajam namun tidak menghakimi, “Gue ngomong soal Lia. Hubungan lo sama dia. Lo sadar enggak, dia kelihatan mulai bersikap beda ke lo?”Erik mendengus, mencoba mencairkan suasana, “Lia? Seriusan, Sag? Gue enggak ngerti kenapa lo mikir kaya gitu. Kita cuma akrab doang loh. Gue enggak pernah‒ dan enggak ada niatan ataupun ngasih sinyal apa pun ke dia.”Sagala menghela napas pelan, tetap tidak melepaskan tatapan seriusnya, “Dengar, Rik. Dia memang bukan adik kandung gue, tapi dia udah gue anggap kayak keluarga. Anak dari rekan bisnis keluarga gue yang udah dekat sama gue
Ketika sampai di kafe, langkah Kalula disambut senyum ramah para staf.“Selamat pagi, Mbak Kalula!” sapa Ana, salah satu barista, sambil melambaikan tangan.“Pagi, Ana. Semangat, ya!” jawab Kalula dengan senyuman hangat.Aroma kopi segar dan roti yang baru dipanggang memenuhi udara Kafe Romania. Suasana hangat dan nyaman terasa menyelimuti ruangan. Cahaya lampu gantung yang lembut berpadu dengan dekorasi tanaman hijau membuat kafe tampak hidup. Meja-meja penuh dengan pelanggan tetap yang berbincang santai sambil menikmati sarapan.Di sudut ruangan, Nimas‒ sahabat Kalula, berdiri dengan kedua tangan di pinggang. Ekspresi pura-pura kesal menghiasi wajahnya.“Balik juga akhirnya. Aku pikir kamu udah sekalian mau pergi bulan madu,” ujar Nimas menggoda.Kalula tertawa kecil sambil menghampirinya, &l
Sesampainya di rumah setelah mengantar makan siang untuk suaminya, Kalula segera mengemasi barang-barang mereka, bersiap untuk perjalanan kembali ke kota. Dia mengerjakannya dengan cekatan, meski hatinya diliputi rasa enggan. Ada sesuatu yang menahannya, membuatnya ingin tinggal lebih lama di rumah sederhana itu.Kalula berdiri sejenak di ambang pintu, menatap halaman yang sangat menyejukkan dan begitu menenangkan. Dia menghela napas panjang, mencoba menenangkan perasaan yang berkecamuk.“Rasanya berat sekali harus berpisah lagi dengan rumah ini,” gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.Pukul tiga sore, suara deru mesin mobil terdengar mendekat‒ diikuti suara roda berdecit lembut di atas kerikil halaman. Kalula tahu itu mobil suaminya. Dengan senyuman yang selalu ia siapkan untuk Sagala, ia melangkah keluar untuk menyambut.“Mas Saga udah pulang? Mau makan dulu, atau langsung siap-siap?” tanyan
Keesokan paginya, sinar matahari perlahan merayap masuk melalui celah-celah rumah kayu peninggalan mendiang nenek Rini. Kalula kembali sibuk di dapur, menyiapkan sarapan sederhana untuk suaminya, Sagala, dan Erik. Hari ini dia memutuskan untuk membuat nasi goreng dan telur mata sapi.Tak butuh waktu lama, masakannya pun siap. Aroma harum nasi goreng dan telur mata sapi segera memenuhi ruangan, mengundang siapa pun yang menciumnya untuk segera mencicipi.“Akhirnya selesai juga,” gumamnya sambil tersenyum, “Lebih baik aku segera menyajikannya di meja makan, lalu menyiapkan pakaian kerja untuk Mas Saga. Setelah itu, aku bisa pergi ke kebun.”Setelah semua tersaji di meja makan dan tertutup rapi dengan tudung saji, Kalula beranjak ke kamar untuk membangunkan suaminya dan menyiapkan pakaiannya.Saat masuk ke kamar, dia melihat Sagala masih terlelap di atas tempat tidur. Kalula duduk di tepi ranjang, meman
Matahari semakin tinggi, menandakan waktu istirahat siang bagi para pekerja proyek. Erik memperhatikan sebagian besar dari mereka tampak lelah, dengan keringat membasahi seragam mereka. Ia melambaikan tangan dan memberi isyarat."Kalian istirahat dulu," katanya dengan nada tegas namun ramah. Para pekerja mengangguk dan berjalan menuju tempat istirahat yang disediakan, beberapa mengucapkan terima kasih pada Erik sebelum berlalu.Erik kemudian menghampiri Sagala yang duduk di bawah bayangan tenda, sibuk menatap layar iPad-nya dengan alis berkerut. Erik duduk di sampingnya dan mencoba mengintip layar yang tampak terang di bawah sinar matahari."Masih ada masalah?" tanya Erik sambil membuka botol air mineralnya.Sagala mengangguk sambil mengusap pelipis, "Ada laporan tambahan. Material yang datang tadi pagi juga masih di bawah standar." Dia menghela napas, meletakkan iPad-nya di pangkuan, "Kalau benar ad
“Mas Saga gak siap-siap? Katanya hari ini Mas harus pergi ke perbatasan buat ngecek proyek di sana,” ujar Kalula, tersenyum sambil menatap suaminya yang kini tengah berjongkok di sebelahnya.“Iya-iya, setelah ini.” Jawab Sagala sambil menarik napas panjang, “Aku masih ingin menikmati pagi ini sebentar bermesraan dengan istriku.”Mereka berdua tertawa kecil, lalu Sagala mulai membantu Kalula merapikan kebun kecil di samping rumah. Tangan mereka sibuk mencabut rumput liar, sesekali diiringi obrolan ringan dan canda tawa yang membuat pagi itu semakin cerah dan penuh kehangatan.Di sela-sela candaan Sagala yang membuat Kalula tertawa lepas, tiba-tiba terdengar suara dari arah depan rumah.“Woi, bucin terus lo! Mau kerja atau mau pacaran seharian di kebun?” teriak Erik sambil berdiri di tepi pagar dengan tangan di pinggang, wajahnya tampak pura-pura serius,