Dua hari kemudian, Kalula kembali berada di pasar seperti biasanya. Dia duduk di balik lapak sederhana yang penuh dengan sayur mayur segar hasil panen dari kebunnya sendiri. Namun, tidak seperti biasanya‒ dagangannya sama sekali belum laku terjual. Matahari sudah mulai tinggi, namun tidak ada satu pun pembeli yang mampir ke lapaknya. Kalula mulai merasa cemas.
"Ya Tuhan, kenapa hari ini tidak ada yang membeli daganganku?" gumamnya pelan sambil memandang sayur-sayuran yang tersusun rapi di depannya.
Namun, dia segera menggelengkan kepala, berusaha mengusir kekhawatiran itu, "Tapi aku gak boleh patah semangat. Siapa tahu, sebentar lagi ada yang membeli," ujarnya pada dirinya sendiri, mencoba menyemangati diri. Sebuah senyuman kembali menghiasi wajahnya, meski tipis.
Dan benar saja, tidak lama kemudian seorang ibu-ibu menghampirinya. Wajahnya ceria, dan matanya berbinar ketika melihat sayur-sayuran yang dijual Kalula.
"Wahh... Sayurannya segar-segar sekali!"
Kalula menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gemuruh perasaannya. Dia memandang Sagala dengan mata yang sendu, “Sagala, kamu tahu bahwa apa yang terjadi malam itu‒ itu bukan sesuatu yang bisa aku lupakan begitu saja. Rasa kecewa itu masih ada, dan aku belum bisa sepenuhnya memaafkan apa yang kamu lakukan.”Sagala menundukkan kepalanya, menyadari beratnya kata-kata Kalula. Dia tahu bahwa malam itu telah merusak sesuatu yang begitu berharga di antara mereka.“Tapi aku mohon, beri aku kesempatan untuk memperbaikinya,” pinta Sagala, suaranya terdengar tulus, namun juga dipenuhi ketidakpastian, “Aku akan lakukan apa pun. Aku hanya ingin kamu kembali, dan aku ingin kita membangun masa depan bersama.”Kalula terdiam, merasa perasaannya terbelah. Dia masih merasakan luka dari masa lalu, tetapi di satu sisi, ada bagian dari dirinya yang ingin percaya pada ketulusan Sagala. Namun, untuk menerima permintaan menikah begitu saja?
"Maaf... Aku tadi tidak membawa bekal apapun, karena tidak sempat membuatnya," ucap Kalula dengan suara yang terdengar canggung."Tidak apa-apa, Kalula. Dengan kamu mengizinkan aku untuk membantumu di sini saja, sudah membuatku sangat senang," jawab Sagala, matanya berbinar penuh harapan, "Aku harap ini adalah langkah awal yang baik untuk hubungan kita lagi."Kalula terdiam sesaat, tak tahu harus merespon bagaimana ucapan pria itu barusan. Dalam hati kecilnya, dia memang belum sepenuhnya bisa menerima kehadiran Sagala kembali, tetapi dia berusaha untuk membuka diri pada pria itu."Hmmm... Ini sudah siang. Aku akan masak makan siang dulu. Jika kau mau, kau bisa ikut ke rumahku dan makan siang," ucap Kalula dengan sedikit ragu, suaranya bergetar antara harapan dan ketakutan.Sagala tersenyum lebar, "Aku akan sangat senang sekali! Terima kasih, Kalula. Ini akan menjadi momen yang berharga."Mereka berdua berjalan menuju rumah Kalula, suasana di sepanj
Tepat lusa. Kalula sudah memiliki jawaban yang akan dia berikan pada Sagala. Namun, gadis itu merasakan ada yang berbeda. Sejak pagi, Sagala tidak datang ke rumahnya untuk membantunya di kebun atau sekadar mengganggu dengan candaan seperti biasanya, "Tumben dia tidak kesini? Apa dia sedang sibuk dengan pekerjaannya di proyek?" gumamnya.Setelah menyelesaikan pekerjaan di kebun, Kalula memutuskan untuk mengantar makan siang ke tempat proyek Sagala. Dia ingin memberikan jawaban atas pertanyaan yang diutarakan Sagala beberapa hari lalu, "Semoga saja aku tidak telat," pikirnya, sambil bergegas mengambil bekal yang sudah disiapkannya.Kalula mengemas makanan sederhana dalam sebuah wadah dan mengenakan jaketnya. Dalam hati, dia berharap semoga Sagala masih ada di proyek saat dia tiba, "Semoga keputusanku tidak salah," bisiknya pada diri sendiri.Dengan langkah cepat, Kalula berangkat menuju lokasi proyek. Perasaan campur aduk
Hari semakin sore. Setelah Sagala menyelesaikan pekerjaannya dan memberikan beberapa pesan terakhir kepada para pekerja, dia segera berlari menghampiri Kalula yang menunggunya di dekat pintu masuk proyek."Maaf karena telah menunggu lama," ucapnya sambil terengah-engah."Tidak apa-apa, kau kan memang sibuk," jawab Kalula dengan senyum tipis, tampak memaklumi.Sagala mengangguk lega, lalu melanjutkan, "Mari aku antar pulang. Setelah ini, aku harus langsung kembali ke kota." Dia mulai melangkah lebih dulu, tetapi baru saja akan bergerak, suara Kalula menghentikannya."Tunggu, Sag." seru Kalula, nadanya terdengar sedikit ragu.Sagala berbalik dan menatap Kalula, alisnya terangkat sedikit, "Iya, ada apa, Kal? Apa ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan?" tanyanya dengan lembut. Di dalam hatinya, dia tidak bisa menahan harapan, "Aku harap kamu akan memberikan aku jawaban yang melegakan,
"Nyonya Kalula! Akhirnya anda kembali ke rumah ini lagi." Seru Tika dengan wajah berseri-seri, menyambut majikannya yang baru saja melangkah masuk ke dalam rumah besar itu. Kalula tersenyum tipis, "Iya, Tika. Aku kembali," jawabnya dengan suara lembut, namun ada kelelahan yang tampak jelas di wajahnya. Tika segera menghampiri dan mengambil tas kecil yang dibawa oleh Kalula, "Rumah ini sepi sekali tanpa anda, Nyonya. Rasanya seperti kehilangan jiwa." Kalula terdiam sejenak, menatap lantai rumah yang begitu familiar, "Benarkah? Bukankah sama saja ada atau tidak adanya aku di rumah ini, Tika?" tanyanya dengan nada datar, seperti mencoba menyembunyikan sesuatu. Tika menggeleng pelan, menatap Kalula dengan serius, "Tidak, Nyonya. Setelah anda pergi waktu itu, rumah jadi sepi sekali. Tuan Saga juga sering menyendiri, bahkan Tuan Saga juga selalu melewatkan sarapan, dan pulang dari kantor larut malam."
Setelah membantu Tika membereskan meja makan, Kalula berjalan ke kamar dan mengambil iPad-nya. Dengan langkah ringan, dia menuju balkon, mencari tempat yang nyaman untuk mengusir kebosanan yang datang menghampiri.“Lebih baik aku mencari kesibukan saja agar tidak bosan,” gumamnya sambil menyalakan iPad.“Sudah lama sekali aku tidak melakukan ini. Apa aku masih bisa?” tanyanya pada diri sendiri.Kalula mulai menggambar pola-pola di layar iPad dengan jari-jarinya yang lincah. Garis-garis halus dan detail yang ia tambahkan satu per satu seolah menciptakan kehidupan pada desain bajunya. Setiap lengkungan, setiap warna yang ia pilih, semua tampak begitu selaras dan indah, membuat hasil desainnya perlahan tampak seperti mahakarya kecil.Seiring angin sepoi-sepoi yang menyapu wajahnya di balkon, Kalula merasakan kreativitasnya mengalir bebas, seperti aliran sungai yang lembut namun kuat. Ia tersenyum puas, menikmati rasa bahagia yang jarang dirasakannya belakangan ini‒ bahagia karena bisa ke
Suasana ruangan seketika berubah hening dan canggung. Sagala membatin, “Kenapa sih Lira harus datang ke sini? Benar-benar merusak suasana.”“Ada keperluan apa kamu datang, Lira?” tanya Sagala dengan nada gugup.“Kenapa kamu tanya begitu, Sag? Biasanya aku ke kantor kamu, tapi kamu tidak pernah bertanya seperti itu. Kenapa sekarang kamu seperti tidak suka aku datang?” sahut Lira, menyelidik.“Oh... Apa aku mengganggu kalian berdua?” lanjutnya sambil melirik Kalula yang duduk di samping Sagala, “Kalau memang aku mengganggu, aku pergi saja. Maaf.”Lira segera bangkit dari duduknya, berharap dalam hati, “Pasti Sagala akan menahan aku.”Namun, harapannya sia-sia. Sagala hanya diam, membiarkan wanita itu pergi begitu saja.“Sagala benar-benar tidak menahanku,” Lira pergi dengan perasaan kesal. Sepanjang langkahnya, dia terus menggerutu dalam hati, “Awas saja kamu, aku tidak akan membiarkan perempuan itu memiliki kamu‒ karena sampai kapan pun, kamu tetap milikku.”Ia melangkah masuk ke lift
Satu minggu kemudian, tibalah hari yang sangat dinanti oleh Kalula dan Sagala‒ terutama bagi Sagala, karena hari ini adalah pernikahan mereka. Acara tersebut diadakan di sebuah gedung dengan dekorasi yang mewah dan elegan. Ruangan dipenuhi bunga-bunga putih dan pastel yang tertata indah, sementara lampu kristal menghiasi langit-langit, memancarkan cahaya lembut yang membuat suasana semakin megah.Para tamu sudah mulai berdatangan, sebagian besar dari mereka takjub melihat dekorasi acara yang luar biasa."Ini pertama kalinya aku melihat pernikahan semegah ini, Jeng." Bisik seorang tamu pada temannya."Iya, betul sekali! Pernikahan keluarga Bagaskara memang luar biasa," balas temannya, mengangguk kagum.Di sudut lain, seorang tamu menimpali, “Sudah, tidak usah heran. Ini kan pernikahan pewaris keluarga Bagaskara, tentu saja diselenggarakan dengan begitu mewah.”Sementara itu, di salah satu kamar persiapan, Kalula duduk di depan cermin‒ wajahnya sedang dirias oleh seorang perias terkenal
Langit malam yang bertabur bintang menjadi saksi perjalanan mereka menuju rumah. Suara canda tawa Sagala, Mama Elena, dan Kakek Arya memenuhi kabin mobil, menciptakan kehangatan di tengah dinginnya malam. Kalula meski tersenyum sesekali, lebih banyak tenggelam dalam pikirannya sendiri.Pesan misterius yang diterimanya tadi siang terus menghantui, membuat suasana hatinya tak sepenuhnya terhubung dengan keceriaan di sekitarnya.“Kamu baik-baik saja, Nak?” suara berat namun lembut Kakek Arya memecah lamunannya. Tatapan penuh perhatian pria tua itu langsung tertuju ke arah Kalula.“Ah... iya, Kek. Aku baik-baik saja.” Jawab Kalula tergesa, mencoba menutupi kegelisahannya dengan senyum, “Cuma sedikit lelah setelah seharian di kafe.”Elena yang duduk di samping Kalula, menyentuh lembut tangan menantunya, “Kalau kamu lelah‒ istirahat saja, Sayang. Besok biar Mama ya
Setelah percakapan telepon dengan Mama mertuanya, Kalula bergegas untuk bersiap berangkat ke kafe milik Mama mertuanya seperti biasa. Dia memilih setelan kasual berupa blus putih sederhana dan celana panjang krem, lalu mengambil tas slempangnya.Sebelum keluar rumah, Kalula menghela napas panjang, “Lupakan dulu, Kal. Sekarang kamu harus fokus dulu di kafe,” gumamnya pada diri sendiri.Setelah itu dia segera keluar dari rumah dan langsung menaiki taksi yang sudah menunggunya di depan pagar. Sopir taksi menyapanya dengan ramah, tapi Kalula hanya menjawab dengan senyuman singkat sembari tenggelam dalam pikirannya sendiri.“Ke Kafe Romania, Pak.” Ucapnya pelan.Sepanjang perjalanan, Kalula memandang keluar jendela‒ menyaksikan keramaian kota yang terasa seperti latar belakang tanpa suara. Suasana hatinya pagi ini terasa berat, tapi dia terus mengingatkan diri untuk tetap tenang.
Kalula bangun lebih awal seperti biasanya. Matahari baru saja mulai mengintip dari balik tirai jendela kamarnya. Setelah mandi dan berdandan sederhana, dia menuju dapur dengan langkah ringan. Aroma segar pagi itu seolah menular pada semangatnya.Setibanya di dapur, dia melihat Tika‒ maid yang setia membantu pekerjaan rumah tangga, tengah sibuk di sana.“Pagi, Tika.” Sapa Kalula dengan senyum khasnya.“Pagi, Nona Kalula.” Jawab Tika sopan sambil menoleh sekilas dari meja dapur.“Mau masak apa kita hari ini, Tika?” Kalula mengambil apron dari gantungan dan mengikat rambutnya asal, siap membantu.Tika tersenyum kecil, “Saya sudah siapkan bahan untuk nasi goreng spesial, Nona. Tapi kalau ada yang mau ditambah, saya siap bantu.”“Hmm... nasi goreng kedengarannya enak,” gumam Kalula sambil membuka kulkas,
Sagala menyandarkan tubuhnya ke mobil, matanya tetap tertuju pada pintu kafe yang baru saja tertutup. Udara malam yang semakin dingin membawa aroma kopi bercampur wangi tanah basah sisa hujan sore tadi. Dia melipat kedua tangannya di depan dada, membiarkan pikirannya mengembara.Kalula tidak pernah berubah, pikirnya sambil tersenyum tipis. Energinya selalu penuh, bahkan setelah seharian bekerja. Itu salah satu hal yang membuatnya jatuh cinta sejak awal.Tidak lama kemudian, pintu kafe kembali terbuka. Kalula muncul kembali dengan membawa tas selempang kecil di pundaknya. Langkahnya cepat, seperti sedang mengejar waktu.“Mas, maaf ya kalau sedikit lama.” Ucapnya sambil berhenti tepat di hadapan Sagala.Sagala menggeleng kecil, “Enggak apa-apa, Kal. Lagi pula, aku lebih suka nunggu kamu.” Jawabnya sambil tersenyum menggoda.Kalula mendengus kecil, lalu terta
Langit malam mulai memayungi kota ketika lampu-lampu kecil di kafe Romania memancarkan sinarnya yang hangat, menciptakan suasana nyaman bagi pelanggan yang tersisa. Kalula sibuk menyusun laporan harian di meja bar, sementara Lia berdiri tak jauh darinya, tampak gelisah dengan tas kecil yang sudah tersampir di bahunya.Lia akhirnya mendekat, mengalihkan perhatian Kalula dari laporan-laporan yang berserakan."Kal, gue izin pulang duluan, boleh kan?" tanyanya singkat. Suaranya terdengar datar, tidak seperti biasanya.Kalula menghentikan pekerjaannya, menatap Lia dengan seksama. "Iya, Lia. Boleh kok. Lagi pula kafe juga sudah mulai sepi," jawabnya dengan lembut. Namun, rasa khawatir tergambar jelas di matanya. "Tapi kamu baik-baik aja? Kelihatannya dari tadi kamu kurang semangat."Lia mengangguk kecil, tapi tidak menatap langsung. "Gue nggak apa-apa," ucapnya dengan nada singkat. Lalu, dengan sedikit ket
Pagi berikutnya, Lia bangun lebih pagi dari biasanya‒ memastikan dirinya tidak bertemu langsung dengan sang ayah. Keputusan itu lahir dari rasa bimbang yang terus menghantuinya semalaman. Dia belum siap menghadapi kenyataan yang mungkin akan membuat hubungannya dengan sang ayah semakin renggang.Setelah bersiap, Lia mengambil tas kecilnya dan segera melangkah keluar. Namun, baru saja membuka pintu, suara ayahnya menghentikan langkahnya."Lia, kamu mau ke mana pagi-pagi begini?" tanya Erwin dengan nada datar, meski sorot matanya penuh kecurigaan.Lia menghentikan langkahnya, menghela napas berat sebelum berbalik menatap sang ayah, "Ke kafe Romania. Mau bantu-bantu di sana seperti biasa."Erwin mengangguk kecil, lalu melanjutkan, "Nanti pulang lebih awal, Papa mau bicara sama kamu. Ada yang harus Papa jelaskan."Ucapan itu seperti petir di siang bolong. Lia mencoba menjaga ekspresinya tetap tenang, meski dalam hati dia bertanya-tanya apa yang ingin disampaikan ayahnya, "Oke." Jawabnya s
Pagi itu, sinar matahari menembus tirai kamar Lia, menciptakan pola bayangan lembut di lantai kayu. Wanita muda itu duduk termenung di depan meja rias, tangannya menopang dagu. Bayangan dirinya di cermin tampak seperti seseorang yang berjuang melawan badai dalam pikirannya. Pertengkaran tadi malam dengan sang ayah terus bergema di benaknya, membuat tidur malamnya terpotong-potong oleh mimpi buruk.Dia menghela napas panjang, mencoba menyemangati dirinya sendiri, "Aku nggak bisa terus begini. Aku harus tahu apa yang sebenarnya papa sembunyikan." Suaranya lirih, seperti mantra untuk menguatkan tekadnya.Setelah bergegas mandi dan mengenakan pakaian sederhana, Lia melewatkan sarapan. Langkah kakinya cepat menuruni tangga rumah, tetapi hatinya terasa berat. Dia memutuskan untuk mampir ke taman kecil di pusat kota sebelum menuju kafe Romania, tempat yang biasa dia datangi untuk menghabiskan waktu dengan membantu bekerja di sana.Taman itu masih lengang saat Lia tiba. Pepohonan rindang meli
Malam semakin larut, dan suasana kamar dipenuhi keheningan yang hanya diiringi suara detak jam di dinding. Sagala berbaring di sisi ranjang, tubuhnya terlentang dengan satu tangan diletakkan di belakang kepala. Pandangannya menatap langit-langit yang gelap, pikirannya terus berputar di antara kekhawatiran dan rencana-rencana yang belum tuntas dia susun.Di sebelahnya, Kalula tertidur pulas dengan posisi miring‒ wajahnya menghadap Sagala. Wajah damai istrinya seolah menjadi penawar bagi segala badai yang dia rasakan di hati. Napas Kalula yang lembut terdengar beraturan, memberi ritme yang menenangkan di tengah kegelisahan malam itu.Sagala memutar tubuhnya sedikit, menghadap Kalula. Tangan besarnya terulur perlahan, menyibakkan helaian rambut yang jatuh di pipi istrinya. Gerakannya lembut, seperti ingin memastikan bahwa kehadirannya tidak mengganggu tidur wanita itu."Semoga saja dia tidak merencanakan sesuatu," gumamnya pelan.Matanya mengamati wajah Kalula dengan penuh perhatian, mena
Menjelang sore, suasana kafe mulai lengang. Lampu gantung di langit-langit yang berbentuk bola kaca mulai menyala‒ memancarkan cahaya hangat ke seluruh ruangan. Aroma kopi yang khas masih samar-samar tercium, berpadu dengan wangi roti panggang yang baru keluar dari oven.Beberapa meja masih terisi pelanggan. Ada yang bercengkerama ringan, ada pula yang menatap layar laptop dengan fokus. Di sudut ruangan, pasangan muda tampak berbagi sepotong cake sambil tersenyum kecil. Kesibukan pagi yang penuh antrean sudah lama berlalu, meninggalkan keheningan yang terasa nyaman namun sedikit melankolis.Kalula berdiri di belakang meja kasir, jarinya mengetuk-ngetuk ringan countertop kayu yang sudah mulai aus di beberapa sudut. Tatapannya sesekali melirik ke arah Lia yang sedang merapikan etalase roti. Rak-rak kaca itu kini berisi sisa-sisa stok yang mulai menipis‒ beberapa croissant, brownies, dan sepotong cheesecake yang tampak sedikit miring di ujung p