Kalula duduk di teras rumahnya, ditemani Ibu Aisyah yang setia menghabiskan waktu bersama semenjak kepergian Nenek Rini. Sore itu angin berhembus lembut, membuat suasana terasa damai, meskipun di dalam hati Kalula masih ada rasa gundah yang belum sepenuhnya hilang.
"Bagaimana kebunmu hari ini, Kalula?" tanya Ibu Aisyah, sambil menyandarkan tubuhnya pada kursi kayu. Wanita setengah baya itu selalu tampak tenang, dan keberadaannya menjadi pelipur lara bagi Kalula.
"Seperti biasa, Bu." Jawab Kalula sambil tersenyum tipis, "Tidak banyak yang berubah. Hanya beberapa tanaman yang butuh perhatian ekstra."
Ibu Aisyah mengangguk pelan, sorot matanya penuh kasih sayang, "Nak, kamu terlalu sering menghabiskan waktu sendirian. Ibu khawatir kamu merasa kesepian."
Kalula tersenyum lebih lebar kali ini, berusaha menyembunyikan perasaan hatinya, "Tidak apa-apa, Bu. Lagipula, Ibu selalu ada di sini menemani, kan? Kalula jadi tidak terlalu merasa sendirian."
Wanita
Dua hari kemudian, Kalula kembali berada di pasar seperti biasanya. Dia duduk di balik lapak sederhana yang penuh dengan sayur mayur segar hasil panen dari kebunnya sendiri. Namun, tidak seperti biasanya‒ dagangannya sama sekali belum laku terjual. Matahari sudah mulai tinggi, namun tidak ada satu pun pembeli yang mampir ke lapaknya. Kalula mulai merasa cemas."Ya Tuhan, kenapa hari ini tidak ada yang membeli daganganku?" gumamnya pelan sambil memandang sayur-sayuran yang tersusun rapi di depannya.Namun, dia segera menggelengkan kepala, berusaha mengusir kekhawatiran itu, "Tapi aku gak boleh patah semangat. Siapa tahu, sebentar lagi ada yang membeli," ujarnya pada dirinya sendiri, mencoba menyemangati diri. Sebuah senyuman kembali menghiasi wajahnya, meski tipis.Dan benar saja, tidak lama kemudian seorang ibu-ibu menghampirinya. Wajahnya ceria, dan matanya berbinar ketika melihat sayur-sayuran yang dijual Kalula."Wahh... Sayurannya segar-segar sekali!"
Kalula menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gemuruh perasaannya. Dia memandang Sagala dengan mata yang sendu, “Sagala, kamu tahu bahwa apa yang terjadi malam itu‒ itu bukan sesuatu yang bisa aku lupakan begitu saja. Rasa kecewa itu masih ada, dan aku belum bisa sepenuhnya memaafkan apa yang kamu lakukan.”Sagala menundukkan kepalanya, menyadari beratnya kata-kata Kalula. Dia tahu bahwa malam itu telah merusak sesuatu yang begitu berharga di antara mereka.“Tapi aku mohon, beri aku kesempatan untuk memperbaikinya,” pinta Sagala, suaranya terdengar tulus, namun juga dipenuhi ketidakpastian, “Aku akan lakukan apa pun. Aku hanya ingin kamu kembali, dan aku ingin kita membangun masa depan bersama.”Kalula terdiam, merasa perasaannya terbelah. Dia masih merasakan luka dari masa lalu, tetapi di satu sisi, ada bagian dari dirinya yang ingin percaya pada ketulusan Sagala. Namun, untuk menerima permintaan menikah begitu saja?
"Maaf... Aku tadi tidak membawa bekal apapun, karena tidak sempat membuatnya," ucap Kalula dengan suara yang terdengar canggung."Tidak apa-apa, Kalula. Dengan kamu mengizinkan aku untuk membantumu di sini saja, sudah membuatku sangat senang," jawab Sagala, matanya berbinar penuh harapan, "Aku harap ini adalah langkah awal yang baik untuk hubungan kita lagi."Kalula terdiam sesaat, tak tahu harus merespon bagaimana ucapan pria itu barusan. Dalam hati kecilnya, dia memang belum sepenuhnya bisa menerima kehadiran Sagala kembali, tetapi dia berusaha untuk membuka diri pada pria itu."Hmmm... Ini sudah siang. Aku akan masak makan siang dulu. Jika kau mau, kau bisa ikut ke rumahku dan makan siang," ucap Kalula dengan sedikit ragu, suaranya bergetar antara harapan dan ketakutan.Sagala tersenyum lebar, "Aku akan sangat senang sekali! Terima kasih, Kalula. Ini akan menjadi momen yang berharga."Mereka berdua berjalan menuju rumah Kalula, suasana di sepanj
Tepat lusa. Kalula sudah memiliki jawaban yang akan dia berikan pada Sagala. Namun, gadis itu merasakan ada yang berbeda. Sejak pagi, Sagala tidak datang ke rumahnya untuk membantunya di kebun atau sekadar mengganggu dengan candaan seperti biasanya, "Tumben dia tidak kesini? Apa dia sedang sibuk dengan pekerjaannya di proyek?" gumamnya.Setelah menyelesaikan pekerjaan di kebun, Kalula memutuskan untuk mengantar makan siang ke tempat proyek Sagala. Dia ingin memberikan jawaban atas pertanyaan yang diutarakan Sagala beberapa hari lalu, "Semoga saja aku tidak telat," pikirnya, sambil bergegas mengambil bekal yang sudah disiapkannya.Kalula mengemas makanan sederhana dalam sebuah wadah dan mengenakan jaketnya. Dalam hati, dia berharap semoga Sagala masih ada di proyek saat dia tiba, "Semoga keputusanku tidak salah," bisiknya pada diri sendiri.Dengan langkah cepat, Kalula berangkat menuju lokasi proyek. Perasaan campur aduk
Hari semakin sore. Setelah Sagala menyelesaikan pekerjaannya dan memberikan beberapa pesan terakhir kepada para pekerja, dia segera berlari menghampiri Kalula yang menunggunya di dekat pintu masuk proyek."Maaf karena telah menunggu lama," ucapnya sambil terengah-engah."Tidak apa-apa, kau kan memang sibuk," jawab Kalula dengan senyum tipis, tampak memaklumi.Sagala mengangguk lega, lalu melanjutkan, "Mari aku antar pulang. Setelah ini, aku harus langsung kembali ke kota." Dia mulai melangkah lebih dulu, tetapi baru saja akan bergerak, suara Kalula menghentikannya."Tunggu, Sag." seru Kalula, nadanya terdengar sedikit ragu.Sagala berbalik dan menatap Kalula, alisnya terangkat sedikit, "Iya, ada apa, Kal? Apa ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan?" tanyanya dengan lembut. Di dalam hatinya, dia tidak bisa menahan harapan, "Aku harap kamu akan memberikan aku jawaban yang melegakan,
"Nyonya Kalula! Akhirnya anda kembali ke rumah ini lagi." Seru Tika dengan wajah berseri-seri, menyambut majikannya yang baru saja melangkah masuk ke dalam rumah besar itu. Kalula tersenyum tipis, "Iya, Tika. Aku kembali," jawabnya dengan suara lembut, namun ada kelelahan yang tampak jelas di wajahnya. Tika segera menghampiri dan mengambil tas kecil yang dibawa oleh Kalula, "Rumah ini sepi sekali tanpa anda, Nyonya. Rasanya seperti kehilangan jiwa." Kalula terdiam sejenak, menatap lantai rumah yang begitu familiar, "Benarkah? Bukankah sama saja ada atau tidak adanya aku di rumah ini, Tika?" tanyanya dengan nada datar, seperti mencoba menyembunyikan sesuatu. Tika menggeleng pelan, menatap Kalula dengan serius, "Tidak, Nyonya. Setelah anda pergi waktu itu, rumah jadi sepi sekali. Tuan Saga juga sering menyendiri, bahkan Tuan Saga juga selalu melewatkan sarapan, dan pulang dari kantor larut malam."
Setelah membantu Tika membereskan meja makan, Kalula berjalan ke kamar dan mengambil iPad-nya. Dengan langkah ringan, dia menuju balkon, mencari tempat yang nyaman untuk mengusir kebosanan yang datang menghampiri.“Lebih baik aku mencari kesibukan saja agar tidak bosan,” gumamnya sambil menyalakan iPad.“Sudah lama sekali aku tidak melakukan ini. Apa aku masih bisa?” tanyanya pada diri sendiri.Kalula mulai menggambar pola-pola di layar iPad dengan jari-jarinya yang lincah. Garis-garis halus dan detail yang ia tambahkan satu per satu seolah menciptakan kehidupan pada desain bajunya. Setiap lengkungan, setiap warna yang ia pilih, semua tampak begitu selaras dan indah, membuat hasil desainnya perlahan tampak seperti mahakarya kecil.Seiring angin sepoi-sepoi yang menyapu wajahnya di balkon, Kalula merasakan kreativitasnya mengalir bebas, seperti aliran sungai yang lembut namun kuat. Ia tersenyum puas, menikmati rasa bahagia yang jarang dirasakannya belakangan ini‒ bahagia karena bisa ke
Suasana ruangan seketika berubah hening dan canggung. Sagala membatin, “Kenapa sih Lira harus datang ke sini? Benar-benar merusak suasana.”“Ada keperluan apa kamu datang, Lira?” tanya Sagala dengan nada gugup.“Kenapa kamu tanya begitu, Sag? Biasanya aku ke kantor kamu, tapi kamu tidak pernah bertanya seperti itu. Kenapa sekarang kamu seperti tidak suka aku datang?” sahut Lira, menyelidik.“Oh... Apa aku mengganggu kalian berdua?” lanjutnya sambil melirik Kalula yang duduk di samping Sagala, “Kalau memang aku mengganggu, aku pergi saja. Maaf.”Lira segera bangkit dari duduknya, berharap dalam hati, “Pasti Sagala akan menahan aku.”Namun, harapannya sia-sia. Sagala hanya diam, membiarkan wanita itu pergi begitu saja.“Sagala benar-benar tidak menahanku,” Lira pergi dengan perasaan kesal. Sepanjang langkahnya, dia terus menggerutu dalam hati, “Awas saja kamu, aku tidak akan membiarkan perempuan itu memiliki kamu‒ karena sampai kapan pun, kamu tetap milikku.”Ia melangkah masuk ke lift
Menjelang sore, suasana kafe mulai lengang. Lampu gantung di langit-langit yang berbentuk bola kaca mulai menyala‒ memancarkan cahaya hangat ke seluruh ruangan. Aroma kopi yang khas masih samar-samar tercium, berpadu dengan wangi roti panggang yang baru keluar dari oven.Beberapa meja masih terisi pelanggan. Ada yang bercengkerama ringan, ada pula yang menatap layar laptop dengan fokus. Di sudut ruangan, pasangan muda tampak berbagi sepotong cake sambil tersenyum kecil. Kesibukan pagi yang penuh antrean sudah lama berlalu, meninggalkan keheningan yang terasa nyaman namun sedikit melankolis.Kalula berdiri di belakang meja kasir, jarinya mengetuk-ngetuk ringan countertop kayu yang sudah mulai aus di beberapa sudut. Tatapannya sesekali melirik ke arah Lia yang sedang merapikan etalase roti. Rak-rak kaca itu kini berisi sisa-sisa stok yang mulai menipis‒ beberapa croissant, brownies, dan sepotong cheesecake yang tampak sedikit miring di ujung p
Mentari pagi menyelinap melalui jendela rumah besar itu, membawa kehangatan yang lembut. Kalula membuka mata perlahan, menyadari bahwa Sagala sudah tidak ada di sisinya. Dia menguap kecil, menggeliat sejenak sebelum bangkit. Dari dapur, terdengar suara panci diketuk-ketuk dan aroma masakan yang menggugah selera.“Aroma apa ini?” gumam Kalula sambil berjalan ke dapur, wajahnya masih sedikit mengantuk.Sagala mengenakan kemeja hitam santainya, tampak sibuk mengaduk telur orak-arik di atas kompor. Wajahnya serius, seperti sedang memimpin rapat di kantor‒ namun kali ini yang pria itu kendalikan adalah spatula.“Pagi, Sayang.” Sapa Sagala tanpa menoleh, suaranya santai namun hangat, “Aku bikin sarapan buat kita.”Kalula tersenyum tipis, lalu melingkarkan lengannya di pinggang suaminya. Namun, matanya melirik ke sudut dapur. Biasanya, pagi-pagi seperti ini dia sibuk di dapur bersama Tika‒ maid mereka yang
Malam semakin larut ketika Lia tiba di rumah mewahnya. Suasana sepi menyelimuti, hanya terdengar deru lembut pendingin ruangan yang menyapa dari pintu utama. Lia memarkir mobilnya asal-asalan, menutup pintu mobil dengan suara yang sedikit lebih keras dari biasanya. Langkahnya gontai saat dia berjalan menuju pintu depan.Begitu masuk, seorang maid menyambutnya dengan senyum sopan, "Selamat datang, Nona Lia. Apa anda butuh sesuatu?" tanyanya lembut.Lia menggeleng pelan tanpa banyak bicara. Dia melepas sepatu hak tinggi dan menyerahkannya kepada maid, "Enggak. Aku mau langsung istirahat. Terima kasih," ucapnya singkat sebelum melangkah naik ke lantai dua.Sesampainya di kamarnya, Lia langsung membuka pintu dan masuk. Kamar itu luas dan tertata sempurna‒ dinding krem lembut, tempat tidur besar yang terlihat begitu nyaman, serta jendela besar yang menghadap ke taman belakang. Namun, Lia tidak memperhatikan semua itu malam in
Erik terdiam sesaat setelah mendengar pertanyaan Sagala. Dia meletakkan dokumen di meja, menatap temannya dengan dahi sedikit berkerut.“Apa maksud lo? Gue enggak ngerti,” ucapnya dengan nada setengah bercanda.Sagala yang bersandar di sofa, melipat tangannya di dada. Tatapannya tajam namun tidak menghakimi, “Gue ngomong soal Lia. Hubungan lo sama dia. Lo sadar enggak, dia kelihatan mulai bersikap beda ke lo?”Erik mendengus, mencoba mencairkan suasana, “Lia? Seriusan, Sag? Gue enggak ngerti kenapa lo mikir kaya gitu. Kita cuma akrab doang loh. Gue enggak pernah‒ dan enggak ada niatan ataupun ngasih sinyal apa pun ke dia.”Sagala menghela napas pelan, tetap tidak melepaskan tatapan seriusnya, “Dengar, Rik. Dia memang bukan adik kandung gue, tapi dia udah gue anggap kayak keluarga. Anak dari rekan bisnis keluarga gue yang udah dekat sama gue
Ketika sampai di kafe, langkah Kalula disambut senyum ramah para staf.“Selamat pagi, Mbak Kalula!” sapa Ana, salah satu barista, sambil melambaikan tangan.“Pagi, Ana. Semangat, ya!” jawab Kalula dengan senyuman hangat.Aroma kopi segar dan roti yang baru dipanggang memenuhi udara Kafe Romania. Suasana hangat dan nyaman terasa menyelimuti ruangan. Cahaya lampu gantung yang lembut berpadu dengan dekorasi tanaman hijau membuat kafe tampak hidup. Meja-meja penuh dengan pelanggan tetap yang berbincang santai sambil menikmati sarapan.Di sudut ruangan, Nimas‒ sahabat Kalula, berdiri dengan kedua tangan di pinggang. Ekspresi pura-pura kesal menghiasi wajahnya.“Balik juga akhirnya. Aku pikir kamu udah sekalian mau pergi bulan madu,” ujar Nimas menggoda.Kalula tertawa kecil sambil menghampirinya, &l
Sesampainya di rumah setelah mengantar makan siang untuk suaminya, Kalula segera mengemasi barang-barang mereka, bersiap untuk perjalanan kembali ke kota. Dia mengerjakannya dengan cekatan, meski hatinya diliputi rasa enggan. Ada sesuatu yang menahannya, membuatnya ingin tinggal lebih lama di rumah sederhana itu.Kalula berdiri sejenak di ambang pintu, menatap halaman yang sangat menyejukkan dan begitu menenangkan. Dia menghela napas panjang, mencoba menenangkan perasaan yang berkecamuk.“Rasanya berat sekali harus berpisah lagi dengan rumah ini,” gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.Pukul tiga sore, suara deru mesin mobil terdengar mendekat‒ diikuti suara roda berdecit lembut di atas kerikil halaman. Kalula tahu itu mobil suaminya. Dengan senyuman yang selalu ia siapkan untuk Sagala, ia melangkah keluar untuk menyambut.“Mas Saga udah pulang? Mau makan dulu, atau langsung siap-siap?” tanyan
Keesokan paginya, sinar matahari perlahan merayap masuk melalui celah-celah rumah kayu peninggalan mendiang nenek Rini. Kalula kembali sibuk di dapur, menyiapkan sarapan sederhana untuk suaminya, Sagala, dan Erik. Hari ini dia memutuskan untuk membuat nasi goreng dan telur mata sapi.Tak butuh waktu lama, masakannya pun siap. Aroma harum nasi goreng dan telur mata sapi segera memenuhi ruangan, mengundang siapa pun yang menciumnya untuk segera mencicipi.“Akhirnya selesai juga,” gumamnya sambil tersenyum, “Lebih baik aku segera menyajikannya di meja makan, lalu menyiapkan pakaian kerja untuk Mas Saga. Setelah itu, aku bisa pergi ke kebun.”Setelah semua tersaji di meja makan dan tertutup rapi dengan tudung saji, Kalula beranjak ke kamar untuk membangunkan suaminya dan menyiapkan pakaiannya.Saat masuk ke kamar, dia melihat Sagala masih terlelap di atas tempat tidur. Kalula duduk di tepi ranjang, meman
Matahari semakin tinggi, menandakan waktu istirahat siang bagi para pekerja proyek. Erik memperhatikan sebagian besar dari mereka tampak lelah, dengan keringat membasahi seragam mereka. Ia melambaikan tangan dan memberi isyarat."Kalian istirahat dulu," katanya dengan nada tegas namun ramah. Para pekerja mengangguk dan berjalan menuju tempat istirahat yang disediakan, beberapa mengucapkan terima kasih pada Erik sebelum berlalu.Erik kemudian menghampiri Sagala yang duduk di bawah bayangan tenda, sibuk menatap layar iPad-nya dengan alis berkerut. Erik duduk di sampingnya dan mencoba mengintip layar yang tampak terang di bawah sinar matahari."Masih ada masalah?" tanya Erik sambil membuka botol air mineralnya.Sagala mengangguk sambil mengusap pelipis, "Ada laporan tambahan. Material yang datang tadi pagi juga masih di bawah standar." Dia menghela napas, meletakkan iPad-nya di pangkuan, "Kalau benar ad
“Mas Saga gak siap-siap? Katanya hari ini Mas harus pergi ke perbatasan buat ngecek proyek di sana,” ujar Kalula, tersenyum sambil menatap suaminya yang kini tengah berjongkok di sebelahnya.“Iya-iya, setelah ini.” Jawab Sagala sambil menarik napas panjang, “Aku masih ingin menikmati pagi ini sebentar bermesraan dengan istriku.”Mereka berdua tertawa kecil, lalu Sagala mulai membantu Kalula merapikan kebun kecil di samping rumah. Tangan mereka sibuk mencabut rumput liar, sesekali diiringi obrolan ringan dan canda tawa yang membuat pagi itu semakin cerah dan penuh kehangatan.Di sela-sela candaan Sagala yang membuat Kalula tertawa lepas, tiba-tiba terdengar suara dari arah depan rumah.“Woi, bucin terus lo! Mau kerja atau mau pacaran seharian di kebun?” teriak Erik sambil berdiri di tepi pagar dengan tangan di pinggang, wajahnya tampak pura-pura serius,