Suasana ruangan seketika berubah hening dan canggung. Sagala membatin, “Kenapa sih Lira harus datang ke sini? Benar-benar merusak suasana.”“Ada keperluan apa kamu datang, Lira?” tanya Sagala dengan nada gugup.“Kenapa kamu tanya begitu, Sag? Biasanya aku ke kantor kamu, tapi kamu tidak pernah bertanya seperti itu. Kenapa sekarang kamu seperti tidak suka aku datang?” sahut Lira, menyelidik.“Oh... Apa aku mengganggu kalian berdua?” lanjutnya sambil melirik Kalula yang duduk di samping Sagala, “Kalau memang aku mengganggu, aku pergi saja. Maaf.”Lira segera bangkit dari duduknya, berharap dalam hati, “Pasti Sagala akan menahan aku.”Namun, harapannya sia-sia. Sagala hanya diam, membiarkan wanita itu pergi begitu saja.“Sagala benar-benar tidak menahanku,” Lira pergi dengan perasaan kesal. Sepanjang langkahnya, dia terus menggerutu dalam hati, “Awas saja kamu, aku tidak akan membiarkan perempuan itu memiliki kamu‒ karena sampai kapan pun, kamu tetap milikku.”Ia melangkah masuk ke lift
Satu minggu kemudian, tibalah hari yang sangat dinanti oleh Kalula dan Sagala‒ terutama bagi Sagala, karena hari ini adalah pernikahan mereka. Acara tersebut diadakan di sebuah gedung dengan dekorasi yang mewah dan elegan. Ruangan dipenuhi bunga-bunga putih dan pastel yang tertata indah, sementara lampu kristal menghiasi langit-langit, memancarkan cahaya lembut yang membuat suasana semakin megah.Para tamu sudah mulai berdatangan, sebagian besar dari mereka takjub melihat dekorasi acara yang luar biasa."Ini pertama kalinya aku melihat pernikahan semegah ini, Jeng." Bisik seorang tamu pada temannya."Iya, betul sekali! Pernikahan keluarga Bagaskara memang luar biasa," balas temannya, mengangguk kagum.Di sudut lain, seorang tamu menimpali, “Sudah, tidak usah heran. Ini kan pernikahan pewaris keluarga Bagaskara, tentu saja diselenggarakan dengan begitu mewah.”Sementara itu, di salah satu kamar persiapan, Kalula duduk di depan cermin‒ wajahnya sedang dirias oleh seorang perias terkenal
Di tengah keramaian pesta, seorang pria paruh baya tiba-tiba menghampiri Erik yang sedang berdiri bersama Lia sambil mencicipi aneka cake yang disajikan."Erik! Papa cari-cari dari tadi, ternyata kamu di sini sama Lia," ujar pria paruh baya itu dengan senyum ramah."Pa... Ada apa Papa nyariin Erik?" tanya Erik dengan penasaran.Pria itu tersenyum dan menunjuk ke arah tempat mempelai, "Papa mau kesana, mau ucapin selamat sama Sagala dan Kalula. Kamu mau barengan atau gimana?"Erik mengangguk, "Boleh, Pa. Sekalian aja," sahutnya, "Tapi tunggu sebentar, ya. Aku ajak Lia dulu."Sang ayah hanya tersenyum sabar dan mengangguk, sementara Erik segera kembali ke arah Lia yang tampak masih asyik memilih cake."Lia, ayo kita kesana dulu," ajak Erik lembut.Lia mengerutkan kening, "Ayo kemana sih? Aku masih pengen nyobain semua cake di sini, Kak." Jawabnya, sedikit merengek.Erik hanya bisa tersenyum kecil, mencoba memahami kekesalan yang Lia sembunyikan di balik keinginannya mencicipi setiap mak
“Mau ngomongin soal apa sih, Ma? Saga lihat kok Mama serius banget,” tanya Sagala penasaran, “Kakek nggak apa-apa, kan, di sana?”Elena menggeleng sambil tersenyum, “Kakek baik-baik saja, Sag. Kondisinya sudah membaik, tapi belum bisa pulang ke Indonesia karena kesehatannya masih sering naik turun,” jawabnya, “Tapi Mama bukan mau membahas itu. Ada hal lain yang Mama ingin sampaikan ke kalian.”Kalula dan Sagala saling berpandangan, semakin dibuat penasaran oleh Elena.“Apa sih, Ma? Langsung aja deh, jangan bikin kita bingung kayak gini,” ujar Sagala, mulai tidak sabar karena Mamanya terus bertele-tele.Elena menarik napas dalam sebelum berbicara lagi, “Jadi begini, kamu tahu sendiri kan kondisi Kakek kamu, Sag? Kakek belum bisa sepenuhnya pulih dan kembali ke sini—”Elena berhenti sejenak, lalu melanjut
Setelah Kalula selesai mandi sore, dia memilih untuk duduk dan membaca buku sejenak di meja milik Sagala. Dia mengambil sebuah buku yang menurutnya sangat menarik, membuatnya tenggelam dalam halaman demi halaman. Gadis itu terlihat begitu serius membaca, sampai-sampai tidak menyadari bahwa Sagala telah berdiri di belakangnya dengan kedua tangan terlipat di depan dada, tersenyum tipis melihat keasyikan Kalula.Beberapa saat kemudian, Kalula melirik jam di sebelahnya, "Astaga... Ternyata udah jam segini!" serunya kaget begitu melihat jarum jam yang sudah menunjukkan pukul lima sore.Dia buru-buru menutup bukunya dan bersiap untuk bangkit. Namun, saat baru saja berbalik, Kalula malah menabrak dada bidang Sagala.“Aduh,” serunya sambil mengusap hidung yang terasa sakit akibat benturan, "Sejak kapan sih Mas Saga berdiri di sini?"Sagala yang mendengar panggilan Kalula dengan sebutan "Mas" memb
Karena malam semakin larut dan udara di luar semakin dingin, Sagala mengajak Kalula untuk kembali masuk ke dalam rumah.“Kal, udaranya dingin sekali. Lebih baik kita masuk saja. Aku nggak mau kamu sampai sakit,” ucap Sagala penuh perhatian, merapatkan jaket di bahu Kalula.Kalula menatapnya dengan lembut, tapi tetap menggenggam tangannya, “Tapi aku masih ingin di sini, Mas. Aku suka sekali melihat bintang-bintang di atas sana—” Kalula berhenti sejenak, menatap langit berbintang dengan sorot mata yang penuh kerinduan, “Salah satu dari mereka pasti ada Bunda aku,” lanjutnya dengan suara pelan.Mendengar kalimat itu, Sagala terdiam sejenak. Perasaan haru menyelimuti dirinya, menyadari betapa dalam kerinduan Kalula kepada almarhum ibunya. Dia hanya bisa menggenggam tangan Kalula lebih erat, berharap bisa memberi kehangatan di tengah dinginnya malam dan juga kerinduan yang tidak teruc
“Sudah semua kan, Ma? Tidak ada yang tertinggal?” tanya Sagala sambil membantu mengecek barang-barang milik sang Mama.“Seharusnya tidak ada yang tertinggal,” jawab Elena sambil tersenyum, memastikan kembali tasnya, “Kalau begitu, lebih baik kita berangkat sekarang saja. Kita kan mau mampir ke kafe dulu sebelum ke bandara.”“Baik, Ma. Ayo,” balas Sagala, seraya memberi isyarat pada Kalula.Ketiganya pun segera melangkah keluar rumah dan masuk ke dalam mobil, siap menuju kafe "ROMANIA" milik Elena. Suasana di dalam mobil terasa hangat dan penuh canda tawa sepanjang perjalanan. Elena tidak henti-hentinya mengungkapkan kebahagiaannya bisa menghabiskan waktu dengan Sagala dan Kalula.Setelah beberapa saat, mereka tiba di kafe. Elena keluar dari mobil sambil menarik napas dalam, menikmati suasana yang sudah lama tidak dirasakannya. Sagala dan Kalula mendampi
“Mas, aku harus balik dulu ke kafe.” Ujar Kalula sambil beranjak dari duduknya, “Kamu jangan terlalu capek, ya. Jangan juga forsir tenaga, ingat kesehatan.”Sagala tersenyum hangat, merasa tersentuh oleh perhatian istrinya, “Iya, Kal. Seneng banget, sekarang udah ada yang perhatian kaya gini.” Candanya dengan nada ringan.Kalula menggelengkan kepala sambil tersenyum geli, menikmati ekspresi suaminya yang berbeda dari biasanya. Sagala yang di kantor dikenal tegas dan dingin, tampak selalu begitu hangat di hadapannya. Dia merasa beruntung bisa melihat sisi lain dari suaminya yang hanya diperlihatkan kepada orang-orang terdekat.“Kan sudah menjadi tugas Kalula untuk selalu memperhatikan Mas.” Ucap Kalula, lalu melambaikan tangan saat dia bersiap untuk pergi, “Aku pergi dulu‒ sampai nanti, Mas.”Sagala mengangguk, “Hati-hati di jalan, Kal.
Menjelang sore, suasana kafe mulai lengang. Lampu gantung di langit-langit yang berbentuk bola kaca mulai menyala‒ memancarkan cahaya hangat ke seluruh ruangan. Aroma kopi yang khas masih samar-samar tercium, berpadu dengan wangi roti panggang yang baru keluar dari oven.Beberapa meja masih terisi pelanggan. Ada yang bercengkerama ringan, ada pula yang menatap layar laptop dengan fokus. Di sudut ruangan, pasangan muda tampak berbagi sepotong cake sambil tersenyum kecil. Kesibukan pagi yang penuh antrean sudah lama berlalu, meninggalkan keheningan yang terasa nyaman namun sedikit melankolis.Kalula berdiri di belakang meja kasir, jarinya mengetuk-ngetuk ringan countertop kayu yang sudah mulai aus di beberapa sudut. Tatapannya sesekali melirik ke arah Lia yang sedang merapikan etalase roti. Rak-rak kaca itu kini berisi sisa-sisa stok yang mulai menipis‒ beberapa croissant, brownies, dan sepotong cheesecake yang tampak sedikit miring di ujung p
Mentari pagi menyelinap melalui jendela rumah besar itu, membawa kehangatan yang lembut. Kalula membuka mata perlahan, menyadari bahwa Sagala sudah tidak ada di sisinya. Dia menguap kecil, menggeliat sejenak sebelum bangkit. Dari dapur, terdengar suara panci diketuk-ketuk dan aroma masakan yang menggugah selera.“Aroma apa ini?” gumam Kalula sambil berjalan ke dapur, wajahnya masih sedikit mengantuk.Sagala mengenakan kemeja hitam santainya, tampak sibuk mengaduk telur orak-arik di atas kompor. Wajahnya serius, seperti sedang memimpin rapat di kantor‒ namun kali ini yang pria itu kendalikan adalah spatula.“Pagi, Sayang.” Sapa Sagala tanpa menoleh, suaranya santai namun hangat, “Aku bikin sarapan buat kita.”Kalula tersenyum tipis, lalu melingkarkan lengannya di pinggang suaminya. Namun, matanya melirik ke sudut dapur. Biasanya, pagi-pagi seperti ini dia sibuk di dapur bersama Tika‒ maid mereka yang
Malam semakin larut ketika Lia tiba di rumah mewahnya. Suasana sepi menyelimuti, hanya terdengar deru lembut pendingin ruangan yang menyapa dari pintu utama. Lia memarkir mobilnya asal-asalan, menutup pintu mobil dengan suara yang sedikit lebih keras dari biasanya. Langkahnya gontai saat dia berjalan menuju pintu depan.Begitu masuk, seorang maid menyambutnya dengan senyum sopan, "Selamat datang, Nona Lia. Apa anda butuh sesuatu?" tanyanya lembut.Lia menggeleng pelan tanpa banyak bicara. Dia melepas sepatu hak tinggi dan menyerahkannya kepada maid, "Enggak. Aku mau langsung istirahat. Terima kasih," ucapnya singkat sebelum melangkah naik ke lantai dua.Sesampainya di kamarnya, Lia langsung membuka pintu dan masuk. Kamar itu luas dan tertata sempurna‒ dinding krem lembut, tempat tidur besar yang terlihat begitu nyaman, serta jendela besar yang menghadap ke taman belakang. Namun, Lia tidak memperhatikan semua itu malam in
Erik terdiam sesaat setelah mendengar pertanyaan Sagala. Dia meletakkan dokumen di meja, menatap temannya dengan dahi sedikit berkerut.“Apa maksud lo? Gue enggak ngerti,” ucapnya dengan nada setengah bercanda.Sagala yang bersandar di sofa, melipat tangannya di dada. Tatapannya tajam namun tidak menghakimi, “Gue ngomong soal Lia. Hubungan lo sama dia. Lo sadar enggak, dia kelihatan mulai bersikap beda ke lo?”Erik mendengus, mencoba mencairkan suasana, “Lia? Seriusan, Sag? Gue enggak ngerti kenapa lo mikir kaya gitu. Kita cuma akrab doang loh. Gue enggak pernah‒ dan enggak ada niatan ataupun ngasih sinyal apa pun ke dia.”Sagala menghela napas pelan, tetap tidak melepaskan tatapan seriusnya, “Dengar, Rik. Dia memang bukan adik kandung gue, tapi dia udah gue anggap kayak keluarga. Anak dari rekan bisnis keluarga gue yang udah dekat sama gue
Ketika sampai di kafe, langkah Kalula disambut senyum ramah para staf.“Selamat pagi, Mbak Kalula!” sapa Ana, salah satu barista, sambil melambaikan tangan.“Pagi, Ana. Semangat, ya!” jawab Kalula dengan senyuman hangat.Aroma kopi segar dan roti yang baru dipanggang memenuhi udara Kafe Romania. Suasana hangat dan nyaman terasa menyelimuti ruangan. Cahaya lampu gantung yang lembut berpadu dengan dekorasi tanaman hijau membuat kafe tampak hidup. Meja-meja penuh dengan pelanggan tetap yang berbincang santai sambil menikmati sarapan.Di sudut ruangan, Nimas‒ sahabat Kalula, berdiri dengan kedua tangan di pinggang. Ekspresi pura-pura kesal menghiasi wajahnya.“Balik juga akhirnya. Aku pikir kamu udah sekalian mau pergi bulan madu,” ujar Nimas menggoda.Kalula tertawa kecil sambil menghampirinya, &l
Sesampainya di rumah setelah mengantar makan siang untuk suaminya, Kalula segera mengemasi barang-barang mereka, bersiap untuk perjalanan kembali ke kota. Dia mengerjakannya dengan cekatan, meski hatinya diliputi rasa enggan. Ada sesuatu yang menahannya, membuatnya ingin tinggal lebih lama di rumah sederhana itu.Kalula berdiri sejenak di ambang pintu, menatap halaman yang sangat menyejukkan dan begitu menenangkan. Dia menghela napas panjang, mencoba menenangkan perasaan yang berkecamuk.“Rasanya berat sekali harus berpisah lagi dengan rumah ini,” gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.Pukul tiga sore, suara deru mesin mobil terdengar mendekat‒ diikuti suara roda berdecit lembut di atas kerikil halaman. Kalula tahu itu mobil suaminya. Dengan senyuman yang selalu ia siapkan untuk Sagala, ia melangkah keluar untuk menyambut.“Mas Saga udah pulang? Mau makan dulu, atau langsung siap-siap?” tanyan
Keesokan paginya, sinar matahari perlahan merayap masuk melalui celah-celah rumah kayu peninggalan mendiang nenek Rini. Kalula kembali sibuk di dapur, menyiapkan sarapan sederhana untuk suaminya, Sagala, dan Erik. Hari ini dia memutuskan untuk membuat nasi goreng dan telur mata sapi.Tak butuh waktu lama, masakannya pun siap. Aroma harum nasi goreng dan telur mata sapi segera memenuhi ruangan, mengundang siapa pun yang menciumnya untuk segera mencicipi.“Akhirnya selesai juga,” gumamnya sambil tersenyum, “Lebih baik aku segera menyajikannya di meja makan, lalu menyiapkan pakaian kerja untuk Mas Saga. Setelah itu, aku bisa pergi ke kebun.”Setelah semua tersaji di meja makan dan tertutup rapi dengan tudung saji, Kalula beranjak ke kamar untuk membangunkan suaminya dan menyiapkan pakaiannya.Saat masuk ke kamar, dia melihat Sagala masih terlelap di atas tempat tidur. Kalula duduk di tepi ranjang, meman
Matahari semakin tinggi, menandakan waktu istirahat siang bagi para pekerja proyek. Erik memperhatikan sebagian besar dari mereka tampak lelah, dengan keringat membasahi seragam mereka. Ia melambaikan tangan dan memberi isyarat."Kalian istirahat dulu," katanya dengan nada tegas namun ramah. Para pekerja mengangguk dan berjalan menuju tempat istirahat yang disediakan, beberapa mengucapkan terima kasih pada Erik sebelum berlalu.Erik kemudian menghampiri Sagala yang duduk di bawah bayangan tenda, sibuk menatap layar iPad-nya dengan alis berkerut. Erik duduk di sampingnya dan mencoba mengintip layar yang tampak terang di bawah sinar matahari."Masih ada masalah?" tanya Erik sambil membuka botol air mineralnya.Sagala mengangguk sambil mengusap pelipis, "Ada laporan tambahan. Material yang datang tadi pagi juga masih di bawah standar." Dia menghela napas, meletakkan iPad-nya di pangkuan, "Kalau benar ad
“Mas Saga gak siap-siap? Katanya hari ini Mas harus pergi ke perbatasan buat ngecek proyek di sana,” ujar Kalula, tersenyum sambil menatap suaminya yang kini tengah berjongkok di sebelahnya.“Iya-iya, setelah ini.” Jawab Sagala sambil menarik napas panjang, “Aku masih ingin menikmati pagi ini sebentar bermesraan dengan istriku.”Mereka berdua tertawa kecil, lalu Sagala mulai membantu Kalula merapikan kebun kecil di samping rumah. Tangan mereka sibuk mencabut rumput liar, sesekali diiringi obrolan ringan dan canda tawa yang membuat pagi itu semakin cerah dan penuh kehangatan.Di sela-sela candaan Sagala yang membuat Kalula tertawa lepas, tiba-tiba terdengar suara dari arah depan rumah.“Woi, bucin terus lo! Mau kerja atau mau pacaran seharian di kebun?” teriak Erik sambil berdiri di tepi pagar dengan tangan di pinggang, wajahnya tampak pura-pura serius,