“Sudah semua kan, Ma? Tidak ada yang tertinggal?” tanya Sagala sambil membantu mengecek barang-barang milik sang Mama.
“Seharusnya tidak ada yang tertinggal,” jawab Elena sambil tersenyum, memastikan kembali tasnya, “Kalau begitu, lebih baik kita berangkat sekarang saja. Kita kan mau mampir ke kafe dulu sebelum ke bandara.”
“Baik, Ma. Ayo,” balas Sagala, seraya memberi isyarat pada Kalula.
Ketiganya pun segera melangkah keluar rumah dan masuk ke dalam mobil, siap menuju kafe "ROMANIA" milik Elena. Suasana di dalam mobil terasa hangat dan penuh canda tawa sepanjang perjalanan. Elena tidak henti-hentinya mengungkapkan kebahagiaannya bisa menghabiskan waktu dengan Sagala dan Kalula.
Setelah beberapa saat, mereka tiba di kafe. Elena keluar dari mobil sambil menarik napas dalam, menikmati suasana yang sudah lama tidak dirasakannya. Sagala dan Kalula mendampi
“Mas, aku harus balik dulu ke kafe.” Ujar Kalula sambil beranjak dari duduknya, “Kamu jangan terlalu capek, ya. Jangan juga forsir tenaga, ingat kesehatan.”Sagala tersenyum hangat, merasa tersentuh oleh perhatian istrinya, “Iya, Kal. Seneng banget, sekarang udah ada yang perhatian kaya gini.” Candanya dengan nada ringan.Kalula menggelengkan kepala sambil tersenyum geli, menikmati ekspresi suaminya yang berbeda dari biasanya. Sagala yang di kantor dikenal tegas dan dingin, tampak selalu begitu hangat di hadapannya. Dia merasa beruntung bisa melihat sisi lain dari suaminya yang hanya diperlihatkan kepada orang-orang terdekat.“Kan sudah menjadi tugas Kalula untuk selalu memperhatikan Mas.” Ucap Kalula, lalu melambaikan tangan saat dia bersiap untuk pergi, “Aku pergi dulu‒ sampai nanti, Mas.”Sagala mengangguk, “Hati-hati di jalan, Kal.
Setelah selesai sarapan, Kalula mengangkat piring-piring kotor dan membawanya ke dapur untuk dicuci. Sementara itu, Sagala bangkit dari kursinya, menepuk bahu Kalula dengan lembut sebelum menuju kamar mandi untuk bersiap ke kantor.Sambil mencuci piring, Kalula bergumam pelan, “Hmm... sepertinya nanti siang saja aku ke kafe.” Selesai mencuci, dia menata piring bersih ke rak, “Aku mau selesaikan dulu desain yang belum sempat selesai kemarin.” Lanjutnya.Setelah memastikan dapur rapi, Kalula kembali ke kamar‒ mengambil setelan kerja Sagala, dan meletakkannya rapi di tepi ranjang. Lalu, dia mengambil iPad-nya dan duduk di sudut favoritnya di kamar.Tidak lama, Sagala muncul dari kamar mandi, rambutnya masih basah. Dia tersenyum melihat setelan kerjanya sudah tertata rapi.“Terima kasih, Kal.” Ucapnya sambil mengenakan kemejanya.“Sama-sama,
Lia segera duduk di samping Erik, lalu mengeluarkan makanan yang ada di dalam paperbag, “Aku bawain makanan buat Kak Erik, biar Kakak lebih semangat lagi bekerja.” Ujarnya dengan antusias.“Gak usah repot-repot, Lia. Kakak bisa beli sendiri nanti.” Jawab Erik, sedikit canggung dengan situasi yang ada.Lia hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala, “Nggak apa-apa, Kak. Lagipula aku tahu Kak Erik sering lupa makan kalau lagi sibuk. Jadi, aku pikir ini cara yang bagus buat ingetin Kakak.”Erik tersenyum tipis, merasa terenyuh dengan perhatian Lia. Meski dia tidak terbiasa mendapatkan perhatian seperti itu di tempat kerja, Erik tidak bisa menolak ketulusan yang terpancar dari raut wajah Lia.“Terima kasih, Lia. Kamu perhatian sekali,” ujarnya lembut, berusaha menormalkan situasi, “Tapi, kamu nggak perlu susah-susah. Aku nggak mau kamu merasa terbeba
Setelah percakapan yang intens itu, Lia meninggalkan kafe tanpa berkata banyak‒ meninggalkan Kalula dalam perasaan campur aduk. Kalula menghela napas panjang sebelum kembali fokus melayani pelanggan yang tersisa. Meski sudah agak sepi, pekerjaannya tetap menyita banyak energi.Saat malam semakin larut, satu per satu pelanggan meninggalkan kafe. Jam hampir menunjukkan pukul sembilan malam, dan kini ‘ROMANIA’ benar-benar sepi. Para karyawan mulai merapikan meja dan kursi, membersihkan sisa-sisa minuman serta memastikan kafe siap dibuka kembali keesokan harinya.Selesai membereskan semuanya, Kalula dan Nimas pun bersiap pulang. Kalula memastikan pintu kafe terkunci, lalu menutup lampu kafe. Dengan tubuh yang letih, dia masuk ke dalam taksi yang sudah menunggunya di depan kafe. Udara malam yang sejuk memberinya sedikit ketenangan setelah hari yang panjang, meski pikirannya tetap terfokus pada kejadian tadi.Begit
Kalula tersenyum sangat ramah, lalu membalas sapaan dari Pak Arif, “Eh, maaf Pak Arif‒ baru pulang dari kebun, ya, Pak?”“Iya, Kal,” jawab Pak Arif sambil tersenyum, “Kalau bukan dari kebun, mau ke mana lagi? Cuma itu, kan kegiatan saya sehari-hari,” lanjutnya, diiringi tawa ringan.Kalula tersenyum simpul, “Ah, Pak Arif bisa saja.” Balasnya hangat, “Mau mampir dulu, Pak?”“Tidak usah, Kal. Ini sudah sore. Saya harus pulang kasih makan kambing-kambing di rumah,” jawab Pak Arif, melambaikan tangan.Setelah Pak Arif berpamitan, dia pun bergegas pergi dengan membawa tentengan di bahunya. Kalula kemudian berbalik, berjalan menghampiri Sagala yang berdiri di samping mobil bersama Erik.“Ayo, sekarang kita masuk.” Ajak Kalula, melewati kedua pria itu sambil membuka pintu rumah.Pint
“Mas Saga gak siap-siap? Katanya hari ini Mas harus pergi ke perbatasan buat ngecek proyek di sana,” ujar Kalula, tersenyum sambil menatap suaminya yang kini tengah berjongkok di sebelahnya.“Iya-iya, setelah ini.” Jawab Sagala sambil menarik napas panjang, “Aku masih ingin menikmati pagi ini sebentar bermesraan dengan istriku.”Mereka berdua tertawa kecil, lalu Sagala mulai membantu Kalula merapikan kebun kecil di samping rumah. Tangan mereka sibuk mencabut rumput liar, sesekali diiringi obrolan ringan dan canda tawa yang membuat pagi itu semakin cerah dan penuh kehangatan.Di sela-sela candaan Sagala yang membuat Kalula tertawa lepas, tiba-tiba terdengar suara dari arah depan rumah.“Woi, bucin terus lo! Mau kerja atau mau pacaran seharian di kebun?” teriak Erik sambil berdiri di tepi pagar dengan tangan di pinggang, wajahnya tampak pura-pura serius,
Matahari semakin tinggi, menandakan waktu istirahat siang bagi para pekerja proyek. Erik memperhatikan sebagian besar dari mereka tampak lelah, dengan keringat membasahi seragam mereka. Ia melambaikan tangan dan memberi isyarat."Kalian istirahat dulu," katanya dengan nada tegas namun ramah. Para pekerja mengangguk dan berjalan menuju tempat istirahat yang disediakan, beberapa mengucapkan terima kasih pada Erik sebelum berlalu.Erik kemudian menghampiri Sagala yang duduk di bawah bayangan tenda, sibuk menatap layar iPad-nya dengan alis berkerut. Erik duduk di sampingnya dan mencoba mengintip layar yang tampak terang di bawah sinar matahari."Masih ada masalah?" tanya Erik sambil membuka botol air mineralnya.Sagala mengangguk sambil mengusap pelipis, "Ada laporan tambahan. Material yang datang tadi pagi juga masih di bawah standar." Dia menghela napas, meletakkan iPad-nya di pangkuan, "Kalau benar ad
Keesokan paginya, sinar matahari perlahan merayap masuk melalui celah-celah rumah kayu peninggalan mendiang nenek Rini. Kalula kembali sibuk di dapur, menyiapkan sarapan sederhana untuk suaminya, Sagala, dan Erik. Hari ini dia memutuskan untuk membuat nasi goreng dan telur mata sapi.Tak butuh waktu lama, masakannya pun siap. Aroma harum nasi goreng dan telur mata sapi segera memenuhi ruangan, mengundang siapa pun yang menciumnya untuk segera mencicipi.“Akhirnya selesai juga,” gumamnya sambil tersenyum, “Lebih baik aku segera menyajikannya di meja makan, lalu menyiapkan pakaian kerja untuk Mas Saga. Setelah itu, aku bisa pergi ke kebun.”Setelah semua tersaji di meja makan dan tertutup rapi dengan tudung saji, Kalula beranjak ke kamar untuk membangunkan suaminya dan menyiapkan pakaiannya.Saat masuk ke kamar, dia melihat Sagala masih terlelap di atas tempat tidur. Kalula duduk di tepi ranjang, meman
Langit malam yang bertabur bintang menjadi saksi perjalanan mereka menuju rumah. Suara canda tawa Sagala, Mama Elena, dan Kakek Arya memenuhi kabin mobil, menciptakan kehangatan di tengah dinginnya malam. Kalula meski tersenyum sesekali, lebih banyak tenggelam dalam pikirannya sendiri.Pesan misterius yang diterimanya tadi siang terus menghantui, membuat suasana hatinya tak sepenuhnya terhubung dengan keceriaan di sekitarnya.“Kamu baik-baik saja, Nak?” suara berat namun lembut Kakek Arya memecah lamunannya. Tatapan penuh perhatian pria tua itu langsung tertuju ke arah Kalula.“Ah... iya, Kek. Aku baik-baik saja.” Jawab Kalula tergesa, mencoba menutupi kegelisahannya dengan senyum, “Cuma sedikit lelah setelah seharian di kafe.”Elena yang duduk di samping Kalula, menyentuh lembut tangan menantunya, “Kalau kamu lelah‒ istirahat saja, Sayang. Besok biar Mama ya
Setelah percakapan telepon dengan Mama mertuanya, Kalula bergegas untuk bersiap berangkat ke kafe milik Mama mertuanya seperti biasa. Dia memilih setelan kasual berupa blus putih sederhana dan celana panjang krem, lalu mengambil tas slempangnya.Sebelum keluar rumah, Kalula menghela napas panjang, “Lupakan dulu, Kal. Sekarang kamu harus fokus dulu di kafe,” gumamnya pada diri sendiri.Setelah itu dia segera keluar dari rumah dan langsung menaiki taksi yang sudah menunggunya di depan pagar. Sopir taksi menyapanya dengan ramah, tapi Kalula hanya menjawab dengan senyuman singkat sembari tenggelam dalam pikirannya sendiri.“Ke Kafe Romania, Pak.” Ucapnya pelan.Sepanjang perjalanan, Kalula memandang keluar jendela‒ menyaksikan keramaian kota yang terasa seperti latar belakang tanpa suara. Suasana hatinya pagi ini terasa berat, tapi dia terus mengingatkan diri untuk tetap tenang.
Kalula bangun lebih awal seperti biasanya. Matahari baru saja mulai mengintip dari balik tirai jendela kamarnya. Setelah mandi dan berdandan sederhana, dia menuju dapur dengan langkah ringan. Aroma segar pagi itu seolah menular pada semangatnya.Setibanya di dapur, dia melihat Tika‒ maid yang setia membantu pekerjaan rumah tangga, tengah sibuk di sana.“Pagi, Tika.” Sapa Kalula dengan senyum khasnya.“Pagi, Nona Kalula.” Jawab Tika sopan sambil menoleh sekilas dari meja dapur.“Mau masak apa kita hari ini, Tika?” Kalula mengambil apron dari gantungan dan mengikat rambutnya asal, siap membantu.Tika tersenyum kecil, “Saya sudah siapkan bahan untuk nasi goreng spesial, Nona. Tapi kalau ada yang mau ditambah, saya siap bantu.”“Hmm... nasi goreng kedengarannya enak,” gumam Kalula sambil membuka kulkas,
Sagala menyandarkan tubuhnya ke mobil, matanya tetap tertuju pada pintu kafe yang baru saja tertutup. Udara malam yang semakin dingin membawa aroma kopi bercampur wangi tanah basah sisa hujan sore tadi. Dia melipat kedua tangannya di depan dada, membiarkan pikirannya mengembara.Kalula tidak pernah berubah, pikirnya sambil tersenyum tipis. Energinya selalu penuh, bahkan setelah seharian bekerja. Itu salah satu hal yang membuatnya jatuh cinta sejak awal.Tidak lama kemudian, pintu kafe kembali terbuka. Kalula muncul kembali dengan membawa tas selempang kecil di pundaknya. Langkahnya cepat, seperti sedang mengejar waktu.“Mas, maaf ya kalau sedikit lama.” Ucapnya sambil berhenti tepat di hadapan Sagala.Sagala menggeleng kecil, “Enggak apa-apa, Kal. Lagi pula, aku lebih suka nunggu kamu.” Jawabnya sambil tersenyum menggoda.Kalula mendengus kecil, lalu terta
Langit malam mulai memayungi kota ketika lampu-lampu kecil di kafe Romania memancarkan sinarnya yang hangat, menciptakan suasana nyaman bagi pelanggan yang tersisa. Kalula sibuk menyusun laporan harian di meja bar, sementara Lia berdiri tak jauh darinya, tampak gelisah dengan tas kecil yang sudah tersampir di bahunya.Lia akhirnya mendekat, mengalihkan perhatian Kalula dari laporan-laporan yang berserakan."Kal, gue izin pulang duluan, boleh kan?" tanyanya singkat. Suaranya terdengar datar, tidak seperti biasanya.Kalula menghentikan pekerjaannya, menatap Lia dengan seksama. "Iya, Lia. Boleh kok. Lagi pula kafe juga sudah mulai sepi," jawabnya dengan lembut. Namun, rasa khawatir tergambar jelas di matanya. "Tapi kamu baik-baik aja? Kelihatannya dari tadi kamu kurang semangat."Lia mengangguk kecil, tapi tidak menatap langsung. "Gue nggak apa-apa," ucapnya dengan nada singkat. Lalu, dengan sedikit ket
Pagi berikutnya, Lia bangun lebih pagi dari biasanya‒ memastikan dirinya tidak bertemu langsung dengan sang ayah. Keputusan itu lahir dari rasa bimbang yang terus menghantuinya semalaman. Dia belum siap menghadapi kenyataan yang mungkin akan membuat hubungannya dengan sang ayah semakin renggang.Setelah bersiap, Lia mengambil tas kecilnya dan segera melangkah keluar. Namun, baru saja membuka pintu, suara ayahnya menghentikan langkahnya."Lia, kamu mau ke mana pagi-pagi begini?" tanya Erwin dengan nada datar, meski sorot matanya penuh kecurigaan.Lia menghentikan langkahnya, menghela napas berat sebelum berbalik menatap sang ayah, "Ke kafe Romania. Mau bantu-bantu di sana seperti biasa."Erwin mengangguk kecil, lalu melanjutkan, "Nanti pulang lebih awal, Papa mau bicara sama kamu. Ada yang harus Papa jelaskan."Ucapan itu seperti petir di siang bolong. Lia mencoba menjaga ekspresinya tetap tenang, meski dalam hati dia bertanya-tanya apa yang ingin disampaikan ayahnya, "Oke." Jawabnya s
Pagi itu, sinar matahari menembus tirai kamar Lia, menciptakan pola bayangan lembut di lantai kayu. Wanita muda itu duduk termenung di depan meja rias, tangannya menopang dagu. Bayangan dirinya di cermin tampak seperti seseorang yang berjuang melawan badai dalam pikirannya. Pertengkaran tadi malam dengan sang ayah terus bergema di benaknya, membuat tidur malamnya terpotong-potong oleh mimpi buruk.Dia menghela napas panjang, mencoba menyemangati dirinya sendiri, "Aku nggak bisa terus begini. Aku harus tahu apa yang sebenarnya papa sembunyikan." Suaranya lirih, seperti mantra untuk menguatkan tekadnya.Setelah bergegas mandi dan mengenakan pakaian sederhana, Lia melewatkan sarapan. Langkah kakinya cepat menuruni tangga rumah, tetapi hatinya terasa berat. Dia memutuskan untuk mampir ke taman kecil di pusat kota sebelum menuju kafe Romania, tempat yang biasa dia datangi untuk menghabiskan waktu dengan membantu bekerja di sana.Taman itu masih lengang saat Lia tiba. Pepohonan rindang meli
Malam semakin larut, dan suasana kamar dipenuhi keheningan yang hanya diiringi suara detak jam di dinding. Sagala berbaring di sisi ranjang, tubuhnya terlentang dengan satu tangan diletakkan di belakang kepala. Pandangannya menatap langit-langit yang gelap, pikirannya terus berputar di antara kekhawatiran dan rencana-rencana yang belum tuntas dia susun.Di sebelahnya, Kalula tertidur pulas dengan posisi miring‒ wajahnya menghadap Sagala. Wajah damai istrinya seolah menjadi penawar bagi segala badai yang dia rasakan di hati. Napas Kalula yang lembut terdengar beraturan, memberi ritme yang menenangkan di tengah kegelisahan malam itu.Sagala memutar tubuhnya sedikit, menghadap Kalula. Tangan besarnya terulur perlahan, menyibakkan helaian rambut yang jatuh di pipi istrinya. Gerakannya lembut, seperti ingin memastikan bahwa kehadirannya tidak mengganggu tidur wanita itu."Semoga saja dia tidak merencanakan sesuatu," gumamnya pelan.Matanya mengamati wajah Kalula dengan penuh perhatian, mena
Menjelang sore, suasana kafe mulai lengang. Lampu gantung di langit-langit yang berbentuk bola kaca mulai menyala‒ memancarkan cahaya hangat ke seluruh ruangan. Aroma kopi yang khas masih samar-samar tercium, berpadu dengan wangi roti panggang yang baru keluar dari oven.Beberapa meja masih terisi pelanggan. Ada yang bercengkerama ringan, ada pula yang menatap layar laptop dengan fokus. Di sudut ruangan, pasangan muda tampak berbagi sepotong cake sambil tersenyum kecil. Kesibukan pagi yang penuh antrean sudah lama berlalu, meninggalkan keheningan yang terasa nyaman namun sedikit melankolis.Kalula berdiri di belakang meja kasir, jarinya mengetuk-ngetuk ringan countertop kayu yang sudah mulai aus di beberapa sudut. Tatapannya sesekali melirik ke arah Lia yang sedang merapikan etalase roti. Rak-rak kaca itu kini berisi sisa-sisa stok yang mulai menipis‒ beberapa croissant, brownies, dan sepotong cheesecake yang tampak sedikit miring di ujung p