“Kamu kelihatan tambah cantik, Kalula.” Bisik Mario tepat di samping telinga Kalula seraya meletakkan dagu nya di pundak sebelah kanan gadis itu.
“Mario!” sentak Kalula. Gadis itu terkejut, cepat-cepat dia melepaskan kedua lengan Mario yang melingkar di perutnya, “Mario, lepasin!” ujarnya. “Enggak.. Aku kangen sama kamu, Kalula.” Ucap Mario dengan tidak tahu malunya setelah dia berselingkuh dari Kalula. Kalula benar-benar sudah sangat muak ketika mendengar ucapan yang keluar dari mulut pria itu, karena setelah pengkhianatan yang telah di lakukan oleh Mario‒ bagi Kalula saat ini apa yang keluar dari mulut pria itu hanyalah omong kosong. “Tolong lepasin! Aku gak mau orang lain jadi salah paham kalau melihat kita seperti ini, dan nanti akan menimbulkan gosip yang tidak-tidak.” Ucap Kalula. “Enggak! Aku gak akan lepasin kamu, aku masih sayang sama kamu, Kalula. Aku cuma cinta sama kamu, bukan sama dia‒ percaya sama aku.” Ujar Mario. “Sudahlah, Mario. Semuanya udah jelas, kalau kamu memang gak cinta sama dia gak mungkin kalian berkhianat di belakangku.” Ucap Kalula, “Jadi, aku mohon sama kamu sekarang kamu fokus aja sama pernikahan kalian dan jangan ganggu aku lagi.” sambungnya. Suaranya terdengar bergetar dan mulai melemah, air mata yang sedari tadi Kalula tahan tidak bisa lagi dia bendung. Cairan bening mulai berlomba jatuh membasahi pipi mulusnya, rasa kecewa, sakit hati dan sedih kembali menghampirinya. Sementara Mario masih kekeh tidak mau melepaskan pelukannya dan meminta Kalula untuk memberikan kesempatan lagi padanya, sampai akhirnya ada suara bariton seorang pria yang sangat tidak asing di pendengaran gadis itu‒ keduanya pun langsung menoleh ke arah sumber suara. “Apa yang sedang kau lakukan padanya?” tanya Sagala dengan nada dingin dan sorot kedua matanya sangat mengintimidasi. Mario segera melepaskan pelukannya dari tubuh mungil Kalula, tetapi tangannya masih setia menggenggam tangan mantan kekasihnya itu, meskipun Kalula berusaha menolaknya. Sagala paham jika Kalula tidak nyaman. Kemudian pria itu pun berjalan mendekat ke arah mereka berdua dengan raut wajah datar dan kedua tangan di masukkan ke dalam saku celana. “Lepaskan tangan kotormu dari tangan calon istriku!” Sagala mengucapkan kalimat tersebut dengan penuh keyakinan sambil melepas paksa dan menarik tangan Kalula dari tangan Mario. Seketika Mario di buat kaget, terlebih lagi dengan sang pemilik nama yang baru saja di sebut oleh Sagala itu. “Sekali lagi saya melihatmu mengganggu calon istri saya‒ maka saya tidak akan segan untuk mematahkan kedua tanganmu itu.” Ancam Sagala dengan nada penuh penekanan. “Hah! Apa yang dia katakan barusan?” batin Kalula tidak percaya. Gadis itu terdiam hingga mendengar suara Mario yang bertanya padanya. “Apa benar yang di katakan pria ini, Kalula?” tanya pria itu. Kalula terdiam. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Gadis itu saja tidak sempat terpikirkan sebelumnya jika Sagala akan mengatakan hal yang sangat mengejutkan seperti itu tadi. “Jawab, Kalula!” ucap Mario seraya tangannya hendak meraih tangan gadis itu, tetapi langsung di tepis oleh Sagala. “Untuk apa kau bertanya padanya? Apa ucapanku tadi tidak cukup jelas untukmu?!” tanya Sagala. “Apa saya perlu mengulanginya sekali lagi agar kau puas?” tanyanya lagi. Setelah itu kedua tangan Sagala memegang pundak Kalula, lalu memutar hingga menghadap padanya, "Kau tidak apa-apa kan? Apa pria ini menyakitimu?” tanya Sagala pada gadis itu dengan nada yang terkesan sangat perhatian padanya. Kalula menggelengkan kepala. Tiba-tiba Sagala menarik pinggang kecilnya itu hingga membuat Kalula terkejut. Pria itu menatap wajah Kalula, “Sungguh kau tidak apa-apa, sayang?” “Astaga! Apalagi yang pria ini katakan?” batin Kalula. Gadis itu masih terdiam seraya menelan ludahnya sendiri hingga kedua mata Sagala memberikan isyarat. “I-iya. Aku sungguh tidak apa-apa. Lebih baik sekarang kita kembali saja ke ruangan, lagi pula kopi nya juga sudah jadi.” Ujar Kalula seraya memaksakan diri untuk tersenyum. Dia sangat gugup sekali melihat ekpresi wajah Sagala yang tidak biasanya, ada sesuatu yang berbeda dari tatapan pria itu. Mario menatap tidak suka ke arah mereka berdua. Kedua tangannya mengepal, sepertinya dia benar-benar marah dan tidak terima. “Baiklah, kalau begitu. Kita kembali sekarang.” Kalula segera mengambil kopi yang sudah dia buat tadi, lalu kembali menghampiri Sagala. Setelah itu Sagala mengajak gadis itu kembali ke ruang kerja miliknya sembari tangannya setia merangkul pinggang kecil Kalula. “Sial!” Ujar Mario seraya mengepalkan kedua tangannya. Raut wajah pria itu terlihat sangat tidak terima. Setibanya di ruang kerja Sagala. Kalula berusaha melepaskan tangan pria itu yang masih setia merangkul pinggang miliknya sejak tadi. “Lepas tangan anda! Jangan mencari kesempatan dalam kesempitan!” ketus Kalula dan segera menjauhkan tubuhnya dari Sagala. Kalula segera meletakkan kopi buatannya tadi di meja kerja Sagala, “Ini kopi nya! Kalau ini masih salah, aku tidak mau lagi membuatnya, lebih baik kau buat sendiri!” ujar gadis itu kesal. Pria itu duduk di kursi kerjanya, lalu mencicipi kopi buatan Kalula. Sebenarnya sejak awal tidak ada yang salah dengan kopi buatan gadis itu, tetapi entah kenapa Sagala memiliki ide jahil untuk membuat gadisnya itu kesal. Tetapi, lama-lama dia juga merasa kasihan melihatnya. “Hmmm.. ini sudah pas rasanya.” Ucap Sagala. Suasana ruangan itu sangat hening untuk beberapa saat, sampai Sagala kembali berbicara, “Mmm.. Saya tadi tidak sengaja melihat sebuah undangan pernikahan di dalam tas mu, apa itu undangan dari pria brengsek tadi?” tanya Sagala. “Hmm iya.. tadi aku bertemu dengan mereka di depan lobby, dan mereka memberikan undangan itu.” Jawab Kalula. Sagala sadar‒ dari nada bicara gadis itu masih sangat terlihat sekali masih ada rasa sayang di dalam hatinya, “Apa kau masih sayang dengan pria itu?” tanya Sagala pada Kalula. Gadis itu menoleh ke arah Sagala, “Tidak! Semenjak dia mengkhianatiku, rasa sayang itu sudah hilang dari hatiku. Yang tersisa saat ini hanyalah kecewa dan sakit hati, sekaligus rasa benci." Bohong Kalula. Gadis itu memang tidak bisa memungkiri jika rasa sayang itu masih ada, meskipun hanya sedikit. “Kau memang bisa berbohong dengan siapapun, tetapi tidak dengan saya, Kalula! Saya tahu kau masih sayang dengan pria itu‒ dari ekspresi wajahmu itu sudah menunjukkan semuanya.” Ucap Sagala. Pria itu kesal karena Kalula tidak mau jujur padanya, artinya gadis itu masih menganggapnya sebagai orang lain. “Ck! Sudahlah tidak perlu membahas masalah ini lagi, aku sangat malas sekali. Lagi pula aku juga tidak akan datang ke pernikahan mereka.” Ujar Kalula, lalu jari jemarinya kembali menggeser-geser layar ponsel. “Kenapa? Apa kau tidak sanggup melihat pernikahan mantan kekasih dan saudara tirimu itu?” tanya pria itu, “Baru saja kau bilang jika sudah tidak menyayanginya lagi, tetapi kenapa kau seolah menghindar?” tanya nya lagi. “Kau ini kenapa sih?! Sudah ku bilang jangan membahasnya lagi! Jangan terlalu ikut campur dengan kehidupanku! Kau ini hanyalah orang asing yang baru saja mengenalku!” Kalula kesal karena menurutnya pria itu sudah terlalu mencampuri urusannya. Tidak terima dengan perkataan Kalula, pria itu mengepalkan kedua tangannya dengan sangat kuat sampai-sampai bulpoin yang ada di genggamannya pun patah. Setelah itu beranjak dari kursi, CEO tampan itu berjalan ke arah sofa‒ dimana gadis itu sedang duduk. Sagala mengunci tubuh Kalula. Kedua tangannya berada di sebelah kanan dan kiri gadis itu. Hanya tinggal sedikit saja, bibir keduanya bertemu. Tatapan mata pria itu membuatnya gugup. Dia merasakan ada sesuatu hal yang aneh dari tatapan mata sang CEO tampan itu. Tetapi, dia berusaha untuk mengalihkan pandangannya ke arah lain. “Saya tidak suka mendengar kau berbicara seperti tadi,” bisik Sagala. Bibirnya berada tepat di samping Kalula, hingga membuat gadis itu merinding‒ susah payah dia menelan ludahnya. “Ke-kenapa kau yang marah? Seharusnya aku yang marah, karena kau terlalu ikut campur dengan kehidupanku.” Kalula bertambah kesal. Bisa-bisanya pria itu malah marah padanya. “Saya tidak perduli. Yang harus kau ingat, jangan pernah berbicara seperti tadi lagi dengan saya, atau kau akan tahu apa yang akan saya lakukan.” Sagala mengingatkan dengan nada bicara yang terdengar begitu dingin. Keberanian Kalula seketika langsung menciut. Meskipun dia tidak terima, tapi tidak ada lagi bantahan yang berani dia keluarkan dari mulutnya. “I-iya. Maafkan aku.” Hanya kata maaf yang keluar dari mulutnya. Memangnya apa lagi? *** “Sudah sampai, Tuan.” Ucap sang sopir memberitahu. Mobil tersebut berhenti di depan sebuah hotel mewah. Tempat dimana acara pernikahan Mario dan Kiara akan di laksanakan. Kalula mengenakan midi dress berwarna putih dengan lengan panjang. Gadis itu mengeriting seluruh bagian rambutnya, mengepang sebagian rambut kanan dan kirinya, lalu menyatukan keduanya dan di tambah aksesoris bunga kecil berwarna putih sebagai sentuhan terakhir. Sementara Sagala mengenakan kemeja putih dengan tuxedo hitam, sangat terlihat serasi dengan baju yang di kenakan oleh Kalula. Pria itu menoleh ke arah Kalula, dia sangat paham sekali jika gadis itu merasa sangat tidak nyaman. “Kau tidak perlu takut, disini ada saya.” Ucap Sagala menenangkan seraya menggenggam tangan Kalula, “Sekarang, kita masuk.” “Kamu kuat, Kalula.” batin Kalula. Dia memejamkan matanya beberapa saat, kemudian membukanya kembali seraya mengambil napas dalam-dalam. Kalula dan Sagala turun dari mobil. Semua mata tertuju pada mereka, keduanya berjalan beriringan‒ tangan Sagala tidak lepas menggenggam tangan milik Kalula. Tiba-tiba Sagala menghentikan langkahnya ketika sudah sampai di depan lift, “Kau naiklah dulu, nanti saya akan segera menyusul.” Ucap Sagala. “Memangnya kau akan kemana?” tanya Kalula. “Saya akan menelepon Erik sebentar,” jawab Sagala. Sebenarnya dia juga tidak tega membiarkan Kalula sendirian, dia melihat raut wajah gadis itu sendu, “Tidak akan terjadi apa-apa. Saya hanya sebentar saja kok.” “Hmmm... Baiklah, cepat menyusul.” Terpaksa Kalula harus masuk sendirian. Sagala membukakan lift untuk Kalula. Kemudian setelah gadis itu benar-benar hilang di balik pintu lift, pria itu pergi dan merogoh saku jas nya untuk mengambil ponsel miliknya.Pintu ruang aula terbuka. Kalula merasa gugup karena banyak pasang mata yang menatap ke arahnya. Gadis itu menarik napas dalam-dalam, kemudian berjalan masuk menuju pada keluarganya, di depan sudah ada papa, mama dan juga kedua calon mempelai.Mereka semua tengah meatap Kalula dengan tatapan tidak suka, terutama Kiara.'Wah.. dia cantik sekali! Bagaimana bisa pria itu menyia-nyiakan gadis secantik dia dan lebih memilih saudara tirinya itu.''Iya ya anda benar sekali. Sangat rugi menyiakan gadis seperti dia.''Wow... Bagaimana bisa ada gadis secantik ini?! Bahkan dia terlihat begitu anggun daripada calon mempelai wanitanya.'Terdengar banyak pujian pada Kalula. Tetapi, tidak sedikit juga yang menatapnya tidak suka dan membicarakan hal buruk tentangnya.'Bukankah itu mantan dari mempelai pria?''Iya, anda benar. Pasti dia sengaja ingin mengacaukan pernikahan saudara nya.'Sepanjang dia berjalan menuju depan, telinganya terus mendengar bisikan-bisikan yang di lontarkan oleh beberapa tamu
Sagala berjalan melewati semua orang, pandangannya lurus ke depan dengan sorot matanya yang mengintimidasi. Di ikuti dengan Erik yang juga berjalan di belakangnya. 'Siapa pria itu?’ ‘Entahlah... Saya juga tidak tahu, nyonya.’ Seluruh tamu undangan yang berada di ruangan itu saling berbisik-bisik membicarakan kedatangan Sagala di ruangan itu, serta menatap pria itu dengan penasaran. Setibanya di depan, kedua tangan Sagala langsung merangkul pundak Kalula, “Kau tidak apa-apa? Mereka tidak keterlaluan padamu kan?” tanya nya. Kalula menatap Sagala dengan mendongak, kemudian menggelengkan kepalanya. Tetapi, Sagala tidak begitu saja langsung percaya, karena dia sangat tahu sekali bagaimana gadis nya itu. Kalula tidak akan memberitahunya apa yang terjadi. Pria itu mulai meneliti dari ujung kepala sampai ujung kaki, dan akhirnya mata elangnya mendapati sebuah bekas merah berada di pipi sebelah kiri gadis itu, “Siapa yang melakukannya? Katakan pada saya!” tanya Sagala dengan nada be
Tak lama kemudian, Kalula mendengar semua orang yang dilewatinya mulai berbisik-bisik tentang sesuatu—tetapi gadis itu tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Namun, karena merasa penasaran, Kalula mencoba berhenti dan menoleh ke belakang. Ternyata itu adalah video yang memperlihatkan Mario dan Kiara bermesraan di sebuah hotel beberapa waktu lalu. Kalula mendongak, "Apa kau sudah menyiapkan semua ini?" bisik Kalula kepada Sagala. "Ya, saya memang sengaja menyiapkan semuanya. Saya minta Erik mencari video itu lewat rekaman CCTV di hotel," jawab Sagala. "Karena sejak awal aku sudah menduga kalau mereka akan melakukan sesuatu kepadamu," imbuhnya. Kalula tersenyum manis pada Sagala, ia tak menyangka masih ada orang baik yang mendekatinya selain sahabatnya, Nimas. Meski baru kenal sebentar, lelaki itu sudah berbuat banyak untuknya. “Terima kasih karena selalu membantuku di waktu yang tepat,” kata Kalula. Tiba-tiba, tangan Sagala mendarat di atas kepalanya, lalu mengusapnya dengan
Kalula terkejut sesaat, namun saat bibir mereka menyentuh, semua perasaan campur aduk dalam dirinya seolah menguap. Jantungnya berdegup kencang, seolah terjebak dalam momen yang tak terduga. Dia tidak bisa mempercayai apa yang terjadi, tapi saat Sagala menariknya lebih dekat, rasa hangat mengikat hatinya. Namun, saat kesadarannya kembali, Kalula mendorong tubuhnya menjauh. “Apa yang kamu lakukan?!” serunya, suaranya bergetar antara malu dan bingung. Sagala tampak terkejut, tetapi ada nada percaya diri dalam senyumannya, pria itu tahu jika gadis yag ada di depannya itu tengah malu karena terlihat jelas saat ini pipinya merona merah, “Aku hanya ingin kamu tahu betapa aku peduli padamu,” katanya lembut, mencoba meraih tangan Kalula. “Peduli? Apa maksud ucapanmu?” Kalula menjawab, wajahnya mencoba mengubahnya ke arah lain untuk menyembunyikan kegugupannya. “Aku tidak mengerti apa yang kamu bicarakan.” Sagala berpikir, sepertinya memikirkan sebuah kata. Lalu pria itu mengembuskan na
Keesokan harinya, Kalula bangun lebih awal. Sinar matahari masih malu-malu mengintip dari balik tirai, menciptakan bayangan lembut di kamar tidurnya. Udara pagi yang sejuk merayap masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka, membuat Kalula merasa segar dan penuh semangat. Ia merentangkan tubuhnya perlahan, menikmati ketenangan sejenak sebelum hari benar-benar dimulai.Kalula mulai membersihkan tubuhnya dengan cepat, membasuh wajah dengan air dingin yang membuatnya semakin terjaga. Setelah mengenakan pakaian sederhana, ia bergegas menuju dapur untuk membantu maid menyiapkan sarapan untuk Sagala, pria yang sudah sangat baik padanya. Setelah apa yang terjadi ketika di pasar malam dan apa yang sudah mereka bicarakan tadi malam, Kalula akan memulai membiasakan diri, hitung-hitung sebagai balas budi karena pria itu sudah banyak menolongnya.“Anda memasak apa untuk sarapan hari ini?” tanya Kalula pada maid yang sedang berada di dapur, melihat wanita itu sibuk menyiapkan bahan-bahan.Mai
Setelah jam makan siang, Kalula berinisiatif untuk pergi ke kantor Sagala‒ mengantarkan makan siang yang sudah dia buat tadi bersama Tika‒ maid rumah Sagala. Dia merasa senang bisa memberikan kejutan kecil untuk Sagala.Namun, ketika Kalula sampai di sana, hatinya bergetar saat melihat pemandangan yang tidak terduga. Di ruang kerja kantor, Sagala sedang asyik menikmati makan siang bersama seorang wanita yang tidak dikenal. Wanita itu tampak elegan dan anggun, dengan senyum yang terlihat akrab dan lekat dengan Sagala.Mereka tertawa bersama, dan terlihat sangat jelas kehangatan di antara mereka membuat Kalula merasa seolah-olah terjepit dengan perasaan yang tidak jelas.‘Perasaan apa ini? Kenapa rasanya aku begitu tidak rela melihat Saga bersama dengan wanita itu.’Kalula tertegun sejenak, merasakan cemas menyergapnya. Dia tidak tahu siapa wanita itu, tetapi chemistry di antara mereka tampak jelas. Sagala terlihat lebih santai dan b
Pukul enam malam. Sagala yang baru saja pulang dari kantor melihat sekeliling rumahnya tampak sepi. Kalula yang biasanya akan berada di dapur kini tidak terlihat, hanya ada Tika yang tengah sibuk menyiapkan makan malam.Sagala bertanya pada Tika, di mana Kalula berada. Tika menjawab bahwa dia tidak mengetahui, karena setelah mengantar makan siang ke kantor Sagala siang tadi, gadis itu sama sekali belum kembali kerumah.Sagala mengernyitkan dahi‒ merasakan ketidaknyamanan yang mulai merayap ke dalam pikirannya, “Tidak kembali? Dia seharusnya sudah ada di sini.” Gumamnya. Pria itu berusaha menenangkan diri meskipun ada rasa khawatir yang mulai menguasai pikirannya."Mungkin dia hanya butuh waktu untuk sendiri, Tuan.” Jawab Tika sambil menyusun piring-piring di meja makan.Sagala merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar keinginan untuk sendiri. Dia berusaha mengingat kembali percakapan mereka terakhir kali dan menyadari ba
Kalula meremas erat gaunnya, hatinya diliputi kebingungan dan ketakutan. Dia ingin menghadapi Sagala, ingin mengatakan semuanya, tapi ketakutan akan kekecewaan terus membelenggunya. Kakinya terasa berat, seolah tidak mampu untuk melangkah maju.Saat itu, dia mendengar suara langkah kaki mendekat. Sagala tiba-tiba memutar tubuhnya dan berjalan menuju pintu. Napas Kalula tertahan, dadanya semakin sesak, dan detak jantungnya semakin kencang."Kalula!" Suara Sagala terdengar, lembut namun penuh dengan pertanyaan, seakan dia tahu gadis itu ada di dekatnya.Kalula terdiam di balik pintu, tubuhnya menegang. Dalam hati, dia bertanya-tanya, apa yang akan terjadi jika mereka saling berhadapan sekarang? Haruskah dia menjawab panggilannya atau tetap bersembunyi dalam kebisuannya? Rasa ragu semakin menelan keberaniannya, dan dia hanya bisa berharap waktu berhenti sejenak, memberikan kesempatan untuk berpikir lebih jernih.Namun, rasa takut membuatnya memilih u
Langit malam yang bertabur bintang menjadi saksi perjalanan mereka menuju rumah. Suara canda tawa Sagala, Mama Elena, dan Kakek Arya memenuhi kabin mobil, menciptakan kehangatan di tengah dinginnya malam. Kalula meski tersenyum sesekali, lebih banyak tenggelam dalam pikirannya sendiri.Pesan misterius yang diterimanya tadi siang terus menghantui, membuat suasana hatinya tak sepenuhnya terhubung dengan keceriaan di sekitarnya.“Kamu baik-baik saja, Nak?” suara berat namun lembut Kakek Arya memecah lamunannya. Tatapan penuh perhatian pria tua itu langsung tertuju ke arah Kalula.“Ah... iya, Kek. Aku baik-baik saja.” Jawab Kalula tergesa, mencoba menutupi kegelisahannya dengan senyum, “Cuma sedikit lelah setelah seharian di kafe.”Elena yang duduk di samping Kalula, menyentuh lembut tangan menantunya, “Kalau kamu lelah‒ istirahat saja, Sayang. Besok biar Mama ya
Setelah percakapan telepon dengan Mama mertuanya, Kalula bergegas untuk bersiap berangkat ke kafe milik Mama mertuanya seperti biasa. Dia memilih setelan kasual berupa blus putih sederhana dan celana panjang krem, lalu mengambil tas slempangnya.Sebelum keluar rumah, Kalula menghela napas panjang, “Lupakan dulu, Kal. Sekarang kamu harus fokus dulu di kafe,” gumamnya pada diri sendiri.Setelah itu dia segera keluar dari rumah dan langsung menaiki taksi yang sudah menunggunya di depan pagar. Sopir taksi menyapanya dengan ramah, tapi Kalula hanya menjawab dengan senyuman singkat sembari tenggelam dalam pikirannya sendiri.“Ke Kafe Romania, Pak.” Ucapnya pelan.Sepanjang perjalanan, Kalula memandang keluar jendela‒ menyaksikan keramaian kota yang terasa seperti latar belakang tanpa suara. Suasana hatinya pagi ini terasa berat, tapi dia terus mengingatkan diri untuk tetap tenang.
Kalula bangun lebih awal seperti biasanya. Matahari baru saja mulai mengintip dari balik tirai jendela kamarnya. Setelah mandi dan berdandan sederhana, dia menuju dapur dengan langkah ringan. Aroma segar pagi itu seolah menular pada semangatnya.Setibanya di dapur, dia melihat Tika‒ maid yang setia membantu pekerjaan rumah tangga, tengah sibuk di sana.“Pagi, Tika.” Sapa Kalula dengan senyum khasnya.“Pagi, Nona Kalula.” Jawab Tika sopan sambil menoleh sekilas dari meja dapur.“Mau masak apa kita hari ini, Tika?” Kalula mengambil apron dari gantungan dan mengikat rambutnya asal, siap membantu.Tika tersenyum kecil, “Saya sudah siapkan bahan untuk nasi goreng spesial, Nona. Tapi kalau ada yang mau ditambah, saya siap bantu.”“Hmm... nasi goreng kedengarannya enak,” gumam Kalula sambil membuka kulkas,
Sagala menyandarkan tubuhnya ke mobil, matanya tetap tertuju pada pintu kafe yang baru saja tertutup. Udara malam yang semakin dingin membawa aroma kopi bercampur wangi tanah basah sisa hujan sore tadi. Dia melipat kedua tangannya di depan dada, membiarkan pikirannya mengembara.Kalula tidak pernah berubah, pikirnya sambil tersenyum tipis. Energinya selalu penuh, bahkan setelah seharian bekerja. Itu salah satu hal yang membuatnya jatuh cinta sejak awal.Tidak lama kemudian, pintu kafe kembali terbuka. Kalula muncul kembali dengan membawa tas selempang kecil di pundaknya. Langkahnya cepat, seperti sedang mengejar waktu.“Mas, maaf ya kalau sedikit lama.” Ucapnya sambil berhenti tepat di hadapan Sagala.Sagala menggeleng kecil, “Enggak apa-apa, Kal. Lagi pula, aku lebih suka nunggu kamu.” Jawabnya sambil tersenyum menggoda.Kalula mendengus kecil, lalu terta
Langit malam mulai memayungi kota ketika lampu-lampu kecil di kafe Romania memancarkan sinarnya yang hangat, menciptakan suasana nyaman bagi pelanggan yang tersisa. Kalula sibuk menyusun laporan harian di meja bar, sementara Lia berdiri tak jauh darinya, tampak gelisah dengan tas kecil yang sudah tersampir di bahunya.Lia akhirnya mendekat, mengalihkan perhatian Kalula dari laporan-laporan yang berserakan."Kal, gue izin pulang duluan, boleh kan?" tanyanya singkat. Suaranya terdengar datar, tidak seperti biasanya.Kalula menghentikan pekerjaannya, menatap Lia dengan seksama. "Iya, Lia. Boleh kok. Lagi pula kafe juga sudah mulai sepi," jawabnya dengan lembut. Namun, rasa khawatir tergambar jelas di matanya. "Tapi kamu baik-baik aja? Kelihatannya dari tadi kamu kurang semangat."Lia mengangguk kecil, tapi tidak menatap langsung. "Gue nggak apa-apa," ucapnya dengan nada singkat. Lalu, dengan sedikit ket
Pagi berikutnya, Lia bangun lebih pagi dari biasanya‒ memastikan dirinya tidak bertemu langsung dengan sang ayah. Keputusan itu lahir dari rasa bimbang yang terus menghantuinya semalaman. Dia belum siap menghadapi kenyataan yang mungkin akan membuat hubungannya dengan sang ayah semakin renggang.Setelah bersiap, Lia mengambil tas kecilnya dan segera melangkah keluar. Namun, baru saja membuka pintu, suara ayahnya menghentikan langkahnya."Lia, kamu mau ke mana pagi-pagi begini?" tanya Erwin dengan nada datar, meski sorot matanya penuh kecurigaan.Lia menghentikan langkahnya, menghela napas berat sebelum berbalik menatap sang ayah, "Ke kafe Romania. Mau bantu-bantu di sana seperti biasa."Erwin mengangguk kecil, lalu melanjutkan, "Nanti pulang lebih awal, Papa mau bicara sama kamu. Ada yang harus Papa jelaskan."Ucapan itu seperti petir di siang bolong. Lia mencoba menjaga ekspresinya tetap tenang, meski dalam hati dia bertanya-tanya apa yang ingin disampaikan ayahnya, "Oke." Jawabnya s
Pagi itu, sinar matahari menembus tirai kamar Lia, menciptakan pola bayangan lembut di lantai kayu. Wanita muda itu duduk termenung di depan meja rias, tangannya menopang dagu. Bayangan dirinya di cermin tampak seperti seseorang yang berjuang melawan badai dalam pikirannya. Pertengkaran tadi malam dengan sang ayah terus bergema di benaknya, membuat tidur malamnya terpotong-potong oleh mimpi buruk.Dia menghela napas panjang, mencoba menyemangati dirinya sendiri, "Aku nggak bisa terus begini. Aku harus tahu apa yang sebenarnya papa sembunyikan." Suaranya lirih, seperti mantra untuk menguatkan tekadnya.Setelah bergegas mandi dan mengenakan pakaian sederhana, Lia melewatkan sarapan. Langkah kakinya cepat menuruni tangga rumah, tetapi hatinya terasa berat. Dia memutuskan untuk mampir ke taman kecil di pusat kota sebelum menuju kafe Romania, tempat yang biasa dia datangi untuk menghabiskan waktu dengan membantu bekerja di sana.Taman itu masih lengang saat Lia tiba. Pepohonan rindang meli
Malam semakin larut, dan suasana kamar dipenuhi keheningan yang hanya diiringi suara detak jam di dinding. Sagala berbaring di sisi ranjang, tubuhnya terlentang dengan satu tangan diletakkan di belakang kepala. Pandangannya menatap langit-langit yang gelap, pikirannya terus berputar di antara kekhawatiran dan rencana-rencana yang belum tuntas dia susun.Di sebelahnya, Kalula tertidur pulas dengan posisi miring‒ wajahnya menghadap Sagala. Wajah damai istrinya seolah menjadi penawar bagi segala badai yang dia rasakan di hati. Napas Kalula yang lembut terdengar beraturan, memberi ritme yang menenangkan di tengah kegelisahan malam itu.Sagala memutar tubuhnya sedikit, menghadap Kalula. Tangan besarnya terulur perlahan, menyibakkan helaian rambut yang jatuh di pipi istrinya. Gerakannya lembut, seperti ingin memastikan bahwa kehadirannya tidak mengganggu tidur wanita itu."Semoga saja dia tidak merencanakan sesuatu," gumamnya pelan.Matanya mengamati wajah Kalula dengan penuh perhatian, mena
Menjelang sore, suasana kafe mulai lengang. Lampu gantung di langit-langit yang berbentuk bola kaca mulai menyala‒ memancarkan cahaya hangat ke seluruh ruangan. Aroma kopi yang khas masih samar-samar tercium, berpadu dengan wangi roti panggang yang baru keluar dari oven.Beberapa meja masih terisi pelanggan. Ada yang bercengkerama ringan, ada pula yang menatap layar laptop dengan fokus. Di sudut ruangan, pasangan muda tampak berbagi sepotong cake sambil tersenyum kecil. Kesibukan pagi yang penuh antrean sudah lama berlalu, meninggalkan keheningan yang terasa nyaman namun sedikit melankolis.Kalula berdiri di belakang meja kasir, jarinya mengetuk-ngetuk ringan countertop kayu yang sudah mulai aus di beberapa sudut. Tatapannya sesekali melirik ke arah Lia yang sedang merapikan etalase roti. Rak-rak kaca itu kini berisi sisa-sisa stok yang mulai menipis‒ beberapa croissant, brownies, dan sepotong cheesecake yang tampak sedikit miring di ujung p