Natan menatap sang istri yang menangis dengan tatapan cemas.
Natan masih ingat betul bagaimana tadi Zea sempat memekik kesakitan saat mereka pertama kali melakukan ibadah nikmat tadi.Jadi, mungkin Natan berpikir bahwa Zea menangis karena kesakitan.“Hiks, po-koknya Mas Natan ha-rus tanggung ja-wab!” Zea semakin menangis kencang sehingga suaranya tidak terdengar terlalu jelas.Natan terdiam mencerna maksud kalimat tak jelas istrinya barusan.“Tanggung jawab dalam hal apa?” Nathan menatap Zea dengan tatapan cengo.Nathan benar-benar tidak paham tanggung jawab dalam bentuk seperti apa yang Zea inginkan dari dirinya.Zea menghentikan tangisnya dengan mendadak sambil menghapus kasar air matanya. Mata bulat Zea menatap Natan dengan tatapan menajam seolah Zea ingin menguliti Natan hanya dengan tatapannya saja.“Mas tega lakuin ini sama saya, hiks.” Zea kembali menangis terisak-isak. “Gimana nanti kalau saya hamil? Gim“AAAA!!! INI MERAH-MERAH KENAPA?”Zea berteriak sangat kencang di depan cermin besar di dalam kamarnya. Nafas Zea memburu saat mendapati di lehernya terdapat bekas merah keunguan yang begitu banyak seperti motif polkadot.“Nggak salah lagi, ini tuh pasti gara-gara perbuatan dia kemarin.” Zea langsung bisa menebak siapa pelaku yang sudah menciptakan motif polkadot itu di lehernya.Siapa lagi kalau bukan Natan, suaminya?“Ck, kalau gini ceritanya gimana caranya gue bisa ke sekolah?” Zea menatap jengkel motif polkadot mahakarya Natan yang terlukis indah di leher jenjangnya.Dengan pergerakan yang begitu cepat karena dalam keadaan emosi, Zea keluar dari kamar.Tujuan Zea adalah lantai utama Mansion ini di mana letak dapur dan ruangan makan berada. Zea yakin seribu persen bahwa si pelaku pencetak polkadot di lehernya sedang berada di sana.Beruntung selangkangan Zea sudah tidak terlalu sakit sehingga tidak mempengar
Setelah selesai menutupi motif polkadot di lehernya dengan foundation sesuai dengan arahan dari Mbah G****e, Zea bisa berangkat ke kampus dengan tenang tanpa ada rasa takut orang-orang akan melihat tanda merah keunguan yang Natan ciptakan di lehernya. Sebenarnya tidak hanya leher, perut dan seluruh tubuh Zea penuh dengan motif polkadot itu. Tapi semua itu tidak akan terlihat sehingga fokus Zea hanya menutupi lehernya saja. “Saya masuk dulu ya, Mas.” Zea berniat akan membuka pintu mobil karena Natan sudah mengantarkan dirinya sampai ke parkiran sekolah. Tapi pergerakan tangan Zea harus terhenti saat Natan menahannya. Zea menoleh ke belakang, Zea dibuat mengerutkan kening saat melihat Natan yang menatap dirinya begitu dalam ditambah lagi tanpa berkedip. Bagaimana iman si Zea tidak akan lemah jika dihadapkan dengan tatapan seperti ini setiap harinya? Secara iman Zea hanya sebesar benang dibagi tujuh. Zea rasa tidak akan ada wanita normal di dunia ini yang tidak akan goyah jika disu
“Sorry, gue telat. Lo udah nunggu lama?” Zea langsung menoleh ke belakang saat mendengar suara itu. Kedua pasangan manik mata mereka saling bertemu, untuk beberapa saat tatapan mata Zea dengan orang itu saling terkunci satu sama lain. “Nggak juga,” sahut Zea sambil memalingkan wajah. Zea membuang muka karena merasa canggung dengan tetapan pria di hadapannya. Mungkin biasanya mereka sering tatap-tatapan seperti ini, tapi entah mengapa sekarang Zea sudah merasakan hal yang berbeda, Zea sudah merasa asing tidak nyaman seperti dulu lagi. ‘Kenapa pas natap Akas gue malah kebayang wajah Mas Natan?’ batin Zea kebingungan. Saat saling tatap dengan Akas seperti tadi, tiba-tiba saja bayangan wajah sendu Natan muncul di pikiran Zea. Zea seolah merasa bersalah menatap mata pria lain di belakang Natan, perilaku Zea sekarang seperti seorang istri yang tengah menjaga hati suaminya.
Zea hanya diam bak patung yang diberi nyawa, Zea tidak atau harus beraksi bagaimana mendengar ucapan panjang lebar Akas. Satu sisi Zea merasa sakit melihat Akas yang tersakiti, tapi disisi lain Zea juga merasa lega mendengar doa dan pengakuan Akas yang rela mengikhlaskannya ungu orang lain.“Gue pergi dulu, lo juga harus cepet pulang biar suami lo nggak nyariin. Walaupun nggak bisa jadi pasangan, seenggaknya kita bisa jadi sahabat, Zea."Zea masih terdiam, bahkan ketika Akas sudah benar-benar pergi dengan mobilnya.Zea menatap sendu mobil Akas yang kian menghilang dari pandangannya.“Lo bener-bener orang baik, Kas. Gue harap suatu saat nanti lo bisa nemuin cewek yang lebih baik daripada gue,” gumam Zea dengan doa yang begitu tulus untuk sang mantan kekasih.Tidak ingin berlama-lama di pinggir jalan seorang diri, Zea memutuskan untuk mencari taksi yang bisa mengantarkannya pulang ke mansion Zibrano.Taksi yang Zea inginkan sudah i
Ting!Perhatian Zea kembali tersita ke layar ponselnya saat mendengar satu notifikasi lagi.Tukang maksa : Aku tunggu kamu di mansion, aku udah masakin kamu oseng mercon bunga pepaya.Mata Zea berbinar melihat isi pesan tersebut.Oseng mercon bunga pepaya adalah makanan favorit Zea. ‘Kalau gini ceritanya ‘kan gue jadi nggak sabar pengen cepet-cepet sampai mansion.’ Zea memegangi perutnya yang mendadak terasa lapar hanya melihat tulisan oseng mercon bunga pepaya.Tidak membutuhkan waktu bertahun-tahun apa lagi berabad-abad, kini Zea sudah tiba di Mansion mewah milik suaminya.Puluhan pengawal kompak menunduk hormat menyambut kepulangan Zea. Rasanya Zea masih sangat canggung diperlakukan bak seorang ratu seperti ini. Oleh karena itu, Zea selalu ikut menunduk sopan saat para pengawal dan para pelayan di rumah ini menundukkan kepala kepadanya.Zea tidak bisa langsung bertingkah bak seorang permaisuri, biar bagaima
Zea tersedak air di dalam mulutnya, muka mantan gadis itu terlihat memerah bak tomat busuk karena terus saja terbatuk-batuk. Dengan sigap, Natan memberi Zea segelas air putih lagi. “Makanya hati-hati, Baby! Kamu kenapa sih bisa tersedak tiba-tiba seperti ini? Tadi aku cuma nanya aja loh.” Natan membantu Zea minum dengan begitu telaten. Natan berbicara seperti itu seolah bukan dia pelaku yang membuat Zea tersedak. Natan sungguh pandai berakting sok tak merasa bersalah padahal dirinya adalah pelaku utama. ‘Bangke! Padahal gue keselek juga gara-gara dia.’ Zea merutuki Natan di dalam hati. Zea menghirup udara dengan rakus setelah merasa kerongkongannya tidak se-perih tadi lagi. Nafas Zea sukses dibuat sesak akibat tersedak air minum yang belum tertelan. “Sudah lebih baik?” Natan masih setia mengusap tengkuk Zea begitu perhatian. Padahal kalimatnya satu menit lalu lah yang sudah menjadi penyebab utama Zea seperti ini. ‘Cih, dia sok perhatian padahal gue hampir mati begin
“Tapi kok aku nggak percaya sama omongan Mas barusan? Mana mungkin Mas biarin aku pergi kalau Mas tau aku ketemunya sama Akas.” Zea mencibir Natan membuat empunya terbahak.Nyatanya Natan tidak menampik tebakan Zea, Natan memang tidak akan membiarkan Zea pergi sendiri menemui pria lain.“Nah ‘kan dia ketawa, aku udah bisa nebak isi otak kamu, Mas.” Seketika Zea melupakan rasa takutnya tadi setelah melihat Natan tertawa.“Kali ini aku maafin kamu, tapi lain kali jangan diulangi lagi.” Natan sengaja menjeda kalimatnya. “Kalau mau kemanapun, ketemu sama siapapun izin dulu sama aku. Aku juga akan meminta izin sama kamu kalau mau ngapain aja di luar sana, kunci langgeng sebuah hubungan itu dari kejujuran, kesetiaan, dan saling mengerti, Sayang. Paham ‘kan maksud aku.” Natan mengakhiri ceramahnya sambil mengusap sayang pucuk kepala Zea.Zea pun sukses dibuat tertegun. 'Demi apa, woi? Dia bener-bener bijak ternyata?' Si Zea malah salting karena kali
Sibuk mengagumi Natan tanpa disadari, Zea sampai tidak mendengar Natan bertanya padanya.“Zea?” panggil Natan diiringi dengan usapan lembut di bahu Zea.“Hah iya, Mas. Kenapa?” Zea bertanya seperti orang linglung.Sangat terlihat sekali bahwa Zea habis melamun dan tidak fokus dengan keadaan sekitar.“Kamu mau beli sesuatu dulu sebelum ke atas?” Natan mengulangi pertanyaan yang sama.Bisanya Natan sangat anti mengulang kalimat yang sama pada siapapun itu karena memang karakter Natan yang dingin dan irit bicara.Tapi pengecualian jika dengan Zea, Natan berubah menjadi cerewet, lebih hangat, dan sangat bertolak belakang dengan sikap yang selama ini ia tunjukkan pada orang lain.“Nggak usah, Mas. Langsung ke atas aja, lagian katanya kita cuma dua jam di sini.” Zea menolak karena memang sedang tidak menginginkan apapun.“Ya sudah, ayo!”Tanpa meminta persetujuan dari Zea, Natan menggandeng tangan sang istri