Orang yang muncul di dalam pandanganku malah adalah Harry yang sudah menghilang dalam waktu yang sangat lama.Tadi aku pergi memarkirkan mobilku di area basemen perusahaan. Tampak Harry yang berpakaian jas rapi muncul di depan mobilku. Aku juga tidak tahu kenapa dia bisa memprediksikannya dengan sangat tepat, bisa langsung menemukanku.Senyuman Harry sangatlah lembut. Dia membantuku untuk membukakan pintu. “Maya!”Jujur saja, beberapa hari ini hidupku sangat nyaman, aku bahkan hampir melupakan keberadaan orang ini. Jadi, ketika bertemu Harry lagi, aku merasa diriku telah terbangun dari mimpi. Aku seolah-olah ditarik kembali ke dunia nyata.Aku menghela napas dalam hati. Kenapa orang ini masih hidup? Sekarang aku juga tidak menyangka, aku merasa sangat mual ketika bertemu dengan Harry lagi. “Minggir!” Aku berkata dengan sinis.“Maya, waktu itu salahku! Kamu jangan masukin ke hati, ya. Hari ini aku ingin minta maaf sama kamu!” Tetiba Harry merasa bagai kembali ke masa lalunya. “Maya, ak
Pemikiran ini membuatku merasa sangat tidak berdaya. Kali ini, sepertinya aku harus menghadapinya seorang diri.Sebenarnya teorinya memang seperti itu. Hanya diri sendiri yang bisa menyelamatkan diri sendiri!Di dalam lobi, orang-orang hilir mudik. Aku datangnya memang sudah telat, tapi sekarang ada banyak orang yang datang berkunjung. Aku spontan melirik ke sisi lobi, tapi tidak ada satu pun yang kukenal. Seketika hatiku terasa semakin kesepian lagi.Setelah kembali ke ruang kerja, Shea menyeduhkan secangkir kopi untukku. Dia sedang mengamatiku secara diam-diam. Aku tahu dia sedang mengkhawatirkanku.Aku berlagak baik-baik saja, lalu mengatur segala pekerjaan. Untung saja, sebelumnya kedua jenis kerepotan telah dihadapi. Sudah saatnya untuk melanjutkan pekerjaan.Saat sedang makan siang, aku bertemu dengan James. Dia merasa sangat syok ketika melihatku. Sepertinya sudah lama kita tidak pernah bertemu.Setelah James melihatku, dia langsung meminta ruangan VIP. Aku juga mengerti apa mak
Setelah mendengar ucapan James, aku pun kepikiran sesuatu. Sepertinya aku harus menyelidiki siapa yang mengulurkan tangan untuk membantu Harry.“Sepertinya Harry memang ditakdirkan untuk nggak boleh mati!” Aku berucap kepada James dengan acuh tak acuh.“Iya, ‘kan? Kalau tidak, nasibnya pasti sudah di ujung tanduk saat ini! Sekarang pekerjaan di tangan sudah hampir selesai. Saat dia rapat, dia berkata dengan penuh yakin, sekarang fokus bisnis akan dialihkan ke luar kota agar tidak ada perebutan!” James juga mengangguk. “Dia yang sekarang memang tidak bermasalah. Dia sedang menyusun semuanya!”“Dengar-dengar ibunya lagi sakit!” tanya aku dengan asal-asalan.“Emm, kondisinya tidak bagus!” James mengangguk.Setelah mengobrol beberapa saat, aku pun duluan meninggalkan restoran.Tetiba terlintas sosok Giana, ibu mertuaku. Pada akhirnya aku memilih untuk mengeraskan hatiku. Dia melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana putranya menganiayaku, tapi dia tidak pernah sekali pun menghalangin
Saat Oscar mendengar ucapanku, dia langsung menunjukkan senyuman lebar, wajahnya bahkan tampak merona.Tiba-tiba hatiku bagai diremas saja. Mungkin biasanya aku telah memperlakukannya dengan terlalu sadis. Alhasil, dia malah merasa sangat terharu dengan saran sekecil ini.“Emm … aku belum pernah memikirkannya!” Oscar kelihatan sedikit gugup.“Kalau begitu, bawa mereka kemari! Biarkan mereka merasakan suasana di sini. Kamu juga nggak usah bolak-balik. Lagi pula, akan lebih ramai kalau kita merayakan bersama. Oh ya, Hana, dia nggak punya keluarga. Aku juga akan ajak dia ke rumah untuk merayakan bersama. Tinggal di rumahku saja, jangan tinggal di hotel! Lebih ramai!”Ucapan ini tulus dari lubuk hatiku! Aku pernah bertemu dengan orang tua Oscar sebelumnya. Ayahnya adalah seorang pebisnis kecil, sedangkan ibunya juga memiliki pekerjaan tetap. Mereka semua sangatlah baik.Pemikiran seperti ini tiba-tiba terlintas di benakku. Aku juga belum sempat membahasnya dengan orang tuaku. Hanya saja, m
Hatiku terasa sangat panik, tapi aku berlagak untuk bersikap tenang.“Maaf, aku nggak tahu ucapan apa yang kamu maksud?” Aku masih tetap bersikap tenang.“Kamu bisa bertanya apa pun?” Taufan menatapku.“Nggak ada yang ingin aku tanyakan!” Aku membalas dengan langsung.“Yakin tidak ada?” Taufan menyenterku dengan tatapan sinis.“Kalau Pak Taufan memanggilku ke sini karena ingin mempersulitku, lebih baik aku pulang saja!”Aku tidak punya waktu untuk berbicara omong kosong dengan Taufan. Lebih baik aku pulang untuk menemani keluargaku saja.Tatapan Taufan semakin muram lagi. “Ternyata kamu ingin sekali terlepas dariku? Kamu tidak ingin menanyakan keraguan di hatimu?”Ucapan Taufan menyesakkan hatiku. Dia bagai menggunakan teropong saja, bisa melihat jelas isi hatiku.Aku menunduk dengan gugup. Aku tidak menyangkal sebenarnya aku masih menaruh harapan di hatinya dan hatiku masih berdegup kencang ketika melihatnya. Hanya saja, aku tidak mengizinkan dia menginjak harga diriku.Di satu sisi,
Aku tertegun sejenak, tidak bisa berbicara lebih banyak lagi. Aku meremas tas di tanganku, hingga kukuku menancap ke dalam telapak tangan. Perasaan sakit ini tetiba terasa sangat nyaman bagiku.Pada saat ini, ponsel Taufan berdering. Dia mengulurkan tangan untuk mengambilnya. Ketika melihat layar ponsel, dia pun melihatku dan langsung mengangkatnya. “Emm!”Terdengar suara nyaring wanita dari ujung ponsel. “Taufan, kamu lagi di mana?”“Aku lagi sibuk!” Nada bicara Taufan sangat dingin.“Gimana kalau kita ketemuan di luar? Atau … kamu ke tempatku saja!” ucap si wanita dengan lembut.“Lain hari saja! Aku tutup dulu! Aku masih ada urusan!” Seusai berbicara, Taufan langsung memutuskan panggilan.Aku merasa agak canggung. Saat melihat Taufan mengakhiri panggilan, aku segera berkata, “Pak, kamu sibuk dulu sana! Aku pamit dulu!”Belum sempat mendapat balasan dari Taufan, aku langsung berjalan keluar.Padahal langkahku sudah tergolong cepat, tetapi langkahnya malah lebih cepat lagi. Dalam hitun
Aku mengangkat kepalaku dengan perlahan. Saat ini, aku baru menyadari ada darah di tangannya. Aku menatapnya dengan sedikit panik.“Sebenarnya … ada banyak yang ingin aku bicarakan, tapi aku … nggak suka dengan cara seperti ini. Aku nggak ingin hidup dengan merendah. Aku nggak ingin mencintai dengan sembunyi-sembunyi. Aku hanya ingin melewati hidupku dengan tenang. Benar apa katamu, aku nggak sanggup bermain denganmu!”Kemudian, aku melanjutkan, “Aku nggak suka dijebak dan juga dicela. Setelah bertemu, kita masih harus adu otak. Kalau bisa memilih, aku lebih memilih orang yang bisa selalu ada di sisiku. Aku nggak ingin melewatkannya!”Aku tahu ucapan ini sangat menusuk hati Taufan. Berhubung aku tidak bisa mendapatkannya, aku pun akan melepaskannya. Meski aku bersikeras, Taufan juga bukan milikku.Taufan menatapku sekilas. “Kamu yakin dengan pilihanmu!”“Emm … iya!” balas aku sembari menunduk.Tiba-tiba Taufan tersenyum. Senyumannya sungguh memesona. “Bagus! Maya, akhirnya kamu punya p
Saat aku bangun, dari indra penciumanku, diketahui bahwa aku sedang berada di rumah sakit.“Kamu sudah bangun? Apa kamu merasa tidak enak badan?” Terdengar suara magnetis. Aku memalingkan kepala untuk melihat sekilas. Ternyata orang yang bertanya adalah Taufan.“Kenapa aku bisa ada di sini?” Aku bertanya dengan lemas. Keningku spontan berkerut. Aku tidak bisa mengingat apa yang telah terjadi.Taufan menekan tombol bel untuk memanggil dokter. Dokter segera masuk untuk melakukan pemeriksaan ulang. Dokter pun bertanya padaku, “Apa ada yang tidak enak?”“Nggak, aku hanya merasa lemas saja, ingin tidur!” jawab aku dengan jujur.Kebetulan Mario masuk ke dalam ruangan dengan memegang beberapa lembar laporan. Dia menyerahkan hasil laporan kepada dokter, kemudian dokter pun bertanya padaku, “Nona, sudah berapa lama tulang selangkamu patah?” Aku melihat dokter dengan terbengong. Dia bertanya dengan bingung, “Kamu lagi ngomongin aku?”“Iya, dari hasil x-ray, seharusnya tulang selangkamu sudah la
Aku menenangkan diri untuk sesaat. Kemudian, aku menyalakan mobil dan perlahan-lahan meninggalkan jalan kecil itu. Dari persimpangan di depan, aku kembali ke jalan utama. Pada saat ini, kemacetan sudah agak mendingan. Aku langsung bergegas pulang ke rumah.Ibuku langsung merasa lega begitu melihatku sudah sampai di rumah. Dia buru-buru mulai memasak makanan. Jarang sekali aku bisa makan bersama mereka di rumah seperti ini.Begitu mendengar jika aku ingin makan di rumah, kedua orang tuaku langsung menunggu kepulanganku. Ibuku mengatakan, makanan yang paling enak adalah makanan yang baru dimasak.Setelah makan malam, aku menelepon Fanny dan bertanya apakah dia sedang ada di rumah. Fanny mengatakan jika dirinya baru saja sampai di rumah. Oleh karena itu, aku mengajak Adele jalan-jalan dan pergi menemui Fanny.Sudah beberapa hari aku tidak bertemu dengan Fanny. Begitu melihatku, Fanny langsung menanyakan tentang Taufan. Aku hanya bisa menggelengkan kepala tanpa daya.Fanny mengatakan, akhi
Entah kenapa, pada saat itu, punggungku terasa dingin dan merinding. Aku merasa ngeri saat memikirkannya. Bayangkan saja, manusia yang masih hidup dan baik-baik saja ditabrak mobil hingga tewas saat dalam perjalanan menemui diriku. Mungkinkah semua ini hanya kebetulan belaka?Selain itu, dia hanya ingin menyampaikan informasi mengenai Taufan kepadaku. Hanya sebuah informasi. Akan tetapi, apakah semua itu harus ditebus dengan mengorbankan nyawanya? Bagaimana mungkin orang yang begitu lembut itu sekarang dibilang sudah meninggal …Semua ini makin membuatku mengerti jika situasinya tidaklah sesederhana itu.Melihat Danny yang buru-buru pergi, makin aku memikirkannya, makin aku merasa jika ada yang tidak beres. Kenapa polisi tidak menanyakan apa pun mengenai Taufan kepadaku? Bukankah itu adalah pertanyaan yang paling penting? Apakah mungkin bagi mereka untuk mengabaikan pertanyaan sepenting itu?Selain itu, jika sudah dipastikan bahwa sopir mobil karavan kecil itu mabuk dan Bastian meningg
Yang datang ke kantorku adalah dua petugas berseragam polisi.Hal ini membuatku agak terkejut dan bingung. Apa yang menyebabkan polisi mendatangiku di kantor?Aku mempersilakan mereka untuk duduk dan menatap mereka. Salah satu dari mereka bertanya kepadaku dengan sangat serius, “Bolehkah aku bertanya padamu? Apa kamu kenal Bastian Luzman?”“Siapa?” Aku agak bingung dan langsung menyangkalnya. “Aku nggak kenal.”Petugas polisi itu langsung menatapku dengan tajam. Jelas, dia tidak percaya dengan jawabanku. Kemudian, dia melirik rekannya dan berkata, “Mana fotonya?”Polisi satunya buru-buru mengeluarkan foto dari tas kerja yang dipegangnya dan menyerahkannya kepadaku. “Perhatikan baik-baik orang yang ada di foto ini.”Aku menerima foto tersebut dengan kedua tanganku dan melihat orang yang ada di foto itu. Dia adalah seorang pria. Wajahnya terlihat cukup tampan. Sepertinya dia adalah seorang mahasiswa yang masih berusia sekitar 20 tahun.Aku menggelengkan kepalaku dan berkata dengan tegas,
Orang yang meneleponku itu adalah seorang pria asing. Dia memintaku untuk menemuinya seorang diri. Pria itu mengatakan bahwa dia punya informasi mengenai Taufan.Aku menanyakan siapa dirinya. Namun, pria itu langsung menutup teleponnya. Akan tetapi, dia mengirimkan pesan kepadaku, berupa sebuah alamat. Sepertinya, alamat tersebut merupakan lokasi di mana kami akan bertemu nanti.Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengambil tasku dan turun ke bawah.Setelah mengatur navigasi, aku langsung menuju ke tempat yang dia sebutkan sebelumnya. Hatiku merasa cemas. Dalam beberapa hari terakhir, inilah pertama kalinya aku mendengar ada seseorang yang memberitahuku bahwa dia memiliki informasi mengenai Taufan.Aku bahkan tidak memikirkan apakah informasinya itu benar atau salah. Sekalipun salah, aku tetap ingin mendengar apa yang ingin dia katakan. Setidaknya, itu lebih baik daripada aku tidak tahu apa-apa.Dalam beberapa hari terakhir, kecelakaan mobil yang menimpa Taufan seakan-akan tidak perna
Hatiku langsung berdebar kencang saat melihat nama yang muncul di layar ponselku adalah nama Luna.“Luna, kalau kamu mau bicara omong kosong, sebaiknya hentikan saja. Aku sedang malas berurusan denganmu.” Aku mengangkat telepon dan langsung berkata kepada Luna. “Informasi mengenai Taufan, kalian mau mengatakannya atau nggak, aku pasti akan tetap mengetahuinya.”“Hahaha … Kak Maya, kayaknya kamu benar-benar cemas.” Luna terlihat aneh saat mengetahui kecemasanku. Sikapnya begitu menyenangkan. “Kayaknya Kakak marah besar.”“Kayaknya kamu lagi nggak ada kerjaan ya?” Setelah berkata seperti itu, aku langsung menutup teleponnya. Aku tahu betul. Makin aku memedulikannya, Luna akan makin menjadi-jadi.Benar saja. Ponsel di tanganku kembali berdering. Aku menahan diri dan baru mengangkatnya setelah berdering beberapa kali. “Jangan menguji kesabaranku.”“Hahaha … Kak Maya, aku cuma ingin memberitahumu kalau dia baik-baik saja. Sungguh.” Nada bicara Luna menyiratkan jika dia bersukacita atas musi
Bagai membuka pintu misterius, aku buru-buru melangkahkan kakiku dan masuk ke dalam. Aku memeriksa setiap ruangan yang ada, tetapi tidak ada seorang pun di sana.Sampai-sampai seorang perawat membentakku dengan tegas, “Apa yang kamu lakukan? Ini ruang steril. Bagaimana kalian bisa masuk ke sini? Cepat keluar!”Aku mencengkeramnya dengan satu tanganku. “Kalau begitu, katakan padaku. Di mana orang yang barusan kalian selamatkan? Bagaimana keadaannya?”“Cepat keluar! Orang yang diselamatkan apa? Banyak yang kami selamatkan.” Perawat itu berusaha melepaskan diri dari cengkeramanku dan mendorong kami keluar. “Cepat keluar!”“Pak Taufan. Pak Taufan yang barusan kalian selamatkan. Bagaimana keadaannya?” Aku masih belum mau menyerah.Perawat itu terlihat marah dan langsung mendorongku keluar. “Aku nggak tahu.”Kemudian, pintu dibanting dengan keras sampai berbunyi ‘brak’ dan terdengar suara kunci pintu yang diputar dari dalam.Aku bersandar di dinding dengan putus asa dan agak hilang akal. Aku
Tatapanku menjadi tegang. Jantungku kembali berdegap kencang. Aku mengulurkan tanganku dan mendorong Luna yang menghalangi di depanku. Luna terhuyung-huyung dan hampir jatuh tersungkur beberapa langkah ke samping. Aku tidak peduli. Aku buru-buru berlari menuju koridor. Namun, para pengawal berpakaian hitam itu tetap saja menghalangiku.Aku melihat dokter sedang menjelaskan sesuatu kepada Cynthia di depan pintu. Akan tetapi, aku sama sekali tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.Tidak sampai dua menit, dokter itu sudah berbalik dan kembali masuk ke ruang gawat darurat. Yang bisa kulihat hanyalah sarung tangan yang dikenakannya berlumuran darah yang mengerikan.Mataku tertuju pada Cynthia. Aku melihat Cynthia masih berdiri di tempatnya dengan tatapan kosong. Ekspresinya sangat aneh. Aku tidak tahu apakah yang disampaikan dokter tadi adalah kabar baik ataukah kabar buruk.Cynthia tertegun untuk waktu yang lama, sebelum akhirnya mengatakan sesuatu kepada Fara yang ada di belakangn
Telepon berdering untuk waktu yang lama sebelum akhirnya Danny mengangkatnya. Aku berkata kepada Danny dengan suara bergetar, “Danny … kamu di mana? Tolong selidiki …. Sesuatu terjadi pada Taufan …. Dia mengalami kecelakaan mobil di jalan tol menuju bandara …”“Jangan khawatir, Kak Maya. Aku sudah langsung menyelidikinya begitu mendapat kabar.” Mungkin, karena mendengar suaraku yang tidak jelas, Danny pun menghiburku. “Kakak ada di mana?”“Aku di rumah sakit.” Aku menarik napas dalam-dalam. “Ceritakan hasil penyelidikanmu padaku.”“Itu pasti. Jaga diri Kakak baik-baik. Apa Kak Maya ingin aku menyuruh Shea untuk menemani Kakak di rumah sakit?” tanya Danny kepadaku. Mungkin saja dia merasa jika suasana hatiku sedang tidak baik.“Aku nggak apa-apa,” jawabku cepat-cepat. Kemudian, aku bertanya kepada Danny, “Apa kamu tahu bagaimana kondisi cedera yang dialami Taufan?”Di ujung telepon, Danny terdiam selama beberapa saat. Kemudian, dia berkata, “Menurut para saksi mata … lukanya sangat para
Wajah Cynthia tampak begitu muram dan menakutkan. Dia duduk jauh di sana sambil menegakkan punggungnya. Matanya menyiratkan aura ganas, yang sama sekali tidak terdapat kehangatan di dalamnya. Mata Cynthia itu membuatku tanpa sadar teringat pada posisi seekor ular sebelum melancarkan serangan pada musuhnya.Kejam, ganas, dan menakutkan.Aku menenangkan diri sebentar. Sebenarnya, saat melihat Cynthia, aku sudah yakin jika orang di dalam ruangan itu pastilah Taufan. Rasa takut yang belum pernah kurasakan sebelumnya memenuhi dadaku. Aku kembali menatap pintu ruang gawat darurat yang tertutup rapat dan berdoa dalam hati agar tidak terjadi apa-apa.“Kenapa? Apa kamu mau membuat keributan dengan datang kemari?” Nada bicara Cynthia begitu dingin. Matanya yang bagaikan elang terus saja menatap wajahku.Aku menarik napas dalam-dalam, menggertakkan gigiku, dan berjalan menghampirinya. Seketika itu juga, aku bisa merasakan apa yang dirasakan orang yang ada dalam ruangan itu. Hal tersebut langsung