Setelah mendengar ucapan James, aku pun kepikiran sesuatu. Sepertinya aku harus menyelidiki siapa yang mengulurkan tangan untuk membantu Harry.“Sepertinya Harry memang ditakdirkan untuk nggak boleh mati!” Aku berucap kepada James dengan acuh tak acuh.“Iya, ‘kan? Kalau tidak, nasibnya pasti sudah di ujung tanduk saat ini! Sekarang pekerjaan di tangan sudah hampir selesai. Saat dia rapat, dia berkata dengan penuh yakin, sekarang fokus bisnis akan dialihkan ke luar kota agar tidak ada perebutan!” James juga mengangguk. “Dia yang sekarang memang tidak bermasalah. Dia sedang menyusun semuanya!”“Dengar-dengar ibunya lagi sakit!” tanya aku dengan asal-asalan.“Emm, kondisinya tidak bagus!” James mengangguk.Setelah mengobrol beberapa saat, aku pun duluan meninggalkan restoran.Tetiba terlintas sosok Giana, ibu mertuaku. Pada akhirnya aku memilih untuk mengeraskan hatiku. Dia melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana putranya menganiayaku, tapi dia tidak pernah sekali pun menghalangin
Saat Oscar mendengar ucapanku, dia langsung menunjukkan senyuman lebar, wajahnya bahkan tampak merona.Tiba-tiba hatiku bagai diremas saja. Mungkin biasanya aku telah memperlakukannya dengan terlalu sadis. Alhasil, dia malah merasa sangat terharu dengan saran sekecil ini.“Emm … aku belum pernah memikirkannya!” Oscar kelihatan sedikit gugup.“Kalau begitu, bawa mereka kemari! Biarkan mereka merasakan suasana di sini. Kamu juga nggak usah bolak-balik. Lagi pula, akan lebih ramai kalau kita merayakan bersama. Oh ya, Hana, dia nggak punya keluarga. Aku juga akan ajak dia ke rumah untuk merayakan bersama. Tinggal di rumahku saja, jangan tinggal di hotel! Lebih ramai!”Ucapan ini tulus dari lubuk hatiku! Aku pernah bertemu dengan orang tua Oscar sebelumnya. Ayahnya adalah seorang pebisnis kecil, sedangkan ibunya juga memiliki pekerjaan tetap. Mereka semua sangatlah baik.Pemikiran seperti ini tiba-tiba terlintas di benakku. Aku juga belum sempat membahasnya dengan orang tuaku. Hanya saja, m
Hatiku terasa sangat panik, tapi aku berlagak untuk bersikap tenang.“Maaf, aku nggak tahu ucapan apa yang kamu maksud?” Aku masih tetap bersikap tenang.“Kamu bisa bertanya apa pun?” Taufan menatapku.“Nggak ada yang ingin aku tanyakan!” Aku membalas dengan langsung.“Yakin tidak ada?” Taufan menyenterku dengan tatapan sinis.“Kalau Pak Taufan memanggilku ke sini karena ingin mempersulitku, lebih baik aku pulang saja!”Aku tidak punya waktu untuk berbicara omong kosong dengan Taufan. Lebih baik aku pulang untuk menemani keluargaku saja.Tatapan Taufan semakin muram lagi. “Ternyata kamu ingin sekali terlepas dariku? Kamu tidak ingin menanyakan keraguan di hatimu?”Ucapan Taufan menyesakkan hatiku. Dia bagai menggunakan teropong saja, bisa melihat jelas isi hatiku.Aku menunduk dengan gugup. Aku tidak menyangkal sebenarnya aku masih menaruh harapan di hatinya dan hatiku masih berdegup kencang ketika melihatnya. Hanya saja, aku tidak mengizinkan dia menginjak harga diriku.Di satu sisi,
Aku tertegun sejenak, tidak bisa berbicara lebih banyak lagi. Aku meremas tas di tanganku, hingga kukuku menancap ke dalam telapak tangan. Perasaan sakit ini tetiba terasa sangat nyaman bagiku.Pada saat ini, ponsel Taufan berdering. Dia mengulurkan tangan untuk mengambilnya. Ketika melihat layar ponsel, dia pun melihatku dan langsung mengangkatnya. “Emm!”Terdengar suara nyaring wanita dari ujung ponsel. “Taufan, kamu lagi di mana?”“Aku lagi sibuk!” Nada bicara Taufan sangat dingin.“Gimana kalau kita ketemuan di luar? Atau … kamu ke tempatku saja!” ucap si wanita dengan lembut.“Lain hari saja! Aku tutup dulu! Aku masih ada urusan!” Seusai berbicara, Taufan langsung memutuskan panggilan.Aku merasa agak canggung. Saat melihat Taufan mengakhiri panggilan, aku segera berkata, “Pak, kamu sibuk dulu sana! Aku pamit dulu!”Belum sempat mendapat balasan dari Taufan, aku langsung berjalan keluar.Padahal langkahku sudah tergolong cepat, tetapi langkahnya malah lebih cepat lagi. Dalam hitun
Aku mengangkat kepalaku dengan perlahan. Saat ini, aku baru menyadari ada darah di tangannya. Aku menatapnya dengan sedikit panik.“Sebenarnya … ada banyak yang ingin aku bicarakan, tapi aku … nggak suka dengan cara seperti ini. Aku nggak ingin hidup dengan merendah. Aku nggak ingin mencintai dengan sembunyi-sembunyi. Aku hanya ingin melewati hidupku dengan tenang. Benar apa katamu, aku nggak sanggup bermain denganmu!”Kemudian, aku melanjutkan, “Aku nggak suka dijebak dan juga dicela. Setelah bertemu, kita masih harus adu otak. Kalau bisa memilih, aku lebih memilih orang yang bisa selalu ada di sisiku. Aku nggak ingin melewatkannya!”Aku tahu ucapan ini sangat menusuk hati Taufan. Berhubung aku tidak bisa mendapatkannya, aku pun akan melepaskannya. Meski aku bersikeras, Taufan juga bukan milikku.Taufan menatapku sekilas. “Kamu yakin dengan pilihanmu!”“Emm … iya!” balas aku sembari menunduk.Tiba-tiba Taufan tersenyum. Senyumannya sungguh memesona. “Bagus! Maya, akhirnya kamu punya p
Saat aku bangun, dari indra penciumanku, diketahui bahwa aku sedang berada di rumah sakit.“Kamu sudah bangun? Apa kamu merasa tidak enak badan?” Terdengar suara magnetis. Aku memalingkan kepala untuk melihat sekilas. Ternyata orang yang bertanya adalah Taufan.“Kenapa aku bisa ada di sini?” Aku bertanya dengan lemas. Keningku spontan berkerut. Aku tidak bisa mengingat apa yang telah terjadi.Taufan menekan tombol bel untuk memanggil dokter. Dokter segera masuk untuk melakukan pemeriksaan ulang. Dokter pun bertanya padaku, “Apa ada yang tidak enak?”“Nggak, aku hanya merasa lemas saja, ingin tidur!” jawab aku dengan jujur.Kebetulan Mario masuk ke dalam ruangan dengan memegang beberapa lembar laporan. Dia menyerahkan hasil laporan kepada dokter, kemudian dokter pun bertanya padaku, “Nona, sudah berapa lama tulang selangkamu patah?” Aku melihat dokter dengan terbengong. Dia bertanya dengan bingung, “Kamu lagi ngomongin aku?”“Iya, dari hasil x-ray, seharusnya tulang selangkamu sudah la
Ketika aku masuk ke rumah, Ibu dan Ayah masih terjaga, mereka berdua menungguku.Ketika melihat aku masuk dalam keadaan lelah, Ibu segera mengambil tasku dan bertanya, "Kenapa kamu pulang malam sekali? Kamu sudah makan belum? Kenapa kamu kelihatan lelah sekali?""Aku belum makan, Bu. Aku lapar!" Setelah mengatakan itu, aku merasa seperti ingin menangis. Anak seorang ibu memang seperti harta berharga. Berapa pun usiamu, selama ibumu ada di sisimu, kamu bisa menjadi anak kecil."Baiklah, aku akan segera memanaskan makanan untukmu!" Dia meletakkan tasku dengan raut wajah sedih dan bergegas ke dapur untuk memanaskan makanan."Ayah, aku ganti baju dulu!"Setelah mengatakan itu, aku naik ke atas. Sebenarnya, aku merindukan putriku. Aku bergegas menuju kamar Adele. Aku melihat dia tidur dengan nyenyak, kakinya yang gemuk itu menyembul keluar dari selimut. Kemudian, aku tersenyum dan menyelimuti kakinya.Adele berguling, tangan kecilnya itu secara spontan meraih ujung bajuku. Dia sepertinya me
Tiba-tiba, aku melihat mobil itu masih terparkir di luar gerbang di lantai bawah. Jantungku langsung berdegup kencang. Lampu malam di kamar masih menyala, jadi dia pasti bisa melihatku, sudah terlambat untuk bersembunyi. Aku terdiam sejenak sambil melihat ke arah situ, lalu mengulurkan tangan dan menarik tirai dengan keras.Kemudian, aku mematikan lampu dan bersandar di jendela sambil mendengarkan apa yang terjadi di luar. Mataku sedikit berair dan aku mengumpat di dalam hati. Kamu sudah menemukan orang baru, kenapa kamu harus bersikap seperti ini?Apa kamu tidak bisa kembali ke duniamu sendiri?Aku berdiri cukup lama sebelum mendengar suara mobil berjalan perlahan dari luar jendela.Air mataku jatuh.Aku tidak bisa menahan diri dan segera membuka tirai untuk melihat ke luar. Aku melihat lampu belakang merah perlahan menghilang dari pandanganku. Jantungku berdebar-debar.Saat itu sudah larut malam, tetapi dia sudah pergi.Tidak seperti dulu saat dia bisa berjalan masuk dengan penuh sem