Mobil melaju ke resor yang selalu kami datangi. Begitu mobil berhenti, Taufan keluar tanpa menghiraukanku.Taufan yang mengikutiku, apa haknya marah-marah? Seharusnya aku yang kesal.Sopir bergegas keluar dari mobil sambil berbisik kepadaku, "Nona ...."Sopir berbisik sambil melirik Taufan yang berjalan jauh di depan, "Selama satu minggu ini Tuan sangat sibuk. Begitu kembali ke sini, Beliau bahkan belum makan dan langsung pergi menemuimu ....""Ikut aku!" Taufan berteriak ke arahku.Aku terkejut mendengar suaranya yang mengerikan. Sopir pun langsung menutup mulut sambil melirikku tak berdaya.Aku sontak merasa bersalah. Jika aku berada di posisinya, mungkin aku juga akan merasakan hal yang sama. Aku dapat memahami perasaannya dan memaklumi kemarahannya yang tiba-tiba.Aku mengangguk kepada sopir, lalu buru-buru mengejar Taufan. Aku bersikap lebih ramah, tidak seperti tadi.Begitu masuk ke dalam vila, dia melepaskan jas sambil berjalan ke sofa. Setelah melemparkan jasnya ke sofa, tiba-t
Ketika melihat makanan yang tersaji di atas meja, matanya memancarkan kilatan emosi yang sulit dijelaskan.Kemudian Taufan mengambil sepiring nasi yang kuberikan dan menyantapnya dengan lahap. Makannya lumayan banyak, dia pasti sangat kelaparan.Aku duduk di samping sambil memperhatikannya. Salah satu tanganku bertumpu pada dagu, aku mengamati ekspresinya tanpa berkedip. Aku terpesona melihat setiap gerakan dan senyumannya.Taufan makan sambil melirikku. Kami tidak bosan meski bertatapan cukup lama."Masih belum puas lihatnya?" Taufan meletakkan alat makan, dia menghabiskan hampir setengah makanan yang kusiapkan. "Masakanmu enak banget.""Aku senang mendengarnya, yang penting kamu suka." Aku tersenyum sambil membereskan meja.Namun Taufan malah menarik tanganku dan berkata, "Berapa lama kamu menemani pria itu jalan-jalan? Kamu harus menemaniku juga."Taufan perhitungan seperti anak kecil. Aku tertawa melihat tingkahnya. "Kamu masih kesal? Aku melakukan banyak hal bersamamu yang aku ngg
Kata-katanya membuatku tidak berdaya. Aku merasa pasif dan gelisah.Aku menundukkan kepala dengan perasaan bersalah. Aku memeluk pinggangnya, entah kenapa tiba-tiba aku malah gugup. Aku akui, aku tidak hanya menyukainya, aku sudah terperangkap di dalam pusaran kenyamanan yang diberikannya.Benar, aku sudah terperangkap. Aku tidak dapat menyelamatkan diriku dari jeratan kelembutannya.Taufan seperti peramal yang dapat membaca semua isi pikiranku, sementara aku tidak tahu-menahu mengenai dirinya. Dia mengatakan bahwa dirinya menyukaiku, tapi aku hanya menganggapnya angin lalu.Aku tidak tahu bagaimana perasaannya yang sebenarnya terhadapku. Meskipun dia mengaku menyukaiku, aku tidak memahami perasaan suka yang diungkapkannya.Berdasarkan identitas, status, perawakan, usia, aku merasa tidak pantas bersanding dengannya. Usiaku lebih tua 4 tahun, aku bahkan sudah memiliki orang anak dan pernah bercerai.Taufan memiliki latar belakang yang kuat, dia tidak mungkin kesulitan menemukan wanita y
Taufan baru melepaskan kecupannya setelah beberapa menit. Dia berbisik tegas di telingaku, "Teori omong kosong, aku tidak mau mendengar untuk kedua kalinya. Kalau masih ada lain kali, aku tidak akan memaafkanmu."Aku mematung di tempat, aku tidak tahu harus sedih atau senang?Taufan mengusap air mataku, lalu menggenggam tanganku masuk ke dalam vila. Begitu masu ke dalam lift, Taufan memencet tombol lantai paling atas. Sesampainya di sana, aku melihat ratusan anggur merah yang tertata rapi di dalam lemari.Taufan mengambil sebotol anggur merah dan menuangkan segelas untukku. "Cicipi anggurnya."Aku mengambil gelas yang diberikan dan menghabisinya dalam satu tegukan. Seketika perasaanku pun terasa lebih baik.Taufan mengajakku berdiri di depan jendela. Kami memandang bulan yang memancarkan cahaya indah.Aku bersandar di dada Taufan, dia memelukku dari belakang sambil berkata, "Tenangkan dirimu, jangan berpikir macam-macam. Aku menginginkanmu."Taufan memelukku erat-erat. "Sejak pertama k
Shea sedang menunggu jawabanku."Baiklah, aku ingin tahu angin apa yang membawa mereka datang." Aku mengangguk.Shea tersenyum ketus. "Hem, yang pasti bukan hal baik. Bu, kamu harus hati-hati.""Em, bukankah keputusan ada di tangan kita? Kita yang menentukan mau menerima mereka atau tidak," jawabku meremehkan. "Nggak boleh menolak tamu. Kita tetap harus bersikap sopan.""Baiklah, aku bawa orangnya masuk." Shea membalikkan badan dan pergi.Aku menatap punggung Shea, aku menyukai cara kerjanya.Tak berapa lama, Shea menuntun Franko masuk ke ruanganku. Franko tersenyum ramah, dia berusia sekitar 40 tahun.Franko menyapaku dengan hangat, "Bu Maya, apa kabar?""Pak Franko, salam kenal. Mari, silakan duduk." Aku menunjuk kursi yang ada di depan mejaku, aku tidak berniat mengajaknya duduk di sofa."Terima kasih." Franko beranjak duduk di kursi. "Akhirnya aku punya kesempatan bertemu Bu Maya. Aku dengar Bu Maya adalah seorang pebisnis wanita yang hebat."Aku tertawa mendengar ucapannya. "Seper
Aku sengaja menaikkan penawaran harga. Bagaimanapun Franko sudah datang, aku tidak boleh membiarkannya pulang dengan tangan kosong.Aku mengamati ekspresi Franko, aku tidak ingin melewatkan sedikit pun.Franko berpikir sejenak, lalu menjawabku dengan santai, "Tidak masalah. Bu Maya, tenang saja, kamu tahu Eternal Real Estate adalah perusahaan yang besar dan terkenal di kota ini. Bagi kami, kualitas adalah nomor satu. Kami juga melakukan pembayaran tepat waktu, kamu tidak perlu khawatir."Aku pun memiliki gambaran setelah mendengar jawaban Franko. Aku buru-buru menambahkan, "Satu lagi, aku belum lama mengambil alih perusahaan. Perceraianku dan Harry lumayan memengaruhi operasional perusahaan. Ada banyak hal yang harus disesuaikan, tentu membutuhkan biaya. Semua orang tahu mengenai hal ini."Aku berbicara secara terbuka, "Jadi, aku sangat hati-hati dalam mengambil proyek. Tentu saja, pihak klien juga harus mempertimbangkan kinerja kami. Sebagai dasar kerja sama, aku harus meminta pembaya
Selanjutnya, aku dan Oscar mendiskusikan beberapa vendor yang berusaha dipertahankan oleh Pram.Aku memanggil Pram ke ruanganku. Kami mengatur beberapa rencana alternatif. Aku baru bisa membuat keputusan setelah Eternal Real Estate memberikan jawaban.Pram dan Shea memutuskan untuk mengadakan makan malam kantor di Restoran Treasure. Pada jam pulang kantor, semua karyawan berangkat bersama-sama. Kami memesan ruangan yang paling besar.Aku pernah mentraktir karyawanku makan, tetapi ini adalah pertama kalinya kami mengadakan acara makan di restoran semewah ini.Semua orang terlihat gembira, terutama karyawan baru. Restoran Treasure memiliki tempat yang luas dan hidangan yang lezat. Restoran ini cocok digunakan untuk mengadakan pesta atau acara.Di dalam perjalanan menuju restoran, Taufan meneleponku untuk menanyakan lokasi makan malam. Aku mengatakan kami mengadakannya di Restoran Treasure.Dia berpesan kepadaku, "Jangan minum alkohol!""Kok kamu mau mencampuri semua hal, sih? Kamu juga m
Ruangan sontak diwarnai suara tawa.Aku tahu Shea sedang membantuku untuk mengalihkan perhatian agar para karyawan tidak berpikir macam-macam.Oscar tersenyum ke arahku. Senyumannya langsung membuatku merasa bersalah.Aku benci, kenapa Fanny memberitahuku mengenai perasaan Oscar? Aku tidak terbebani saat tidak mengetahui apa-apa, tetapi setelah mengetahui perasaannya, hubungan kami pun terasa canggung. Entah kenapa aku merasa bersalah kepada Oscar.Oscar adalah pria yang baik, dia tidak pernah menyatakan perasaannya secara terang-terangan. Setelah kembali dari kasir, Shea diam-diam berbisik kepadaku, "Semuanya sudah dibayar."Aku kurang nyaman menikmati perlakuan khusus semacam ini. Makan malam telah selesai, ponselku berdering sebelum aku masuk ke mobil.Tanpa melihatnya pun aku tahu siapa yang menelepon. Aku menjawab teleponnya dan langsung berkata, "Kamu memasang kamera pengawas di tubuhku, ya?""Em."Dari kejauhan, aku melihat sebuah mobil yang melaju ke arahku. Walaupun kondisi ja
Aku menenangkan diri untuk sesaat. Kemudian, aku menyalakan mobil dan perlahan-lahan meninggalkan jalan kecil itu. Dari persimpangan di depan, aku kembali ke jalan utama. Pada saat ini, kemacetan sudah agak mendingan. Aku langsung bergegas pulang ke rumah.Ibuku langsung merasa lega begitu melihatku sudah sampai di rumah. Dia buru-buru mulai memasak makanan. Jarang sekali aku bisa makan bersama mereka di rumah seperti ini.Begitu mendengar jika aku ingin makan di rumah, kedua orang tuaku langsung menunggu kepulanganku. Ibuku mengatakan, makanan yang paling enak adalah makanan yang baru dimasak.Setelah makan malam, aku menelepon Fanny dan bertanya apakah dia sedang ada di rumah. Fanny mengatakan jika dirinya baru saja sampai di rumah. Oleh karena itu, aku mengajak Adele jalan-jalan dan pergi menemui Fanny.Sudah beberapa hari aku tidak bertemu dengan Fanny. Begitu melihatku, Fanny langsung menanyakan tentang Taufan. Aku hanya bisa menggelengkan kepala tanpa daya.Fanny mengatakan, akhi
Entah kenapa, pada saat itu, punggungku terasa dingin dan merinding. Aku merasa ngeri saat memikirkannya. Bayangkan saja, manusia yang masih hidup dan baik-baik saja ditabrak mobil hingga tewas saat dalam perjalanan menemui diriku. Mungkinkah semua ini hanya kebetulan belaka?Selain itu, dia hanya ingin menyampaikan informasi mengenai Taufan kepadaku. Hanya sebuah informasi. Akan tetapi, apakah semua itu harus ditebus dengan mengorbankan nyawanya? Bagaimana mungkin orang yang begitu lembut itu sekarang dibilang sudah meninggal …Semua ini makin membuatku mengerti jika situasinya tidaklah sesederhana itu.Melihat Danny yang buru-buru pergi, makin aku memikirkannya, makin aku merasa jika ada yang tidak beres. Kenapa polisi tidak menanyakan apa pun mengenai Taufan kepadaku? Bukankah itu adalah pertanyaan yang paling penting? Apakah mungkin bagi mereka untuk mengabaikan pertanyaan sepenting itu?Selain itu, jika sudah dipastikan bahwa sopir mobil karavan kecil itu mabuk dan Bastian meningg
Yang datang ke kantorku adalah dua petugas berseragam polisi.Hal ini membuatku agak terkejut dan bingung. Apa yang menyebabkan polisi mendatangiku di kantor?Aku mempersilakan mereka untuk duduk dan menatap mereka. Salah satu dari mereka bertanya kepadaku dengan sangat serius, “Bolehkah aku bertanya padamu? Apa kamu kenal Bastian Luzman?”“Siapa?” Aku agak bingung dan langsung menyangkalnya. “Aku nggak kenal.”Petugas polisi itu langsung menatapku dengan tajam. Jelas, dia tidak percaya dengan jawabanku. Kemudian, dia melirik rekannya dan berkata, “Mana fotonya?”Polisi satunya buru-buru mengeluarkan foto dari tas kerja yang dipegangnya dan menyerahkannya kepadaku. “Perhatikan baik-baik orang yang ada di foto ini.”Aku menerima foto tersebut dengan kedua tanganku dan melihat orang yang ada di foto itu. Dia adalah seorang pria. Wajahnya terlihat cukup tampan. Sepertinya dia adalah seorang mahasiswa yang masih berusia sekitar 20 tahun.Aku menggelengkan kepalaku dan berkata dengan tegas,
Orang yang meneleponku itu adalah seorang pria asing. Dia memintaku untuk menemuinya seorang diri. Pria itu mengatakan bahwa dia punya informasi mengenai Taufan.Aku menanyakan siapa dirinya. Namun, pria itu langsung menutup teleponnya. Akan tetapi, dia mengirimkan pesan kepadaku, berupa sebuah alamat. Sepertinya, alamat tersebut merupakan lokasi di mana kami akan bertemu nanti.Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengambil tasku dan turun ke bawah.Setelah mengatur navigasi, aku langsung menuju ke tempat yang dia sebutkan sebelumnya. Hatiku merasa cemas. Dalam beberapa hari terakhir, inilah pertama kalinya aku mendengar ada seseorang yang memberitahuku bahwa dia memiliki informasi mengenai Taufan.Aku bahkan tidak memikirkan apakah informasinya itu benar atau salah. Sekalipun salah, aku tetap ingin mendengar apa yang ingin dia katakan. Setidaknya, itu lebih baik daripada aku tidak tahu apa-apa.Dalam beberapa hari terakhir, kecelakaan mobil yang menimpa Taufan seakan-akan tidak perna
Hatiku langsung berdebar kencang saat melihat nama yang muncul di layar ponselku adalah nama Luna.“Luna, kalau kamu mau bicara omong kosong, sebaiknya hentikan saja. Aku sedang malas berurusan denganmu.” Aku mengangkat telepon dan langsung berkata kepada Luna. “Informasi mengenai Taufan, kalian mau mengatakannya atau nggak, aku pasti akan tetap mengetahuinya.”“Hahaha … Kak Maya, kayaknya kamu benar-benar cemas.” Luna terlihat aneh saat mengetahui kecemasanku. Sikapnya begitu menyenangkan. “Kayaknya Kakak marah besar.”“Kayaknya kamu lagi nggak ada kerjaan ya?” Setelah berkata seperti itu, aku langsung menutup teleponnya. Aku tahu betul. Makin aku memedulikannya, Luna akan makin menjadi-jadi.Benar saja. Ponsel di tanganku kembali berdering. Aku menahan diri dan baru mengangkatnya setelah berdering beberapa kali. “Jangan menguji kesabaranku.”“Hahaha … Kak Maya, aku cuma ingin memberitahumu kalau dia baik-baik saja. Sungguh.” Nada bicara Luna menyiratkan jika dia bersukacita atas musi
Bagai membuka pintu misterius, aku buru-buru melangkahkan kakiku dan masuk ke dalam. Aku memeriksa setiap ruangan yang ada, tetapi tidak ada seorang pun di sana.Sampai-sampai seorang perawat membentakku dengan tegas, “Apa yang kamu lakukan? Ini ruang steril. Bagaimana kalian bisa masuk ke sini? Cepat keluar!”Aku mencengkeramnya dengan satu tanganku. “Kalau begitu, katakan padaku. Di mana orang yang barusan kalian selamatkan? Bagaimana keadaannya?”“Cepat keluar! Orang yang diselamatkan apa? Banyak yang kami selamatkan.” Perawat itu berusaha melepaskan diri dari cengkeramanku dan mendorong kami keluar. “Cepat keluar!”“Pak Taufan. Pak Taufan yang barusan kalian selamatkan. Bagaimana keadaannya?” Aku masih belum mau menyerah.Perawat itu terlihat marah dan langsung mendorongku keluar. “Aku nggak tahu.”Kemudian, pintu dibanting dengan keras sampai berbunyi ‘brak’ dan terdengar suara kunci pintu yang diputar dari dalam.Aku bersandar di dinding dengan putus asa dan agak hilang akal. Aku
Tatapanku menjadi tegang. Jantungku kembali berdegap kencang. Aku mengulurkan tanganku dan mendorong Luna yang menghalangi di depanku. Luna terhuyung-huyung dan hampir jatuh tersungkur beberapa langkah ke samping. Aku tidak peduli. Aku buru-buru berlari menuju koridor. Namun, para pengawal berpakaian hitam itu tetap saja menghalangiku.Aku melihat dokter sedang menjelaskan sesuatu kepada Cynthia di depan pintu. Akan tetapi, aku sama sekali tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.Tidak sampai dua menit, dokter itu sudah berbalik dan kembali masuk ke ruang gawat darurat. Yang bisa kulihat hanyalah sarung tangan yang dikenakannya berlumuran darah yang mengerikan.Mataku tertuju pada Cynthia. Aku melihat Cynthia masih berdiri di tempatnya dengan tatapan kosong. Ekspresinya sangat aneh. Aku tidak tahu apakah yang disampaikan dokter tadi adalah kabar baik ataukah kabar buruk.Cynthia tertegun untuk waktu yang lama, sebelum akhirnya mengatakan sesuatu kepada Fara yang ada di belakangn
Telepon berdering untuk waktu yang lama sebelum akhirnya Danny mengangkatnya. Aku berkata kepada Danny dengan suara bergetar, “Danny … kamu di mana? Tolong selidiki …. Sesuatu terjadi pada Taufan …. Dia mengalami kecelakaan mobil di jalan tol menuju bandara …”“Jangan khawatir, Kak Maya. Aku sudah langsung menyelidikinya begitu mendapat kabar.” Mungkin, karena mendengar suaraku yang tidak jelas, Danny pun menghiburku. “Kakak ada di mana?”“Aku di rumah sakit.” Aku menarik napas dalam-dalam. “Ceritakan hasil penyelidikanmu padaku.”“Itu pasti. Jaga diri Kakak baik-baik. Apa Kak Maya ingin aku menyuruh Shea untuk menemani Kakak di rumah sakit?” tanya Danny kepadaku. Mungkin saja dia merasa jika suasana hatiku sedang tidak baik.“Aku nggak apa-apa,” jawabku cepat-cepat. Kemudian, aku bertanya kepada Danny, “Apa kamu tahu bagaimana kondisi cedera yang dialami Taufan?”Di ujung telepon, Danny terdiam selama beberapa saat. Kemudian, dia berkata, “Menurut para saksi mata … lukanya sangat para
Wajah Cynthia tampak begitu muram dan menakutkan. Dia duduk jauh di sana sambil menegakkan punggungnya. Matanya menyiratkan aura ganas, yang sama sekali tidak terdapat kehangatan di dalamnya. Mata Cynthia itu membuatku tanpa sadar teringat pada posisi seekor ular sebelum melancarkan serangan pada musuhnya.Kejam, ganas, dan menakutkan.Aku menenangkan diri sebentar. Sebenarnya, saat melihat Cynthia, aku sudah yakin jika orang di dalam ruangan itu pastilah Taufan. Rasa takut yang belum pernah kurasakan sebelumnya memenuhi dadaku. Aku kembali menatap pintu ruang gawat darurat yang tertutup rapat dan berdoa dalam hati agar tidak terjadi apa-apa.“Kenapa? Apa kamu mau membuat keributan dengan datang kemari?” Nada bicara Cynthia begitu dingin. Matanya yang bagaikan elang terus saja menatap wajahku.Aku menarik napas dalam-dalam, menggertakkan gigiku, dan berjalan menghampirinya. Seketika itu juga, aku bisa merasakan apa yang dirasakan orang yang ada dalam ruangan itu. Hal tersebut langsung