Laura mendongak, menatap ibu tua yang baru saja menegurnya itu. Dia tidak tahu harus menjawab apa, tapi beruntung satu orang langsung menyahut, "Bude, ini bukan calon pengantin lagi. Mereka kan sudah nikah, sudah sah!" "Ealah.. hehe, lupa bude. Iya ya? Jadi sudah bukan calon pengantin lagi, ya?" Bude itu tertawa. "Kalau begitu ndak papa. Tadi bude lupa kalau kalian sudah menikah duluan. Ayo, ayo teruskan." Bude itu beringsut mundur untuk mengerjakan lainnya. Bu Marni tersenyum, menatap bangga pada menantunya itu. Sesekali dia menyeka keringat yang mengalir di kening Laura dengan tisu kering. "Ya ampun, Nak. Kamu kegerahan ini? Sudah sana cuci tangan dan masuk kamar. Istirahat saja." Pinta Bu Marni. Laura mencondongkan kepalanya dengan manja di bahu Bu Marni. "Nanti Bu, Laura masih betah disini." "Ee, tapi kan kamu butuh istirahat yang cukup, Laura. Besok kamu itu harus berdiri seharian di pelaminan lho.." "Nggak papa Bu, Laura pasti kuat. Ibu tuh yang harus istirahat, kan
Calia punya dua nenek dari Ibunya? Tante Rita? Mamanya mbak Dinda dan mbak Mia kan? Dan Ibu? Ibu nenek Calia juga? Lalu Ibunya siapa? Kan ibunya mas Riko ada di kota lain? Tiba-tiba Laura seperti orang yang bodoh. Ketika ingat saat Calia selalu mengatakan jika punya dua nenek dari ibunya. Nenek disana yaitu Bu Rita, dan nenek yang ada di kampung. "Kok aku bisa nggak ngeh sih?" Pada saat sedang merenung, Rehan masuk untuk mengambil sesuatu. "Laura? Kamu kenapa?" Rehan agak khawatir melihat Laura termenung dengan tatapan aneh padanya. Dia langsung mendekat dan mengusap kening istrinya. "Mas, aku mau tanya sesuatu boleh?" Rehan duduk disampingnya dan mengangguk. "Tapi jangan marah ya?" Laura seperti ragu-ragu. "Iya. Nggak akan marah. Apa? Ada apa?" "Calia itu, keponakan Mas Rehan kan?" "Iya. Kenapa? Dia anak mbak Dinda dan mas Riko." "Eh iya. Tapi, yang kakak Mas Rehan itu siapa? Eh, maksudnya, yang anak ibu siapa? Mbak Dinda atau Mas Riko? Karena setahuku, mbak Dinda
"Mbak Dinda sama mbak Fiah pulang juga kan ya?" Nita bertanya, sambil bangun dari baringan dan duduk juga di tepi tempat tidur. "Pulang kok. Mereka masih di perjalanan. Mas Riko dan nas Rendi, Calia juga. Katanya mas Azam dan istrinya menyusul besok. Mas Farhan dan mbak Silvia katanya juga mau ikut besok. Mbak Silvia pingin banget tau kampung kita." Sahut Rehan menjawab pertanyaan Nita. "Wah! Rame dong nanti. Ya ampun! Kangen banget sama Calia. Dulu aku sama Mas Rehan yang suka ngasuh dia. Kalau mbak Dinda sama mbak Fiah sibuk di toko. Ingat nggak mas Rehan?" Ujar Nita. "Ingatlah. Mana kamu rusuh lagi. Suka gangguin Calia sampai nangis. Nanti mbak Dinda marah, kita kena cubit." Mereka tertawa, bercengkrama hangat dalam satu ruangan itu. Mengingat masa masa dulu yang penuh derita, tapi juga banyak kenangan manis yang tak akan terlupakan. Hingga petang telah berganti gelap. Orang-orang sudah banyak yang bergantian pulang, dan datang lagi setelah mandi dan berganti untuk menerus
Laura pun memikirkan hal yang sama. Tapi dia merasa senang saja dan tidak merasa keberatan sama sekali.Pernikahan adat Jawa dari tradisi Keraton Surakarta dan Yogyakarta mengandung banyak nilai filosofis yang tujuannya membangun keluarga Sakinah.Seperti proses resepsi pernikahan mereka ini, ada sekitar kurang lebih 12 acara ritual yang harus mereka jalani.Seperti Pasang Tarub, ini salah satu dari adat juga.Pasang tarub yakni pihak keluarga pria atau wanita yang akan melangsungkan pernikahan biasanya memasang tarub (tratag) sebagai tanda resmi akan mengadakan hajatan.Kata tarub sering disebut kependekan dari ditata ben ketok murub (ditata agar kelihatan bersinar dan mewah). Tujuannya menunjukkan kepada masyarakat bahwa sebuah keluarga sedang memiliki hajat manten.Yang kedua adalah Srah-srahan.Srah-srahan yakni keluarga pihak pengantin pria memberikan barang kepada keluarga pihak pengantin perempuan. Umumnya srah-srahan berisi seperangkat pakaian lengkap, perhiasan, beras, kelap
Acara terakhir adalah Tilik Besan atau Ngunduh Mantu.Tilik Besan sering diistilahkan dengan ngunduh mantu. Pengantin beserta orang tua mempelai wanita, keluarga, dan tetangga mengunjungi besan atau orang tua mempelai pria.Sesampainya di depan besan/Bu Marni Laura di suruh segera sungkem kepada Bu Marni diikuti oleh Rehan. Lalu Bu Marni mendudukan kedua mempelai di pelaminan. Lalu setelah itu Bu Marni yang disertai beberapa saudaranya menjemput orang tua Laura dan diantar untuk duduk di sisi pelaminan berdekatan dengan Rehan. Hal ini sebagai lambang penghormatan besan terhadap orang tua mempelai wanita.Ini adalah acara adat yang terakhir.Semua orang bernafas lega. Kesedihan dan air mata tadi telah terlupakan, terganti titik air mata bahagia dan perlahan berganti senyuman.Sekarang hanya tinggal acara utama yaitu Pesta.Bunyi musik Hadroh dari tim Hadroh mulai terdengar begitu merdu. Mengiringi beberapa tamu undangan yang mulai berdatangan.Laura dan Rehan telah duduk kembali di pel
Lalu dikamar Bu Marni, Bu Marni terlelap di atas tempat tidur dengan memeluk Calia. Di Samping Calia, Dinda juga mendengkur.Fiah dan Silvia tidur dibawah dengan alas busa kasur tipis.Arumi bengong, kebingungan mau tidur dimana."Aduh! Mau tidur dimana?" Dia meniti. Tidak ada tempat lagi. Kamar sebelah bekas Dinda dulu sudah ditempati para pria. Ruangan depan dan tengah penuh orang-orang yang tidak pulang ke rumah mereka.Tidak mungkin kan, Arumi akan menggedor dan ikut tidur di kamar pengantin?Pada akhirnya, Arumi nyempil di belakang punggung Bu Marni. Tidak peduli lagi meskipun hanya bisa berbaring miring saja. Awalnya memang kesusahan, tapi pada akhir tertidur juga karena saking ngantuknya.Mereka semua tertidur pulas, bahkan tidak sempat bermimpi. Hingga lewat pagi.Mereka belum terbangun meskipun orang orang sudah kembali berdatangan. Menyenggol bokong mereka yang tidur di depan."Bangun, bangun! Udah siang!"Pesta memang telah berakhir. Tapi pekerjaan belum selesai bagi mereka
Itu bukan sisa dari belanjaan Bu Marni, tapi itu bawaan para tetangga dan handai taulan. Ini juga termasuk kebiasaan orang-orang sini. Saat datang untuk rewang, mereka akan membawa bahan-bahan yang mampu dibeli mereka sesuai dengan isi kantong mereka.Ada yang membawa beras lima kilo saja. Tapi ada juga yang tak terkira yang dibawa, beras plus telor, ayam, minyak dan lainnya. Ada juga yang tak mampu beli dan hanya bisa mengepalkan amplop saja. Tentu ada isinya uang. Paling kecil 50 ribu hingga 200 ribu. Kalau handai taulan bisa sampai ratusan ribu.Begitulah."Nanti, beras sama minyak gula dan lainnya itu, dibagi-bagi aja Bude, buat angsul-angsul juga. Dikit-dikit yang penting kebagian semua. " Ujar Bu Marni pada ibu ketua rombongan dapur."Lho kok gitu?" Bude itu sedikit terkejut. Pasalnya permintaan Bu Marni ini tidak seperti biasa umumnya. Memang ada istilah angsul angsul, yaitu membawakan makanan untuk orang rewang. Tapi biasanya hanya berupa makanan matang, sabun mandi, sabun cuc
Kemarin keluarga Laura sudah berpamitan. Dan Hari ini, orang-orang rombongan Calia juga sudah pamit untuk pulang.Suasana lebih terlihat sedikit sepi karena hanya tinggal Nita dan Heru serta Gemilang saja. Mereka memang ingin tinggal dulu disini untuk beberapa hari kedepan."Hem.." Bu Marni menarik nafas lega. Dia tidak bersedih saat berpisah lagi dengan Calia, Fiah dan juga Dinda. Dia menatap mobil-mobil yang membawa mereka dengan bangga.Anak cucunya sudah mendapatkan jalan hidupnya masing-masing. Hidup yang lebih baik dan tentunya bahagia. Itu membuatnya sangat bersyukur dan bahagia. Dia berbalik menatap Nita yang masih berdiri disana.Anak bungsunya ini, juga sudah hidup penuh kebahagiaan."Ayo masuk." Bu Marni menggandeng tangan Nita.Mereka sekarang duduk di ruangan tengah. Ada Laura dan juga Rehan. Bu Marni meninggalkan anak dan para menantunya ke kamar untuk mengambil sesuatu. Kemudian dia kembali lagi dan duduk di hadapan mereka dengan sebuah tas di tangannya."Rehan dan Laur