Lalu dikamar Bu Marni, Bu Marni terlelap di atas tempat tidur dengan memeluk Calia. Di Samping Calia, Dinda juga mendengkur.Fiah dan Silvia tidur dibawah dengan alas busa kasur tipis.Arumi bengong, kebingungan mau tidur dimana."Aduh! Mau tidur dimana?" Dia meniti. Tidak ada tempat lagi. Kamar sebelah bekas Dinda dulu sudah ditempati para pria. Ruangan depan dan tengah penuh orang-orang yang tidak pulang ke rumah mereka.Tidak mungkin kan, Arumi akan menggedor dan ikut tidur di kamar pengantin?Pada akhirnya, Arumi nyempil di belakang punggung Bu Marni. Tidak peduli lagi meskipun hanya bisa berbaring miring saja. Awalnya memang kesusahan, tapi pada akhir tertidur juga karena saking ngantuknya.Mereka semua tertidur pulas, bahkan tidak sempat bermimpi. Hingga lewat pagi.Mereka belum terbangun meskipun orang orang sudah kembali berdatangan. Menyenggol bokong mereka yang tidur di depan."Bangun, bangun! Udah siang!"Pesta memang telah berakhir. Tapi pekerjaan belum selesai bagi mereka
Itu bukan sisa dari belanjaan Bu Marni, tapi itu bawaan para tetangga dan handai taulan. Ini juga termasuk kebiasaan orang-orang sini. Saat datang untuk rewang, mereka akan membawa bahan-bahan yang mampu dibeli mereka sesuai dengan isi kantong mereka.Ada yang membawa beras lima kilo saja. Tapi ada juga yang tak terkira yang dibawa, beras plus telor, ayam, minyak dan lainnya. Ada juga yang tak mampu beli dan hanya bisa mengepalkan amplop saja. Tentu ada isinya uang. Paling kecil 50 ribu hingga 200 ribu. Kalau handai taulan bisa sampai ratusan ribu.Begitulah."Nanti, beras sama minyak gula dan lainnya itu, dibagi-bagi aja Bude, buat angsul-angsul juga. Dikit-dikit yang penting kebagian semua. " Ujar Bu Marni pada ibu ketua rombongan dapur."Lho kok gitu?" Bude itu sedikit terkejut. Pasalnya permintaan Bu Marni ini tidak seperti biasa umumnya. Memang ada istilah angsul angsul, yaitu membawakan makanan untuk orang rewang. Tapi biasanya hanya berupa makanan matang, sabun mandi, sabun cuc
Kemarin keluarga Laura sudah berpamitan. Dan Hari ini, orang-orang rombongan Calia juga sudah pamit untuk pulang.Suasana lebih terlihat sedikit sepi karena hanya tinggal Nita dan Heru serta Gemilang saja. Mereka memang ingin tinggal dulu disini untuk beberapa hari kedepan."Hem.." Bu Marni menarik nafas lega. Dia tidak bersedih saat berpisah lagi dengan Calia, Fiah dan juga Dinda. Dia menatap mobil-mobil yang membawa mereka dengan bangga.Anak cucunya sudah mendapatkan jalan hidupnya masing-masing. Hidup yang lebih baik dan tentunya bahagia. Itu membuatnya sangat bersyukur dan bahagia. Dia berbalik menatap Nita yang masih berdiri disana.Anak bungsunya ini, juga sudah hidup penuh kebahagiaan."Ayo masuk." Bu Marni menggandeng tangan Nita.Mereka sekarang duduk di ruangan tengah. Ada Laura dan juga Rehan. Bu Marni meninggalkan anak dan para menantunya ke kamar untuk mengambil sesuatu. Kemudian dia kembali lagi dan duduk di hadapan mereka dengan sebuah tas di tangannya."Rehan dan Laur
"Bisa jadi, Mbak. Karena tadi barusan Ak Rudi juga pulang. Kabarnya mereka sedang menghubungi polisi. Satu mobil truk besar masuk ke jurang bersama beberapa orang yang menaikinya. Tau tidak kalian? Mereka rombongan orang maling buah Sawit." Dua orang itu kembali terkejut. "Hah? Rombongan maling sawit?" "Iya. Dan banyak yang menebak jika mereka itu, adalah rombongan yang dulu pernah maling sawit dan bibit Sawit tempat Aking. Yang mas Ijan jadi tertuduh itu." "Ya Allah.." "Kecelakaannya parah. Empat orang kabarnya tertimpa buah sawit. Sopirnya mati tergencet di dalam mobil. Dan lainnya juga belum bisa diambil, soalnya terkubur tandan buah sawit." "Astagfirullahaladzim.." Nita bergidik ngeri. Heru tiba-tiba berdiri, "Aku mau lihat kesana ya? Toko tutup aja dulu, Teh. Biar aku yang tutup. Teh Ainun temani Nita dulu." Nita nyengir. "Mas Heru orangnya kepoan." "Hehe.. bukan begitu. Tapi penasaran." Heru langsung pergi, dan terdengar bunyi motornya. "Kok bisa masuk jurang, i
Hingga suatu hari, pada saat itu Bu Fat sudah melupakan desas desus tentang perselingkuhan anak menantunya."Kok masih sisa banyak sih tumben, pecelnya?" Bu Fat mengeluh. Hari ini memang sedang sepi pembeli, sayuran mateng untuk pecel jualannya masih sisa banyak. Tapi kemudian dia tersenyum ketika mengingat Menantunya."Kasih Rani saja. Sekalian nengokin Laras. " Ujarnya, menyebut nama cucunya, anak Rani yang masih berusia sekitar setengah tahunan.Bu Fat membungkus pecel, lalu pergi keluar untuk mengambil motor.“Aduh! Kok kempes bannya?"Dia kembali mengeluh saat melihat ban motornya kempes. Dia menatap ban motor dan bungkusan plastik putih di tangannya secara bergantian.Dia menoleh saat ada seorang pembeli datang. Kebetulan itu masih tetangga Rani."Beli mie ayamnya, Bu.""Duh, udah tak tutup. Ayamnya habis. Ini rencana mau ke rumah cucunya. Malah ban motor kempes. Motor satunya lagi di bawa Bapaknya ke kebun.""Oalah. Yo wes gak apa. Sini bonceng aku saja kalau mau kesana. Tar pu
Tentu itu langsung mengundang warga yang terkejut mendengar Keributan dari rumah Rani. Beberapa pria dan wanita pun berlari ke rumah Rani."Bu Fat, ada apa?" Mereka bertanya, Bu Fat sudah membuka pintu depan dan keluar dengan menggendong cucunya."Rani, itu! Lonte dasar! Anak ditelantarkan, demi dia bisa pacaran!""Pacaran bagaimana?" Beberapa orang bingung dengan ucapan Bu Fat."Pacaran atau kelon, gak tau! Tapi jelas dia sedang di kamar sama seorang pria! Apa itu namanya kalau gak lonte! Dasar perempuan gak baik!"Bu Fat kembali marah."Enggak Bu. Aku gak begitu. Ini cuma salah paham." Rani sudah menangis."Apanya yang salah paham? Dasar kamu itu yang memang gatel! Dulu kamu merebut Andi dari Istrinya. Sekarang kamu masih istrinya Andi, tapi mau jadi pelakor lagi!" Bu Fat kembali memaki Rani.Untuk menangani masalah ini, Pak RT mengambil keputusan untuk memanggil Edo. Mereka disidang secara kekeluargaan.Tetapi disini, Edo menyangkal. Dia tetap mengatakan tidak punya hubungan apa-ap
Hingga hari kembali berlalu. Asih sudah mulai melupakan sakit hati karena kebohongan Andi dan keluarganya. Tetapi deritanya tak berakhir sampai disini rupanya. Hubungan terlarang suaminya dan Gadis bernama Rani itu semakin jauh. Beberapa kali Asih bahkan melihat dengan mata kepala sendiri, suaminya pergi berboncengan motor dengan Rani.Saat ditanya, Andi malah marah-marah dan mengatakan hanya sekedar mencari hiburan saja."Hiburan jangan sama perempuan, Mas! Kamu menyakiti hatiku!""Halah, kamu ini lebay. Kalau kamu gak terima, ya pergi sana! Malah nanti aku bakal nikahi Rani. Aku sudah terlanjur suka sama dia!""Astagfirullahaladzim.." Asih memegangi dadanya yang terasa sangat nyeri."Ya Allah, mas. Jadi maumu gimana? Mau melanjutkan hubungan kamu dengan Rani? Malu, Mas. Malu sama orang. Kalian jadi omongan di seluruh kampung!"Asih masih berusaha menasehati suaminya. Karena memang benar, hubungan suaminya dan Gadis bernama Rani itu sudah menjadi omongan banyak orang."Mau bagaimana
"Hah, apa?" Rani terkejut dan panik setengah mati. Pasalnya setelah beberapa hari yang lalu Asih mendatanginya, kemarin Bu Fat juga mendatanginya dan menegurnya. Bahkan sempat memakinya."Aduh! Bagaimana ini, Mas? Aku takut!" Tentu Rani ketakutan setengah mati."Ikut aku pergi malam ini atau kamu bisa habis di tangan Asih."Karena tidak tahu harus meminta tolong pada siapa, Rani pun menurut saja saat Andi membawanya pergi dan menyembunyikannya dan di suatu tempat.Entah kenapa pada saat itu Rani terlalu menurut saja dengan Andi. Entah Karena dia masih polos atau dia memang sudah terpengaruh oleh hal lain.Di tempat persembunyian itu, awal dimana Andi mulai memanfaatkan keadaan. Hingga Rani hamil satu bulan. Pada akhirnya, mau tidak mau Rani menuntut Andi untuk menikahinya di tempat saudara Rani. Karena pada saat itu orang tuanya menentang Mereka.Ini adalah hal yang memang di tunggu oleh Andi.Lalu setelah mereka menikah siri, Andi membawa pulang Rani. Rani berpikir semua akan menerim
Tidak ada tetangga yang datang karena mereka sengaja, lamaran malam ini dengan sederhana saja. Tidak ada yang dibawa oleh Dodi karena memang mereka sudah berunding untuk tidak memaksakan diri dan tidak membawa apapun. Ini adalah pesan Gita, jadi Dodi datang hanya membawa ucapan niat dan cincin seberat 2 gram saja sebagai tanda pengikat antara mereka. Acara lamaran berlangsung sederhana namun penuh keseriusan dari kedua belah pihak. Pakde Gita tak banyak bicara, sebab di sini ia hanya menjadi saksi, bukan untuk dimintai pendapat. Sebelumnya, Bu Mila sudah berpesan demikian. Sebelum lamaran ini, Pakde sempat menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pernikahan Gita dengan Dodi. Alasannya, masa depan Dodi kurang cerah dan hanya akan membebani Gita, terlebih Gita kini sudah sukses. Pakde khawatir banyak orang berbiat buruk, lalu menjadikan alasan ingin menikahi Gita. Bu Mila menegaskan untuk tidak perlu ikut campur urusan mereka . Dodi memandang Heru dengan mata terbelalak, seperti kura
Sebagai orang tua, mereka hanya perlu menyetujui, memberi restu, dan dukungan. Meski tak suka, Pakde tak bisa berbuat apa-apa selain mengiyakan.Mungkin ia sadar bahwa selama ini ia tak pernah membantu atau ikut memberi makan Gita dan Anisa sejak mereka lahir, lalu mereka ditinggal orang tua mereka, dan kini telah tumbuh dewasa.Acara lamaran selesai, disambung dengan obrolan ringan, basa-basi sebelum waktunya pulang.Tidak ada yang istimewa di acara malam ini, tetapi bagi Gita dan Dodi, acara ini sangat spesial dan membekas di hati. Karena malam ini, mereka resmi menjadi sepasang tunangan dan berencana menikah bulan depan. Awalnya, ketika ditanya oleh Pak De kapan mereka akan menikah, Dodi masih ragu untuk menjawab. Bukan karena ragu, tetapi dia ingin benar-benar siap. Namun, Gita yang langsung menjawab, "Rencana kami adalah bulan depan, Pak De. Setelah bulan ini habis, kami akan berunding lagi untuk menentukan hari yang tepat."Dodi tidak bisa berkomentar karena takut Gita tersinggu
Dodi menarik nafas resah. Tadinya, dia sudah cukup senang, khayalannya melambung tinggi, menikahi Gita dan hidup bahagia penuh cinta. Namun, setelah obrolan dengan ibunya, perasaannya berubah menjadi kacau.Jika nanti dia menikah, bagaimana mungkin dia bisa tinggal bersama Gita? Bagaimana dengan ibu dan dik-adiknya? Tapi jika dia mengajak Gita untuk tinggal bersamanya, tentu saja itu juga tidak mungkin. Dia tidak bisa membawa Gita untuk tinggal di pondok mereka dan mengurus keluarganya.Tiba-tiba, sebuah pesan singkat dari Gita masuk. "Dodi, sedang apa? Apa kamu sudah pulang kerja?""Iya, Gita. Aku sudah pulang dari tadi." Mulai hari ini dan seterusnya, Dodi memang sudah mau belajar untuk memanggil Gita dengan nama saja. Mereka sudah sepakat."Bisa gak nanti malam ke rumah? Ada hal yang ingin aku bicarakan."Karena Dodi juga ingin membicarakan suatu hal dengan Gita, dia pun setuju. "Iya, aku akan ke sana nanti malam."Gita tersenyum, selain memang ada sesuatu yang ingin dibicarakan se
Yang di sana menutup mulutnya dengan satu tangan menahan agar tidak tertawa keras karena saking senangnya.Ya ampun… Ternyata Dodi romantis juga ya?Akhirnya sepanjang malam ini mereka sama-sama begadang, melanjutkan chat mesra dan rencana untuk kedepannya nanti. Sampai terlupa, ketiduran tanpa sengaja. Ponsel masing-masing terjatuh dari tangan dan paginya ponsel mereka sama-sama ngedrop!Dodi merasa sangat kesal karena tidak bisa mengirimi pesan atau melihat pesan chat dari Gita. Akhirnya berangkat kerja tanpa membawa ponsel.Gita juga demikian, terpaksa pergi mengajar meninggalkan ponselnya di rumah untuk dicas.Di tempat kerja, mereka tidak konsen.Saling memikirkan satu sama lain. Andai saja tadi ponsel bisa dibawa, setidaknya bisa berkirim chat, menanyakan kabar. Lagi ngapain? Udah makan belum?Duh, kasmaran!Sayangnya semalam lupa , seharusnya sambil di cas saja. Kan tidak sampai ngedrop?Saat Dodi pulang dari kerja, di jalan melihat kecelakaan. Sebuah mobil sedan menabrak seora
Anisa mengusir mereka dengan bercanda, "Sudah, jalan sana, nanti keburu magrib."Gita dan Dodi akhirnya berangkat menggunakan motor Anisa. Mereka berboncengan, menarik perhatian orang-orang di jalan karena penampilan mereka yang berbeda dari biasanya. Beberapa mencibir, tapi banyak juga yang memuji kecocokan mereka.Sesampainya di acara, suara musik orgen tunggal menyambut. Mereka disambut oleh tim penyambut tamu, dan beberapa orang langsung mengenali mereka, "Mbak Gita sama Mas Dodi? Wah, cocok banget!”Gita dan Dodi hanya tersenyum malu mendengar godaan-godaan itu. Setelah mengambil makanan, mereka duduk bersama dan menikmati hidangan. Sesekali mereka melirik satu sama lain dan tersenyum, tapi tidak bisa fokus karena hati mereka sama-sama berdebar.Setelah makan, Dodi mengajak Gita untuk memberikan amplop kepada pasangan pengantin. "Cepat menyusul kami ya!" ucap mempelai wanita, membuat Gita semakin tersipu."Kenapa semua orang berpikir kita pacaran?" tanya Gita saat mereka kembali
Penjelasan Gita diterima, dan beberapa siswa bahkan membuka platform novel online untuk memeriksa kebenarannya. Mereka akhirnya paham bahwa kehidupan Gita dan Anisa telah berubah berkat kerja keras Gita.Sejak saat itu, tak ada lagi yang menuduh atau membicarakan Anisa dan keluarganya. Kabar tentang Gita yang menjadi penulis menyebar, dan kehidupan mereka menjadi lebih damai. Tidak ada lagi tuduhan atau hinaan dari Cindy dan teman-temannya.Hari itu, Gita merasa sangat lelah setelah seharian membersihkan rumah bersama Anisa. Malam harinya, ia mengalami sakit kepala yang parah. Anisa khawatir melihat suhu tubuh kakaknya yang sangat panas."Mbak Gita sakit, ya? Badannya panas sekali!" seru Anisa.Gita mengeluh, "Kepala Mbak sakit, tubuh juga rasanya ngilu-ngilu."Anisa segera memberi tahu Bu Mila, yang panik. "Tunggu sebentar, Anisa. Biar nenek menemui Mbak Nita.""Biar Anisa saja, Nek. Nenek tungguin Mbak Gita," ujar Anisa, langsung berlari ke rumah Nita. Mendengar kabar itu, Nita dan
"Udah, jangan dilihat terus. Besok langsung dicoba aja," goda Nita, sambil tersenyum melihat Anisa yang terus memandangi motor barunya.Anisa tertawa kecil, benar-benar tidak menyangka dirinya bisa mendapatkan motor sebagus itu. Dia menoleh pada Gita, "Mbak Gita, terima kasih ya. Pasti mahal banget."Gita tersenyum dan menepuk tangan Anisa lembut, "Yang penting kamu senang, Anisa. Harga motor ini nggak ada apa-apanya dibanding kebahagiaan kamu.""Ya ampun, Mbak Gita! I love you deh!" Anisa memeluk kakaknya dengan rasa terima kasih."Makanya, jangan bandel. Kamu nggak kerja tapi dibeliin motor sama HP baru. Semangat belajar dan bantu-bantu di rumah, ya," Bu Mila mengingatkan."Siap, Nek! Anisa makin semangat," jawab Anisa riang, disambut tawa seluruh keluarga.Heru lalu berdiri, "Maaf, aku harus pulang. Toko nggak ada yang jaga lama-lama.""Aku juga pulang, nih," kata Nita sambil mengeluarkan kado kecil dari sakunya.Heru melihat kado itu dan tertawa, "Ya ampun, kado kamu kecil banget,
Karena Anisa memang adik yang pengertian, meskipun hatinya sedikit terluka oleh ucapan kakaknya, dia tidak berani menjawab. Anisa mencoba mengerti, mungkin kakaknya sedang banyak pikiran atau lelah, jadi dia memilih untuk diam saja.Kemudian, Anisa beranjak dari kamar Gita untuk mencari neneknya, tetapi tidak menemukannya. Dia lalu pergi ke dapur dan membuka tudung saji. Ternyata tidak ada makanan apapun di meja. Bahkan di magic com pun tidak ada nasi. Anisa mendengus kesal, lalu kembali ke kamar Gita."Mbak, nenek nggak masak ya? Nenek pergi kemana?" tanya Anisa lagi.Kakaknya terlihat kesal, lalu melemparkan guling ke arah Anisa."Kamu itu manja banget sih! Kamu kan bisa masak sendiri, masak mie, ceplok telor, atau apa gitu. Nggak usah terus ngandelin nenek. Nenek lagi pergi ke rumah Bude dari tadi pagi, jadi nggak sempat masak. Kamu aja yang masak nasi, sana!” ujar kakaknya.Anisa merasa sedih melihat perubahan kakaknya yang tiba-tiba menjadi pemarah. Namun, dia tidak berani memban
“Ya Allah, ternyata ini pekerjaan Mbak Gita yang jarang diketahui orang. Pantas saja Mbak bisa membeli ini itu dan mengubah ekonomi keluarga. Aku benar-benar tidak menyangka kalau Mbak bisa sehebat ini.”Gita mengangguk kemudian tersenyum kecil sambil melanjutkan untuk memberitahu Dodi tentang aplikasi-aplikasi novel miliknya.“Mungkin beberapa orang di kampung banyak yang membicarakan aku, tapi aku tidak mau peduli. Karena mereka juga tidak tahu apa yang aku lakukan sebenarnya. Yang terpenting bagiku adalah aku mencari pekerjaan secara halal dan ini merupakan anugerah serta rezeki dari Allah yang diberikan padaku. Aku telah diberi jalan untuk bisa mengubah ekonomi keluargaku.”Dodi mendongak, "Mungkin sebagian orang membicarakan keluarga Mbak karena mereka tidak tahu yang sebenarnya. Tapi benar kata Mbak, tidak usah dipedulikan. Bukankah Mbak tidak merugikan siapa-siapa? Mbak menulis dengan ide sendiri tanpa mengganggu orang lain.""Itulah yang sering dikatakan oleh Mbak Nita. Makany