Sore itu, Heru mengajak Rehan melihat kebun sawit milik mereka. Rehan tentu senang. Ketika melihat keberhasilan adiknya, perasaannya campur aduk antara lega dan puas. "Semoga Nita bisa meniti jalan yang lebih baik dariku. Dia tidak hanya memiliki toko dan kebun sawit, tetapi juga mampu mendapatkan penghasilan tambahan dengan menulis novel," gumam Rehan dalam hati, merasa bangga melihat kesuksesan adiknya itu."Kalian harus banyak-banyak bersyukur, hidup kalian diberkahi oleh Allah, kalau begini kan, aku jadi tidak akan memaksa kalian lagi untuk tinggal bersama kami. Jadi, biarlah aku saja yang akan menunggu ibu dan menemaninya sampai dia tua nanti," ujar Rehan, di sebuah pondok yang sengaja dibuat Adi dan Rudi di tengah kebun sawit milik Heru dan Nita itu."Iya, Mas, kami tidak lupa untuk bersyukur, apalagi Nita. Dia adalah wanita yang sangat pemurah, dia tidak pernah yang namanya sayang dengan uang atau hartanya. Dia selalu berbagi kepada sesama yang membutuhkan. Aku benar-benar salu
Di hari-hari ketika mereka bersama, Rehan tak pernah tahu di mana kota tempat Laura tinggal. Kini, berada di kota yang luas ini, dia merasa penasaran apa bisa bertemu dengan Laura secara tak sengaja. Walaupun dalam hati kecilnya, Rehan masih menyimpan harapan untuk bisa bertemu dengan Laura, namun rasa putus asanya lebih besar daripada keinginannya. Pagi telah tiba, Rehan berkumpul dengan keluarga Riko dan Dinda di meja makan untuk menyantap sarapan bersama. Meskipun tawa dan cerita mengisi udara, Rehan tak bisa menyembunyikan perasaan rindu yang terus menerpa hatinya saat mengingat Laura. 'Apa aku bisa menemukan Laura di kota ini?' Rehan lagi-lagi berharap demikian. "Paman, setelah sarapan, apa kita biša pergi bersama untuk berbelanja? Kita butuh persiapan untuk pesta nanti malam," ujar Calia kepada Rehan dengan wajah penuh harap. Rehan hanya mengangguk menyetujui keinginan keponakannya itu. Lagipula, dia memang belum memiliki pakaian yang pantas untuk menghadiri pesta pernikahan
Calia keluar menemui Laura yang masih menunggu. Laura menoleh dan melihat Calia hanya datang sendirian."Hei, mana Pamanmu?" Tanya Laura, dia tidak melihat Paman Calia yang sudah membuatnya penasaran."Pamanku sedang sakit perut. Dia tidak jadi ikut kita pergi." Jawab Calia.Laura mengerutkan keningnya, padahal dia sudah penasaran. Dia tertawa kecil saja. Dalam hati dia lumayan senang.Baguslah, dari pada harus pergi bersama dengan om-om. Pikir Laura."Oh, okelah. Biarkan Pamanmu beristirahat dulu. Mungkin dia kelelahan dari perjalanan. Kita pergi sekarang saja. Kamu bisa mencarikan pakaian untuk paman kamu tanpa dia ikut, kan?"Calia hanya mengangguk, "Tunggu sebentar, aku ambil tas dulu di kamar. Calia pergi ke kamarnya untuk mengambil tas."Ck, menunggu lagi." Keluh Laura, lagi-lagi dia harus menunggu lagi.Sementara Rehan di kamar, ingin menelpon ibunya. Tapi ternyata dia kehabisan pulsa."Yach.. pulsa habis." Keluh Rehan"Oh, titip Calia saja kalau begitu." Rehan buru-buru kelua
Laura melepaskan pelukannya pada Rehan, dia menoleh pada Calia. Tidak terkejut, tidak ada ekspresi malu, justru Laura tersenyum penuh kebahagiaan.Calia mengerutkan keningnya. Bukannya mendapat hawaban dari paman dan sahabatnya itu malah semakin tidak mengerti saja."Laura, kamu kenapa memeluk pamanku? Kamu mengenalnya?""Calia, aku bukan cuma mengenalnya. Tapi dia ini, dia pacarku. Kamu masih ingat tidak, aku cerita kalau punya pacar pemuda kampung yang kena tabrak aku?"Calia membulatkan matanya. Laura memang terus mengatakan jika sudah punya pacar orang dari kampung. Awalnya Calia suka menertawakan Laura. Masa iya, gadis secantik Laura punya pacar orang kampung? Kan lucu.Tapi setelah tahu jika pacar Laura yang dimaksud adalah pamannya, wajar saja. Paman Rehan memang sangat tampan. Hihi.. Hati Calia ikut berbunga-bunga jadinya.Dulu dia juga teringat saat masih diluar negeri, Rehan juga sempat memberi kabar jika masuk rumah sakit akibat ditabrak seseorang. Tapi dia tidak pernah men
Beralih ke rumah sakit, dimana Wati saat ini masih dirawat secara intensif.Ini sudah hari yang ketiga, Wati masih belum sadarkan diri saat dinyatakan koma saat masa kritis akibat pendarahan hebat yang dialaminya.Nita dan para tetangga, sudah mendengar kabar ini. Mereka sudah ada beberapa yang datang menjenguk ke rumah sakit. Begitu juga dengan Nita. Dia, orang pertama yang datang ke rumah sakit untuk menjenguk Wati bersama suaminya.Meskipun mereka tidak diperbolehkan untuk masuk, dan hanya bisa mengintip Wati dari balik jendela.Aturan menjenguk pasien di ruang ICU di rumah sakit ini memang begitu.Karena pasien yang dirawat di ICU kondisinya rentan, maka tidak sembarang orang bisa menjenguk. Biasanya, kunjungan dibatasi hanya untuk keluarga kandung. Selain itu, ada beberapa aturan yang umumnya diberlakukan di ruang ICU, seperti harus mencuci tangan sebelum dan sesudah masuk ruang ICU untuk mencegah penyebaran infeksi.Dilarang menyalakan telepon genggam karena bisa mengganggu kerj
Wati tidak mengerti apa yang terjadi pada dirinya. Hanya saja dia merasa tulang belulangnya sangat lemah dan tak ada daya sedikitpun."Mas Ijan mana?""Aku disini, Dek." Ijan mendekat, dia tidak menangis. Hanya kedua matanya berkaca-kaca. Tetapi hatinya dipenuhi rasa syukur yang tiada tara. Hampir saja dia putus asa, hampir saja dia kehilangan istrinya.Sekali lagi, Allah masih sayang pada mereka. Mengembalikan Wati pada mereka.Kabar gembira ini langsung dibawa oleh Lela ke desa Ijan. Dia sengaja datang ke rumah Ijan untuk beberes rumah itu yang sudah ada dua Minggu tidak dibersihkan."Mbak Wati sudah sadar ya, mbak Lela?" Nita menghampiri dan bertanya ketika melihat Lela menyapu teras rumah Ijan."Alhamdulillah, iya mbak Nita. Sore nanti sudah dibolehkan pulang. Makanya ini rumahnya ku bersihin dulu." Jawab Lela."Alhamdulillah ya Allah." Sahut Nita.Sore ini memang Wati sudah diperbolehkan untuk pulang. Dan bersyukurnya, biaya rumah sakit, selain ada tanggungan dari BPJS, biaya yan
"Oalah. Pantes."Nita yang mendengar hanya geleng kepala. Tidak ingin memberi komentar, karena dia tidak tau apa masalah sebenarnya yang terjadi pada Rani. Atau karena Nita orangnya kurang update, jadi dia ketinggalan berita panas seputar para tetangganya.Pada saat sedang mengobrol asyik, ponsel Nita berdering."Eh, Nana." Nita melihat panggilan.(Nana belum sempat di ceritakan dalam part sebelumnya. Mohon maaf atas kelalaian author.)Nana ini adalah adik tiri Heru. Ayah Heru menikah dengan Bu Nur saat Nana umur lima tahun. Tapi Nana sudah pergi ke pondok pesantren setelah dua tahun dari lulus sekolah dasar . Nana sudah berada dua tahun yang lalu di pondok pesantren. Dan hanya pulang sesekali saja, itupun biasanya saat lebaran.Nita hanya sempat berkenalan sebentar dengan Nana, karena Nana hanya sehari dua hari saja di rumah dan kembali pulang ke pondok pesantren.Saat ini umur Nana baru menginjak 17 tahun. Dan Tumben sekali, seminggu yang lalu Nana baru pulang dan saat ini ada diru
Nana menggeleng saja."Kamu dimarahi ayah?"Nana mengangguk."Kenapa? Kamu minta pulang ke pondok dan ayah gak setuju lagi?"Nana lagi-lagi mengangguk. Nita merasa lega, ia pikir ada masalah lain."Ya yang sabar. Mungkin ayah belum ada uang untuk bekal kamu disana.""Tapi aku gak betah disini Mbak. Aku gak tahan. Aku mau segera pulang ke pondok saja." Jawab Nana."Ya yang sabar. Nanti bicara sama mas Heru ya, tunggu mas Heru pulang. Nanti pasti dibantu."Nana mengangguk. Lalu menatap serius Nita."Mbak. Memang kalau anak haram itu, gak boleh ya masuk pondok sebelum disucikan?" Tiba-tiba Nana bertanya demikian.Nita tentu terkejut dengan pertanyaan Nana. Dia bahkan tidak paham dengan yang ditanyakan oleh Nana."Anak haram? Disucikan bagaimana?"Nana terdiam, tak bisa memberi penjelasan pada Nita."Nana, gak ada anak haram ya? Anak haram itu gak ada. Itu hanya sebutan asal orang orang saja. Jadi gak ada istilah di sucikan itu. Kamu ini anak pesantren. Belajar yang benar biar tau hukum a