Nana menggeleng saja."Kamu dimarahi ayah?"Nana mengangguk."Kenapa? Kamu minta pulang ke pondok dan ayah gak setuju lagi?"Nana lagi-lagi mengangguk. Nita merasa lega, ia pikir ada masalah lain."Ya yang sabar. Mungkin ayah belum ada uang untuk bekal kamu disana.""Tapi aku gak betah disini Mbak. Aku gak tahan. Aku mau segera pulang ke pondok saja." Jawab Nana."Ya yang sabar. Nanti bicara sama mas Heru ya, tunggu mas Heru pulang. Nanti pasti dibantu."Nana mengangguk. Lalu menatap serius Nita."Mbak. Memang kalau anak haram itu, gak boleh ya masuk pondok sebelum disucikan?" Tiba-tiba Nana bertanya demikian.Nita tentu terkejut dengan pertanyaan Nana. Dia bahkan tidak paham dengan yang ditanyakan oleh Nana."Anak haram? Disucikan bagaimana?"Nana terdiam, tak bisa memberi penjelasan pada Nita."Nana, gak ada anak haram ya? Anak haram itu gak ada. Itu hanya sebutan asal orang orang saja. Jadi gak ada istilah di sucikan itu. Kamu ini anak pesantren. Belajar yang benar biar tau hukum a
"Nana, kamu jangan asal bicara!""Mbak, aku berani bersumpah. Ayah begitu sudah sejak lama. Nana takut ibu tau. Nana takut mereka bertengkar. Apa yang harus Nana lakukan? Tolong mbak. Nana gak mau lagi nurut sama ayah.""Nana. Apa saja yang ayah lakukan? Ayah hanya peluk peluk dan cium atau ada lainnya?" Nita terus bertanya,menggali Informasi dari Nana dengan jantung yang semakin berdebar."Ayah juga buka celana Nana. Terus, itu," Nana berhenti, seperti ragu-ragu untuk berterus terang."Itu apa? Nana, cerita ke Mbak Nita. Cerita semua. Apa ayah meniduri kamu juga?"Nana kembali menangis."Nana, jawab!" Nita benar-benar tidak sabar, meskipun dia sangat berharap jika itu tidak sampai yang seperti ia pikirkan.Nana masih menangis."Nana, kamu itu anak gadis. Ini hal buruk yang tidak bisa dibiarkan. Katakan yang sejujurnya Nana. Tidak apa-apa. Mbak Nita akan menolongmu."Nana mengangguk, "Ayah sudah meniduri Nana, Mbak.""Astaghfirullah hal adzim, Nana! Ya Allah!" Nita memekik. Dia benar-
Terlebih jika keluarga ibu mertuanya sampai tahu. Bisa mati di Bacok Bapak mertuanya. Keluarga ibu Nur, adalah suku Ma**ra. Yang memiliki sikap persatuan yang kuat. Mereka bisa lembut, tapi jangan sampai mencari masalah dengan mereka. Karena mereka akan arogan pada orang yang sengaja mengusik mereka.Nita banyak mendengar dan tau tentang keluarga Bu Nur. Paman Bu Nur, termasuk orang yang disegani."Mbak, jangan bilang ke siapa-siapa ya? Jangan bilang ke Mas Heru. Nana takut ibu dengar. Kasian ibu." Ucap Nana dengan sesenggukan.Nita mendelik, entah saking kesalnya atau kecewa, tapi Nita jadi ingin marah rasanya. Anak ini sudah bukan anak kecil lagi. Meskipun Nana hanya lulusan SD, tapi dia kan jadi anak pesantren? Harusnya dia sudah sedikit lebih pintar. Tapi kenapa masih sebodoh ini?Nita tidak bisa menahan perasaannya, dia mencengkeram kuat dagu Nana."Sekarang kamu bilang kasihan sama ibu, lalu kenapa pada waktu ayah melakukan itu kamu diam saja? Kenapa merahasiakan dari ibu? Nana!
Teh Ainun dan Ak Rudi tentu makin tak mengerti."Mbak, bisa percaya pada kami." Ucap pelan Ainun.Tentu, Nita bisa yakin jika dua orang ini dapat dipercaya. Apalagi Aak Rudi ini adalah laki-laki yang paham tentang agama.Dia butuh teman saat ini, dia butuh pendapat. Nita tidak mau gegabah. Ini tentang nama baik suaminya. Lalu setelah terdiam cukup lama, Nita mengangguk pelan."Kita ke rumah teteh saja.""Gemilang bagaimana? Bawa aja.""Ada Nana kok. Mereka sudah tidur."Teh Ainun mengangguk, kemudian memapah Nita untuk ke rumahnya. Ak Rudi menutup pintu Nita dan ikut menyusul.Sampai dirumah teh Ainun, tanpa sempat duduk, Nita kembali memeluk Teh Ainun dan menangis keras. Dia menumpahkan semua kegundahan hatinya. Hingga berapa lama Nita dibiarkan menangis, ak Rudi menyuruh Nita duduk diatas tikar, lalu mengulurkan air minum."Minum dulu. Tenangkan pikiran, baru cerita sama kami. Jangan terlalu emosi. Gak baik juga buat kesehatan mbak Nita."Nita mengangguk patuh. Setelah minum air put
Nita menelan ludah. Suaminya tidak boleh tau sekarang. Itu akan membuat Heru panik dan bisa saja terbakar emosi. Itu bahaya jika terjadi. Posisi suaminya jauh, dan harus pulang dengan menempuh perjalanan. Nita khawatir akan terjadi hal yang tak diinginkan."Tidak ada apa-apa, Mas. Hanya saja, aku gak bisa kalau mas Heru lama-lama jauh. Pulang besok pagi-pagi saja ya, biar gak terlalu sore sampai rumah. Nanti aku bicara sama Ibu."Heru mengiyakan. Dia tau ada yang ditutupi oleh Nita, meskipun istrinya tidak mengatakan alasan.Heru malah merasa khawatir.Lalu terdengar Bu Marni berbicara dengan Nita di telpon. Rupanya setelah menutup panggilan dari suaminya, Nita langsung menelpon ibunya."Bu, jangan dibesarkan suaranya, ya?" Ucap Nita, berbisik.Bu Marni menurut, dengan rasa penasaran. "Ada apa sih, Nak?""Ada masalah besar dalam keluarga Mas Heru. Jangan kasih tau mas Heru. Suruh pulang saja besok pagi-pagi. Tolong ya Bu,""Iya. Baiklah. Tapi kamu baik-baik saja kan?" Terdengar Bu Mar
"Ya Allah, Nana! Kok bisa kamu gak bilang ibu! Kok kamu bodoh sekali! Ibu sudah pernah berpesan, bahkan sebelum kamu lulus SD, kalau ayah atau siapapun pegang kamu atau apain kamu, jangan mau dan langsung cerita sama ibu?""Anak bodoh! Kamu yang bodoh! Ibu masukin kamu ke pondok supaya pintar! Tapi nyatanya malah bodoh!" Dia memaki Nana."Bu, tenang Bu. Sabar. Istighfar." Nita mencoba menenangkan ibu mertuanya." Ya Allah Nita! Bagaimana ini? Huhu.." Bu Nur terus menangis, sampai ia terlihat lemas dan menyandarkan kepalanya di dinding.Sebelum ini, dia memang sempat khawatir akan terjadi hal ini, mengingat banyak cerita seperti itu di berita televisi. Dia dulu sering berpesan pada Nana agar jika ayahnya atau orang lain memegangnya jangan mau, langsung cerita.Lalu kekhawatiran itu tidak lagi menjadi beban pikirannya karena melihat jika suaminya terlihat tulus dan baik. Menyayangi dan menganggap Nana seperti anak kandungnya sendiri.Bu Nur berkali-kali menggelengkan kepalanya. Merasa t
Ketukan pintu terdengar diselingi dengan ucapan salam. Nita segera menoleh dan langsung tahu jika itu adalah Heru yang datang. Nita berlari kecil menuju pintu depan untuk membukakan pintu dan segera menjawab salam.Heru tersenyum, memberi kecupan singkat di kening Nita dan Gemilang Setelah Nita mencium telapak tangannya lalu mengambil Gemilang dari gendongan Nita."Gemilang gak rewel kan?""Enggak. Tadi berangkat jam berapa, kok sudah sampai?""Subuh." Jawab Heru. Di sana, Heru juga sudah tidak sabaran, jadi ketika subuh dia sudah menelpon sebuah travel untuk menjemputnya.Kemudian Heru masuk diikuti oleh Nita. Dia belum bertanya apapun dulu kecuali tentang glGemilang tadi. Tapi dia melihat ada Ibu di ruangan tengah dan juga Nana."Bu, Ibu di sini ya? Bapak mana?" Tanya Heru.Heru sedikit heran karena ibunya tidak menjawab pertanyaannya, hanya menoleh sebentar lalu menggelengkan kepalanya saja. Heru melirik Nana yang menyembunyikan wajahnya di balik bantal tepat di sebelah Ibunya ber
"Nana cuma salah paham, Bu! Aku ini sudah tua Bu, gak mungkin seperti itu!""Ya! Kamu memang sudah tua! Sudah punya cucu! Tapi kelakuan kayak setan! Mati saja kamu!"Selesai berkata seperti itu, Bu Nur menyambar sebuah parang dan mengarahkan pada bapak. Beruntung sebuah tangan dengan tepat menangkap pergelangan tangan Bu Nur."Ya Allah! Jangan seperti ini, Bu!" Heru sudah ada disampingnya, menarik tangan bu Nur dan merebut parang itu lalu melemparkannya jauh ke bawah kolong meja."Biarkan saja Her! Biarkan Ibu kamu itu membunuh bapak ini! Kalau itu bisa membuat dia senang, dan percaya kalau bapak tidak bersalah!" Bapak berkata begitu.Heru langsung menoleh pada bapak. Tangannya terkepal kuat. Lalu tiba-tiba saja sebuah tamparan kuat tangan Heru mendarat di wajah bapak hingga bapak terhuyung dan hampir saja tersungkur ke lantai. Selama hidup, Heru sama sekali belum pernah yang namanya memukul, baik itu adik maupun orang tuanya. Tapi hari ini, emosi harus benar-benar di ujung kepala.
Tidak ada tetangga yang datang karena mereka sengaja, lamaran malam ini dengan sederhana saja. Tidak ada yang dibawa oleh Dodi karena memang mereka sudah berunding untuk tidak memaksakan diri dan tidak membawa apapun. Ini adalah pesan Gita, jadi Dodi datang hanya membawa ucapan niat dan cincin seberat 2 gram saja sebagai tanda pengikat antara mereka. Acara lamaran berlangsung sederhana namun penuh keseriusan dari kedua belah pihak. Pakde Gita tak banyak bicara, sebab di sini ia hanya menjadi saksi, bukan untuk dimintai pendapat. Sebelumnya, Bu Mila sudah berpesan demikian. Sebelum lamaran ini, Pakde sempat menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pernikahan Gita dengan Dodi. Alasannya, masa depan Dodi kurang cerah dan hanya akan membebani Gita, terlebih Gita kini sudah sukses. Pakde khawatir banyak orang berbiat buruk, lalu menjadikan alasan ingin menikahi Gita. Bu Mila menegaskan untuk tidak perlu ikut campur urusan mereka . Dodi memandang Heru dengan mata terbelalak, seperti kura
Sebagai orang tua, mereka hanya perlu menyetujui, memberi restu, dan dukungan. Meski tak suka, Pakde tak bisa berbuat apa-apa selain mengiyakan.Mungkin ia sadar bahwa selama ini ia tak pernah membantu atau ikut memberi makan Gita dan Anisa sejak mereka lahir, lalu mereka ditinggal orang tua mereka, dan kini telah tumbuh dewasa.Acara lamaran selesai, disambung dengan obrolan ringan, basa-basi sebelum waktunya pulang.Tidak ada yang istimewa di acara malam ini, tetapi bagi Gita dan Dodi, acara ini sangat spesial dan membekas di hati. Karena malam ini, mereka resmi menjadi sepasang tunangan dan berencana menikah bulan depan. Awalnya, ketika ditanya oleh Pak De kapan mereka akan menikah, Dodi masih ragu untuk menjawab. Bukan karena ragu, tetapi dia ingin benar-benar siap. Namun, Gita yang langsung menjawab, "Rencana kami adalah bulan depan, Pak De. Setelah bulan ini habis, kami akan berunding lagi untuk menentukan hari yang tepat."Dodi tidak bisa berkomentar karena takut Gita tersinggu
Dodi menarik nafas resah. Tadinya, dia sudah cukup senang, khayalannya melambung tinggi, menikahi Gita dan hidup bahagia penuh cinta. Namun, setelah obrolan dengan ibunya, perasaannya berubah menjadi kacau.Jika nanti dia menikah, bagaimana mungkin dia bisa tinggal bersama Gita? Bagaimana dengan ibu dan dik-adiknya? Tapi jika dia mengajak Gita untuk tinggal bersamanya, tentu saja itu juga tidak mungkin. Dia tidak bisa membawa Gita untuk tinggal di pondok mereka dan mengurus keluarganya.Tiba-tiba, sebuah pesan singkat dari Gita masuk. "Dodi, sedang apa? Apa kamu sudah pulang kerja?""Iya, Gita. Aku sudah pulang dari tadi." Mulai hari ini dan seterusnya, Dodi memang sudah mau belajar untuk memanggil Gita dengan nama saja. Mereka sudah sepakat."Bisa gak nanti malam ke rumah? Ada hal yang ingin aku bicarakan."Karena Dodi juga ingin membicarakan suatu hal dengan Gita, dia pun setuju. "Iya, aku akan ke sana nanti malam."Gita tersenyum, selain memang ada sesuatu yang ingin dibicarakan se
Yang di sana menutup mulutnya dengan satu tangan menahan agar tidak tertawa keras karena saking senangnya.Ya ampun… Ternyata Dodi romantis juga ya?Akhirnya sepanjang malam ini mereka sama-sama begadang, melanjutkan chat mesra dan rencana untuk kedepannya nanti. Sampai terlupa, ketiduran tanpa sengaja. Ponsel masing-masing terjatuh dari tangan dan paginya ponsel mereka sama-sama ngedrop!Dodi merasa sangat kesal karena tidak bisa mengirimi pesan atau melihat pesan chat dari Gita. Akhirnya berangkat kerja tanpa membawa ponsel.Gita juga demikian, terpaksa pergi mengajar meninggalkan ponselnya di rumah untuk dicas.Di tempat kerja, mereka tidak konsen.Saling memikirkan satu sama lain. Andai saja tadi ponsel bisa dibawa, setidaknya bisa berkirim chat, menanyakan kabar. Lagi ngapain? Udah makan belum?Duh, kasmaran!Sayangnya semalam lupa , seharusnya sambil di cas saja. Kan tidak sampai ngedrop?Saat Dodi pulang dari kerja, di jalan melihat kecelakaan. Sebuah mobil sedan menabrak seora
Anisa mengusir mereka dengan bercanda, "Sudah, jalan sana, nanti keburu magrib."Gita dan Dodi akhirnya berangkat menggunakan motor Anisa. Mereka berboncengan, menarik perhatian orang-orang di jalan karena penampilan mereka yang berbeda dari biasanya. Beberapa mencibir, tapi banyak juga yang memuji kecocokan mereka.Sesampainya di acara, suara musik orgen tunggal menyambut. Mereka disambut oleh tim penyambut tamu, dan beberapa orang langsung mengenali mereka, "Mbak Gita sama Mas Dodi? Wah, cocok banget!”Gita dan Dodi hanya tersenyum malu mendengar godaan-godaan itu. Setelah mengambil makanan, mereka duduk bersama dan menikmati hidangan. Sesekali mereka melirik satu sama lain dan tersenyum, tapi tidak bisa fokus karena hati mereka sama-sama berdebar.Setelah makan, Dodi mengajak Gita untuk memberikan amplop kepada pasangan pengantin. "Cepat menyusul kami ya!" ucap mempelai wanita, membuat Gita semakin tersipu."Kenapa semua orang berpikir kita pacaran?" tanya Gita saat mereka kembali
Penjelasan Gita diterima, dan beberapa siswa bahkan membuka platform novel online untuk memeriksa kebenarannya. Mereka akhirnya paham bahwa kehidupan Gita dan Anisa telah berubah berkat kerja keras Gita.Sejak saat itu, tak ada lagi yang menuduh atau membicarakan Anisa dan keluarganya. Kabar tentang Gita yang menjadi penulis menyebar, dan kehidupan mereka menjadi lebih damai. Tidak ada lagi tuduhan atau hinaan dari Cindy dan teman-temannya.Hari itu, Gita merasa sangat lelah setelah seharian membersihkan rumah bersama Anisa. Malam harinya, ia mengalami sakit kepala yang parah. Anisa khawatir melihat suhu tubuh kakaknya yang sangat panas."Mbak Gita sakit, ya? Badannya panas sekali!" seru Anisa.Gita mengeluh, "Kepala Mbak sakit, tubuh juga rasanya ngilu-ngilu."Anisa segera memberi tahu Bu Mila, yang panik. "Tunggu sebentar, Anisa. Biar nenek menemui Mbak Nita.""Biar Anisa saja, Nek. Nenek tungguin Mbak Gita," ujar Anisa, langsung berlari ke rumah Nita. Mendengar kabar itu, Nita dan
"Udah, jangan dilihat terus. Besok langsung dicoba aja," goda Nita, sambil tersenyum melihat Anisa yang terus memandangi motor barunya.Anisa tertawa kecil, benar-benar tidak menyangka dirinya bisa mendapatkan motor sebagus itu. Dia menoleh pada Gita, "Mbak Gita, terima kasih ya. Pasti mahal banget."Gita tersenyum dan menepuk tangan Anisa lembut, "Yang penting kamu senang, Anisa. Harga motor ini nggak ada apa-apanya dibanding kebahagiaan kamu.""Ya ampun, Mbak Gita! I love you deh!" Anisa memeluk kakaknya dengan rasa terima kasih."Makanya, jangan bandel. Kamu nggak kerja tapi dibeliin motor sama HP baru. Semangat belajar dan bantu-bantu di rumah, ya," Bu Mila mengingatkan."Siap, Nek! Anisa makin semangat," jawab Anisa riang, disambut tawa seluruh keluarga.Heru lalu berdiri, "Maaf, aku harus pulang. Toko nggak ada yang jaga lama-lama.""Aku juga pulang, nih," kata Nita sambil mengeluarkan kado kecil dari sakunya.Heru melihat kado itu dan tertawa, "Ya ampun, kado kamu kecil banget,
Karena Anisa memang adik yang pengertian, meskipun hatinya sedikit terluka oleh ucapan kakaknya, dia tidak berani menjawab. Anisa mencoba mengerti, mungkin kakaknya sedang banyak pikiran atau lelah, jadi dia memilih untuk diam saja.Kemudian, Anisa beranjak dari kamar Gita untuk mencari neneknya, tetapi tidak menemukannya. Dia lalu pergi ke dapur dan membuka tudung saji. Ternyata tidak ada makanan apapun di meja. Bahkan di magic com pun tidak ada nasi. Anisa mendengus kesal, lalu kembali ke kamar Gita."Mbak, nenek nggak masak ya? Nenek pergi kemana?" tanya Anisa lagi.Kakaknya terlihat kesal, lalu melemparkan guling ke arah Anisa."Kamu itu manja banget sih! Kamu kan bisa masak sendiri, masak mie, ceplok telor, atau apa gitu. Nggak usah terus ngandelin nenek. Nenek lagi pergi ke rumah Bude dari tadi pagi, jadi nggak sempat masak. Kamu aja yang masak nasi, sana!” ujar kakaknya.Anisa merasa sedih melihat perubahan kakaknya yang tiba-tiba menjadi pemarah. Namun, dia tidak berani memban
“Ya Allah, ternyata ini pekerjaan Mbak Gita yang jarang diketahui orang. Pantas saja Mbak bisa membeli ini itu dan mengubah ekonomi keluarga. Aku benar-benar tidak menyangka kalau Mbak bisa sehebat ini.”Gita mengangguk kemudian tersenyum kecil sambil melanjutkan untuk memberitahu Dodi tentang aplikasi-aplikasi novel miliknya.“Mungkin beberapa orang di kampung banyak yang membicarakan aku, tapi aku tidak mau peduli. Karena mereka juga tidak tahu apa yang aku lakukan sebenarnya. Yang terpenting bagiku adalah aku mencari pekerjaan secara halal dan ini merupakan anugerah serta rezeki dari Allah yang diberikan padaku. Aku telah diberi jalan untuk bisa mengubah ekonomi keluargaku.”Dodi mendongak, "Mungkin sebagian orang membicarakan keluarga Mbak karena mereka tidak tahu yang sebenarnya. Tapi benar kata Mbak, tidak usah dipedulikan. Bukankah Mbak tidak merugikan siapa-siapa? Mbak menulis dengan ide sendiri tanpa mengganggu orang lain.""Itulah yang sering dikatakan oleh Mbak Nita. Makany