"Ya Allah, Nana! Kok bisa kamu gak bilang ibu! Kok kamu bodoh sekali! Ibu sudah pernah berpesan, bahkan sebelum kamu lulus SD, kalau ayah atau siapapun pegang kamu atau apain kamu, jangan mau dan langsung cerita sama ibu?""Anak bodoh! Kamu yang bodoh! Ibu masukin kamu ke pondok supaya pintar! Tapi nyatanya malah bodoh!" Dia memaki Nana."Bu, tenang Bu. Sabar. Istighfar." Nita mencoba menenangkan ibu mertuanya." Ya Allah Nita! Bagaimana ini? Huhu.." Bu Nur terus menangis, sampai ia terlihat lemas dan menyandarkan kepalanya di dinding.Sebelum ini, dia memang sempat khawatir akan terjadi hal ini, mengingat banyak cerita seperti itu di berita televisi. Dia dulu sering berpesan pada Nana agar jika ayahnya atau orang lain memegangnya jangan mau, langsung cerita.Lalu kekhawatiran itu tidak lagi menjadi beban pikirannya karena melihat jika suaminya terlihat tulus dan baik. Menyayangi dan menganggap Nana seperti anak kandungnya sendiri.Bu Nur berkali-kali menggelengkan kepalanya. Merasa t
Ketukan pintu terdengar diselingi dengan ucapan salam. Nita segera menoleh dan langsung tahu jika itu adalah Heru yang datang. Nita berlari kecil menuju pintu depan untuk membukakan pintu dan segera menjawab salam.Heru tersenyum, memberi kecupan singkat di kening Nita dan Gemilang Setelah Nita mencium telapak tangannya lalu mengambil Gemilang dari gendongan Nita."Gemilang gak rewel kan?""Enggak. Tadi berangkat jam berapa, kok sudah sampai?""Subuh." Jawab Heru. Di sana, Heru juga sudah tidak sabaran, jadi ketika subuh dia sudah menelpon sebuah travel untuk menjemputnya.Kemudian Heru masuk diikuti oleh Nita. Dia belum bertanya apapun dulu kecuali tentang glGemilang tadi. Tapi dia melihat ada Ibu di ruangan tengah dan juga Nana."Bu, Ibu di sini ya? Bapak mana?" Tanya Heru.Heru sedikit heran karena ibunya tidak menjawab pertanyaannya, hanya menoleh sebentar lalu menggelengkan kepalanya saja. Heru melirik Nana yang menyembunyikan wajahnya di balik bantal tepat di sebelah Ibunya ber
"Nana cuma salah paham, Bu! Aku ini sudah tua Bu, gak mungkin seperti itu!""Ya! Kamu memang sudah tua! Sudah punya cucu! Tapi kelakuan kayak setan! Mati saja kamu!"Selesai berkata seperti itu, Bu Nur menyambar sebuah parang dan mengarahkan pada bapak. Beruntung sebuah tangan dengan tepat menangkap pergelangan tangan Bu Nur."Ya Allah! Jangan seperti ini, Bu!" Heru sudah ada disampingnya, menarik tangan bu Nur dan merebut parang itu lalu melemparkannya jauh ke bawah kolong meja."Biarkan saja Her! Biarkan Ibu kamu itu membunuh bapak ini! Kalau itu bisa membuat dia senang, dan percaya kalau bapak tidak bersalah!" Bapak berkata begitu.Heru langsung menoleh pada bapak. Tangannya terkepal kuat. Lalu tiba-tiba saja sebuah tamparan kuat tangan Heru mendarat di wajah bapak hingga bapak terhuyung dan hampir saja tersungkur ke lantai. Selama hidup, Heru sama sekali belum pernah yang namanya memukul, baik itu adik maupun orang tuanya. Tapi hari ini, emosi harus benar-benar di ujung kepala.
"Katakan! Apa yang dilakukan ayah padamu?”Bukannya menjawab, Nana malah menangis lagi."Nana, ayo jujur pada kami. Jangan takut, mas Heru ini ingin menolongmu. Katanya kamu minta tolong, kan?" Nita mengelus punggung Nana dan berbicara lembutNana mengangguk."Nana, apa yang dilakukan bapak padamu? Mas Heru bertanya, jadi jawab yang sejujurnya." Nita kembali berkata"Ya itu," Nana hanya menjawab demikian."Ya itu apa? Bicara yang benar?" Heru membentak membuat Nana terkejut."Jangan asal ngomong kamu, Nana! Masalah ini serius! Cepat katakan! Katakan yang benar!" Heru kembali membentak.Nana meremas jari jemarinya yang terlihat gemetaran."Kata ayah, aku ini anak haram. Aku pembawa sial dalam keluarga ini." Nana mulai berbicara."Siapa bilang haram? Siapa?" Bu Nur kembali emosi dan berteriak."Biarkan Nana cerita dulu!" Heru memotong suara Bu Nur."Terus, Na! Apalagi?" Heru kembali bertanya."Kata ayah, ayah nemuin seorang dukun. Dukun mengatakan jika aku ini yang pembawa sial karena a
Semua tercengang, "Jadi maksud bapak tuh apa? Nana masih perawan, begitu? Bapak belum sempat menidurinya?" Heru bertanya dengan nada bingung."Iya Her. Begitu maksudnya. Maka dari itu, meskipun sering mencoba, tapi bapak tidak jadi terus melakukannya."Heru dan Nita saling pandang, merasa aneh dan tidak mengerti."Benar begitu, Na?" Heru bertanya lagi.Nana menggeleng. "Aku gak ngerti, Mas. Aku cuma selalu takut kalau ayah minta itu. Aku cuma bisa menangis saja. Dan rasanya sakit. Sampai Nana tidak tahan."Ya Allah.. Heru geleng kepala. Jadi, apa mungkin maksudnya bapak memaksa, namun karena Nana selalu ketakutan dan kesakitan, jadi bapak belum berhasil memasuki Nana? Jika benar begitu, ini masih patut disyukuri. Setidaknya Nana masih perawan.Tiba-tiba Nita teringat sesuatu. "Tapi kata Nana, Nana sempat bilang sama ayah kalau Nana takut hamil. Dan ayah jawab, gak mungkin hamil. Ayah kan selalu keluarin di luar? Yang benar yang mana, Na? Jangan bikin kami bingung?"DUAR!Ucapan Nita b
Bu Nur termasuk wanita yang lembut dan penyabar, dia satu-satunya wanita yang mampu bertahan dengan segala sikap buruk bapak. Seharusnya bapak patut bersyukur mendapatkan wanita yang bisa menerimanya dengan ikhlas.Dasarnya bapak yang tidak tahu diri!Tidak bisa! Bapak memang perlu diberi pelajaran. Penjara! Mungkin hanya kesana yang bisa mengubah bapak.Heru sudah membuat keputusan dalam pikiran. Dia akan tetap melaporkan bapak ke pihak yang berwajib agar bisa menjalani hukuman yang setimpal. Bukan mau tega sebagai anak, tapi Heru berharap bapak bisa benar-benar berubah!Hingga sore, tidak ada yang keluar dari rumah itu.Bapak hanya mondar mandir di dalam rumah. Tanpa berani keluar.Nana masuk ke kamar sejak tadi. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh Nana. Apa ada perasaannya menyesal, takut atau apa.Nita tidak terlalu terpengaruh, dia menguatkan hati. Dia memasak, memberi makan suaminya, dan dua adik Heru yang sudah pulang dari sekolah.Bu Nur tidak bergeser dari tempat semula. Ti
"Sekarang lebih baik Paklek pilih, mau menyerahkan diri pada polisi, atau kami yang akan membuat laporan." Ucap Ranto.Mendengar semua orang telah menyudutkannya, Bapak tidak bisa lagi untuk membela diri. Dia mengangguk, bukan untuk patuh, melainkan ingin memberi kesan baik. Mungkin seperti itu maksudnya."Aku akan menyerahkan diri pada yang berwajib. Tidak perlu kalian melapor."Sungguh, jawaban bapak mengejutkan semua orang.Hingga di akhir sebuah keputusan, Pak Rahmat tetap bertekad untuk menyerahkan diri pada yang berwajib.Mereka sebenarnya merasa heran, tapi mereka menduga jika Pak Rahmat mungkin benar-benar telah menyesal dengan perbuatannya."Baiklah kalau begitu, Mat. Bagus. Artinya kamu tidak lari dari tanggung jawab. Mau kamu benar atau salah nantinya, polisi yang akan menentukan. Jadi kami tidak akan main hakim sendiri. Hanya pesanku, setelah ini apapun hukuman polisi, bertobatlah. Benahi diri, kita ini sudah tua, Mat. Perlu mendekatkan diri pada yang kuasa karena mungkin
"Iya Pakde, insyaallah dia akan segera berubah. Aku pun tidak akan tinggal diam jika dia sekali lagi berulah. Aku hanya memberi satu kali ini lagi kesempatan untuknya." Orang-orang tidak ada lagi yang mau bicara. Heru juga. Nita apalagi. Sungguh sangat kecewa sekaligus kesal dengan keputusan nyeleneh Bu Nur. Terserah! Sekarang Mereka tidak mau peduli lagi. Anggap saja tidak pernah mendengar dan tidak tau apa-apa. Tapi mana bisa seperti itu kan? Bapak ini salah! Salah kaprah! Meskipun Bu Nur yakin anak gadisnya masih perawan, oke! Tapi bagaimana percobaan bapak yang terus berusaha akan meniduri Nana selama ini? Itu kasus pelecehan namanya. Apalagi Nana masih dibawah umur hitungannya. Tapi ya sudahlah! Yang punya masalah juga sudah ikhlas. Meskipun mereka yang masih belum bisa ikhlas. "Kita tinggal lihat saja. Jika nanti ada masalah lagi kedepannya, jangan ngadu atau bawa-bawa kami lagi! Urus sendiri! Atau malah kami akan langsung melapor pada yang berwajib, tanpa perlu perse