"Nana cuma salah paham, Bu! Aku ini sudah tua Bu, gak mungkin seperti itu!""Ya! Kamu memang sudah tua! Sudah punya cucu! Tapi kelakuan kayak setan! Mati saja kamu!"Selesai berkata seperti itu, Bu Nur menyambar sebuah parang dan mengarahkan pada bapak. Beruntung sebuah tangan dengan tepat menangkap pergelangan tangan Bu Nur."Ya Allah! Jangan seperti ini, Bu!" Heru sudah ada disampingnya, menarik tangan bu Nur dan merebut parang itu lalu melemparkannya jauh ke bawah kolong meja."Biarkan saja Her! Biarkan Ibu kamu itu membunuh bapak ini! Kalau itu bisa membuat dia senang, dan percaya kalau bapak tidak bersalah!" Bapak berkata begitu.Heru langsung menoleh pada bapak. Tangannya terkepal kuat. Lalu tiba-tiba saja sebuah tamparan kuat tangan Heru mendarat di wajah bapak hingga bapak terhuyung dan hampir saja tersungkur ke lantai. Selama hidup, Heru sama sekali belum pernah yang namanya memukul, baik itu adik maupun orang tuanya. Tapi hari ini, emosi harus benar-benar di ujung kepala.
"Katakan! Apa yang dilakukan ayah padamu?”Bukannya menjawab, Nana malah menangis lagi."Nana, ayo jujur pada kami. Jangan takut, mas Heru ini ingin menolongmu. Katanya kamu minta tolong, kan?" Nita mengelus punggung Nana dan berbicara lembutNana mengangguk."Nana, apa yang dilakukan bapak padamu? Mas Heru bertanya, jadi jawab yang sejujurnya." Nita kembali berkata"Ya itu," Nana hanya menjawab demikian."Ya itu apa? Bicara yang benar?" Heru membentak membuat Nana terkejut."Jangan asal ngomong kamu, Nana! Masalah ini serius! Cepat katakan! Katakan yang benar!" Heru kembali membentak.Nana meremas jari jemarinya yang terlihat gemetaran."Kata ayah, aku ini anak haram. Aku pembawa sial dalam keluarga ini." Nana mulai berbicara."Siapa bilang haram? Siapa?" Bu Nur kembali emosi dan berteriak."Biarkan Nana cerita dulu!" Heru memotong suara Bu Nur."Terus, Na! Apalagi?" Heru kembali bertanya."Kata ayah, ayah nemuin seorang dukun. Dukun mengatakan jika aku ini yang pembawa sial karena a
Semua tercengang, "Jadi maksud bapak tuh apa? Nana masih perawan, begitu? Bapak belum sempat menidurinya?" Heru bertanya dengan nada bingung."Iya Her. Begitu maksudnya. Maka dari itu, meskipun sering mencoba, tapi bapak tidak jadi terus melakukannya."Heru dan Nita saling pandang, merasa aneh dan tidak mengerti."Benar begitu, Na?" Heru bertanya lagi.Nana menggeleng. "Aku gak ngerti, Mas. Aku cuma selalu takut kalau ayah minta itu. Aku cuma bisa menangis saja. Dan rasanya sakit. Sampai Nana tidak tahan."Ya Allah.. Heru geleng kepala. Jadi, apa mungkin maksudnya bapak memaksa, namun karena Nana selalu ketakutan dan kesakitan, jadi bapak belum berhasil memasuki Nana? Jika benar begitu, ini masih patut disyukuri. Setidaknya Nana masih perawan.Tiba-tiba Nita teringat sesuatu. "Tapi kata Nana, Nana sempat bilang sama ayah kalau Nana takut hamil. Dan ayah jawab, gak mungkin hamil. Ayah kan selalu keluarin di luar? Yang benar yang mana, Na? Jangan bikin kami bingung?"DUAR!Ucapan Nita b
Bu Nur termasuk wanita yang lembut dan penyabar, dia satu-satunya wanita yang mampu bertahan dengan segala sikap buruk bapak. Seharusnya bapak patut bersyukur mendapatkan wanita yang bisa menerimanya dengan ikhlas.Dasarnya bapak yang tidak tahu diri!Tidak bisa! Bapak memang perlu diberi pelajaran. Penjara! Mungkin hanya kesana yang bisa mengubah bapak.Heru sudah membuat keputusan dalam pikiran. Dia akan tetap melaporkan bapak ke pihak yang berwajib agar bisa menjalani hukuman yang setimpal. Bukan mau tega sebagai anak, tapi Heru berharap bapak bisa benar-benar berubah!Hingga sore, tidak ada yang keluar dari rumah itu.Bapak hanya mondar mandir di dalam rumah. Tanpa berani keluar.Nana masuk ke kamar sejak tadi. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh Nana. Apa ada perasaannya menyesal, takut atau apa.Nita tidak terlalu terpengaruh, dia menguatkan hati. Dia memasak, memberi makan suaminya, dan dua adik Heru yang sudah pulang dari sekolah.Bu Nur tidak bergeser dari tempat semula. Ti
"Sekarang lebih baik Paklek pilih, mau menyerahkan diri pada polisi, atau kami yang akan membuat laporan." Ucap Ranto.Mendengar semua orang telah menyudutkannya, Bapak tidak bisa lagi untuk membela diri. Dia mengangguk, bukan untuk patuh, melainkan ingin memberi kesan baik. Mungkin seperti itu maksudnya."Aku akan menyerahkan diri pada yang berwajib. Tidak perlu kalian melapor."Sungguh, jawaban bapak mengejutkan semua orang.Hingga di akhir sebuah keputusan, Pak Rahmat tetap bertekad untuk menyerahkan diri pada yang berwajib.Mereka sebenarnya merasa heran, tapi mereka menduga jika Pak Rahmat mungkin benar-benar telah menyesal dengan perbuatannya."Baiklah kalau begitu, Mat. Bagus. Artinya kamu tidak lari dari tanggung jawab. Mau kamu benar atau salah nantinya, polisi yang akan menentukan. Jadi kami tidak akan main hakim sendiri. Hanya pesanku, setelah ini apapun hukuman polisi, bertobatlah. Benahi diri, kita ini sudah tua, Mat. Perlu mendekatkan diri pada yang kuasa karena mungkin
"Iya Pakde, insyaallah dia akan segera berubah. Aku pun tidak akan tinggal diam jika dia sekali lagi berulah. Aku hanya memberi satu kali ini lagi kesempatan untuknya." Orang-orang tidak ada lagi yang mau bicara. Heru juga. Nita apalagi. Sungguh sangat kecewa sekaligus kesal dengan keputusan nyeleneh Bu Nur. Terserah! Sekarang Mereka tidak mau peduli lagi. Anggap saja tidak pernah mendengar dan tidak tau apa-apa. Tapi mana bisa seperti itu kan? Bapak ini salah! Salah kaprah! Meskipun Bu Nur yakin anak gadisnya masih perawan, oke! Tapi bagaimana percobaan bapak yang terus berusaha akan meniduri Nana selama ini? Itu kasus pelecehan namanya. Apalagi Nana masih dibawah umur hitungannya. Tapi ya sudahlah! Yang punya masalah juga sudah ikhlas. Meskipun mereka yang masih belum bisa ikhlas. "Kita tinggal lihat saja. Jika nanti ada masalah lagi kedepannya, jangan ngadu atau bawa-bawa kami lagi! Urus sendiri! Atau malah kami akan langsung melapor pada yang berwajib, tanpa perlu perse
Hari ini dia telah melupakan masalah Keluarganya. Biarlah, dari kecil dia juga sudah terbiasa sendiri. Jadi dia sedikit malas terlalu memikirkan Bapaknya. Hanya ingin melihat perkembangan mereka dari jauh saja. Heru menelpon Adi. Kebetulan hari ini mereka sedang libur. Jadi Adi langsung datang. Mereka kemudian ke toko, sambil Heru harus membuka toko juga hari ini setelah beberapa hari toko mereka ditutup. "Bantu aku hitung pengeluaran dan pendapatan kebun itu ya, Di." "Oke, siap Bos!" Jawab Adi dengan gaya penuh kelakarnya. Dia tidak pernah tau jika Heru baru saja menghadapi masalah memalukan tentang bapaknya. Dan untuk masalah ini, Heru juga enggan bercerita. Bukan dia ingin menjaga Privasi, tapi dia lebih kepada malu. Mereka mulai menghitung, berapa pengeluaran untuk segala modal. Seperti pupuk, Racun dan upah untuk yang kerja. Lalu menghitung keuangan yang masuk hasil dari jual buah sawit. "Mudah mudahan balik modal ya, Di?" Adi hanya mengangguk, sambil meneruskan hitungan den
Rani menunggu balasan. Tidak lama terlihat Ela mengetik balasan dan terkirim. (Oh, iya, iya. Mbak Rani. Salam kenal ya mbak? Aku tau suami embak. Pernah ke rumah pas waktu mau berangkat dulu.) (Hehe, iya. Oh ya mbak, mas Wahyu sudah ngirim ya mbak? Apa mereka udah Gajian?) (Udah kok mbak. Baru kemarin ngirim. Mas Wahyu gak pernah telat kalau ngirim. Soalnya anaknya ini kuat jajan sama susu formulanya. Malah slip gaji juga ikut dikirimnya. Mungkin takut aku gak percaya kali ya? Padahal mah, aku percaya an orangnya.) Rani tercengang. Apa, apa? Sudah gajian? Jadi mas Andi bohong dong sama aku. Sialan! Rani mengumpat. Dia semakin kesal saat si Ela mengirim bukti slip gaji suaminya di bulan ini. Dan itu sangat jauh dari pernyataan Andi yang selalu mengatakan gajinya hanya kisaran 10 juta. Jelas dari slip gaji milik Wahyu tertera, gaji pokok bulanan Mereka saja lebih dari 15 juta dan hampir 20 juta. Belum dihitung lemburan. Dengan tangan gemetaran, Rani mengetik pesan kembali. (Mbak,