Beralih ke rumah sakit, dimana Wati saat ini masih dirawat secara intensif.Ini sudah hari yang ketiga, Wati masih belum sadarkan diri saat dinyatakan koma saat masa kritis akibat pendarahan hebat yang dialaminya.Nita dan para tetangga, sudah mendengar kabar ini. Mereka sudah ada beberapa yang datang menjenguk ke rumah sakit. Begitu juga dengan Nita. Dia, orang pertama yang datang ke rumah sakit untuk menjenguk Wati bersama suaminya.Meskipun mereka tidak diperbolehkan untuk masuk, dan hanya bisa mengintip Wati dari balik jendela.Aturan menjenguk pasien di ruang ICU di rumah sakit ini memang begitu.Karena pasien yang dirawat di ICU kondisinya rentan, maka tidak sembarang orang bisa menjenguk. Biasanya, kunjungan dibatasi hanya untuk keluarga kandung. Selain itu, ada beberapa aturan yang umumnya diberlakukan di ruang ICU, seperti harus mencuci tangan sebelum dan sesudah masuk ruang ICU untuk mencegah penyebaran infeksi.Dilarang menyalakan telepon genggam karena bisa mengganggu kerj
Wati tidak mengerti apa yang terjadi pada dirinya. Hanya saja dia merasa tulang belulangnya sangat lemah dan tak ada daya sedikitpun."Mas Ijan mana?""Aku disini, Dek." Ijan mendekat, dia tidak menangis. Hanya kedua matanya berkaca-kaca. Tetapi hatinya dipenuhi rasa syukur yang tiada tara. Hampir saja dia putus asa, hampir saja dia kehilangan istrinya.Sekali lagi, Allah masih sayang pada mereka. Mengembalikan Wati pada mereka.Kabar gembira ini langsung dibawa oleh Lela ke desa Ijan. Dia sengaja datang ke rumah Ijan untuk beberes rumah itu yang sudah ada dua Minggu tidak dibersihkan."Mbak Wati sudah sadar ya, mbak Lela?" Nita menghampiri dan bertanya ketika melihat Lela menyapu teras rumah Ijan."Alhamdulillah, iya mbak Nita. Sore nanti sudah dibolehkan pulang. Makanya ini rumahnya ku bersihin dulu." Jawab Lela."Alhamdulillah ya Allah." Sahut Nita.Sore ini memang Wati sudah diperbolehkan untuk pulang. Dan bersyukurnya, biaya rumah sakit, selain ada tanggungan dari BPJS, biaya yan
"Oalah. Pantes."Nita yang mendengar hanya geleng kepala. Tidak ingin memberi komentar, karena dia tidak tau apa masalah sebenarnya yang terjadi pada Rani. Atau karena Nita orangnya kurang update, jadi dia ketinggalan berita panas seputar para tetangganya.Pada saat sedang mengobrol asyik, ponsel Nita berdering."Eh, Nana." Nita melihat panggilan.(Nana belum sempat di ceritakan dalam part sebelumnya. Mohon maaf atas kelalaian author.)Nana ini adalah adik tiri Heru. Ayah Heru menikah dengan Bu Nur saat Nana umur lima tahun. Tapi Nana sudah pergi ke pondok pesantren setelah dua tahun dari lulus sekolah dasar . Nana sudah berada dua tahun yang lalu di pondok pesantren. Dan hanya pulang sesekali saja, itupun biasanya saat lebaran.Nita hanya sempat berkenalan sebentar dengan Nana, karena Nana hanya sehari dua hari saja di rumah dan kembali pulang ke pondok pesantren.Saat ini umur Nana baru menginjak 17 tahun. Dan Tumben sekali, seminggu yang lalu Nana baru pulang dan saat ini ada diru
Nana menggeleng saja."Kamu dimarahi ayah?"Nana mengangguk."Kenapa? Kamu minta pulang ke pondok dan ayah gak setuju lagi?"Nana lagi-lagi mengangguk. Nita merasa lega, ia pikir ada masalah lain."Ya yang sabar. Mungkin ayah belum ada uang untuk bekal kamu disana.""Tapi aku gak betah disini Mbak. Aku gak tahan. Aku mau segera pulang ke pondok saja." Jawab Nana."Ya yang sabar. Nanti bicara sama mas Heru ya, tunggu mas Heru pulang. Nanti pasti dibantu."Nana mengangguk. Lalu menatap serius Nita."Mbak. Memang kalau anak haram itu, gak boleh ya masuk pondok sebelum disucikan?" Tiba-tiba Nana bertanya demikian.Nita tentu terkejut dengan pertanyaan Nana. Dia bahkan tidak paham dengan yang ditanyakan oleh Nana."Anak haram? Disucikan bagaimana?"Nana terdiam, tak bisa memberi penjelasan pada Nita."Nana, gak ada anak haram ya? Anak haram itu gak ada. Itu hanya sebutan asal orang orang saja. Jadi gak ada istilah di sucikan itu. Kamu ini anak pesantren. Belajar yang benar biar tau hukum a
"Nana, kamu jangan asal bicara!""Mbak, aku berani bersumpah. Ayah begitu sudah sejak lama. Nana takut ibu tau. Nana takut mereka bertengkar. Apa yang harus Nana lakukan? Tolong mbak. Nana gak mau lagi nurut sama ayah.""Nana. Apa saja yang ayah lakukan? Ayah hanya peluk peluk dan cium atau ada lainnya?" Nita terus bertanya,menggali Informasi dari Nana dengan jantung yang semakin berdebar."Ayah juga buka celana Nana. Terus, itu," Nana berhenti, seperti ragu-ragu untuk berterus terang."Itu apa? Nana, cerita ke Mbak Nita. Cerita semua. Apa ayah meniduri kamu juga?"Nana kembali menangis."Nana, jawab!" Nita benar-benar tidak sabar, meskipun dia sangat berharap jika itu tidak sampai yang seperti ia pikirkan.Nana masih menangis."Nana, kamu itu anak gadis. Ini hal buruk yang tidak bisa dibiarkan. Katakan yang sejujurnya Nana. Tidak apa-apa. Mbak Nita akan menolongmu."Nana mengangguk, "Ayah sudah meniduri Nana, Mbak.""Astaghfirullah hal adzim, Nana! Ya Allah!" Nita memekik. Dia benar-
Terlebih jika keluarga ibu mertuanya sampai tahu. Bisa mati di Bacok Bapak mertuanya. Keluarga ibu Nur, adalah suku Ma**ra. Yang memiliki sikap persatuan yang kuat. Mereka bisa lembut, tapi jangan sampai mencari masalah dengan mereka. Karena mereka akan arogan pada orang yang sengaja mengusik mereka.Nita banyak mendengar dan tau tentang keluarga Bu Nur. Paman Bu Nur, termasuk orang yang disegani."Mbak, jangan bilang ke siapa-siapa ya? Jangan bilang ke Mas Heru. Nana takut ibu dengar. Kasian ibu." Ucap Nana dengan sesenggukan.Nita mendelik, entah saking kesalnya atau kecewa, tapi Nita jadi ingin marah rasanya. Anak ini sudah bukan anak kecil lagi. Meskipun Nana hanya lulusan SD, tapi dia kan jadi anak pesantren? Harusnya dia sudah sedikit lebih pintar. Tapi kenapa masih sebodoh ini?Nita tidak bisa menahan perasaannya, dia mencengkeram kuat dagu Nana."Sekarang kamu bilang kasihan sama ibu, lalu kenapa pada waktu ayah melakukan itu kamu diam saja? Kenapa merahasiakan dari ibu? Nana!
Teh Ainun dan Ak Rudi tentu makin tak mengerti."Mbak, bisa percaya pada kami." Ucap pelan Ainun.Tentu, Nita bisa yakin jika dua orang ini dapat dipercaya. Apalagi Aak Rudi ini adalah laki-laki yang paham tentang agama.Dia butuh teman saat ini, dia butuh pendapat. Nita tidak mau gegabah. Ini tentang nama baik suaminya. Lalu setelah terdiam cukup lama, Nita mengangguk pelan."Kita ke rumah teteh saja.""Gemilang bagaimana? Bawa aja.""Ada Nana kok. Mereka sudah tidur."Teh Ainun mengangguk, kemudian memapah Nita untuk ke rumahnya. Ak Rudi menutup pintu Nita dan ikut menyusul.Sampai dirumah teh Ainun, tanpa sempat duduk, Nita kembali memeluk Teh Ainun dan menangis keras. Dia menumpahkan semua kegundahan hatinya. Hingga berapa lama Nita dibiarkan menangis, ak Rudi menyuruh Nita duduk diatas tikar, lalu mengulurkan air minum."Minum dulu. Tenangkan pikiran, baru cerita sama kami. Jangan terlalu emosi. Gak baik juga buat kesehatan mbak Nita."Nita mengangguk patuh. Setelah minum air put
Nita menelan ludah. Suaminya tidak boleh tau sekarang. Itu akan membuat Heru panik dan bisa saja terbakar emosi. Itu bahaya jika terjadi. Posisi suaminya jauh, dan harus pulang dengan menempuh perjalanan. Nita khawatir akan terjadi hal yang tak diinginkan."Tidak ada apa-apa, Mas. Hanya saja, aku gak bisa kalau mas Heru lama-lama jauh. Pulang besok pagi-pagi saja ya, biar gak terlalu sore sampai rumah. Nanti aku bicara sama Ibu."Heru mengiyakan. Dia tau ada yang ditutupi oleh Nita, meskipun istrinya tidak mengatakan alasan.Heru malah merasa khawatir.Lalu terdengar Bu Marni berbicara dengan Nita di telpon. Rupanya setelah menutup panggilan dari suaminya, Nita langsung menelpon ibunya."Bu, jangan dibesarkan suaranya, ya?" Ucap Nita, berbisik.Bu Marni menurut, dengan rasa penasaran. "Ada apa sih, Nak?""Ada masalah besar dalam keluarga Mas Heru. Jangan kasih tau mas Heru. Suruh pulang saja besok pagi-pagi. Tolong ya Bu,""Iya. Baiklah. Tapi kamu baik-baik saja kan?" Terdengar Bu Mar