"Aku akan membayarnya. Tiga bulan gaji. Sudah cepat makan. Aku buru-buru!""Benar ya? Tiga bulan gaji. Kalau bohong awas ya? Aku akan menyumpahi mu lagi." Arumi menuding hidung Azam , yang langsung menepisnya."Jangan dipotong hutang dulu!" kembali Arumi menuding.'Ya Ampun!' Azam sangatlah dongkol. Baru kali ini hidungnya di tunjuk seseorang. Gadis ini, sudah dekil kurang ajar pula. Untung dia sudah menyelamatkannya. Jika tidak, entahlah.Azam sudah selesai makan, dia melirik Arumi yang juga sudah selesai. Dia menggelengkan kepala saat Arumi dengan sengaja membungkus sisa makanan mereka ke dalam kantong plastik yang baru saja dia minta dari pelayan."Eh, rumput! Sudah! Bikin malu saja kamu ini!" Azam menegur karena kesal."Sayang, Tuan muda. Kan sudah dibayar. Mubazir. Mending kubawa pulang. Bisa untuk makan malam." Arumi menjawab tanpa mempedulikan ekspresi kesal Azam yang sejak tadi sudah tengok sana sini."Ah, terserahlah. Cepat, cepat!" Dia melangkah duluan meninggalkan Arumi.A
Sementara itu di kampung.Hari ini Nita dan Heru sudah mulai pindah setelah rumah mereka selesai dipasang keramik dan kWh. Hanya bagian dalam yang sengaja mereka bagusi terlebih dahulu karena ingin segera dihuni. Bagian luar urusan nanti menurut mereka.Kalau dulu mereka sering pindah dengan menggunakan motor dan mengusung barang milik mereka dengan mondar mandir beberapa kali, sekarang tidak. Mereka menyewa sebuah mobil kijang milik tetangganya karena perlu membawa beberapa barang yang sempat mereka beli saat masih di kontrakan. Seperti lemari dan rak piring.Rani melotot saat melihat mereka sibuk. Beberapa tetangga turun tangan untuk membantu memindai barang tapi dia hanya melotot saja dari teras rumah. Alasannya, anak masih demam. Jadi tidak bisa membantu.Beberapa bapak-bapak membantu memasukkan barang dan langsung menata. Dan beberapa ibu-ibu menurunkan belanjaan. Malam ini Nita berencana untuk memasak besar dan mengadakan syukuran untuk rumah baru mereka.Bu Nur dan Pak Rahmat j
Hari-hari disini sudah mulai berjalan dengan banyak kebahagiaan."Mas, Gemilang sudah tidur. Aku mandi dulu ya, baru masak." Suatu siang dia bicara pada suaminya."Biar aku yang masak sambil nyuci. Kamu mau dimasakin apa?" Heru menjawab demikian."Hehe. Terima kasih. Apa saja, pasti aku makan. Kalau begitu, abis mandi aku mau ngebut nulis ya?" Jawab Nita. Dia memang sedang memikirkan untuk mengejar target bulan ini. Agar bulan depan bisa mendapatkan pendapatan yang lebih, supaya bisa segera membuatkan usaha untuk suaminya.Nita kasihan pada Heru yang mulai berpikir mencari pekerjaan. Dia juga lebih suka jika suaminya tidak bekerja pada orang lain lagi melainkan punya usaha sendiri."Siap Buk Bos. Jangan khawatir. Masakan akan segera siap. Cucian juga, nanti kamu tinggal jemur."Heru memang begitu, dia sangat pengertian. Ini bukan karena Nita bisa menghasilkan uang. Heru memang selalu membantu pekerjaan rumah jika tidak bekerja. Bukan karena sekarang dia menganggur dan istri yang bisa
Di kota.Malam ini Azam berniat menemui Riko dirumahnya. Tapi karena malam ini Riko sedang pergi dan menginap di rumah neneknya, dia memutuskan untuk menemui Rendi saja. Dia sudah menelponnya dan mereka sudah janjian.Azam memang lebih dekat dengan Rendi dibanding dengan Riko. Menurut, sikap Riko yang terlalu tegas dan waspada melebihi ayahnya membuatnya merasa kurang nyaman. Sebenarnya Riko memang harus mengambil sikap seperti itu, tidak peduli dengan siapapun. Anaknya sendiri, adik ataupun anak-anak Gara.Dia hanya ingin mendidik mereka dengan baik agar bisa mengikuti jejak orang tuanya.Azam menceritakan kejadian yang ia alami kemarin pada Rendi."Apa kamu punya musuh?" Rendi bertanya."Mana ada, Paman? Aku ini anak yang baik. Kumpul sama teman saja gak pernah. Musuh dari mana?" Bantah Azam.Rendi merenung sejenak. "Musuh tidak ada, lalu bagaimana dengan para gadis yang kamu kecewakan?"Azam terbelalak, sedikit terkejut saat Rendi bertanya demikian.Rendi bukan tidak tahu bagaimana
Di jalanan yang masih sepi. Hanya masih terlihat beberapa pengguna jalan saja. Pagi ini Mobil yang dikendarai Rendi terus melaju dengan kecepatan yang sedang.Mereka baru saja kembali dari kantor polisi. Menyerahkan dua orang berandal yang tempo lalu menyerang Azam.Awalnya Azam tidak setuju untuk menyerahkan mereka pada pihak yang berwajib. Dia ingin menghakimi mereka.Rendi paham jiwa kuda Azam. Tapi dia tidak mungkin membiarkan Azam jatuh dalam masalah yang akan menyeret nama baik keluarga Mahendra. Rendi terus membujuk Azam agar bersedia menyerahkan segala sesuatunya pada polisi saja. Polisi yang akan menangani kasus ini dan menyelidiki siapa dalang dibalik mereka.Pada akhirnya, Azam setuju.Setelah beberapa saat diperjalanan, akhirnya mobil itu pun tiba di rumah besar milik Rendi.Setelah Rendi turun, Azam kembali menghidupkan Mobilnya."Azam, kamu akan pergi ke kantor?" Rendi bertanya. Padahal mereka sudah sepakat jika hari ini akan mengambil cuti terkait penangkapan dua orang
"Aku akan menjaganya. Jangan meminta uang Tuan kembali ya?" ucap Arumi sambil cengar-cengir.Azam tersenyum, "Begitu kan, bagus. Kamu memang harus menurut, karena aku ini sekarang atasanmu. Dan kamu Asisten pribadiku. Mengerti?""Ah, iya Tuan. Mengerti." Arumi pun mengangguk penuh semangat."Tapi, apa pekerjaanku Tuan?""Pekerjaan? Ah, iya. Apa ya?" Azam sendiri merasa bingung memikirkan pekerjaan untuk Arumi, karena biasanya dia akan melakukan pekerjaannya sendiri tanpa bantuan siapapun."Tidak ada ya? Bagaimana kalau aku menjadi Office Girl lagi saja, Tuan. Itu pasti menyenangkan." usul Arumi."Hah! Menyenangkan kepalamu itu! Sudah habis uang banyak untuk ke salon, kamu hanya akan bekerja sebagai Office Girl? Mana bisa. Aku akan merugi." Jawab Azam."Ck, lalu apa? Memelototi anda begini saja? Tidak mungkin kan?" ucap Azam."Kamu bisa membantuku disini. Mengerjakan semua tugas kantor. Menemaniku makan, menemaniku menemui tamu. Dan, masih banyak lagi!""Hm, mana bisa. Aku tidak menger
'Ini? Tuan Azam berpura pura tapi seperti sungguhan sih? Menyebalkan!'Arumi hendak berontak, tapi Azam cepat berbisik padanya. "Bantu aku, atau kamu akan aku pecat!"Arumi merinding dengan bisikkan Azam. "Eh, i,iya." berbisik juga.Kemudian menatap Levia."He, kamu! Aku ini sebenarnya memang bukan pacarnya Azam. Tapi, tapi.. Ya.. Begitulah. Aku calon istrinya. Dia sudah terlanjur melamarku. Langsung di depan orang tuaku!""Kamu pasti bohong! Kamu baru saja mengatakan kalau kamu tidak mau dengan Azam kan?!" teriak Levia ,tidak terima dengan apa yang dikatakan oleh Arumi."Ya mau bagaimana lagi. Ayahku sudah menerimanya. Masa iya aku tolak. Aku tidak mau jadi anak durhaka."'Hiya,. Maafkan aku Ayah! Aku harus berbohong!!' pekik hati Arumi."Azam! Kamu hanya ingin mempermainkanku? Kamu mengatakan jika tidak bisa mencintai siapapun wanita!" Levia masih saja ingin bertahan."Itu benar, aku memang tidak pernah mencintai wanita manapun kecuali dia ini." Bicara begitu, Azam sambil menciumi p
Azam menarik lembut tangan Arumi agar duduk."Kamu harus tau alasannya kenapa aku jadi seorang playboy.""Memang seorang playboy punya alasan juga?" Arumi masih sadis."Tentu saja. Bukankah kamu juga pernah mengatakan jika setiap orang punya masalahnya masing masing?"Arumi menoleh, kali ini dengan tatapan serius. "Lalu apa alasan anda, masalah anda, sampai anda tega menyakiti banyak wanita??""Arumi, sudah kubilang jika aku tidak pernah menyakiti siapapun. Aku akan bercerita, dan ini hanya padamu karena kamu sekarang adalah Asistenku. Kamu perlu tau untuk kelanjutan kerjasama kita ke depannya.""Alah, pasti mengarang lagi." celoteh Arumi."Sumpah Arumi, ini bukan karangan. Jadi begini."Azam menarik nafas dahulu sebelum melanjutkan ucapannya.Dulu dia memiliki sikap yang lembut dan penyabar. Saking lembut dan sabarnya dia, dia sering ditindas oleh teman-temannya. Dia tidak pernah melawan. Azura sang adik sering kesal. Memarahinya dan memintanya siang malam agar menjadi pria yang tega
Tidak ada tetangga yang datang karena mereka sengaja, lamaran malam ini dengan sederhana saja. Tidak ada yang dibawa oleh Dodi karena memang mereka sudah berunding untuk tidak memaksakan diri dan tidak membawa apapun. Ini adalah pesan Gita, jadi Dodi datang hanya membawa ucapan niat dan cincin seberat 2 gram saja sebagai tanda pengikat antara mereka. Acara lamaran berlangsung sederhana namun penuh keseriusan dari kedua belah pihak. Pakde Gita tak banyak bicara, sebab di sini ia hanya menjadi saksi, bukan untuk dimintai pendapat. Sebelumnya, Bu Mila sudah berpesan demikian. Sebelum lamaran ini, Pakde sempat menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pernikahan Gita dengan Dodi. Alasannya, masa depan Dodi kurang cerah dan hanya akan membebani Gita, terlebih Gita kini sudah sukses. Pakde khawatir banyak orang berbiat buruk, lalu menjadikan alasan ingin menikahi Gita. Bu Mila menegaskan untuk tidak perlu ikut campur urusan mereka . Dodi memandang Heru dengan mata terbelalak, seperti kura
Sebagai orang tua, mereka hanya perlu menyetujui, memberi restu, dan dukungan. Meski tak suka, Pakde tak bisa berbuat apa-apa selain mengiyakan.Mungkin ia sadar bahwa selama ini ia tak pernah membantu atau ikut memberi makan Gita dan Anisa sejak mereka lahir, lalu mereka ditinggal orang tua mereka, dan kini telah tumbuh dewasa.Acara lamaran selesai, disambung dengan obrolan ringan, basa-basi sebelum waktunya pulang.Tidak ada yang istimewa di acara malam ini, tetapi bagi Gita dan Dodi, acara ini sangat spesial dan membekas di hati. Karena malam ini, mereka resmi menjadi sepasang tunangan dan berencana menikah bulan depan. Awalnya, ketika ditanya oleh Pak De kapan mereka akan menikah, Dodi masih ragu untuk menjawab. Bukan karena ragu, tetapi dia ingin benar-benar siap. Namun, Gita yang langsung menjawab, "Rencana kami adalah bulan depan, Pak De. Setelah bulan ini habis, kami akan berunding lagi untuk menentukan hari yang tepat."Dodi tidak bisa berkomentar karena takut Gita tersinggu
Dodi menarik nafas resah. Tadinya, dia sudah cukup senang, khayalannya melambung tinggi, menikahi Gita dan hidup bahagia penuh cinta. Namun, setelah obrolan dengan ibunya, perasaannya berubah menjadi kacau.Jika nanti dia menikah, bagaimana mungkin dia bisa tinggal bersama Gita? Bagaimana dengan ibu dan dik-adiknya? Tapi jika dia mengajak Gita untuk tinggal bersamanya, tentu saja itu juga tidak mungkin. Dia tidak bisa membawa Gita untuk tinggal di pondok mereka dan mengurus keluarganya.Tiba-tiba, sebuah pesan singkat dari Gita masuk. "Dodi, sedang apa? Apa kamu sudah pulang kerja?""Iya, Gita. Aku sudah pulang dari tadi." Mulai hari ini dan seterusnya, Dodi memang sudah mau belajar untuk memanggil Gita dengan nama saja. Mereka sudah sepakat."Bisa gak nanti malam ke rumah? Ada hal yang ingin aku bicarakan."Karena Dodi juga ingin membicarakan suatu hal dengan Gita, dia pun setuju. "Iya, aku akan ke sana nanti malam."Gita tersenyum, selain memang ada sesuatu yang ingin dibicarakan se
Yang di sana menutup mulutnya dengan satu tangan menahan agar tidak tertawa keras karena saking senangnya.Ya ampun… Ternyata Dodi romantis juga ya?Akhirnya sepanjang malam ini mereka sama-sama begadang, melanjutkan chat mesra dan rencana untuk kedepannya nanti. Sampai terlupa, ketiduran tanpa sengaja. Ponsel masing-masing terjatuh dari tangan dan paginya ponsel mereka sama-sama ngedrop!Dodi merasa sangat kesal karena tidak bisa mengirimi pesan atau melihat pesan chat dari Gita. Akhirnya berangkat kerja tanpa membawa ponsel.Gita juga demikian, terpaksa pergi mengajar meninggalkan ponselnya di rumah untuk dicas.Di tempat kerja, mereka tidak konsen.Saling memikirkan satu sama lain. Andai saja tadi ponsel bisa dibawa, setidaknya bisa berkirim chat, menanyakan kabar. Lagi ngapain? Udah makan belum?Duh, kasmaran!Sayangnya semalam lupa , seharusnya sambil di cas saja. Kan tidak sampai ngedrop?Saat Dodi pulang dari kerja, di jalan melihat kecelakaan. Sebuah mobil sedan menabrak seora
Anisa mengusir mereka dengan bercanda, "Sudah, jalan sana, nanti keburu magrib."Gita dan Dodi akhirnya berangkat menggunakan motor Anisa. Mereka berboncengan, menarik perhatian orang-orang di jalan karena penampilan mereka yang berbeda dari biasanya. Beberapa mencibir, tapi banyak juga yang memuji kecocokan mereka.Sesampainya di acara, suara musik orgen tunggal menyambut. Mereka disambut oleh tim penyambut tamu, dan beberapa orang langsung mengenali mereka, "Mbak Gita sama Mas Dodi? Wah, cocok banget!”Gita dan Dodi hanya tersenyum malu mendengar godaan-godaan itu. Setelah mengambil makanan, mereka duduk bersama dan menikmati hidangan. Sesekali mereka melirik satu sama lain dan tersenyum, tapi tidak bisa fokus karena hati mereka sama-sama berdebar.Setelah makan, Dodi mengajak Gita untuk memberikan amplop kepada pasangan pengantin. "Cepat menyusul kami ya!" ucap mempelai wanita, membuat Gita semakin tersipu."Kenapa semua orang berpikir kita pacaran?" tanya Gita saat mereka kembali
Penjelasan Gita diterima, dan beberapa siswa bahkan membuka platform novel online untuk memeriksa kebenarannya. Mereka akhirnya paham bahwa kehidupan Gita dan Anisa telah berubah berkat kerja keras Gita.Sejak saat itu, tak ada lagi yang menuduh atau membicarakan Anisa dan keluarganya. Kabar tentang Gita yang menjadi penulis menyebar, dan kehidupan mereka menjadi lebih damai. Tidak ada lagi tuduhan atau hinaan dari Cindy dan teman-temannya.Hari itu, Gita merasa sangat lelah setelah seharian membersihkan rumah bersama Anisa. Malam harinya, ia mengalami sakit kepala yang parah. Anisa khawatir melihat suhu tubuh kakaknya yang sangat panas."Mbak Gita sakit, ya? Badannya panas sekali!" seru Anisa.Gita mengeluh, "Kepala Mbak sakit, tubuh juga rasanya ngilu-ngilu."Anisa segera memberi tahu Bu Mila, yang panik. "Tunggu sebentar, Anisa. Biar nenek menemui Mbak Nita.""Biar Anisa saja, Nek. Nenek tungguin Mbak Gita," ujar Anisa, langsung berlari ke rumah Nita. Mendengar kabar itu, Nita dan
"Udah, jangan dilihat terus. Besok langsung dicoba aja," goda Nita, sambil tersenyum melihat Anisa yang terus memandangi motor barunya.Anisa tertawa kecil, benar-benar tidak menyangka dirinya bisa mendapatkan motor sebagus itu. Dia menoleh pada Gita, "Mbak Gita, terima kasih ya. Pasti mahal banget."Gita tersenyum dan menepuk tangan Anisa lembut, "Yang penting kamu senang, Anisa. Harga motor ini nggak ada apa-apanya dibanding kebahagiaan kamu.""Ya ampun, Mbak Gita! I love you deh!" Anisa memeluk kakaknya dengan rasa terima kasih."Makanya, jangan bandel. Kamu nggak kerja tapi dibeliin motor sama HP baru. Semangat belajar dan bantu-bantu di rumah, ya," Bu Mila mengingatkan."Siap, Nek! Anisa makin semangat," jawab Anisa riang, disambut tawa seluruh keluarga.Heru lalu berdiri, "Maaf, aku harus pulang. Toko nggak ada yang jaga lama-lama.""Aku juga pulang, nih," kata Nita sambil mengeluarkan kado kecil dari sakunya.Heru melihat kado itu dan tertawa, "Ya ampun, kado kamu kecil banget,
Karena Anisa memang adik yang pengertian, meskipun hatinya sedikit terluka oleh ucapan kakaknya, dia tidak berani menjawab. Anisa mencoba mengerti, mungkin kakaknya sedang banyak pikiran atau lelah, jadi dia memilih untuk diam saja.Kemudian, Anisa beranjak dari kamar Gita untuk mencari neneknya, tetapi tidak menemukannya. Dia lalu pergi ke dapur dan membuka tudung saji. Ternyata tidak ada makanan apapun di meja. Bahkan di magic com pun tidak ada nasi. Anisa mendengus kesal, lalu kembali ke kamar Gita."Mbak, nenek nggak masak ya? Nenek pergi kemana?" tanya Anisa lagi.Kakaknya terlihat kesal, lalu melemparkan guling ke arah Anisa."Kamu itu manja banget sih! Kamu kan bisa masak sendiri, masak mie, ceplok telor, atau apa gitu. Nggak usah terus ngandelin nenek. Nenek lagi pergi ke rumah Bude dari tadi pagi, jadi nggak sempat masak. Kamu aja yang masak nasi, sana!” ujar kakaknya.Anisa merasa sedih melihat perubahan kakaknya yang tiba-tiba menjadi pemarah. Namun, dia tidak berani memban
“Ya Allah, ternyata ini pekerjaan Mbak Gita yang jarang diketahui orang. Pantas saja Mbak bisa membeli ini itu dan mengubah ekonomi keluarga. Aku benar-benar tidak menyangka kalau Mbak bisa sehebat ini.”Gita mengangguk kemudian tersenyum kecil sambil melanjutkan untuk memberitahu Dodi tentang aplikasi-aplikasi novel miliknya.“Mungkin beberapa orang di kampung banyak yang membicarakan aku, tapi aku tidak mau peduli. Karena mereka juga tidak tahu apa yang aku lakukan sebenarnya. Yang terpenting bagiku adalah aku mencari pekerjaan secara halal dan ini merupakan anugerah serta rezeki dari Allah yang diberikan padaku. Aku telah diberi jalan untuk bisa mengubah ekonomi keluargaku.”Dodi mendongak, "Mungkin sebagian orang membicarakan keluarga Mbak karena mereka tidak tahu yang sebenarnya. Tapi benar kata Mbak, tidak usah dipedulikan. Bukankah Mbak tidak merugikan siapa-siapa? Mbak menulis dengan ide sendiri tanpa mengganggu orang lain.""Itulah yang sering dikatakan oleh Mbak Nita. Makany