Beberapa hari ini Laura terus memantau akun sosial miliknya. Berharap ada pesan balasan dari Rehan. Tapi ternyata harapannya sia-sia karena tidak ada balasan pesan seperti yang dia harapkan.Laura juga mencoba untuk membuka bagian profil akun sosial media milik Rehan, berharap akan ada satu postingan saja yang bisa ia kirimi komentar agar Rehan bisa melihatnya. Tapi semua postingan milik Rehan ternyata di log.Laura benar-benar kesal luar biasa. Ketika menelpon Santi, sepupunya itu juga mengatakan kalau belum sempat pergi ke desa Rehan. Jadi Santi belum bisa bertemu dengan Rehan untuk meminta Nomor Ponselnya.Laura termenung di tepi tempat tidur. Pikirannya terus dipenuhi oleh bayangan Rehan.Apa dia harus pulang ke kampung halaman itu lagi? Tapi bagaimana dia membuat alasan agar diizinkan oleh orang tuanya?Saat dia sedang melamun, pintunya diketuk. Mamanya sudah membuka pintu dan masuk."Laura. Ada Reza di bawah. Bukannya malam ini kalian ada janji akan pergi makan malam diluar?"L
"Kenapa dimatiin, Mas. Nggak sopan itu namanya. Jawab dulu seenggaknya." Nita yang ada di samping suaminya langsung menegur tindakan suaminya itu. Mematikan panggilan dari orang tua yang sedang bertanya, itu seperti bukan sikap Heru yang selama ini selalu sabar menghadapi siapapun."Biarlah, dianggap nggak sopan juga bodo amat lah. Lagian mau jawab apa? Sekolahin BPKB enggak. Maling duit? Nuduh yang aneh aneh aja. Emang aku tukang maling?" Jawab Heru ketus."Kan memang pernah maling, maling beras bapak. Hayo, ngaku…" Nita malah meledek, sambil menunjuk dada suaminya. Dia masih ingat, kala itu bukan Nita tidak tau kalau suaminya datang dengan membawa beras hasil mencuri dari rumah bapaknya sendiri. Hanya saja, Nita tak sampai hati untuk membahasnya.Heru tertawa. "Kalau itu lain. Habisnya ditanya katanya gak punya. Padahal banyak. Jadi ya tak maling sekalian."Mereka berdua tertawa bersama. "Lain kali jangan seperti itu lagi ya Mas. Gak papa aku laper, dari pada harus makan beras malin
"Siapa bilang, kata pak ustadz, suami yang seharusnya melayani istri, cuma kalau suami sibuk, barulah istri boleh membantu."Pada akhirnya mereka hanya tertawa dan jadi rebutan piring.Sikap Heru inilah yang membuat Nita begitu mencintai suaminya tanpa pamrih. Tidak pernah ingin mengeluh, tidak pernah berpikir untuk pergi sedikitpun, meskipun mereka hidup penuh kekurangan dan pernah berada di titik terendah sekalipun. Selalu penuh senyuman.Nita melihat wajah suaminya, meskipun terlihat tenang, tapi Nita bisa tahu jika Heru sedang berusaha menyembunyikan kegelisahan."Ada apa Mas, apa ada yang dipikirkan?"Heru tersenyum, mengelus pipi Nita. "Tau saja kamu ini kalau orang lagi puyeng." Heru kadang merasa aneh, istrinya ini tidak bisa dibohongi."Tau lah. Ada apa?"Heru menghela nafas panjang, "Kebun tempatku bekerja dijual Nit, dan yang beli sudah ada anak buah tetap. Jadi kami diberhentikan. Puyeng, harus cari kerjaan yang baru. Padahal bos kami itu sangat baik."Nita mengerti, betap
Selesai Maghrib, Adi sudah berada di rumah kontrakan Heru. Nita membuatkan dua cangkir kopi untuk mereka berdua.Karena tidak ada ruangan lain, Heru dan Adi mengobrol di ruangan depan sekaligus yang juga dijadikan ruangan kamar untuk mereka. Tapi rata-rata Kontrakan di sana memang seperti itu, jadi sudah tidak heran lagi. Makan ya disitulah, tidur ya disitu, ada tamu atau teman main pun ya tetap disitu. Kecuali dapur dan tempat mandi, memang berpisah."Gimana-gimana? Mau ngajak kerja apa nih? Aku tadi di telepon belum terlalu jelas." Adi bertanya setelah menyesap sedikit kopi buatan Nita."Jadi gini Di, gimana kalau kamu bekerja saja sama aku, buat batako untuk rumah kami. Kamu kan bisa, gimana? Kamu mau gak? Boleh borongan, harian juga boleh. Terserah bagaimana baiknya." Ucap Heru menjelaskan.Adi manggut-manggut, paham dengan apa yang diutarakan oleh Heru."Jadi ini seriusan?" Dia bertanya, bukan tidak yakin sebenarnya hanya saja Adi sekedar ingin basa-basi saja."Serius lah, kalau
Mereka belum menjawab, sampai bapak kembali berujar."Kalau bapak tau darimana kalian dapat uang kan enak, apa dari keluarga Nita, atau dari mana, kan kalau ada orang ngomong macam-macam, bapak bisa jelasin.""Bukannya orang tua itu cerewet Her, Nita. Tapi mau gimana pun namanya anak. Meskipun bapak selama ini nggak bisa bantu apa-apa ke anak, yang namanya anak tetap kepikiran kalau ada apa-apa." Ucap Bapak. Kali ini dia lebih lembut.Nita menyenggol lengan suaminya. Memberi kode agar suaminya menjelaskan.Heru berdehem, kemudian mulai menjelaskan. Mengerti atau tidak, dia berusaha menjelaskan. Dan bapak beserta ibu, manggut-manggut.Mereka sebenarnya tidak terlalu paham, tapi mulai sedikit mengerti apa yang dijelaskan oleh Heru."Oalah, pantes aja. Ibu juga pernah denger dari Anas. Kalau gak salah ya begitu kata Anas. Kalian dapat uang dari Nita yang gajian, kerja nulis. Tapi ibu gak paham, nulis apa gitu kata Anas." Ibu langsung menyela.Sementara Bapak, ikut mengucapkan syukur."Al
Saat ini Andi sang suami keluar dari dalam kamar. Seharian ini memang sedang libur bekerja karena sejak kemarin mengeluh sakit pinggang."Ngapain bengong ngeliatin orang?" Andi menegur sang istri."Itu Mas, Nita sama Heru, dapat uang dari mana ya mereka? Kok bisa buat batako?" Rani bertanya sambil melirik kearah Adi dan Heru yang masih sibuk bekerja."Gak tau lah. Mungkin Mereka nabung. Kan buat batako juga gak banyak banyak amat biaya. Mereka cuma masih nyicil dulu katanya.""Oh, jadi belum langsung mau diriin ya?" Rani kembali bertanya."Kamu kira mau berapa uang habis buat rumah itu? Apa apa mahal sekarang. Kita aja yang cuma Papan seperti ini hampir habis 20 an juta. Apalagi kalau mau buat rumah batako? Mereka itu cuma nyicil aja katanya, mumpung si Heru gak ada kerjaan." Jawab Andi."Tapi itu si Adi bukannya kerja?""Paling cuma bantuin aja. Kan sama sama lagi nganggurnya."Rani mulai sedikit lega mendengar penjelasan suaminya. Dia mengira jika mereka akan langsung mendirikan rum
"Hei, lepaskan dia. Aku akan membayar hutangnya. Ayo lepaskan!" ucap Azam pada dua pria itu."Tuan, Muda?" Arumi merasa seperti tidak percaya."Kamu serius akan membayar hutangnya, Bung?""Ya. Katakan saja berapa hutangnya." jawab Azam."Sepuluh juta. Kamu bisa melunasinya sekarang? Jika tidak, kami akan tetap membawanya.""Ck, hanya segitu. Tunggu sebentar." Azam merogoh dompetnya."Sial! Tidak ada uang cash rupanya." gumam Azam. Terpaksa dia mengeluarkan selembar cek, mengambil pena di balik jasnya kemudian menulis dahulu nominal yang sengaja ia lebihi dari nominal yang di sebut mereka tadi."Aku tidak membawa uang cash. Ambil ini. Itu sudah aku lebihi. Cepat lepaskan dia!" Azam memberikan cek tersebut yang langsung disambar satu pria itu. Setelah meneliti, Pria itu tersenyum dan mendorong tubuh Arumi ke arah Azam yang cepat menangkap tubuhnya agar tidak terjatuh."Begini kan, bagus. Jadi kamu tidak merepotkan kami lagi!" ucap pria itu, melangkah pergi diikuti temannya.Azam langsun
Hari-hari telah berlalu dengan kelelahan Heru dan Adi yang masih sibuk seputar penyiapan bahan bangunan.Keringat mereka bercucuran terbakar matahari yang sangat menyengat. Capek dan haus. Mereka sampai menghabiskan es batu hingga dua teko dalam setengah hari ini.Sekarang mereka duduk di depan gubuk sambil menyalakan rokok. Dua pria itu menatap tumpukan Batako yang sudah tinggi. Jika diperkirakan ini sudah cukup bila untuk mendirikan rumah yang cukup besar bahkan beserta Dapurnya."Mungkin cukup. Kalau nanti ada kekurangan bisa pesan saja." Ucap Heru.Adi menoleh, mengerutkan dahinya."Walah. Jadi aku libur dong?" Dia sudah sedikit resah memikirkan mau cari kerja dimana lagi."Kamu mau lanjut kerja?" Tanya Heru."Ya iya kalau ada. Itu ngoret-ngoret calon belakang rumah jadi lah Her." Iba Adi.Heru tertawa jadinya. "Nggak segitunya juga kali Di, kan kita belum ada kayu. Jadi bisa cari kayu. Tapi istriku minta beli jadi saja kayunya. Biar bagus katanya."Adi yang tadi hampir lega kemba